Efisiensi Proses Perdagangan dan Perjala

EFISIENSI PROSES PERDAGANGAN DAN PERJALANAN LAUT
MELALUI INTEGRASI PERATURAN

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH NASIONAL
Dalam Rangka Mengikuti INVENTION 2016 Diponegoro Economic Festival
Universitas Diponegoro Semarang

Ditulis oleh: Tim Enakai
Fathurahman Sidiq

13/EK/19547/349666

Dominggus Tama Sitindaon

13/349599/EK/19532

Caecilia Westi Sekar Wangi

13/347600/EK/19401

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
karunia atas hidup. Berkat karunia-Nya kita semua dapat selalu membawa kebaikan
dan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak yang turut
membantu, baik bantuan moril maupun materiil. Pada akhirnya karya tulis ilmiah
yang berjudul ”Efisiensi Proses Perdagangan dan Perjalanan Laut Melalui Integrasi
Peraturan” ini dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Penulis menyadari di dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu, besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang
membangun untuk membantu melengkapi karya tulis ilmiah ini.
Harapan penulis atas penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah dapat
memberikan manfaat untuk semua orang di kemudian hari.

Yogyakarta, 28 September 2016


Tim Penulis

2

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Judul Paper:
Efisiensi Proses Perdagangan dan Perjalanan Laut Melalui Integrasi Peraturan
Nama Penulis:
Fathurahman Sidiq

13/EK/19547/349666

Dominggus Tama Sitindaon

13/349599/EK/19532

Caecilia Westi Sekar Wangi

13/347600/EK/19401


Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa memang benar
karya dengan judul tersebut di atas merupakan hasil karya sendiri dan tidak ada
pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Karya ini
belum pernah dipublikasikan dan/atau dilombakan di luar kegiatan “INVENTION
2016 Diponegoro Economic Festival” yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya. Apabila terbukti
terdapat pelanggaran di dalamnya, kami bersedia untuk didiskualifikasi dari
perlombaan ini sebagai tanggung jawab kami.
Yogyakarta, 28 September 2016
Yang membuat pernyataan,

Dominggus Tama Sitindaon

Caecilia Westi Sekar Wangi

13/349599/EK/19532

13/347600/EK/19401


Fathurahman Sidiq
13/349666/EK/19547

3

DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................3
DAFTAR ISI ..................................................................................................................4
DAFTAR BAGAN .........................................................................................................5
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................5
ABSTRAKSI ..................................................................................................................6
BAB I .............................................................................................................................7
PENDAHULUAN ..........................................................................................................7
A.

Latar Belakang ....................................................................................................7

B.


Rumusan Masalah ...............................................................................................9

C.

Tujuan .................................................................................................................9

D.

Manfaat ...............................................................................................................9

LANDASAN TEORI .................................................................................................... 11
A.

Sektor Maritim di Indonesia............................................................................... 11

B.

Sea and Coast Guard ......................................................................................... 12

C.


Kebijakan Publik yang Efektif ........................................................................... 13

D.

Peraturan di Sektor Pelayaran ............................................................................ 14

METODE PENULISAN ............................................................................................... 17
A.

Desain Penelitian ............................................................................................... 17

B.

Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................ 17

C.

Jenis dan Sumber Data....................................................................................... 17


D.

Metode Pengumpulan Data ................................................................................ 17

E.

Objek Penelitian ................................................................................................ 18

F.

Teknik Analisis Data ......................................................................................... 18

ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 19
A.

Kondisi Sea Coast Guard di Indonesia ............................................................... 19

B.

Tantangan Implementasi Regulasi di Perdagangan dan Perjalanan Laut ............. 20


C.

Dampak di Sektor Bisnis dan Ekonomi .............................................................. 22

D.

Sistem INSW sebagai Jalan Keluar yang Belum Sempurna ................................ 24

E.

Upaya Menuju Pemerataan Pembangunan di Indonesia ...................................... 24

PENUTUP .................................................................................................................... 27
A.

Simpulan ........................................................................................................... 27

B.


Saran ................................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 28

4

DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Faktor-Faktor yang Paling Problematis dalam Melakukan Bisnis di
Indonesia Tahun 2015-2016 ............................................................................... 23
Bagan 2. Akumulasi Realisasi Penanaman Modal Asing (dalam juta USD) Tahun
2010-2014.......................................................................................................... 25
Bagan 3. Akumulasi Realisasi Penanaman Modal dalam Negeri (dalam miliar
Rupiah) tahun 2010-2014 ................................................................................... 26
Bagan 4. Alur Dampak Ekonomi Efisiensi Proses Perdagangan dan Perjalanan Laut
.......................................................................................................................... 31
Bagan 5. Country's Score Card among ASEAN Countries 2016 ......................... 32

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Domestic LPI, Environment, and Institutions: Indonesia 2016 ................ 8
Tabel 2. Bongkar Muat Barang Antarpulau dan Luar Negeri di Pelabuhan Indonesia

Tahun 2005-2014 (dalam ribu ton) ..................................................................... 15
Tabel 3. Ease of Doing Business di Negara-Negara ASEAN tahun 2016 ............ 23

5

ABSTRAKSI

Kini laut tak ayal lagi mulai digencarkan pengembangannya sebagai lalu
lintas perdagangan di Indonesia. Terbukti dengan adanya proyek pembangunan
dan revitalisasi berbagai pelabuhan sebagai pendukung proyek tol laut sejak tahun
2015 yang rencananya akan menghabiskan anggaran sebesar Rp66,805 Triliyun
(Bappenas, 2015). Hal ini merupakan salah satu praktik dari Nawa Cita yang
digencarkan oleh Presiden Joko Widodo dan ditegaskan sejak pidato kenegaraan
dalam rangka HUT RI ke-70, yaitu untuk menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia. Indonesia sejatinya harus siap dengan segala konsekuensi
pembangunan tersebut. Namun, realitanya penegakan hukum di jalur laut perlu
menjadi perhatian khusus karena masih adanya tumpang tindih dan kurangnya
tindak lanjut atas peraturan dari belasan aparat yang terkait, seperti Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Keuangan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik

