Revitalisasi Agama dan Kehidupan Bertole

UNIVERSITAS INDONESIA

Revitalisasi Agama dan Kehidupan Bertoleransi di Era
Federasi Rusia

Makalah Non-Seminar

Muhammad Mutaqin
1106018474

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Program Studi Sastra Rusia
Depok

Agustus 2016
1

2

3


Revitalisasi Agama dan Kehidupan Bertoleransi di Era Federasi Rusia
Muhammad Mutaqin, Ahmad Fahrurodji, M.A
Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
Email: taqin1993@gmail.com
geopoliticum@gmail.com

А

кция

. В
,

,

,
К

:


,

,

.
,

Abstract
The modern period of Russian society development includes the increasing influence of religious
factor. The paper provides the religious situation in Russian today, the urgency of the problem of
tolerance for Russian Society is primarily concerned with the need to overcome its internal
disunity including on religious ground, the state‘s role in reliРious tolerance.
Keywords : freedom of conscience, religious situation, human rights, religious tolerance

1. Pendahuluan
Dalam sejarah Rusia, agama sering kali memainkan peran pengintegrasian dalam
hubungan timbal balik antarkeragaman etnis dan budaya yang ada di Rusia. Namun situasinya
berubah secara drastis selama puncak periode propaganda atheisme di masa pemerintah Uni
Soviet. Hal yang berbeda juga terjadi pada era pasca Soviet, yang menandai berbagai

transformasi penting dalam dinamika dan parameter sosiokultur pada ruang beragama di Rusia.
Latar belakang lahirnya kembali agama pasca disintegrasi Uni Soviet terjadi karena adanya
kebangkitan aktivitas yang sangat meluas dari berbagai agama seperti Kristen, Islam, Budha dan
Judaisme.

4

Jika kita memperhatikan analisa masalah toleransi dalam konteks sosio-kultural, telah
jelas bahwa dalam hal ini, pemahaman antara berbagai pihak menjadi masalah mendasar. Faktorfaktor terkait sosial dan budaya mampu mewujudkan toleransi dalam suatu budaya, namun
sebaliknya juga dapat mengarah ke dalam pengembangan bentuk intoleransi dan berbagai bentuk
ekstrimisme. Masalah ini terbilang bernilai lebih serius di Rusia jika dibanding di negara-negara
lain. Sebab di saat yang bersamaan, Rusia juga memiliki masalah yang sama seriusnya mengenai
situasi perubahan sosial yang begitu cepat, gerakan agama minoritas, imgran, dan segala macam
bentuk interaksi antaragama.
Berdasarkan Deklarasi Prinsip Toleransi yang ditandatangani perwakilan pemerintah dan
anggota UNESCO pada 16 November 1995 di Paris, dijelaskan bahwa toleransi mengandung
pengertian menghormati, pemahaman yang baik dan benar tentang kekayaan budaya di dunia,
bentuk kita berekspresi dan cara kita menjadi individu manusia. Definisi tersebut juga secara
masif mencakup berbagai jenis toleransi: kebangsaan, etnisitas, ras, seksualitas, bahasa, agama,
politik, dan lain-lain. Namun jika mengarah terhadap masalah historis, toleransi beragama

merupakan dasar yang dibentuk oleh ide-ide modern tentang toleransi pada umumnya.
Kita tidak bisa lupa bahwa hubungan toleransi memiliki struktur internal yang begitu
rumit. Sebab persinggungan manusia dengan hal yang terbilang masih asing, secara pararel
memunculkan dua proses yang berlawanan, yaitu proses asimilasi dan proses pemisahan diri.
Suatu hal yang asing tentunya membuat seseorang secara spesifik menjadi mengetahui dan
mengerti tentang dirinya lebih baik. Namun hal tersebut juga mampu untuk menekan,
menetralisir dan menyerap pemikiran manusia yang tidak kritis dan menerima begitu saja untuk
berasimilasi. Jika asimilasi tidak berjalan tentunya akan mampu membawa pengaruh lahirnya
xenophobia, chauvenisme, serta kelompok yang menutup diri dari hal yang mereka anggap
asing. Kecenderungan yang sebaliknya menyebabkan lahirnya aturan yang mengarahkan kepada
asimilasi budaya dan peleburan identitas budaya. Dengan demikian, toleransi tak ubahnya
jantung dalam pengembangan budaya, membutuhkan langkah-langkah sesuai dalam proses
kerjasama dengan berbagai perbedaan budaya yang ada.
Belajar dari sejarah umat manusia, kurangnya sifat toleransi dapat memicu timbulnya
peperangan, konfrontasi terhadap ideologi, baik dalam kehidupan sehari-hari berupa steorotip
dan penghinaan, atau dalam lingkup yang lebih luas, yakni lingkup negara berwujud diskriminasi
rasial, penindasan kepada agama minoritas dan lain sebagainya. Ekspansi perang agama di Eropa
melahirkan abad XVII-XVIII terbentuk pembahasan tentang ini pertama kali di ranah filsafat,
lalu berkembang ke kesadaran sosial, dan kemudian menemukan pelabuhan di gagasan hukum
toleransi. John Locke dan Peter Beil mengemukakan tentang pemikiran toleransi kala itu di

bawah sensor gereja yang begitu kuat. Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam kaitannya
dengan masalah toleransi, toleransi pada mulanya tidak secara kebetulan diterima sebagai
interpretasi hasil dari perang tiga puluh tahun. Dimana para perwakilan yang berseteru atas nama
agama membasmi satu sama lain.
5

