Rahasia Dibalik Angka Dibalik Angka Dibalik Angka

Rahasia Dibalik Angka

Tafsir Bil Hikmah Fenomena Angka dan Semesta
“Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.”
(Q.S. Ar-Ra’du 13 : 8)
Ayat-ayat Allah ada yang tertulis dalam kitab suci Al Quran dan ada pula yang tidak tertulis di
dalamnya, yaitu yang terbentang di seluruh jagat raya. Ayat 8 dari surat ke-13 di atas menjelaskan
bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan kadar ukuran yang telah ditetapkan. Dengan
kata lain, tidak ada ayat Allah, baik yang tertulis maupun yang terbentang itu ada atau terjadi
begitu saja, tanpa disengaja. Semuanya sudah direncanakan, diperhitungkan, dan diatur oleh-Nya,
bukan merupakan sesuatu yang kebetulan.
Apabila disengaja, tentu ada maksud dan tujuannya. Maksud dan tujuan Allah membuat itu
semua ada yang bisa langsung dipahami oleh manusia namun ada juga yang memerlukan
penafsiran. Saat manusia melakukan penafsiran, bisa jadi makna sebenarnya dari ayat-ayat Allah
itu tersingkap, tetapi mungkin juga penafsiran itu tidak atau belum mencapai makna sebenarnya.
Namun yang pasti, manusia memang diperintahkan untuk terus menelaah dan mengkaji ayat-ayat
Allah.
Demikian juga dengan ayat-ayat Allah yang berupa angka dan bilangan, baik yang terdapat di
dalam Al Quran ataupun yang ada di alam semesta ini. Planet yang beredar mengelilingi matahari
berjumlah 9, satu tahun terdiri atas 12 bulan, satu minggu ada 7 hari. Umat Islam diperintahkan
shalat wajib sehari semalam 5 kali, apabila berjamaah pahalanya 27 derajat. Seusai shalat, kita

disuruh berdikir masing-masing 33 kali.
Tentu ada makna di balik angka-angka tersebut.
Pertanyaannya, bisakah manusia menafsirkannya?
Bagaimana hukumnya?
Angka-Angka Bermakna
Fenomena 165
Di dalam Flying Book yang ditulis oleh KH. Fahmi Basya, bilangan 165 ditafsirkan memiliki arti
yang khusus. Angka 1 berarti Tuhan, tertuang dalam konsep Ihsan. 6 berarti Rukun Iman dan 5
merupakan Rukun Islam. Angka 165 itu ternyata juga muncul ketika kita melaksanakan zikir di
setiap ba’da shalat fardhu. Nabi memerintahkan kita untuk berzikir dengan mengucap
Subhanallaah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allaahu Akbar juga 33 kali. Dalam hadis
sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah juga dari Qutaibah, Rasul bersabda, “Sukakah kamu
kuajarkan suatu amal yang dapat memperoleh pahala orang-orang dahulu serta mendahului
orang-orang sesudah kamu dan tidak akan ada orang yang lebih mulia dari kamu melainkan orang
yang mengamalkan seperti amalmu, sabda Rosul: Hendaklah kamu tasbih, takbir dan tahmid
masing-masing 33 kali setiap selesai shalat.”
Apabila setiap selesai shalat masing-masing ucapan zikir itu dilafalkan sebanyak 33 kali, maka
dalam sehari semalam atau lima kali shalat fardhu maka kita mengucapkan zikir-zikir itu masingmasing sebanyak 33 x 5 = 165. Jadi, ditafsirkan bahwa zikir-zikir ba’da shalat merupakan
pengokoh Islam, Iman, dan Ihsan kita. Dengan konsisten mengucapkan zikir-zikir itu secara ikhlas
dan khusyu, berarti kita menjaga dan memperkuat ke-Islam-an, ke-Iman-an, dan sikap Ihsan kita.

Selain itu, angka 165 juga muncul dalam fenomena lima bilangan ganjil pertama. Di dalam hadis
disebutkan bahwa Allah menyukai yang ganjil. Apabila kita menjumlahkan lima bilangan ganjil
pertama yang dipangkat dua maka akan kita dapatkan hasilnya sebagai berikut:
12 + 32 + 52 + 72 + 92
= 1 + 9 + 25 + 49 + 81
= 165