Indonesia, Badan Keamanan Laut, dan beberapa instansi lainnya. Seperti yang
diungkapkan oleh Carmelita Hartoto, Ketua Umum INSA, tantangan tersebut ialah
fenomena pemeriksaan kapal yang dilakukan oleh dua belas instansi terkait
sehingga merugikan para pelaku bisnis di jalur laut karena memakan waktu da n
biaya tambahan yang cukup besar. Beberapa peraturan internasional yang
dirumuskan pada UNCLOS tahun 1982 dan Konvensi IMO diharapkan menjadi
acuan bersama negara-negara maritim dalam mengatasi masalah pelayaran.
Namun, Indonesia sendiri sampai saat ini masih belum mengimplementasikannya
secara tepat, salah satunya dalam pembentukan sea coast guard. Oleh karena itu,
perlu adanya penelitian mengenai integrasi proses perizinan guna menunjang
efisiensi birokrasi perdagangan dan perjalanan via laut. Penelitian ini
dilaksanakan melalui studi literatur pada artikel dan wawancara dengan para ahli
serta aparat pemerintah yang terkait. Pada akhirnya perlu kementerian/lembaga
yang memiliki tugas komprehensif terkait pemeriksaan dan pengawasan yang
ditetapkan dalam aturan. Dengan demikian, integrasi proses birokrasi perizinan
akan terwujud sehingga jalur perdagangan dapat dimanfaatkan secara optimal
oleh pelaku bisnis dalam dan luar negeri.

Kata kunci: integrasi, aturan, maritim, sea coast guard

6

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maritim merupakan hal yang sudah tidak asing bagi Indonesia. Menilik pada
sejarah raja-raja terdahulu akan memperkuat kekuatan maritimnya jika ingin
berjaya pada masanya. Hal ini juga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang
tertuang dalam Nawa Cita untuk memperkuat jati diri Indonesia sebagai negara
maritim dan mengembalikan kejayaannya.
Semenjak Joko Widodo resmi menjadi Presiden Indonesia, pembangunan
yang berkaitan dengan kemaritiman terus ditingkatkan dari hulu ke hilir, baik
infrastruktur, khususnya kapal dan pelabuhan, maupun pengembangan teknis
pelaksanaannya. Pelabuhan Tanjung Priok adalah salah contoh pelabuhan yang kini
menjadi fokus pembangunan maritim Indonesia (Sutanto 2016). Selain itu, kini
Indonesia sudah menerapkan sistem Indonesia National Single Window (INSW)
terkait proses perizinan ekspor impor, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan
pelayaran.
Dampak positif dari perbaikan maritim juga sudah mulai tampak. Beberapa
diantaranya adalah waktu tempuh yang dibutuhkan oleh suatu kapal barang
memindahkan barangnya atau dwelling time menjadi kian efisien (Rayanti 2016).
Namun, bukan berarti Indonesia sudah lebih unggul dibanding negara lain terkait
kemaritiman.
Hal yang mengejutkan adalah turunnya peringkat Indonesia dalam Global
Ranking 2016: Logistic Performance Index (LPI) yang dikeluarkan oleh World

Bank setelah semua usaha perbaikan yang dilakukan. Darmin Nasution selaku
Menteri Koordinator Perekonomian menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi bukan
karena peringkat Indonesia menurun, akan tetapi negara lain berkembang jauh lebih
baik. Dengan kata lain, perkembangan Indonesia di bidang kemaritiman masih
belum optimal sehingga masih kalah saing dengan negara lain. Salah satu faktor

7

penyebabnya adalah regulasi dan birokrasi pada sektor kemaritiman di Indonesia
yang masih kurang efektif dan efisien.
Indonesian National Shipowners Association (INSA) menyatakan bahwa
Indonesia masih belum kondusif untuk para pengusaha kapal. Hal ini terjadi oleh
kewenangan dalam pemeriksaan dan pengawasan kapal yang dilakukan berulang
kali oleh beberapa instansi yang berbeda sehingga menghambat proses pelayaran.
Tentunya hal tersebut akan merugikan para pelaku usaha baik dari waktu maupun
biaya tambahan lainnya. Soleman B. Ponto, seorang Jenderal Purnawirawan yang
kini menjadi pengamat maritim, berpendapat bahwa hal ini harus diselesaikan
segara. Instansi yang secara substansi memiliki tugas yang sama perlu untuk segera
diperbaiki aturannya (Ponto 2016). Ia juga berpendapat bahwa iklim usaha yang
kondusif akan tercipta melalui birokrasi yang lebih tepat guna.
Tabel 1. Domestic LPI, Environment, and Institutions: Indonesia 2016

Sumber: World Bank, 2016

Pernyataan Soleman B Ponto perlu diperhatikan oleh pemerintah mengingat
kita pada saat ini sudah memasuki masa perdagangan era baru, yaitu masyarakat
ekonomi ASEAN (MEA). Para pelakunya di era perdagangan ini secara tidak
langsung menuntut kenyaman berusaha di atas aturan yang jelas dan tepat guna.
Jika Indonesia tidak bisa menyediakan hal tersebut, jangan heran apabila nantinya

8

para pelaku perdangangan akan enggan melalui Indonesia sehingga jati diri negara
maritim yang sedang diusahakan akan menjadi percuma.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, diperlukan
adanya penelitian terkait dengan efisiensi proses perdagangan dan perjalanan laut
di Indonesia. Penelitian ini penting untuk dilakukan untuk dapat mengetahui
kondisi yang ada saat ini dan dampak permasalahan yang tengah dihadapi pada
peraturan di sektor maritim. Dengan demikian, dapat memunculkan solusi efisiensi
peraturan sehingga mendukung pengembangan dunia bisnis dan peningkatan
perekonomian negara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini memiliki
beberapa rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kondisi terkini dan permasalahan yang ada pada peraturan bagi
pelayaran perdagangan dan perjalanan via laut?
2. Bagaimana dampak integrasi peraturan terhadap bidang bisnis dan ekonomi
di sektor maritim?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui dan menilai kondisi terkini dan permasalahan yang ada
pada peraturan bagi pelayaran perdagangan dan perjalanan via laut.
2. Untuk mengetahui dampak integrasi peraturan terhadap bidang bisnis dan
ekonomi di sektor maritim.
D. Manfaat
Dengan disusunnya penelitian ini, terdapat beberapa manfaat yang diharapkan
dapat dipetik, yaitu sebagai berikut.
1. Bagi instansi di sektor maritim terkait, dapat memberikan wawasan
mengenai pentingnya integrasi peraturan sehingga tercipta kondisi yang
menguntungkan banyak pihak.