Dalam sejarah Rusia, xenophobia agama juga terjadi, tetapi tidak dalam bentuk-bentuk
yang telah ditemukan manifestasinya di negara-negara Eropa Barat. Pada masa Kekaisaran,
Kristen Ortodoks naik sebagai agama negara dan begitu mendominasi setidaknya hingga 1917,
meskipun masyarakat Rusia bersifat multietnis dan multiagama, tentunya hal tersebut juga
mempengaruhi tren negatif dalam budaya Rusia. Namun tidak hanya faktor-faktor ini, seperti
yang dicatat oleh banyak ahli saat ini, xenophobia dan intoleransi telah ada pada masyarakat
modern Rusia. Ideologi Soviet secara aktif membentuk sikap negatif terhadap perbedaan
pendapat, salah satu bentuk umum yang dianggap negatif adalah pemikiran keagamaan. Situasi
toleransi yang relatif ada pada kehidupan sehari-hari dikombinasikan dengan xenophobia secara
masal, hal itu sangat mencirikan karakteristik kesadaran sosial dari era Soviet, dan hadir dalam
kehidupan Rusia kontemporer.
Konstitusi Rusia dan hukum internasional merupakan prioritas bagi sistem hukum Rusia,
keduanya tidak menyebutkan hubungan negara dengan politik agama sebagai fenomena yang
berdiri sendiri. Hubungan negara dan agama menunjukan telah ada secara historis. Namun,

karena adopsi dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948 dan bagi Rusia, setidaknya
sejak adopsi pada tahun 1993 berdasarkan pemungutan suara untuk konstitusi dan hubungan
negara dan kebijakan terkait agama, negara harus berdiri sebagai turunan dari prinsip-prinsip
konstitusional yang ketat dan sesuai dengan hukum konstitusi.[1] Situasi Revolusioner di Rusia
pada 1990-an menyebabkan lonjakan Xenophobia, hal ini disebabkan beberapa pihak yang
intoleran dan belum dapat menyikapi dengan baik atas dihapusnya pembatasan kebebasan
berekspresi (termasuk yang berhubungan dengan agama), kebijakan ini tentunya memunculkan
banyak kelompok keagaaman baru, serta tren dan ideologi yang dapat dijadikan sebagai objek
ekspresi intoleransi di banyak bagian masyarakat Rusia. Saat ini Xenophobia dari agama dan
etnis menjadi bentuk paling umum dari intoleransi yang terjadi di Rusia.
Satu dari yang paling menjadi sorotan dalam hubungan berbagai agama saat ini di Rusia
adalah kesadaran tentang phobia agama dalam masyarakat terhadap interaksi gerakan keagamaan
baru вanР ―nontradisonal.‖ Sebagian besar penduduk yang tinggal baik di kota-kota dan
pedesaan opininya digiring ke dalam pandangan negatif terhadap agama-agama nontradisonal.
Meski definisi hukum dari konsep "sekte" tidak ada, lalu dalam pembicaraan teologis di Rusia
dan luar negeri, konsep ini diberi makna substansial yang berbeda, buku dan manual mengenai
"studi sekte" terus menyebar dan beredar di masyarakat, sehingga memberikan kontribusi tidak
hanya menginformasikan kepada publik, tapi juga dapat menjadi pemantik konflik sekterian.
Mempertimbangkan intoleransi agama sebagai konsekuensi dari kurangnya pendidikan juga akan
salah. Jajak pendapat menunjukkan beberapa tahun terakhir bahwa orang dengan pendidikan

tinggi tidak menjamin memiliki toleransi sosial budaya tinggi. Tak jarang pemuda yang
berpendidikan tinggi menganggap dirinya mendukung nilai-nilai liberal dan demokrasi,
mengalami peningkatan permusuhan terhadap anggota kelompok agama minoritas yang
1 Sergey Buryanov, Aktualniye Voprosi Svobodu Sovesti V Rossii, Moskow, 2012

6

memakai haknya untuk berkeyakinan. Penolakan organisasi keagamaan dibangun di atas prinsip
"Aum Shinrikyo" (diakui di media sehubungan dengan tindakan yang bertentangan dengan
HAM), ekstrapolasi untuk semua organisasi keagamaan non-tradisional Rusia lainnya.[2]
Dengan demikian, di Rusia saat ini ada kebutuhan untuk mengambil langkah-langkah
yang paling serius pada bagian negara dan masyarakat dalam pembentukan dan pengembangan
toleransi yang komprehensif sebagai nilai-nilai dan norma-norma sosial dari masyarakat sipil
sebagai hak warga negara untuk hidup dalam perbedaan. Pembentukan masyarakat sipil
nampaknya akan mustahil tanpa proses kesadaran dari manusia tentang tempat tinggalnya di
dunia yang telah berubah, baik itu budaya ataupun hubungan antar umat beragama. Proses
membandingkan nilai-nilai dan tujuan individu atau kelompok sosial tertentu dengan tujuan dan
mencari nilai-nilai yang berbeda sering berkorelasi dengan peningkatan kesadaran massa sebagai
reaksi xenophobia pada pertemuan dengan sesuatu yang asing (manusia, budaya, agama).
Kecenderungan ini lebih berbahaya pada situasi pertumbuhan keragaman sosial dan mobilitas

berbagai agama yang dianut para pemuda hari ini. Bukan rahasia lagi bahwa pemuda adalah
tanah paling subur yang dapat digunakan untuk memicu ekstremisme dan intoleransi, sebab
masalah "keberbedaan" dari psikologi individu adalah manifestasi dari motif kelompok ekstremis
yang cukup agresif.
Kita tidak bisa hanya meletakkan tanggung jawab kepada negara dalam urusan toleransi.
Pengembangan sosial ekonomi dari suatu negara di masa modern ini juga bukan sau-satunya hal
yang dapat menunjukkan keberhasilan atas proses negosiasi mengenai masalah ini, keberhasilan
memecahkan masalah ini juga tergantung kemampuan untuk mendengarkan lawan bicara,
bahkan untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan di antara dua pihak. Hal ini sangat
penting untuk diwujudkan, sebab citra negara di dunia internasional ditentukan oleh tingkat
toleransi saat ini yang berlaku di dalamnya. Dan dalam hal hubungan multi-agama, toleransi
begitu diperlukan.
1.1 Tinjauan Teoritis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi memiliki arti proses, cara, atau
perbuatan menghidupkan dan menggiatkan kembali.[3] Berangkat dari pengertian tersebut,
revitalisasi agama dapat diartikan sebagai proses menghidupkan kembali agama. Tentunya dalam
proses ini dibutuhkan keterlibatan banyak orang guna menciptakan suatu perubahan tatanan
kehidupan beragama, baik dengan menghidupkan suatu ajaran agama yang hampir punah
maupun yang mengarah pada penciptaan ajaran baru yang dianggap mampu menciptakan tatanan
kehidupan yang lebih baik. Pada umumnya, revitalisasi agama di suatu negara akan ditandai

dengan kemunculan berbagai gerakan keagamaan. Fenomena kemunculan berbagai gerakan
keagamaan ini selanjutnya membawa banyak dampak dalam berbagai aspek kehidupan, baik
2 Aleksey Kharlamov , Religiosnaya Tolerantnos V Sovremeniy Rossii, Kamerovo, 2008 hal 2.
3 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka. 2003)