Juga apabila kita perhatikan surat ke-1 dalam Al Quran, yaitu Al Fatihah, terjemah ayat ke-5
berbunyi, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
memohon pertolongan”. Tafsirannya, menyembah dan memohon pertolongan tertuang dalam
rukun Islam. Sedangkan ayat ke-6 nya berarti “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus”,
tafsirannya, untuk menempuh jalan yang lurus harus berbekal Rukun Iman.
Peringatan Ahad
Ahad berarti satu, juga merupakan nama salah satu hari. Berkaitan dengan hal ini, apabila kita
coba perhatikan beberapa kejadian pada tahun 2004 yang lalu, akan kita temukan sebuah
rangkaian ‘pertanda’ tentang pesan tertentu yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Pada
tahun itu, Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijah yang bertepatan dengan tanggal 1 Februari
jatuh pada hari Ahad. Demikian juga dengan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal yang bertepatan dengan
tanggal 14 November, jatuh pada hari Ahad. Maulid Nabi Muhammad saw. tanggal 12 Robiul Awal
yang bertepatan dengan tanggal 2 Mei pun ternyata jatuh pada hari Ahad. Juga peristiwa Isra’

Miraj tanggal 27 Rajab yang bertepatan dengan tanggal 12 September dan Tahun Baru Hijriyah 1
Muharram yang bertepatan dengan tanggal 22 Februari, keduanya juga terjadi pada hari Ahad.
Dan yang paling akhir, ada sebuah peristiwa yang menggemparkan seisi dunia yang merenggut
ratusan ribu korban jiwa, yaitu bencana gempa bumi dan Tsunami di Aceh pada tanggal 26
Desember, ternyata juga terjadi pada hari Ahad.
Apakah peristiwa-peristiwa besar yang sama-sama terjadi pada hari Ahad tersebut terjadi secara
kebetulan? Pasti tidak. Sepertinya bumi yang terus berotasi dan berevolusi ini melalui kejadiankejadian tersebut sedang mengumandangkan kalimat ‘Ahad’, ‘Ahad’, ‘Ahad’, ‘Ahad’, … ‘Ahad’.
Lantas apakah atau siapakah ‘Ahad’ itu. Jawabnnya adalah Allah. “Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang
Maha Esa (Ahad). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’.” (Q.S.
Al Ikhlash 112: 1-4)
Peristiwa-peristiwa Ahad itu sepertinya menjadi peringatan bagi manusia untuk kembali
mengingat Allah Yang Maha Ahad. Zaman sekarang ini memang semakin banyak orang yang
berbuat maksiat dan melalaikan perintah Allah. Sehingga, barangkali Allah pun memperingatkan
kita melalui peristiwa-peristiwa tersebut. “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orangorang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus 10: 5)
27 Derajat
Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa pahala shalat berjamaah adalah 27 derajat lebih tinggi

dibandingkan shalat sendiri. Tentang hal ini, Agus Mustofa dalam buku Pusaran Energi Ka’bah
menyatakan bahwa ketika kita shalat –di mana di dalamnya kita banyak membaca ayat Al Quran,
berzikir, dan menyebut nama Allah– sesungguhnya kita sedang memancarkan energi positif dari
dalam diri kita. Energi itu berupa getaran-getaran sebagaimana digambarkan dalam firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal”(Q.S. Al Anfal 8: 2)
Menurut Agus, saat belum melakukan shalat, energi itu tidak terpancar. Tetapi ketika kita sudah
memulainya, energi itu akan terpancar baik secara vertikal maupun horisontal. Agus
mengibaratkan hal itu dengan lampu yang dinyalakan dengan tenaga baterai. Lampu yang
dinyalakan hanya dengan satu baterai tentu kalah terang dengan yang dinyalakan dengan lebih
banyak baterai. Demikian juga dengan orang yang melaksanakan shalat. Jika kita shalat sendirian,
energi yang kita pancarkan hanya memiliki kekuatan satu pancaran saja. Tetapi kalau kita sholat
berjamaah, maka masing-masing orang memancarkan energinya masing-masing dan bergabung
menjadi energi yang jauh lebih besar. Hal ini persis seperti sejumlah baterai yang digabungkan
secara serial untuk menghidupkan lampu. Baterai-baterai yang terhubung secara serial itu harus

bersentuhan satu sama lain agar energinya bisa tersalur dan bergabung. Demikian juga halnya
dengan shalat berjamaah, Rasul memerintahkan kita untuk merapatkan barisan sampai
bersentuhan satu sama lain, tapi bukan berarti berdesak-desakkan. Hal ini ditafsirkan agar energi