9

2. Bagi khalayak, sebagai penambah wawasan terkait system perizinan yang
terintergrasi dan dampaknya secara luas terhadap masyarakat dan negara.
3. Bagi peneliti, dapat memberikan pengetahuan yang lebih mengenai
tantangan yang dihadapi di sektor maritim, khususnya implementasi
peraturan dan dampaknya.
4. Bagi mahasiswa, sebagai pemantik adanya analisis dan kajian lebih lanjut
dari berbagai sudut pandang ilmu mengenai evaluasi beserta dampak dari
implementasi peraturan maritim dan integrasinya.

10

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Sektor Maritim di Indonesia
Mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
maritim dibagi dalam dua subsektor, yaitu industri maritim dan jasa maritim.
Industri maritim yang berkembang di Indonesia terkait dengan usaha galangan
kapal, pengadaan dan pembuatan suku cadang dan peralatan kapal, serta perawatan
kapal. Sementara itu, jasa maritim melingkupi usaha jasa kontruksi, reklamasi,
angkutan penyeberangan, dan sebagainya.
Indonesia sudah dikenal luas sebagai negara maritim dengan luas wilayah
perairan sebesar 3,25 juta km2. Nilai tersebut merupakan 60% dari luas wilayah
Indonesia. Menurut Gultom (2007), pengembangan sektor maritim menjadi sangat
penting untuk terus didorong ke arah yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh sektor
maritim yang dapat memberikan dampak positif bagi suatu negara, khususnya
negara kepulauan seperti Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1. Integrasi ekonomi dan kepulauan dengan pergerakan komoditas yang
diperdagangkan dan tenaga kerja yang bebas hambatan antarpulau.
2. Integrasi sosial dan politik bangsa dengan pergerakan warga negara yang
bebas hambatan antarpulau untuk berbagai tujuan.
Terdapat beberapa syarat agar suatu negara dapat disebut sebagai negara
maritim. Syarat-syarat tersebut ialah lokasi geografis, karakterisitik dari tanah dan
pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan lembaga
pemerintahan (Suradinata 2005). Saat ini maritim sudah menjadi sektor yang
dipandang secara penting oleh pemerintah Indonesia. Salah satu buktinya ialah
dengan keberadaan Kementerian Koordinator Kemaritiman yang dibentuk pada
periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.

11

B. Sea and Coast Guard
Dalam konteks bernegara, kata keamanan akan merujuk kepada frasa keamanan
nasional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keamanan didefinisikan sebagai
suatu kata sifat yang menggambarkan sitasi bebas dari bahaya, bebas dari
gangguan, terlindung atau tersembunyi, pasti dan tidak mengandung risiko, serta
tenteram dan tidak merasa takut atau khawatir. Namun, sampai saat ini Indonesia
sebagai suatu negara dan subjek hukum belum memiliki dasar yang jelas dalam
menyatakan definisi dari keamanan nasional.
Hal ini tampak dalam penjelasan keamanan nasional yang baru akan
didefinisikan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional.
Dalam RUU tersebut keamanan nasional diartikan sebagai kondisi dinamis bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjamin keselamatan, kedamaian,
dan kesejahteraan warga negara, masyarakat, dan bangsa, terlindunginya
kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, serta keberlangsungan pembangunan
nasional dari segala ancaman.
Sesuai dengan beberapa definisi di atas, keamanan nasional pada awalnya
hanya diasumsikan pada bidang militer. Namun, dalam perjalanan suatu negara
yang semakin kompleks konsep tersebut bergeser menjadi suatu kesatuan yang di
dalamnya mencakup pertahanan negara, keamanan dalam negeri, keamanan publik,
dan keamanan insani (Darmono 2010).
Luas wilayah perairan Indonesia ialah 5,8 juta km2 dengan garis pantai
sepanjang 81.900 km (Arsana 2007). Saat ini wilayah tersebut dijaga keamanannya
oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla). Pembentukan Bakamla merupakan mandat
UU Kelautan. Bakamla merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui
menteri yang mengkoordinasikannya.
Pengamanan di bidang kelautan tidak hanya dilakukan Bakamla. Hal
tersebut juga dilakukan oleh berbagai instansi yang mempunyai kepentingan dan
kewenangan masing-masing (Kementerian Pertahanan Republik Indonesia 2012).
Instansi-instansi yang berwenang, selain Bakamla ialah sebagai berikut.

12

1. Badan Keamanan Laut
2. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL);
3. Polisi Republik Indonesia atau Direktorat Kepolisian Perairan;
4. Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan;
5. Ditjen Perhubungan Laut dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP);
6. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Ditjen Pengawasan
Sumber Daya Laut dan Perikanan (PSDKP);
7. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
8. Kementerian Hukum dan HAM;
9. Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
10. Kementerian Pertanian;
11. Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
12. Kementerian Kesehatan;
13. Kementerian Kehutanan;
14. Kementerian Pariwisata, dan;
15. Badan Narkotika Nasional.
C. Kebijakan Publik yang Efektif
Efektivitas adalah tingkat ketercapaian sasaran organisasi (Robbins dan Coulter
2007) dan dapat menyatakan hubungan output serta tujuan (Mahmudi 2005). Maka,
efektivitas akan dinilai semakin tinggi apabila kegiatan yang dilakukan semakin
mendekatkan organisasi terhadap tujuan yang ditetapkan pada tahap perencanaan.
Untuk dapat mengukur efektivitas, perlu adanya beberapa aspek, yaitu efisiensi,
kepuasan, keunggulan, dan pengembangan (Gibson, Ivancevich and Donelly 2000).
Implementasi kebijakan publik perlu dilakukan pengukuran kinerja agar
para stakeholders bisa tahu sudah sejauh mana pencapaian tujuan saat ini. Model
implementasi kebijakan publik yang dikemukan oleh Van Meter dan Van Horn
merupakan salah satu model yang menjelaskan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi efektifitas suatu kebijakan publik (Van Meter and Van Horn 1975).
Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut.
1. Standar dan tujuan kebijakan
2. Sumberdaya
13