7

berdampak positif atau negatif. Khusus bagi suatu negara dengan kondisi masyarakatnya
majemuk, revitalisasi agama tidak akan dengan mudah terjadi begitu saja. Akan ada kontak
anatara budaya yang berbeda satu sama lain dan hal tersebut sering kali mengarah ke kejutan
budaya dan benturan budaya. Untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang muncul,
dalam hal ini negara memiliki alternatif cara, salah satunya dengan memperkenalkan
masyarakatnya kepada pemahaman multikulturalisme.
Pengertian multikulturalisme adalah fenomena fragmentasi etnis dan budaya masyarakat,
yang pada akhirnya diarahkan sebagai sebuah fenomena nasional. Hanya saja, fenomena ini tidak
berkembang sebagai otonomi budaya di dalam komunitas budaya tertentu, melainkan hanya
terkait fragmentasinya saja. Pengertian lainnya, multikulturalisme dapat diartikan sebagai sebuah
ideologi politik yang sebagian besar berdasarkan konsep ―keraРaman budaвa‖ вanР bersifat
liberal, yang memberi ruang etnisitas, ras dan subbudaya ke dalam ranah kehidupan ekonomi,
politik dan budaya masyarakat. Tujuannya sebagai penghapusan diskriminasi dan tercapainya

kesetaraan di antara berbagai etnis minoritas dan mayoritas. [4] Dalam hal ini, multikulturalisme
tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa
yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, sebab multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesetaraan. Implikasi sikap multikulturalisme dalam
kehidupan sehari-hari dapat ditunjukkan oleh kehidupan masyarakatnya yang telah mampu
menerapkan sikap bertoleransi.
Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu “tolerantia”, yang artinya kelonggaran,
kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah
situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas.[5] Dari sini dapat dipahami bahwa
toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain guna
menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda. Secara etimologis,
istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di masa revolusi Perancis. Hal tersebut begitu
erat terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi
di Perancis. Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi.
Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan
kelembutan. Kevin Osborn mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu pondasi terpenting
dalam demokrasi. Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan
pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain.6 Istilah “Tolerance” (toleransi)
memiliki sejarah tersendiri. Pada tahun 1948, PBB Majelis Umum mengadopsi Pasal 18 dari
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, вanР menвatakan: ―Setiap oranР berСak atas kebebasan

berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau
kepercayaan, dan kebebasan, baik sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan dalam
4 Vladimir Malakhov, Skromnoye Obayaniye Rasizma I Drugie Stati. 2001, hal 49
5 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Jakarta : Perspektif, 2005, hal 212
6 Kevin Osborn, Tolerance, New York : 1993, hal 11
8

praktek umum atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan dalam pengajaran,
ibadaС dan ketaatan‖. Meskipun tidak secara resmi menРikat secara Сukum, deklarasi tersebut
telah diadopsi banyak konstitusi di berbagai negara sejak 1948. Hal ini juga berfungsi sebagai
landasan untuk melahirkan semakin banyak lagi perjanjian internasional, hukum nasional,
lembaga internasional, regional, dan nasional yang melindungi dan mempromosikan hak asasi
manusia termasuk kebebasan beragama. Hal ini terus berkembang sampai tahun 1965, salah
satunya dengan Gereja Katolik Roma Vatikan II yang mengeluarkan dekrit Dignitatis Humanae
(Kebebasan Beragama) yang menyatakan bahwa semua orang harus memiliki hak dalam
kebebasan beragama.
Menurut Harun Nasution, toleransi meliputi lima hal.[7] Pertama, mencoba melihat
kebenaran yang ada di luar agama lain. Ini berarti, kebenaran dalam prihal keyakinan juga
termuat dalam berbagai agama. Hal tersebut tentunya akan melahirkan relativitas kebenaran dan
pluralisme agama. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam satu agama
berarti merelatifkan kebenaran Tuhan yang absolut. Argumen seperti ini sebenarnya bukan
sesuatu yang baru. Hal yang sama telah lama digaungkan oleh John Hick dalam bukunya A
Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths[.8] Kedua, memperkecil perbedaan yang
ada di antara agama-agama. Ketiga, menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agamaagama. Antara poin kedua dan ketiga terdapat korelasi dalam hal persamaan agama-agama.
Namun, pada dasarnya, yang terpenting justru bukanlah persamaannya, tapi perbedaan yang ada
dalam agama-agama tersebut. Keempat, Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. Dalam hal ini,
Harun Nasution terpengaruh dengan John L. Esposito yang menganggap bahwa yang ada adalah
―Islams” bukan Islam saja9. Harun juga dipengaruhi teori Schuon tentang The Transenden Unity
of God. Ia menganggap bahwa esensi Tuhan dari agama-agama adalah satu. Sedangkan
perbedaan keyakinan pada tataran eksoterik adalah merupakan interpretasi manusia terhadap
―TСe One.‖ Kelima, menjauhi praktik serang-menyerang antaragama.
Dari paparan di atas dapat kita pahami bahwa istilah toleransi dalam perspektif Barat
adalah sikap menerima tanpa aksi protes apapun, baik dalam hal yang benar maupun salah.
Bahkan, ruang lingkup toleransi di Barat pun tidak terbatas. Termasuk toleransi dalam hal
beragama. Ini menunjukkan bahwa penggunaan terminologi toleransi di Barat syarat akan nafas
pluralisme agama. Yang mana paham ini berusaha untuk melebur semua keyakinan antar umat
beragama. Tidak ada lagi pengakuan yang paling benar sendiri dan yang lain salah.