positif yang terpancar masing-masing jamaah bisa tersalurkan dan bergabung menjadi pancaran
energi yang lebih besar. Begitu juga denga shalat berjamaah di Masjidil Haram yang dikatakan
oleh Rasul berpahala 100 ribu kali lipat dibandingkan shalat sendiri di tempat lain. Mengapa
demikian? Hal ini disebabkan karena adanya pancaran-pancaran energi positif dari jutaan jamaah
yang melaksanakan shalat di seputar Ka’bah dan Masjidil Haram, ditambah dengan pancaran
energi dari sekian banyak umat Islam yang melaksanakan shalat di berbagai penjuru dunia yang
semuanya menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram.
Kelipatan 19
Fenomena angka 19 dan kelipatannya di dalam Al Quran memang sudah cukup lama dibicarakan
orang. Berikut adalah beberapa di antaranya yang dikutip dari buku Matematika Islam yang ditulis
oleh KH. Fahmi Basya, dosen mata kuliah Matematika Islam di Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta.
Apabila kita hitung jumlah huruf nyata dalam kalimat basmalah, akan kita lihat ada 19 huruf nyata
di dalamnya. Selain itu, angka 19 atau kelipatannya juga banyak muncul dalam Al Quran (lihat
Tabel).
Tabel di atas baru sebagian saja yang dikutip, karena dalam tulisan Fahmi Basya ada 26 poin
dalam tabel tersebut. Masih berkaitan dengan angka 19, apabila kita menghitung ruas tulang jarijari tangan dan kaki kita maka masing-masing memiliki 19 ruas tulang.
Kita memiliki dua tangan dan dua kaki, jumlah ruas tulang tersebut adalah 19 x 4 = 76. Adapun
surat ke-76 di dalam Al Quran adalah Al Insan yang berarti manusia. Sehingga, apabila kita
perhatikan nomor surat, nama surat, dan jumlah ruas tulang, ternyata memiliki hubungan satu

sama lain yang berkaitan dengan bilangan 19.
Pengulangan 7
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al
Quran yang agung.” (Q.S. Al Hijr 15: 87). Sebagian besar ulama menafsirkan bahwa tujuh ayat
yang diulang-ulang itu adalah surat Al Fatihah. Dan faktanya memang benar, tujuh ayat dalam
surat Al Fatihah itu memang diulang-ulang oleh seluruh umat Islam ketika melakukan shalat.
Namun, apabila kita perhatikan fenomena lainnya, akan kita temukan fenomena pengulangan 7
lainnya. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Q.S. Al Baqarah 2: 29) Di dalam ayat tersebut, Allah menyebut tentang adanya tujuh
langit. Dan ternyata ayat yang membicarakan tentang tujuh langit di dalam Al Quran jumlahnya
juga tujuh ayat. yaitu dalam surat Al Baqarah 2: 29, Al Mukminuun 23: 17, Fushshilat 41: 12, AthThalaq 65: 12, Al Mulk 67: 3, Nuh 71: 15, dan An Naba’ 78: 12.
Selain itu, kalau kita perhatikan dengan saksama, ternyata angka tujuh memiliki keunikan
tersendiri. Apabila kita bagi sebuah bilangan (berapa pun yang tak habis dibagi tujuh) dengan
angka tujuh, hasil yang akan diperoleh adalah pola angka-angka unik di belakang koma. Pola
angka tersebut akan selalu berulang setelah angka satu. Jadi, angka tujuh memang benar-benar
memiliki fenomena pengulangan.
4 Ruku 4 Sujud
KH. Fahmi Basya menjelaskan bahwa ketika kita telah melakukan 1 rakaat dalam shalat,
sesungguhnya kita sudah melakukan satu putaran yang terdiri atas satu kali ruku dan dua kali

sujud. Saat ruku kita membentuk sudut 90° dari posisi berdiri tegak. Sedangkan saat sujud kita
membentuk sudut 90°+45°=135° dari posisi tegak. Sehingga 1 ruku ditambah dua sujud adalah
90° + 135° + 135° = 360° atau satu lingkaran penuh.

Namun, ada shalat yang satu rakaatnya terdiri atas dua ruku dan dua sujud, yaitu Shalat Gerhana.
Aisyah r.a. berkata, “Pada masa Rasulullah saw. masih hidup pernah terjadi gerhana matahari.
Maka Rasulullah saw. menyuruh orang banyak shalat berjamaah. Setelah mereka berkumpul,
Rasulullah saw. datang lalu bertakbir dan shalat 4 kali ruku dan 4 kali sujud dalam dua rakaat.”
(Sahih Muslim)
Oleh KH. Fahmi Basya, perputaran dalam Shalat Gerhana yang terdiri atas dua rakaat dengan 4
ruku dan 4 sujud itu dihitung sebagai berikut.
Rakaat 1