3. Karakteristik organisasi pelaksana
4. Kondisi ekonomi, social dan politik
5. Sikap para pelaksana
6. Komunikasai antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Untuk melakukan tugas demi mencapai tujuannya, organisasi publik
merumuskan suatu kebijakan yang berkaitan dengan lingkup kerjanya. Menurut
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 4 Tahun 2007 tentang
Pedoman Umum Formulasi, Implemenasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan
Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, kebijakan publik
adalah keputusan yang dibuat pemerintah atau lembaga pemerintah untuk
melkaukan kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan
dengan kepentingan dan manfaat orang banyak. Tentunya kebijakan publik ini
dibuat oleh organisasi publik seefektif mungkin sehingga tujuan dapat tercapai,
yaitu mensejahterakan masyarakat.
D. Peraturan di Sektor Pelayaran
Indonesia telah dikenal secara luas sebagai sebuah negara kepulauan. Keberadaan
sektor pelayaran menjadi penting sebagai penghubung antarwilayah di Indonesia.
Sektor ini diatur dalam beberapa dasar hukum, antara lain UU Nomor 17 Tahun
2008 tentang pelayaran secara luas dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
yang menjelaskan tentang berbagai hal terkait kapal serta tanggung jawab serta hakhak dari nahkoda kapal.
Berdasarkan Pasal 1 UU Pelayaran, pelayaran adalah satu kesatuan sistem
yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhan, keselamatan dan keamanan,
serta perlindungan lingkungan maritim. Pelayaran ini melingkupi pelayaran publik,
masyarakat, bahkan pelayaran militer dan penegakan hukum. Pada pasal 4
disebutkan bahwa UU ini berlaku untuk semua kegiatan pelayaran yang berada di
perairan Indonesia, tidak terkecuali dengan kapal asing yang sedang berlayar di
perairan Indonesia. Bahkan kapal berbendera Indonesia yang sedang berlayar di
luar wilayah perairan Indonesia juga diharuskan menaati UU ini.

14

Pada bab V UU Pelayaran terdapat aturan mengenai angkutan di perairan.
Terdapat tiga jenis dari angkutan di perairan, yaitu angkutan laut, angkutan sungai
dan danau, serta angkutan penyebrangan. Ada berbagai aspek pelayaran yang diatur
dalam UU Pelayaran, yaitu perizinan angkutan, usaha jasa terkait dengan pelayaran,
tarif angkutan dan usaha jasa terkait, tatanan kepelabuhan, peran pemerintah
daerah, keselamatan dan keamanan, manajemen perkapalan dan sumber daya
manusia, alur perjalanan, dan penegakan hukum dalam pelayaran.
Dalam perkembangannya pelayaran di Indonesia, khususnya angkutan laut
khusus barang, mempunyai potensi yang cukup tinggi dan terus berkembang. Hal
ini tergambar melalui data besaran bongkar muat barang antarpulau dan luar negeri
di pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada tahun 2005-2014. Meskipun jumlah
bongkar muat luar negeri cenderung lebih besar daripada antarpula, jumlah ini terus
meningkat dari tahun 2005 hingga 2014.
Tabel 2. Bongkar Muat Barang Antarpulau dan Luar Negeri di Pelabuhan
Indonesia Tahun 2005-2014 (dalam ribu ton)
Muat

Bongkar

Tahun
Antar Pulau

Luar Negeri

Antar Pulau

Luar Negeri

2005

150331

160743

162533

50386

2006

123135

145891

151417

45172

2007

161152

218736

165632

55347

2008

170895

145120

243312

44925

2009

242110

223555

249052

61260

2010

182486

233222

221675

65641

2011

238940

376652

284292

78836

2012

312599

488264

327715

69645

2013

303881

510699

336063

89512

2014

328743

417155

381602

100570

Sumber : BPS, 2016

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Selain UU Pelayaran, terdapat berbagai peraturan yang terkait dengan
pelayaran lainnya, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2009
tentang Kepelabuhan, PP Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, PP Nomor
20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, PP Nomor 22 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas PP Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, PP Nomor
21, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 2011 tentang Alur
Pelayaran. Peraturan atau ketentuan yang diperhatikan tidak hanya terkait dengan

15

peraturan nasional yang berlaku di Indonesia saja, tetapi juga mencakup peraturan
atau ketentuan yang telah disepakati di kancah internasional. Contohya ialah United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

16

BAB III
METODE PENULISAN

A. Desain Penelitian
Penelitian dilakukan melalui studi literatur dan wawancara atas topik penelitian,
yaitu integrasi peraturan di sektor maritim. Unit analisis penelitian ialah instansi
atau departemen yang bertugas melaksanakan birokrasi tersebut. Tujuan penelitian
ini adalah deskriptif, yaitu mendeskripsikan data mengenai implementasi regulasi
yang diindikasikan adanya tumpang tindih sehingga mempengaruhi efisiensi
perdagangan dan perjalanan laut.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat pelaksanaan penelitian lebih fleksibel karena dilakukan dengan studi
literatur dan wawancara pihak terkait, khususnya para ahli atau pengamat. Waktu
penelitian dilaksanakan secara longitudinal, mulai dari awal dicetuskannya
peraturan hingga implementasinya kini. Dengan demikian, akan lebih tampak target
implementasi regulasi dan realita yang telah ada.
C. Jenis dan Sumber Data
Peneliti menggunakan jenis data kualitatif. Data kualitatif berasal dari hasil
wawancara dan studi literatur yang dilakukan peneliti. Penelitian ini akan banyak
menggunakan sumber data sekunder yang berasal dari literatur terkait topik.
Namun, peneliti juga akan menggunakan data primer yang berupa hasil wawancara
dengan narasumber.
D. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data
primer ini berupa informasi dan opini terkait regulator dan implementasi regulasi
sektor maritim yang dihimpun dari para narasumber, baik para ahli maupun
pengamat. Untuk pengumpulan data sekunder, peneliti melakukan pengkajian