1.2 Metode Penelitian
7 Dyayadi, M.T., Kamus Lengkap Islamologi, Yogyakarta : Qiyas, 2009, hal 614.
8 John Hick, A Christian Theology Of Religions: The Rainbow Of Faiths, America : SCM, 1995, hal .23.
9 John L. Esposito, Terj. Arif Maftuhin, Islam : The Straight Path, Jakarta : PT. Dian Rakyat (Paramadina), 2010,
hal 299.

9

Penulis menggunakan metode kualitatif dan untuk menganalisis dengan menggunakan
analisa deskriptif – analisis. Metode kualitatif memposisikan penulis sebagai instrumen utama
dalam pengumpulan data, pengolahan dan penganalisisan data serta memfokuskan kepada proses
dan arti dari peristiwa yang sedang diteliti10. Dalam penulisan ilmiah metode kualitatif,
dibutuhkan 3 tahapan utama untuk yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan
laporan data. Dalam tahapan ini, penulis mengumpulkan berbagai data yang memiliki kaitan
terhadap topik penelitian lalu menyeleksi data- data yang akan digunakan sesuai dengan batasan
masalah dari topik penelitian. Sumber data yang digunakan disini adalah melalui studi pustaka
baik dari sumber dokumen primer maupun sekunder, kemudian berbagai informasi dari data-data
yang telah dikumpulkan sebelumnya kemudian direduksi ke dalam suatu kategori atau pola
dalam skema tertentu. Dalam proses penyajian data penulis akan menggunakan cara deskriptikanalisis, artinya adalah pengindentifikasian dan penggambaran suatu gejala, peristiwa yang
menjadi inti permasalahan dan kemudian penulis melakukan analisa secara kritis sehingga dapat
ditarik sebuah kesimpulan dari hasil penelitian tersebut (Noor 2011). Setelah melalui proses
analisa secara kritis, penulis memasukan informasi-informasi dari data penelitian ke dalam
tulisan, lalu menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan dari masalah yang ada.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pada penelitian ini penulis memerlukan beberapa pertanyaan sebagai pemandu dalam
menyusun penelitian ini, adapun pertanyaan yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja perubahan yang terjadi di era Federasi Rusia hingga melahirkan revitalisasi
agama?
2. Apa dasar hukum kehidupan beragama di era Federasi Rusia?
3.Masalah apa saja yang terjadi setelah revitalisasi agama di Rusia?
4.Bagaimana pemerintah Federasi Rusia memandang konsep pemikiran
multikulturalisme?
5. Bagaimana hubungan pemerintah dengan agama di era Federasi Rusia?

1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara pemerintah dan agama dalam
kerangka revitalisasi agama di Rusia pasca Uni Soviet. Di dalamnya akan memuat gambaran
perubahan yang terjadi dalam bidang keagamaan di era Federasi Rusia, mulai dari perubahaan
komposisi jumlah pemeluk agama, masalah keagaaman yang muncul, regulasi dari Pemerintah
Federasi Rusia dalam mengatur kehidupan beragama warga negaranya. Seluruh data dan fakta
analisa tersebut selanjutnya dijadikan acuan dalam menyimpulkan kehidupan bertoleransi yang
ada di dalam masyarakat Rusia.
10 John. W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantittative approaches, California: Sage Publications
,1994, Hal 145.

10

2. Pembahasan
2.1 Demografi Agama di Rusia
Demografi agama dari penduduk Rusia terdiri dari pengelompokkan jumlah populasi
berdasarkan kepercayaan atau agama yang mereka anut yang dipadukan dengan distribusi
geografis, keaktifan praktik beragama, karakteristik ideologis dan indikator pendukung lainnya.
Saat ini seperti di semua negara demokrasi lainnya, masyarakat Rusia telah bebas menggunakan
haknya dalam menentukan keyakinan atau memilih agama yang mereka anut. Agama di Rusia
telah menjadi hak asasi dari setiap warganya. Jika menilik ke belakang, keadaan seperti ini
sebenarnya bermula di penghujung tahun 1990-an, kala itu terjadi peningkatan minat terhadap
Agama di Rusia. Agama mulai mengambil pengaruh penting dalam dunia politik dan kehidupan
bermasyarakat di Rusia yang multietnis, serta menjadi faktor terkuat dalam perkembangan
spirtualitas dan budaya. Pada periode ini lahir kebangkitan agama, tidak hanya agama tradisonal,
namun juga agama baru, nontradisonal bagi Rusia. Dengan demikian, jumlah masyarakat Rusia
yang menyebut dirinya beriman, telah terus meningkat sejak pertengahan 1990-an.[11]

Perbandingan Jumlah Orang Yang Percaya Tuhan & Atheis Di Rusia

Sebenarnya tidak ada data resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Rusia berkenaan
gambaran kepercayaan dan agama yang dianut warga negaranya. Hal ini dikarenakan UndanngUndang Federal Tahun 1997 Rusia tidak memungkinkan pemerintah untuk mendata agama yang

11

http://www.isras.ru
11

dianut wargan negaranya secara keseluruhan. Dalam Undang-Undang Federal Tahun 1997 pasal
3 tertulis:
Ф
,

,

,

;
Di Federasi Rusia kebebasan tentang kepercayaan dan kebebasan beragama
dijamin, termasuk hak untuk memeluk secara individu atau atau secara kolektif
sebuah agama atau tidak memeluk agama manapun, mereka bebas memilih dan
mengubah, memiliki dan menyebarkan agama dan kepercayaan dan hidup sesuai
dengan agama mereka

,

,

,

,
,
.
Tidak seorangpun yang diwajibkan melaporkan sikap mereka terhadap agama
dan mereka tidak bisa dipaksakan untuk mendefiniskan sikapnya terhadap
agama, untuk memeluk atau menolak suatu agama, untuk ikut atau tidaknya
dalam pelayanan dan upacara-upacara keagamaan, kegiatan keagamaan dan
pelajaran agama.