=
=

Rakaat 2

=
=


360º + 90º


+ 90º

(karena 2 x rukuk)
= 90º

360º + 90º


+ 90º

(karena 2x rukuk)
= 90º

——————————————————————————— +
= 180º


= Garis Lurus

Maknanya, dalam Shalat Gerhana berarti kita membentuk sudut 180º atau garis lurus. Hal ini
sama dengan posisi matahari, bumi, dan bulan saat terjadi gerhana, yaitu membentuk satu garis
lurus.
Para Penafsir
Fenomena Sains Al Quran
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka penafsiran ayat-ayat Al
Quran yang berkaitan dengan masalah fenomena alam semesta pun semakin berkembang.
Apabila para mufasir zaman dahulu menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan sains hanya
sebatas menggunakan penjelasan ayat-ayat yang lain atau hadis Nabi atau Qoul sahabat, maka
pada zaman sekarang sudah banyak sekali ilmuwan yang menyingkap kandungan ayat-ayat Al
Quran melalui hasil kajian ilmiahnya.
Misalnya, ketika ada ayat yang membahas proses kejadian manusia di dalam rahim ibu, maka
ilmu kedokteran sekarang ini sudah membuktikan kebenaran ayat tersebut. Contoh lainnya, ada
ayat yang berbunyi, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,
antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman 55: 19-21). Ternyata sekarang sudah
terbukti bahwa di dasar Laut Merah terdapat sumber mata air tawar yang mengalir terus dan tidak
bercampur dengan air laut di sekitarnya yang asin. Juga tentang ayat, “Maka apabila langit

terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak. Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman 55: 37-38). Terbukti ayat itu benar, ketika
teleskop Hubble memotret gambar Big Bang yang memang seperti kilauan berbentuk bunga
mawar merah.
Menurut Drs HM. Hasyim Manan, MA., Pembantu Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, penafsiranpenafsiran ayat Al Quran tentang alam semesta seperti itu telah dirintis oleh ulama besar, yaitu
Syekh Tantawi Jauhari. Kajian ini berkembang pesat di tangan generasi berikutnya. Dapat kita
temukan nama-nama semisal Muhammad Mukhtar yang menulis kitab Riyad al Mukhtar dan Dr.
Abdul Aziz Pasha Ismail dengan tulisannya Sunan Allah al Kauniyah.
Dewasa ini, seiring terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin banyak pula
para ahli di bidang tertentu yang mencoba menafsirkan Al Quran. Kita tentu mengenal nama
Harun Yahya yang banyak menyingkap berbagai kebenaran ayat Al Quran melalui berbagai
penelitian ilmiahnya. Bahkan, kini sudah tersaji tidak hanya dalam bentuk buku, tetapi juga dalam
bentuk tayangan film dokumenter atau video.
Di Indonesia, ada nama Agus Mustofa, seorang alumnus jurusan Teknik Nuklir Universitas
Gadjahmada Jogjakarta yang menulis beberapa buku hasil penafsirannya terhadap beberapa ayat
Al Quran dalam kacamata sains. Buku-bukunya antara lain “Pusaran Energi Ka’bah”, “Terpesona di

Sidratul Muntaha”, dan “Ternyata Kita Bersatu dengan Allah”. Juga ada Ir. H. Bambang Pranggono,
alumni Arsitektur dan MBA Institut Teknologi Bandung yang juga mantan Dekan dan pendiri
Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung (UNISBA), menulis buku “Percikan Sains dalam Al

Quran”. Dan ada pula KH. Fahmi Basya, alumnus Fakultas MIPA Universitas Indonesia yang menulis
buku “Matematika Islam”.
Khusus mengenai KH. Fahmi Basya, beliau adalah penggagas dan pengajar mata kuliah
Matematika Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Matematika Islam secara resmi
menjadi mata kuliah di UIN sejak tahun 2002 setelah kurang lebih 16 tahun menjadi materi
Stadium General di sana. KH. Fahmi Basya, kelahiran Padang 3 Februari 1952, mulai menuangkan
pemikiran dan penelaahannya dalam bentuk makalah atau tulisan sederhana. Selanjutnya ia
membuat apa yang dinamakannya Flying Book, yaitu kumpulan tulisan dan presentasinya yang
dituangkan dalam bentuk file Power Point. File-file tersebut disebarluaskan baik melalui internet
ataupun diperbanyak dalam bentuk CD.
Di antara materi-materi yang dibahasnya adalah tentang “Roda Gigi Shalat”, “Umur Nabi”, “Kota
Al Quran”, “Rumah Lebah Segi Enam”, “Grafik Asli Basmalah”, dll. Selain dalam bentuk tulisan, ia
pun melengkapi hasil pemikiran dan temuannya dengan gambar atau lukisan karyanya sendiri.
Sebagian besar lukisannya berkaitan erat dengan hasil penelitiannya tentang ayat-ayat Al Quran
dan ajaran Islam yang berhubungan dengan matematika. Karya-karya lukisannya banyak tertuang
dalam materinya yang berjudul “Bumi itu Al Quran”