17

literatur-literatur terkait secara mendalam, seperti artikel jurnal, buku, dan artikel
unggahan yang berkaitan dengan penelitian.
E. Objek Penelitian
Objek dari penelitian studi kasus ini adalah regulator dan implementasi regulasi di
sektor maritim. Banyaknya regulator yang ada malah terkadang menjadi tantangan
tersendiri bagi pelaku usaha perdagangan dan perjalanan via laut. Hal ini
disebabkan oleh adanya inefisiensi peraturan yang berakibat pada kerugian yang
ditanggung pihak-pihak tertentu.
F. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis konten yang menurut Kolbe dan Burnett
(1991) digunakan untuk mengevaluasi konten simbolis secara sistematis dari semua
bentuk rekaman komunikasi (Sekaran dan Bougie 2013). Selanjutnya peneliti akan
memproses lebih lanjut dengan mengumpulkan dan membandingkan seluruh data
yang diperoleh. Perbandingan data ini dilakukan supaya tampak apakah ada
ketidaksinkronan informasi yang telah disampaikan oleh narasumber dan yang
didapat dari literatur. Kemudian, data dianalisis dan ditarik simpulan untuk bisa
memberikan rekomendasi yang sesuai dengan topik penelitian.

18

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Sea Coast Guard di Indonesia
Laut Indonesia yang luas akan memberikan pekerjaan yang cukup banyak bagi
pemerintah sebagai perwakilan negara. Hal ini diperlukan supaya laut dapat
dimanfaatkan secara optimal. Untuk mendukung hal tersebut, pastinya akan
diperlukan

lembaga

yang

bertugas

untuk

mengawasi,

menjaga

dan

mengembangkan laut atau perairan Indonesia.
Sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya, termasuk juga lautnya,
membuat Indonesia berpikir keras untuk mencari cara terbaik dalam menjaganya.
Cara yang telah dilakukan saat ini adalah dengan banyaknya kementerian/lembaga
di Indonesia yang memiliki tugas saling bersinggungan atau bahkan sama (Ponto
2016). Berdasarkan beberapa sumber, setidaknya ada belasan kementerian/lembaga
yang memiliki kewenangan di laut Indonesia. Meskipun tidak semua memiliki
kapal untuk melaksanakan patroli, tetapi semua memiliki dasar hukum
pendiriannya sehingga bersifat legal dalam melaksanakan tugas (Wasito 2015).
Maka, tak heran apabila birokrasi di sektor maritim ini menjadi rumit.
Kerumitan proses perizinan ini memang sudah diatasi oleh hadirnya sistem
INSW

yang

mengintegrasikan birokrasi

kementerian/lembaga

(Noviani 2011).

yang

Namun,

diadakan oleh beberapa
proses

pemeriksaan

dan

pengawasan di lapangan masih jauh dari kata terintegrasi. Terdapat laporan dari
pengusaha kapal yang menyebutkan bahwa terkadang ada lebih dari satu instansi
yang melakukan pemeriksaan yang sama sehingga memakan waktu cukup lama
(Yasinta 2015).
Keadaan tersebut cukup dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai
sulitnya melakukan bisnis di Indonesia, khususnya di sektor maritim. Selain itu,
secara tidak langsung pemerintah juga telah melakukan pemborosan anggaran
karena adanya tumpang tindih peraturan yang terjadi untuk pelimpahan tugas
pemeriksaan dan penjagaan kapal di laut. Inilah salah satu contoh pembuatan
19

kebijakan publik yang kurang efektif karena tujuannya belum tercapai secara
optimal.
B. Tantangan Implementasi Regulasi di Perdagangan dan Perjalanan
Laut
Indonesia merupakan negara yang memiliki predikat sulit untuk berbisnis karena
birokrasinya, khususnya terkait kewenangan pemeriksaan dan pengawasan kapal
yang dipegang oleh beberapa kementerian/lembaga. Mereka memiliki kewenangan
yang berdasar hukum dan aturan masing-masing sehingga terkesan bekerja sendirisendiri dan menjadi tumpang tindih. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa
koordinasi antarkementerian/lembaga menjadi hal yang cenderung langka ditemui
di sektor publik.
Tumpang tindih aturan juga berkaitan dengan penegakan hukum di laut.
Bagi Indonesia tentunya ini bukan menjadi hal baru mengingat bahwa sejak tahun
1982 negara ini sudah diakui sebagai negara kepulauan oleh United Nation
Convention Law of the Sea (UNCLOS). Namun, hal tersebut baru diperhatikan
secara intensif oleh pemerintah saat ini yang ingin meningkatkan citra maritim
Indonesia melalui Nawacita yang merupakan agenda prioritas pembangunan.
Dunia internasional melalui UNCLOS menyarankan kepada negara-negara
yang memiliki pantai dan laut untuk membentuk satuan penjaga laut dan pantai ( sea
coast guard) di bawah kementerian yang berkewenangan dalam sektor transportasi

(Ponto 2016). Realitanya terdapat dua instansi di Indonesia yang memiliki
wewenang dan dasar hukum yang sah sebagai sea and coast guard, yaitu Kesatuan
Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan Bakamla. KPLP dibentuk berlandaskan UU
No.17 tahun 2008 tentang pelayaran, sedangkan Bakamla didirikan atas dasar UU
No.32 tahun 2014 tentang kelautan juncto Peraturan Presiden No 178 tahun 2014.
Jika diamati secara saksama, kedua instansi ini secara garis besar memiliki tugas
yang sama. Namun, Bakamla memiliki tugas cenderung lebih luas, sedangkan
KPLP lebih spesifik dan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan pula.
Soleman B Ponto, pakar kemaritiman, memberikan saran bahwa sebaiknya
Bakamla dihapuskan saja. Pemerintah lebih baik berfokus pada KPLP dengan