Dengan demikian, hukum menetapkan hak warga negara untuk tidak menanggapi
pertanyaan tentang agama. Hal ini membuat sulit dalam mengumpulkan statistik pada komposisi
agama dari penduduk Rusia.. Meski tidak ada catatan resmi dari pemerintah, saat ini banyak
lembaga yang telah melakukan surveyi dan mengeluaran data statistik demografi agama. Salah
satunya Arena (Atlas Religii I Nasionalnostey Rossii). Pada 2012 mereka mengadakan survei
guna memperoleh gambaran komposisi kepercayaan dan agama yang dianut masyarakat
Rusia.[12]

12 http://sreda.org/arena

12

Berdasarkan survei yang dilakukan, diperoleh beberapa fakta penting terkait demografi
agama di Rusia. Jumlah presentase penganut Kristen Ortodoks tertinggi berada di wilayah
Tombov, Lipetsk, Nizhny Novgorod, Kursk, Kazan, Penza, Tula dan Mordovia. Sementara,
jumlah pemeluk Kristen Ortodoks dengan presentase terendah berada di wilayah Tuva dan
Dagestan. Untuk Islam, presentase tertinggi jumlah pemeluknya berada di wilayah KabardinoBalkaria, Bashkortostan, Karachaevo-Cherkessia, Dagestan dan Tatarstan. Presentase jumlah
pemeluk terendah ada pada wilayah di Orel, Smolensk, Tambov, Nizhny Novgorod, Belgorod
dan wilayah Kursk dan Wilayah Trans-Baikal. Penganut Budha tinggal paling banyak di wilayah
Tuva, Kalmykia, Buryatia dan juga di Trans-Baikal. Wilayah penganut Budha yang paling
sedikit ada di Kaliningrad, Tyumen, Murmansk, Bashkortostan, Moskow dan Saint Petersburg.
Tingkat tertinggi ateisme berada di wilayah Primorye, Altai, Yakutia, Amur, Khabarovsk, dan
Kaliningrad. Sebaliknya, wilayah dengan presentase Atheis terendah ada di Dagestan dan
Ossetia Utara.
Lembaga Levada Center juga mengadakan jajak pendapat pada Agustus 2011..[13] Jajak
Pendapat ini berdasarkan sampel nasional yang diwakili penduduk desa dan perkotaan dengan
jumlah responden sebanyak 1.624 orang dengan rentang usia di atas 18 tahun, yang tinggal di
130 daerah di 45 negara bagian yang ada di Rusia. Hasil jajak pendapat tersebut dibandingkan
dengan jajak pendapat yang telah dilakukan tahun-tahun sebelumnya lalu dinyatakan dalam
presentase sebagai berikut :

13 http://www.levada.ru/press/2011090801.html

13

Dari hasil jajak pendapat di atas kita dapat melihat dalam beberapa tahun terakhir muncul
sebuah periode kebangkitan agama, kembalinya nilai-nilai keagamaan di Rusia. Masyarakat
mulai kembali pada keyakinan agama mereka. Hal ini pun diperkuat dengan keinginan dari
masyarakat Rusia untuk kembali melaksanakan ritual keagamaan seperti dahulu. Masyarakat
Rusia ingin menghidupkan semangat keagamaan mereka dengan mengadakan kembali beberapa
ritual keagamaan seperti baptisan, sakramen Krisma, Komuni dan pernikahan Kristen, upacara
sunat dan upacara pernikahan bagi umat Islam dan Yahudi, atau upacara pemakaman
berdasarkan agama mereka.
Sementara itu, dalam menentukan tingkat religiusitas masyarakat Rusia, Institut Sosiologi
Rossiyskaya Akademiya Nauk juga ikut mengadakan jajak pendapat yang dilakukan pada tahun
2009, sekitar setengah dari responden (47%) secara keseluruhan tidak religius, sekitar seperlima
dari responden bervariasi dalam menentukan ukuran agama mereka dan hanya 3,3%, menurut
perkiraan sendiri mengerti agama secara mendalam. Sebagian besar orang yang percaya pada
agama menyebut diri mereka (tidak kurang dari 65%) sebagai Ortodoks. Selain itu, sebagian
besar responden Ortodoks tidak mengikuti perintah agama dan ikut serta dalam aktivitas gereja,
mereka hanya mengikuti tradisi nasional. Ketika mempertimbangkan struktur religiusitas Rusia
terdapat suatu kontradiktif. Di satu sisi, kita dapat memastikan pertumbuhan selama 10 tahun
terakhir - 58% responden menyatakan iman mereka kepada Tuhan. Di sisi lain, anggota pecahan
tertentu tidak berarti termasuk masyarakat Rusia yang dalam kehidupan sehari-hari mereka
penuh ketaatan pada prinsip dan persyaratan dari Iman. Sebagai contoh, 20% Ortodoks percaya
pada firasat, 11% - percaya beberapa kekuatan supranatural, 6% percaya terhadap sihir, 2% percaya reinkarnasi, sepertiga pemeluk ortodoks mempercayai nasib. Di antara para pengikut
Islam, angka-angka ini bahkan lebih tinggi.
Keunikan dari situasi sekarang adalah fenomena "iman tanpa agama" sekelompok besar
masyarakat Rusia (11%) menyatakan keyakinan mereka dalam beberapa kekuatan yang lebih
tinggi, tetapi mereka tidak menjadi pendukung kepercayaan tertentu. Dalam kelompok ini,
persentase tertinggi ditempati oleh orang-orang muda dan orang-orang dengan pendidikan
tinggi. Hal tersebut mungkin yang menjadi karakteristik dari mereka sebagai ketidakpuasan
dengan agama-agama tradisional yang ada, serta fokus mereka pada pencarian spiritual.