Perlu, Tapi Harus Hati-Hati!
Wawancara Ust. Aam Amiruddin
Bagaimana pendapat Anda tentang penafsiran angka-angka yang ada di dalam Al Qur’n
oleh ilmuwan jaman sekarang?
Dalam menafsirkan agama atau ayat-ayat Al Quran, paling tidak ada dua macam pendekatan
yang digunakan yaitu pendekatan salafi dan pendekatan bil hikmah. Pendekatan salafi adalah
menafsirkan ayat Al Quran dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran yang lain, atau dengan hadis
Nabi, atau dengan qaul (perkataan) para sahabat. Adapun penafsiran bil hikmah contohnya adalah
seperti apa yang disebutkan dalam pertanyaan tadi. Tafsir bil hikmah dilakukan dengan berusaha
mencari alasan-alasan logis tentang isi Al Quran. Tafsir bil hikmah disebut juga dengan tafsir bir
ro’yi, yaitu menafsirkan agama dengan logika dan rasio.
Bagaimana kedudukan tafsir bil hikmah ini?
Tentang tafsir bil hikmah ini, para ahli membaginya menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat
mamduh dan madzmum. Mamduh berarti terpuji, artinya hasil penafsiran itu senafas dan sejalan
dengan Al Quran, Sunnah, serta Qoul sahabat. Sedangkan madzmum berarti tercela, artinya yang
menonjol dalam penafsiran ini justru rasionalitasnya yang malah mereduksi nilai yang dikandung
sebenarnya. Contohnya, haramnya daging babi menurut penafsiran seperti ini adalah karena di
dalam tubuh babi itu terdapat cacing pita. Namun, ketika sekarang telah ditemukan cara untuk
membasmi cacing pita, bisa jadi kesimpulannya adalah bahwa daging babi itu menjadi halal.
Maka, penafsiran seperti ini tidaklah tepat. Artinya, apabila di kemudian hari logika-logika dalam
sebuah penafsiran bisa dipatahkan dengan logika-logika yang baru, maka yang rusak justru adalah
agamanya. Jadi, dalam batasan tertentu tafsir bil hikmah itu bagus tetapi jangan sampai
kebablasan karena akan merusak agama.
Landasan pemikiran apa yang digunakan para mufasir dalam dalam tafsir bil hikmah?
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah itu tidak sia-sia dan dibalik penciptaan itu pasti ada
ilmu atau hikmahnya. Pemikiran yang juga bersumber dari ayat Al Quran ini dijadikan landasan
untuk mengeksplorasi secara rasional berbagai ayat, termasuk di dalamnya ibadah-ibadah yang
sudah berjalan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan dianggap sebagai proses menuju pada
kebenaran. Oleh karenanya, dalam tataran pemikiran seperti ini sering terjadi lontaran kritik dari
mereka yang sangat berpegang teguh kepada fiqih atau para ulama salafi. Orang yang
menggunakan tafsir bil hikmah ini seringkali didebat oleh orang-orang yang menggunakan metode
salafi karena dianggap terlalu mengada-ada dan seolah menjadikan agama itu seperti mainan
yang akan mencemarkan atau mereduksi nilai agama itu sendiri.
Bukankah Nabi Ibrahim a.s. dalam proses ‘mencari’ Tuhan juga melakukan kesalahan?
Hal itu memang benar, tetapi kita tidak bisa memosisikan diri kita seperti Nabi Ibrahim a.s. ketika
beliau berupaya ‘menemukan’ Tuhan. Beliau adalah seorang Nabi, sedang kita bukan Nabi. Ketika
Nabi Ibrahim berbuat kesalahan, beliau lalu dibimbing dan diluruskan oleh Tuhan sehingga justru
menjadi hikmah bagi umat-umat yang berikutnya. Namun, apabila kita yang melakukan kesalahan
seperti itu, maka siapa yang akan meluruskannya dan siapa yang akan mendapatkan hikmah?
Kebenaran Al Quran itu mutlak, sedangkan kebenaran tafsir itu relatif. Pendapat Anda?
Saya setuju bahwa kebenaran tafsir itu relatif dan kebenaran firman Allah itu absolut. Pada saat
manusia mencoba memikirkan firman Allah dan mengambil kesimpulan dari apa yang dia baca,
maka kesimpulan itu kebenarannya bersifat relatif dan terus berkembang. Tafsir itu adalah produk
manusia. Tapi yang perlu diperhatikan adalah ada bagian dari firmah Allah swt. yang perlu
ditafsirkan seiring perkembangan zaman, namun ada pula bagian yang sudah sangat jelas dan
tidak perlu ditafsirkan lagi karena justru malah akan membiaskan makna sebenarnya. Jadi,
kalaupun tetap ada penafsiran bil hikmah atas ayat-ayat yang sudah jelas, maka itu fungsinya
sebagai hikmah atau pengayaan pemahaman saja; tentu saja tetap harus sejalan dan tidak
menyalahi kandungan ayat itu sendiri.
Apakah syarat-syarat untuk menjadi mufasir?