20

memperbaiki prasarana dan hal-hal lain yang bisa lebih menunjang lembaga
tersebut dalam menjalankan tugasnya (Ponto 2016). Hal ini disebabkan karena
secara tidak langsung sebenarnya dunia sudah lama mengakui KPLP sebagai sea
and coast guard di Indonesia daripada Bakamla baik dari segi sejarah maupun

kesesuaian dengan konvensi internasional (Ponto 2014).
Bakamla sendiri sebenarnya bukanlah sebuah instansi baru. Walaupun
seolah-olah baru terbentuk karena baru diresmikan pada akhir 2014, Bakamla
merupakan sebuah instansi “perbaikan” dari Badan Koordinasi Keamanan Laut
(Bakorkamla). Pembentukan Bakamla ini bertujuan untuk menggantikan fungsi
Bakorkamla sebagai organisasi multy agency single task menjadi single agency
multi task (Wasito 2015). Hal tersebut menunjukan bahwa Bakamla merupakan

cikal bakal instansi tunggal yang akan menjalankan pemeriksaan dan pengawasan
laut dan pantai. Namun, pembentukan instansi ini dilakukan secara paksa sehingga
tergolong prematur dan berpotensi menimbulkan konflik dengan organisasi lain,
seperti KPLP.
Tumpang tindih aturan tidak hanya pada dua instansi saja, yaitu KPLP dan
Bakamla. Terdapat instansi lain yang memiliki kewenangan serupa, seperti
Direktorat Kepolisian Perairan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, Ditjen
PSDKP, serta TNI AL (Wasito 2015). Inilah salah satu bukti bahwa Indonesia
belum memiliki aturan khusus yang mengatur tentang penegakan hukum di laut.
Direktorat Kepolisian Perairan memiliki kepentingan terkait dengan
penyidikan karena menurut UU hanya kepolisian dan lembaga yang ditunjuk oleh
negara melalui UU yang bisa melakukan penyidikan. Kalimat “lembaga yang
ditunjuk negara melalui UU” ini membuat Ditjen Bea Cukai, Ditjen PSDKP, KPLP,
dan instansi lain bisa melakukan penyidikan dalam kondisi tertentu. Selain itu, TNI
AL yang memiliki kewajiban sebagai garda terdepan untuk menjaga keamanan dan
pertahanan Indonesia di laut terkadang juga “ikut terjun”. Keterlibatan banyak
pihak inilah yang membuat birokrasi di Indonesia menjadi semakin rumit.
Tumpang tindih aturan membuat tugas beberapa lembaga menjadi “abuabu” dan membuat bingung para pelaku bisnis di sektor maritim. Peristiwa ini juga
bisa menjadi peluang adanya tindak kecurangan, khususnya korupsi, karena adanya

21

celah dari hasil aturan yang tumpang tindih. Apabila hal tersebut terus dibiarkan,
Indonesia bisa menjadi kurang menarik dan ditinggalkan para pelaku usaha karena
kondisi untuk berbisnis yang tidak nyaman. Pemerintah harus segera melakukan
evaluasi terkait kebijakan di sektor maritim yang sudah berjalan beberapa tahun ini.
Faktor komunikasi dan koordinasi antarkementerian/lembaga terkait perlu menjadi
perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan selanjutnya.
C. Dampak di Sektor Bisnis dan Ekonomi
Kurangnya koordinasi hingga memunculkan adanya tumpang tindih integrasi
peraturan di laut tersebut memiliki dampak negatif tersendiri bagi pihak-pihak
terkait. Salah satunya ialah para pengusaha kapal angkut barang maupun kapal
penumpang. Waktu perjalanan kapal kian lama karena harus berhenti berulang kali
untuk melakukan pemeriksaan berlapis. Menurut Ketua Umum Indonesia National
Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto, pengusaha juga mengalami
kerugian akibat biaya tambahan operasional hingga Rp8 triliun per tahun untuk
bahan bakar dan keterlambatan pengiriman barang maupun komplain penumpang
(Nuky 2014).
Kerugian yang perlu ditanggung tersebut menjadikan Indonesia sebagai
negara yang kurang menarik untuk dilewati kapal asing. Selain lamanya waktu dan
biaya tambahan tadi, pengusaha akan berpikir ulang untuk melewati wilayah
dengan hukum yang tidak sesuai dengan aturan internasional karena adanya
ketidakpastian dan bisa mengakibatkan kerugian apabila sampai dituntut akibat
adanya pelanggaran. Belum lagi adanya wacana pembuatan Terusan Tanah Genting
Kra di Thailand sehingga kapal asing tak perlu memutar dan melewati Indonesia
menjadi tantangan yang cukup serius.
Birokrasi di pemerintahan, menurut The Global Competitiveness Report
2015–2016, merupakan salah satu faktor yang yang paling problematis dalam
melakukan bisnis di Indonesia. Hal ini tak terkecuali pada birokrasi perizinan
proses perdagangan dan perjalanan laut. Segenap elemen pemerintahan tentu perlu
menindaklanjuti perkara ini secara cepat apabila ingin mewujudkan Indonesia
sebagai poros maritim dunia.

22

Bagan 1. Faktor-Faktor yang Paling Problematis dalam Melakukan Bisnis di
Indonesia Tahun 2015-2016
Sumber: Global Competitiveness Report, 2016
Hal ini tentu saja berdampak pada tingkat ease of doing business di
Indonesia yang ternyata pada tahun 2016 ini berada di peringkat ke 109 dari 189
negara. Meskipun peringkat ini naik daripada tahun 2015, Indonesia masih kalah
apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia,
Singapura, Thailand, Vietnam, Philippines, dan Brunei. Tentu saja ini membuat
Indonesia kurang kompetitif secara global.
Tabel 3. Ease of Doing Business di Negara-Negara ASEAN tahun 2016