14

Kelompok responden ini sebagai cerminan yang paling memiliki karakteristik dari perilaku
rasional.
Berkenaan dengan jumlah praktek kepercayaan, statistik yang dimiliki negara di bidang
ini tidak ada, hanya ada data hasil penelitian para ahli. Menurut sosiolog agama S. Filatov dan R
Lunkin, praktek kepercayaan dari Ortodoks dan juga perwakilan dari gerakan-gerakan
keagamaan baru mencapai 12-24 juta orang. Seperti di berbagai tempat lainnya di Rusia, jumlah
terbanyak masih dipimpin oleh Kristen Ortodoks yang berjumlah 3-15 Juta, kemudian diikuti
Islam (sekitar 3 juta orang), Protestan (sekitar 1,5 juta). Orang-orang dengan kepercayaan kuno,
orang-orang yahudi dan orang-orang prnyembah berhala jumalahnya kurang dari 1 juta orang.

Jumlah Pemeluk Agama yang Aktif Beribadah

Sebagian besar umat beragama bersatu bersama sudut pandang hukum dalam organisasi
keagamaan melalui interaksi mereka dengan pemerintah. Menurut Kementrian Kehakiman, pada
tanggal 1 Januari 2009, terdapat berbagai organisasi keagamaan dengan komposisi sebagian
besar didominasi oleh Kristen Ortodoks (71%), kemudian Islam (11,7%) dan protestan (2,7%),
kemudian kelompok berbagai aliran kepercayaan baru (3%), serta gabungan kelompok
kepercayaan lama, Katolik, Judaisme dan Budha yang mencapai 1%.

15

2.2 Dasar Hukum Kehidupan Beragama di Rusia
Bagi Rusia yang masyarakatnya sangat majemuk, pemahaman toleransi begitu penting untuk
menjaga hubungan yang seimbang dengan berbagai etnis dan agama di negara tersebut. Sebab
itu, guna menciptakan toleransi di masyarakatnya, Pemerintah Federasi Rusia telah memiliki
payung hukum. Prinsip-prinsip hukum tentang agama dan kehidupan beragama warga negara
telah ditetapkan dalam Konstitusi Federasi Rusia. Hal inilah yang menjadi dasar kehidupan
beragama di Rusia. Mengacu pada Konstitusi, berikut adalah pasal-pasal yang dapat dijadikan
sebagai landasan kehidupan beragama di Rusia.[14]
,
(
1,
13)
melarang pembentukan dan kegiatan asosiasi masyarakat yang bertujuan atau
tindakannya yang ditujukan untuk menghasut kebencian nasional dan agama (Bab 1,
Pasal 13)
Ф



;

(
1,
14)
Federasi Rusia adalah negara sekuler; Tidak ada agama dapat ditetapkan sebagai
agama negara atau agama wajib (Bab 1, Pasal 14)
(
1,
14)
Organisasi keagamaan dipisahkan dari negara dan diperlakukan sama di hadapan
hukum (Pasal 1, Pasal 14)
,

,

;

(
2,
19)
Negara menjamin persamaan hak dan kebebasan manusia dan warga negara,
terlepas dari kebangsaan, agama, keyakinannya kepada agama; Semua bentuk
pembatasan hak asasi manusia atas dasar agama dilarang (Bab 2, Pasal 19)
,
,
28)

,
,

(

2,

14 http://www.constitution.ru

16

Setiap orang dijamin kebebasannya dalam hal berkeyakinan, memeluk agama
termasuk memeluk agama secara individu atau bersama-sama dengan lainnya atau
tidak memeluk agama apapun, bebas memilih, memiliki, dan menyebar luaskan
agama dan keyakinannya dan hidup sesuai dengan pemahaman itu.

,

;
(
2,
29);
Tidak diperbolehkan propaganda atau kampanye yang menghasut kebencian agama
dan permusuhan; propaganda superioritas agama (Bab 2, Pasal 29)
Ф

,

,

(
2,
59)
Warga negara Federasi Rusia jika kepercayaan atau agama yang dianutnya
bertentangan dengan kemiliteran, atau juga dalam kasus yang ditetapkan oleh hukum
federal, ia memiliki hak untuk mengubah layanan sipil alternatifnya (Bab 2, Pasal
29)
Selain dalam Kontitusi Federasi Rusia, hukum yang mengatur urusan kehidupan beragama
juga terdapat pada Hukum Federal. Pada 26 September 1997 disahkan undang-undang hukum
federal tentang kebebasan berkeyakinan dan organisasi keagamaan, Zakon O Svabode Sovesti I
Religioznikh Obyedineniyakh . Undang-undang ini terdiri atas preambule dan 6 bab, lebih
terperinci mengatur kehidupan beragama serta organisasi keagamaan Rusia. Jadi, Hukum Rusia
tentang kebebasan berkeyakinan, kebebasan beragama dan organisasi keagamaan terdiri dari
aturan yang saling berkorelasi dari Konstitusi Federasi Rusia, Hukum Perdata Federasi Rusia,
dan Undang-undang Federal tentang kebebasan berkeyakinan dan organisi keagamaan tahun
1997.
2.3 Problematika Keagamaan di Rusia
Saat ini Rusia, seperti negara lainnya yang berada di era post-sosialis, hidup di dalam
sejarahnya yang sangat kompleks dan harus melewati tahapan yang begitu penting setelah sistem
politik totaliter secara resmi runtuh. Menurut Mikhail Shagov, ada beberapa tahapan penting
dalam hubungan antara Pemerintah Rusia dan organisasi keagamaan, yang ditandai dengan
perubahan kebijakan Pemerintah yang terbilang cukup signifikan menyangkut masalah agama.
Tahap awal dapat dikatakan pada akhir 1980-an – Oktober 1990 (Sejak Perayaan 1000 tahun
Kekaisaran Rus memeluk Kekristenan Orthodox & mulai berlakunya hukum tentang kebebasan
beragama). Tahap berikutnya ada pada priode Oktober 1990 – September 1997 (Sampai
penerapan UU Federal tentang kebebasan agama dan organisasi keagamaan). Sementara itu,
tahap terakhir dimulai sejak Semptember 1997 – sekarang.