Pada prinsipnya, kalau ada orang ingin menafsirkan Al Quran, saya sangat setuju apabila dia harus
mengerti bahasa yang digunakan dalam Al Quran, yaitu bahasa Arab. Mana mungkin kita akan
menafsirkan ayat kalau kita tidak memahami makna substansi dari ayat itu. Oleh karena itu para
ulama tafsir dan juga Imam Syafi’i menetapkan salah satu kriteria orang yang berhak menafsirkan
Al Quran adalah menguasai bahasa Arab. Ada ayat Al Quran yang menegaskan bahwa Allah
menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab. Selain itu, juga harus menguasai Al Quran dan Ulumul
Quran (ilmu-ilmu Al Quran), hadis, dan Ulumul Hadis. Hal-hal tersebut merupakan sebagian
kriteria bagi orang-orang yang murni ingin menafsirkan Al Quran. Namun, apabila ada orang yang
menguasai bidang ilmu tertentu, misalnya ilmu fisika, ingin mencoba berbagi ilmu dan
pemahaman dalam bentuk menafsirkan ayat Al Quran, seharusnya ia tidak melakukannya secara
individual melainkan berada dalam satu kelompok yang di dalamnya ada yang berkompeten
dalam Ulumul Quran. Hal seperti ini sejalan dengan apa yang digagas oleh DR. Yusuf Qordhowi
yang pernah mengatakan bahwa inilah saatnya bagi kita untuk melakukan ijtihad secara kolektif.
Jadi, apakah setiap orang boleh berijtihad untuk melakukan penafsiran?
Bisa, asalkan sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Ijtihad artinya mencurahkan segala
kemampuan inteklektual untuk menjawab persoalan-persoalan terkini dengan bersumber kepada
Al Quran dan sunnah. Misalnya apabila saya seorang ekonom, maka saya boleh berijtihad dalam
bidang ekonomi. Kalau saya seorang sosiolog, saya akan berijtihad dalam bidang sosiologi.
Artinya, saya mencoba membaca firman Allah dan hadis Nabi lalu dari situ saya memberikan
pemikiran di bidang yang saya kuasai. Namun, apabila kita berijtihad tidak sesuai dengan
bidangnya maka itu tidak tepat. Jadi, pada dasarnya semua ilmuwan memiliki peluang untuk
berijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran sesuai dengan kapasitas ilmunya masing-masing.
Yang salah adalah kalau seseorang melakukan penafsiran tidak sesuai dengan bidangnya; secara
ilmiah dan akademis pun itu tidak tepat.
Apakah ada batasan bahwa ayat-ayat tertentu tidak boleh ditafsirkan?
Pada dasarnya semua ayat Al Quran perlu ditafsirkan. Namun prinsipnya, ada ayat yang cukup
ditafsirkan dengan ayat yang lain, atau dengan hadis atau dengan Qoul sahabat. Dan ada pula
ayat yang tidak ada tafsirannya dalam ketiga hal tersebut. Maka disinilah kita dituntut untuk
berijtihad secara kreatif untuk memahami ayat-ayat semacam itu dengan tetap sejalan dengan
ayat-ayat yang lain.
Sisi positif dan negatif dari tafsir bil hikmah?
Hal positifnya kita akan semakin merasakan kebenaran agama Islam dan juga Al Quran. Dilihat
dari sudut manapun, Islam dan Al Quran akan tampak seperti mutiara di mana kita akan
senantiasa mendapatkan serta menemukan hal yang baru. Negatifnya kalau penafsiran itu sampai
kebablasan, jusru akan mereduksi kandungan ayat itu sendiri. Hal ini patut diwaspadai sehingga
setiap orang yang ingin menafsirkan sesuatu, dia harus tahu diri atau tahu kapasitasnya. Dan
yang paling tahu tentang hal itu adalah dirinya sendiri yang bersumber dari hati nurani terdalam.
Layakkah saya menafsirkan ayat ini?
Saran Anda?
Seperti sudah saya sampaikan tadi bahwa tafsir bil hikmah pada sisi tertentu memang sangat
diperlukan untuk memahami ayat-ayat yang tidak ditafsirkan oleh ayat-ayat lainnya. Kehati-hatian
harus diperhatikan dalam melakukan penafsiran ini, karena penafsiran yang kebablasan malah
akan mereduksi kandungan ayat yang sebenarnya. Dalam menyikapinya, kita pun sepatutnya
kembalikan pada akal sehat dan hati nurani masing-masing dengan tetap berlandaskan pada ayat
Al Quran dan hadis. Wallahu A’lam.
Hati-Hati, Teliti, dan Terus Menggali
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan.” (Q.S. Al Baqarah 2: 164)