Country

Rank

Malaysia

18

Singapura

1

Thailand

49

Vietnam

90

Philippines

103

Myanmar

167

Cambodia

127

Lao PDR

134

Brunei

84

23

Indonesia

109

Sumber: Doing Business, 2016 (diolah)
D. Sistem INSW sebagai Jalan Keluar yang Belum Sempurna
Meskipun demikian, pemerintah Indonesia telah mengusahakan pengintegrasian
proses perdagangan dan perjalanan laut di antara 15 kementerian/lembaga
pengelolaan perizinan melalui Sistem INSW. Sistem yang mulai digunakan sejak
tahun 2007 ini merupakan salah satu bentuk tren pelayanan publik global dengan
pola pelayanan dan pengawasan lebih profesional secara elektronis melalui
teknologi (Indonesia National Single Window 2015). Menurut Darmin Nasution,
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, pada rapat koordinasi tentang INSW
menyatakan bahwa penerapan INSW ini untuk mendukung kriteria penilaian ease
of doing business di Indonesia (Humas Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian 2016).
Namun, implementasi dari borderless public services ini nyatanya masih
dihadapkan pada beberapa tantangan. Fungsi koordinasi, simplifikasi, stadardisasi,
dan harmonisasi regulasi antarkementerian/lembaga, menurut Muwasiq M. Noor,
Deputi Bidang Pengembangan dan Operasional Sistem INSW, masih cenderung
kurang optimal karena Pengelola Portal INSW (PP-INSW) masih berbentuk satuan
kerja dan berada di bawah administrasi Kementerian Keuangan (Mufid 2016). Hal
ini tentu saja cukup berkaitan dengan adanya politic of interest di lingkup
pemerintahan. Selain itu, sistem ternyata masih sering down apabila digunakan
secara bersamaan dalam waktu yang sama, khususnya pada saat musim liburan
(Hapsari, Suharyono dan Abdillah 2015). Tentunya kedua hal tersebut akan
menghambat pencapaian visi INSW, yaitu meningkatkan daya saing nasional di
antara negara-negara ASEAN (lihat Bagan 5).
E. Upaya Menuju Pemerataan Pembangunan di Indonesia
Adanya integrasi proses perizinan yang difasilitasi melalui teknologi dan sistem
informasi yang baik tentunya akan dapat memberikan dampak positif bagi seluruh
pihak, yaitu efisiensi proses perdagangan dan perjalanan via laut. Efisiensi tersebut
tentunya menunjang konektivitas antarpulau yang menjadi kunci penggerak

24

ekonomi negara (Prihartono 2015). Hal ini menyiratkan akan adanya keterbukaan
peluang investasi dari wilayah barat hingga timur yang secara otomatis akan
membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar (Kuncoro 2009).
Investasi atau penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri,
merupakan salah satu faktor daya saing suatu daerah. Tampak pada bagan di bawah
bahwa penanaman modal di Indonesia masih belum merata dan cenderung terpusat
di Pulau Jawa. Department of Trade and Industry United Kingdom menyatakan
bahwa daya saing daerah adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan
pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap
persaingan domestik atau internasional. Daerah yang berdaya saing ini, menurut
Abdullah (2002), akan mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi
dan berkelanjutan (Kuncoro 2009). Tentunya inilah yang dibutuhkan oleh
Indonesia untuk meratakan pembangunannya di kawasan barat maupun timur.

Akumulasi Realisasi Penanaman Modal Asing
(dalam juta USD) Tahun 2010-2014
Jawa Barat
Jawa Timur
Riau
Kalimantan Tengah
NTB
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Lampung
Sumatera Barat
Bengkulu
NTT
0,000

5.000,000

10.000,000

15.000,000

20.000,000

25.000,000

Bagan 2. Akumulasi Realisasi Penanaman Modal Asing (dalam juta USD) Tahun
2010-2014
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal dan CEIC Data, 2014

25

Akumulasi Realisasi Penanaman Modal dalam
Negeri (dalam miliar Rupiah) tahun 2010-2014
Jawa Timur
DKI Jakarta
Riau
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Bali
NTB
Papua
DI Yogyakarta
NTT
0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

Bagan 3. Akumulasi Realisasi Penanaman Modal dalam Negeri (dalam miliar
Rupiah) tahun 2010-2014
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal dan CEIC Data, 2014

Peran penting dari adanya koordinasi antarlembaga dan integrasi peraturan
di laut tak hanya sekadar sebagai upaya mewujudkan Paket Kebijakan Ekonomi ke11 dari Presiden Joko Widodo ataupun menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia. Namun, hal tersebut bermakna lebih jauh lagi, yaitu sebagai upaya
untuk meningkatkan pembangunan wilayah secara merata, khususnya di kawasan
timur Indonesia. Pada akhirnya kesejahteraan masyarakat di Indonesia cenderung
akan lebih terjamin.

26

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Indonesia memiliki sektor maritim yang cukup potensial apabila dikembangkan
secara optimal. Namun, terdapat tantangan yang dapat menghambat cita-cita negara
ini sebagai poros maritim dunia, salah satunya ialah minimnya koordinasi lembagalembaga sebagai sea and coast guard yang memiliki tugas untuk memeriksa dan
mengawasi pelayaran. Banyaknya keterlibatan dari kementerian/lembaga dan
aturan yang tumpang tindih membuat proses perizinan perdagangan dan perjalanan
via laut menjadi lama sehingga merugikan pengusaha kapal, baik secara waktu
maupun biaya.
Meskipun telah hadir INSW sebagai integrasi sistem perizinan, pengelolaan
dan penggunaannya cenderung masih perlu dikembangkan lagi. Tantangan ini perlu
ditangani secara serius mengingat pada saat ini kita sudah memasuki era liberalisasi
pasar yang perlu kesiapan dari segala sisi karena persaingannya yang ketat. Pada
akhirnya konektivitas, khususnya di jalur laut, menjadi hal yang penting sebagai
penggerak ekonomi dan menjadi daya saing Indonesia .
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, saran yang dapat diberikan oleh
penulis adalah sebagai berikut.
1.

Diharapkan terdapat peleburan beberapa instansi yang berkaitan dengan
proses perizinan di sektor maritim sehingga membuat suatu single agency
multi task yang kuat melalui pembentukan aturan komprehensif. Dengan

demikian tumpang tindih tugas antarlembaga akan berkurang atau bahkan
hilang
2.

Diharapkan INSW sebagai sistem birokrasi di sektor maritim semakin
dioptimalkan melalui penyempurnaan sistem, edukasi pengguna, dan
pemberian kewenangan penuh bagi PP INSW dalam pengelolaannya.

27

DAFTAR PUSTAKA

Arsana, I Made Andi. Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.

Darmono, B. Keamanan Nasional Sebuah Konsep dan Sistem Keamanan bagi
Bangsa Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan

Nasional, 2010.
Gibson, James L, John M Ivancevich, dan James H Donelly. Organizations:
Behaviour, Structure, and Process. Boston: McGraw-Hill Companies Inc,

2000.
Hapsari, Karina Tri , Suharyono, dan Yusri Abdillah. “Implementasi Sistem
Indonesia National Single Window (INSW) sebagai Upaya Pendorong
Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor.” Jurnal Administrasi Bisnis
(JAB) Vol. 1 No. 1, 2015: 1-10.