17

Kebebasan beragama tentu memberikan dampak signifikan bagi kehidupan bermasyarakat di
Rusia. Pada era ini muncul berbagai gerakan keagamaan. Dengan lahirnya berbagai organisasi
keagamaan, muncul dua masalah besar di Rusia, hal pertama yang patut menjadi sorotan atas
fenomena ini adalah munculnya gerakan keagamaan baru yang di dalamnya memiliki pergerakan
yang umumnya tertuju terhadap pemuda dan bersifat eksentrik, biasanya gerakan ini awalnya
memiliki potensi merusak, mereka berusaha merusak psikis dan tak jarang menyerang fisik
masyarakat. Masalah kedua adalah munculnya gerakan kelompok ekstrimis yang membawa
nama sebuah agama yang telah memiliki reputasi di kalangan masyarakat luas (Islam, Kristen,
dan lainya). Kita dapat menyebutnya sebagai Gerakan Keagamaan Baru. V.V Kravchuk
menjelaskan Gerakan Keagamaan Baru yang ada di Rusia dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok.[15]
1. Gerakan yang dalam studinya dapat dikatakan hanya terkait dengan bentuk baru (Para
ahli tidak dapat menempatkan secara pasti termasuk ke dalam agama yang telah ada
sebelumnya), seperti sekte Kesaksian Jehova atau pun ajaran Gereja Mormon yang
muncul di abad XIX yang awalnya berdasarkan ajaran Protestan. Selain itu, juga
terdapat kepercayaan Bahai yang kemudian muncul berdasarkan ajaran Islam dan
kemudian dapat dikatakan menjadi agama baru di dunia yang telah memisahkan diri.
Kemudian, ada kelompok masyarakat Internasional yang beraliran kepercayaan
Krisna, yang muncul di era modern, abad XX, namun pada dasarnya lahir dari ajaran
Hindu Kuno Gaudia-Waisnavisme.
2. Gerakan keagamaan baru, yang pada awalnya muncul sekitar 100-150 tahun terakhir.
Prinsip dasar ajarannya tidak berkorelasi dengan ajaran agama yang telah banyak di
kenal di dunia. Sering kali mereka menyatakan otonomi atas budaya dan agama yang
mereka miliki. Mereka memiliki beragam doktrin dan mengklaim paham non
denominasi. Tidak jarang gerakan ini dikepalai oleh pemimpin yang kharismatik,
yang menawarkan program alternative dalam pembangunan manusia dan masyarakat.
Kemunculan gerakan ini pada awalnya di Rusia pada beberapa dekade lalu di bawah
kewenangan pusat keagamaan asing, mereka dapat dikaitkan dengan ajaran dari luar
negeri seperti ajaran Church of Sciencetology, Persatuan Gereja San Men Mun, Aum
Shin Rykyo, dan lainya.
3. Gerakan Keagamaan Baru yang berasal dari dalam negeri, juga muncul atau secara
struktur dibentuk di Rusia pada beberapa puluh tahun lalu. Kelompok yang mencolok
karena memiliki jumlah pengikut yang besar contohnya ajaran P.K Ivanov
(Ivanovian), Persaudaraan Kulit Putih (Beloye Bratsvo) Yusmalos, Gereja Perjanjian
Terakhir (Tserkov Poslednevo Zaveta ), gerakan Bazhov, serta kelompok lainnya.

15 Kravchuk, Veronika. Gosodarstvo I Novie Religiozniy Dvizheniye V Sovremennoy Rossii. Saint Petersburg, 2006.

18

Terhitung sejak tahun 1990 hingga tahun 2002, pertumbuhan jumlah gerakan
konvensional tersebut meningkat dari 16 gerakan hingga mencapai jumlah 75. Sebagian besar
bagian gerakan itu muncul dengan nama gerakan keagamaan baru. Namun, perlu dicatat bahwa
ketertarikan masyrakat terhadap ajaran gerakan keagamaan baru di pertengahn 90-an mengalami
penurunan, para pengikut sebagian besar gerakan ini tidak lebih dari 300 ribu orang. Masalah ini
muncul disebabkan kontrol yang begitu kaku yang diterapkan terhadap gerakan keagaamaan
baru ini.
Dalam pasal 14 Undang-Undang Rusia Tahun 1997 tentang Kebebasan Memeluk
Kepercayaan dan Organisasi Keagamaan, diatur mengenai prosedur pembekuan gerakan
keagamaan dan pelarangan kegiatan gerakan keagamaan tersebut jika mereka melanggar hukum.
Pertama-tama, harus diingat bahwa dalam bahasa hukum, istilah pembekuan memiliki konotasi
yang berbeda, yakni penghentian badan hukum, termasuk aktivitas mereka sepenuhnya. Hukum
tentunya didasarkan terhadap norma, hal ini pun sebenarnya telah tercantum pada pasal 61
Hukum Sipil Federasi Rusia, di sana dijelaskan bahwa ada dua kemungkinan pembekuan
gerakan keagamaan. Pertama, atas keputusan pendiri atau badan hukum yang memiliki ADRT
organisasi tersebut. Kedua, keputusan pengadilan atas dasar tindakan ilegal dan membahayakan
dari organisasi itu. Meski begitu, pasal 14 Undang-Undang Rusia Tahun 1997 tentang
Kebebasan Memeluk Kepercayaan dan Organisasi Keagamaan, menunjukan bahwa masih ada
dasar yang kurang memadai untuk penghapusan, yang dapat diberlakukan kepada sebagian besar
Рerakan keaРamaan tradisonal. ContoСnвa, ‗pemaksaan untuk meninРРalkan keluarРa‘ dapat
didukung dengan adanya lembaga monastik yang dimiliki sebagian besar agama di dunia. Selain
itu, juРa terdapat ‗dampak kerusakan pada diri mereka‘ contohnya, dengan berpuasa yang
berlebihan, meminum racun dan tindakan berbahaya lainnya. Akan tetapi, hal tersebut bagi
pemeluk kepercayaan merupakan suatu tindakan yang baik, tidak berdosa dan merupakan
tindakan yang mereka lakukan secara sadar dan sukarela, dan hukum yang ada tentunya tidak
dapat melarang mereka untuk melakukan itu, sebab tidak ada yang dapat membatasi manusia
memperlakukan tubuh dan jiwanya sendiri. Kerusakan psikis juga hampir tidak bisa dibuktikan.
Sebab, manifestasi dari religiusitas pada berbagai agama bisa jadi berhubungan dengan
pandangan kita sebagai orang di luar kelompok mereka yang sering kali mempersepsikan sebagai
fantasi, kebohongan dan lainnya.
Adanya perubahan situasi di Rusia dapat diamati pada ajaran samanisme dan arah ajaran
Budha Wajrayana, yang secara signifikan telah mempengaruhi ajaran tradisonal Budhisme Tibet,
dimana terdapat pengagungan terhadap guru yang juga terdapat pada penghormatan dalam tradisi
Sivaisme India. Bentuk struktur ini begitu kaku, dapat disejajarkan dengan gereja Katholik
Roma, yang mengatur berbagai sendi kehidupan hingga hal-hal kecil, sama halnya seperti arah
ajaran ultra-ortodoksi dalam ajaran Judaisme atau lainnya. Akhirnya muncul kelompok sekte dan
oposisinya secara terang-terangan. Kondisi seperti ini ada pada gereja ortodoks dan ajaran-ajaran
tradisional lainnya, namun masyarakat dan pemerintah seakan jauh dan tidak selalu bisa
menjatuhkan mereka sanksi. Alasannya, tidak mudah memberlakukan garis pembatas antara
19