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa dalam segala apa yang diciptakan oleh Allah swt. terdapat
tanda-tanda keesaan dan kebesaran-Nya bagi orang-orang yang mau berpikir. Dengan kata lain,
Allah memerintahkan kita untuk memikirkan berbagai macam fenomena alam semesta. Tentang
makna ayat tersebut, Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menyatakan bahwa sekiranya
manusia hatinya membeku karena tidak mau memperhatikan fenomena alam ini, lalu hatinya
berubah dan mau memperhatikan fenomena alam ini dengan perasaan yang baru dan pandangan
yang penuh penyelidikan seperti seseorang yang baru saja mengunjungi alam ini, memperhatikan
dengan sungguh-sungguh tiap gerak dan gemerisiknya suara, tentulah akan tergetar jiwanya dan
terbukalah baginya segala keajaiban yang menyelubungi alam semesta ini.
Untuk memahami berbagai tanda kebesaran Allah dalam fenomena alam semesta, tentu
diperlukan adanya ilmu dan pengetahuan. Kita perlu untuk belajar dan berpikir baru kemudian
bisa sampai pada sebuah kesimpulan. Adalah salah apabila kita langsung menyimpulkan tentang
suatu fenomena tanpa mempelajari dan memikirkannya secara mendalam terlebih dahulu.
Tentang hal tersebut, dalam buku “Matematika Islam”, KH. Fahmi Basya memberikan sebuah
ilustrasi. Katakanlah kita mempunyai selembar kertas yang sangat tipis sekali, tebalnya hanya
1/1000 milimeter. Kertas itu kemudian kita potong menjadi dua bagian, lalu kita dempetkan dan
kita potong lagi menjadi dua bagian sekaligus. Kemudian kita dempetkan lagi hasilnya lalu kita
potong lagi menjadi dua bagian sekaligus. Dan begitu seterusnya, kita mendempetkan dan
memotongnya menjadi dua bagian sekaligus. Pertanyaannya, berapa kira-kira tinggi kertas itu jika
ditumpuk setelah potongan yang ke-50? Apakah kurang dari ½ meter ataukah lebih dari ½ meter?
Lantas kalau ada orang yang mengatakan bahwa sampai potongan ke-50, tumpukan kertas itu
meninggi terus ke angkasa melewati bulan, apakah kita percaya? Hampir dapat dipastikan, kita
menjawabnya tidak, karena kertas asalnya benar-benar sangat tipis yaitu hanya 1/1000 milimeter.
Tapi, tak ada salahnya apabila kita mencoba untuk menghitungnya secara sederhana seperti
perhitungan berikut ini.
1. Potongan pertama
= 1+1 = 2
= 21 (dua pangkat satu)
2. Potongan kedua
= 2+2 = 4
= 22 (dua pangkat dua)
3. Potongan ketiga
= 4+4 = 8
= 23 (dua pangkat tiga)
4. Potongan keempat
= 8+8 = 16
= 24 (dua pangkat empat)
n. Potongan ke-n
=
= 2n
50. Potongan ke-50
=…
= 250 = 1.125.899.900.000.000
Maka tinggi tumpukan kertas itu menjadi:
1/1000 mm x 1.125.899.900.000.000
= 1.125.899.900.000 mm
= 1.125.899.900 m
= 1.125.899,9 km
Dengan memperhatikan ilustrasi dan perhitungan yang disampaikan KH. Fahmi Basya itu maka
kita dapati bahwa setelah potongan ke-50, tumpukan kertas itu ternyata tingginya lebih dari sejuta
kilometer, padahal tinggi bulan dari bumi hanya 380.000 km. Artinya, tumpukan kertas itu
melebihi tingginya bulan. Berarti pula kesimpulan awal yang kita tetapkan secara sepintas namun
dengan cukup yakin itu ternyata salah.
Ijtihad Kolektif
Untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari suatu fenomena atau permasalahan, kita perlu
berijtihad. Ijtihad, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ust. Aam Amiruddin, berarti mencurahkan
segala kemampuan inteklektual untuk menjawab persoalan-persoalan terkini dengan bersumber
kepada Al Quran dan sunnah. Kemampuan intelektual ini tentu saja yang bersesuaian dengan
permasalahan yang dihadapi.
Seorang pengemudi becak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan memadai tentu saja
dianggap tidak tepat apabila berijtihad untuk menafsirkan ayat Al Quran tentang fenomena
astronomi. Begitu juga seorang insinyur teknik bangunan tidak layak untuk menafsirkan proses
kejadian manusia yang diceritakan di dalam Al Quran. Dan tak dapat disangkal pula, seorang