Humas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pemerintah
Kembangkan Indonesia National Single Window (INSW) Generasi ke-2
(Gen-2). 23 May 2016. https://www.ekon.go.id/berita/view/pemerintah-

kembangkan.2366.html (diakses September 19, 2016).
Indonesia National Single Window. “Sistem Indonesia National Single Window:
Konsepsi Sistem Pelayanan Bagi Masyarakat Usaha.” Indonesia National
Single Window Website. 15 December 2015. http://www.insw.go.id

(diakses September 19, 2016).
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia . “Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.” 2011.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Penegakan Kedaulatan dan Hukum
di Laut oleh TNI AL sebagai Bagian dari Upaya Pembentukan Sebuah
Sistem yang Terpadu di Laut. Jakarta: Direktorat Strategi Pertahanan

Departemen Pertahanan RI, 2012.

28

Kuncoro, Mudrajad. Ekonomika Indonesia, Dinamika Lingkungan Bisnis di
Tengah Krisis Global. Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2009.

Mahmudi. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: Akademi Manajemen
Perusahaan YKPN, 2005.
Mufid. PP INSW Harapkan Kewenangannya Segera DIperkuat. 17 June 2016.
publicapos.com (diakses September 19, 2016).
Noviani, Ana. “Menkeu: Situs INSW Hilangkan Persoalan Birokrasi.”
http://finansial.bisnis.com/. 29 Desember 2011.

http://finansial.bisnis.com/read/20111229/9/58109/menkeu-situs-inswhilangkan-persoalan-birokrasi (diakses September 20, 2016).
Nuky, Ester. “Jokowi Diminta Benahi Peraturan Penegakan Hukum Laut yang
Tumpang Tindih.” 21 October 2014.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/218910-jokowi-diminta-benahiperaturan-penegakan-hukum-laut-yang-tumpang-tindih.html (diakses
September 22, 2016).
Ponto, Soleman B, wawancara oleh Johannes Sutanto de Britto. Mantan Kabais
TNI: Bakamla Bertentangan dengan Visi Jokowi (14 November 2014).

Ponto, Soleman B, wawancara oleh Kanal Hukum. Tugas dan Fungsi Badan
Keamanan Laut (Bakamla) www.kanalhukum.tv. Jakarta. 3 Mei 2016.

Prihartono, Bambang. Pengembangan Tol Laut dalam RPJMN 2015-2019 dan
Implementasi 2015. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,

2015.
Rayanti, Dina. Pelindo II: Dwell Time di Pelabuhan Priok Membaik, Sudah 3,4
Hari. 27 Juni 2016. http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-

3242973/pelindo-ii-dwell-time-di-pelabuhan-priok-membaik-sudah-34hari (diakses September 24, 2016).
Robbins, Stephen P, dan Mary K Coulter. Management. Indiana: Pearson Prentice
Hall, 2007.

29

Sekaran, Uma, dan Roger Bougie. Research Methods for Business, A SkillBuilding Approach, Sixth Edition. Chichester: John Wiley & Sons Ltd.,

2013.
Suradinata, Ermaya. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka
Keutuhan NKRI. Jakarta: Suara Bebas, 2005.

Sutanto, Feby Dwi. Selesai 100%, Ini Penampakan Pelabuhan Atas Laut 'New
Tanjung Priok'. 8 Maret 2016. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-

bisnis/d-3159716/selesai-100-ini-penampakan-pelabuhan-atas-laut-newtanjung-priok (diakses September 20, 2016).
Van Meter, Donald, dan Carl Van Horn. “The Policy Implementation Proses - A
Conceptual Framework.” Administration & Society, 1975: 447.
Wasito, Gentur. “KEWENANGAN BAKAMLA DALAM PENEGAKAN
HUKUM TINDAK PIDANA TERTENTU DILAUT BERDASARKAN
UU NO.32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN.”
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/. 2015.

http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1286
(diakses September 20, 2016).
Yasinta, Veronica. “INSA Desak Pemerintah Bentuk Badan Tunggal.”
http://industri.bisnis.com/. 19 Juni 2015.

http://industri.bisnis.com/read/20150619/98/444963/insa-desakpemerintah-bentuk-badan-tunggal (diakses September 20, 2016).

30

LAMPIRAN

Konektivitas &
distribusi
lancar

Menggerakka
n aktivitas
ekonomi

Investasi
meningkat

Lapangan
kerja
meningkat

Bagan 4. Alur Dampak Ekonomi Efisiensi Proses Perdagangan dan Perjalanan Laut

31

Daya saing
daerah
meningkat

Pembangunan
merata

Masyarakat
sejahtera

Bagan 5. Country's Score Card among ASEAN Countries 2016

32

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Ketua Tim
Nama

: Fathurahman Sidiq

Tempat lahir : Tangerang
Tanggal lahir : 16 Mei 1994
Jurusan

: Akuntansi

Universitas

: Universitas Gadjah Mada

NIM

: 13/349666/EK/19547

Alamat

: Jalan Angsana X no.94 RT 06/ RW 05, Periuk Jaya, Tangerang

Email

: sidiq.fathurahman@gmail.com

Telepon

: 081283125663

Anggota I
Nama

: Dominggus Tama Sitindaon

Tempat lahir : Jakarta
Tanggal lahir : 20 Agustus 1995
Jurusan

: Akuntansi

Universitas

: Universitas Gadjah Mada

NIM

: 13/349599/EK/19532

Alamat

: Vila Nusa Indah Blok T5 No. 20, Bojong Kulur, Gunung Putri,
Kabupaten Bogor

Email

: dominggustama@gmail.com

Telepon

: 081399367895

33

Anggota II
Nama

: Caecilia Westi Sekar Wangi

Tempat lahir : Semarang
Tanggal Lahir : 8 Juli 1995
Jurusan

: Akuntansi

Universitas

: Universitas Gadjah Mada

NIM

: 13/347600/EK/19401

Alamat

: Cokrokonteng, Sidoarum, Godean, Sleman, DI Yogyakarta

Email

: caeciliawesti@gmail.com

Telepon

: 081225057140

34

35