pakar yang menafsirkan sesuatu yang memang termasuk dalam bidang kajiannya pun tetap saja
memiliki peluang berbuat salah dalam memahami makna ayat yang sebenarnya.
Oleh karenanya, salah satu solusi terbaik dalam hal ini, di zaman sekarang, adalah dengan
melakukan apa yang diungkapkan Dr. Yusuf Qordhowi yang juga diamini oleh Ust. Aam Amiruddin,
yaitu berijtihad menafsirkan sesuatu secara kolektif. Artinya, penafsiran itu dilakukan oleh
beberapa orang yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing, tentu saja yang berkaitan
dengan ayat yang ditafsirkan. Hal ini bagus untuk dilakukan agar hasil penafsiran itu benar-benar
matang dan mendalam serta meminimalisir kemungkinan malah mereduksi makna sebenarnya
seperti kasus penafsiran haramnya babi karena cacing pita. Selain itu juga untuk menghilangkan
kesan menjadikan agama sebagai bahan mainan seperti yang dikritik oleh para ulama salafi, dan
yang paling utama adalah lebih mendekatkan atau mencapai makna yang sebenarnya seperti
yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Gali Terus
Di dalam salah satu tulisannya yang berkaitan dengan masalah penafsiran dan fenomena angka di
dalam Al Quran, Prof. Komaruddin Hidayat menyatakan, bagaimana mungkin Nabi Muhammad
saw. menerima dan menyusun Al Quran dalam kurun waktu 23 tahun dengan rumusan dan
kalkulasi matematis, kalau saja tanpa campur tangan Jibril atas bimbingan Allah? Menurutnya,
temuan-temuan semacam itu penting digarisbawahi mengingat seringkali para orientalis
menganggap Al Quran sebagai karangan Muhammad belaka. Namun keraguan itu menjadi absurd
ketika dibuktikan bahwa secara matematis banyak ditemukan adanya keajaiban yang sulit
dibayangkan hal itu produk seorang yang ummi, yang hidup di padang pasir pada abad ke-6.
Prof. Komaruddin menambahkan pula bahwa sesungguhnya Al Quran selalu membuka diri untuk
diinterogasi, ditanya, digali, dibantah, didebat, dan entah diapakan lagi sepanjang perjalanannya
sejak diwahyukan sampai sekarang. Bagi mereka yang memiliki kedalaman ilmu kedokteran, maka
Al Quran membuka diri untuk diajak dialog seputar kedokteran. Bagi mereka yang menguasai ilmu
pertanian, kelautan, astronomi, ilmu jiwa, ataupun cabang ilmu lainnya, Al Quran membuka diri
untuk dikaji, digali, bahkan diinterogasi. Dan nyatanya hingga saat ini semakin banyak sarjana
Muslim yang menguasai berbagai disiplin keilmuan, mereka malah semakin respek dan yakin
bahwa Al Quran adalah Kalam Ilahi yang di dalamnya mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang
tidak pernah habis-habisnya digali.
Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Ust. Aam Amiruddin bahwa pada
dasarnya semua ayat Al Quran memang perlu ditafsirkan. Terlebih, dari sudut mana pun kita
memandang Al Quran, kita akan melihatnya seperti mutiara yang senantiasa menampakkan hal
yang baru untuk dikaji dan didalami.
Pada akhirnya, kita pun sebagai umat Islam perlu untuk terus belajar dan belajar; menggali
kandungan ayat-ayat Allah baik yang tersurat di dalam Al Quran ataupun yang ada di alam
semesta ini guna memperteguh keimanan dan ketawaan kita kepada Allah swt. Bukan saja secara
kolektif, tapi justru secara individu pun kita harus lebih giat mengkaji dan memahami ayat-ayat
Allah secara sungguh-sungguh. Diri kita secara individulah yang akhirnya akan menentukan
kesimpulan. Mengikuti kesimpulan orang lain juga merupakan sebuah kesimpulan individu. Yang
penting, bukan merupakan taqlid buta tetapi sesuatu yang berdasarkan pemahaman melalui
proses belajar dan berpikir yang mendalam.
Wallaahu A’lam
Tim Fokus: Agung, Muslik, & Ali