ekstrimisme individu dengan ekstrimisme yang lahir sebagai integral dari suatu kelompok.
Bahkan dalam beberapa kasus, tatkala organisasi telah jelas memiliki manifestasi pergerakan
ekstrim, untuk mengumpulkan bukti dasar yang memadai begitu sulit dan tidak selalu
memungkinkan. Sering terjadi, orang-orang yang meninggalkan organisasi tersebut lebih
memilih untuk tidak berurusan dengan pihak berwajib atau pengadilan.
Pada akhirnya, Gerakan Keagamaan Baru memiliki masalah yang kompleks. Ia
melahirkan keharusaan adanya resolusi dalam menghormati hak asasi setiap manusia untuk
bebas memilih kepercayaannya, namun di sisi lain pemerintah juga harus melahirkan resolusi
dalam melindungi identitas budaya nasional, menangkal aksi esktrimisme serta demoralisasi
dalam lingkup keagamaan. Selain itu, masalah yang serupa dengan Gerakan Keagamaan Baru
adalah Amerikanisasi dan Koreanisasi dari kelompok Kristen Protestan yang sudah cukup tajam.
Jumlah pengikut Protestan lebih besar dibanding pengikut Gerakan Keagamaan Baru. Para
pengikut Protestan ini sering kali mengajukan kesempatan belajar di Rusia (Khususnya bidang
ilmu humanitarian). Mempelajari budaya dan tradisi Rusia dengan maksud mentransformasi
ritual keagamaan mereka di bawah nilai-nilai Rusia, mereka pun menjalain hubungan dengan
Gereja Ortodoks Rusia dan komunitas keaРamaan ‗tradisonal‘ lainnвa. MasalaС aliran dana asinР
juga masih belum terselesaikan. Namun dari tahun 2001, berdasarkan data Badan Keamanan
Federal Rusia, atas inisiatif kelompok Protestan Rusia, aliran dana dengan jumlah besar yang
mengarah pada suatu organisasi pusat, berhasil dihentikan.
Masalah serius selanjutnya adalah ekstrimisme yang terdapat dalam kelompok agama
tradisional. Contohnya, bagi Rusia masalah ekstrimisme di antara kelompok islam telah menjadi
sesuatu yang serius. Hal ini pun telah nyata muncul di wilayah Kaukasus Utara. Diawali pada
gelombang pasca Perestroika di Chechnya di awal tahun 90-an. Ketika itu gerakan separatis
mengibarkan ideologi ―Islam Fundamentalis‖ yang tidak mengakui pembagian muslim
berdasarkan ras, etnik, atau bangsa. Kini di wilayah Kaukasus Utara, ketika kelompok separatis
telah resmi dikalahkan, organisasi politik-keagaaman yang bersifat ekstrim, muncul sebagai
struktur jaringan dan tidak dibebani kewajiban apapun bahkan sebelum perekrtutan anggota
barunya, mereka tidak dikenai pembatasan dalam membuat anggaran dasar dan anggaran rumah
tangganya.
Bentuk yang paling kСas dari Рerakan radikal di Kaukasus Utara adalaС ―JamaaС‖ вanР
dibentuk berdasarkan tujuan mendirikian republik sendiri. Guna meregenerasi anggota ―JemaaС‖
yang telah memasuki usia senja, para pemuda di Kaukasus Utara mengisi berbagai posisi. Tidak
jarang di dalam publikasi ilmiaС dan jurnalistik mereka disebut sebaРai ―JamaaС Pemuda.‖
Struktur organisasi pemuda di Kaukasus Utara mengambil contoh dari timur tengah. Mulai dari
kesatuan komando, jajaran kesatuan, sumber dana internal yang besar dan bantuan dana dari
pihak luar.ContoСnвa, seperti вanР dimiliki Palestina denРan ―Рerakan perlaаanan Islam‖
Hamas.

20

Kendati penurunan aktifitas terorisme mulai menurun dari puncaknya pada tahun 2005,
situasi di wilayah Kaukasus Utara masih terbilang rumit hingga saat ini. Terlebih, disadari
bahwa sehubungan dengan masalah penetralan aksi ekstrimisme, lahir suatu permasalahan baru
dari para sastrawan yang tulisan-tulisannya dapat dikatakan sebagai bagian ekstrimisme itu
sendiri. Masalah lainnya, tulisan berbau ektrimisme dapat ditemukan pada Al-kitab, dan juga di
Talmud, yang pada umumnya kita tidak dapat menganggap buku-buku ini sebagai bentuk
ektrimisme. Selain itu, penting sekali untuk memiliki penafsiran untuk teks-teks kitab suci.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka berdasarkan keputusan Kementerian Kehakiman
Federasi Rusia, per tanggal 22 Juli 2009 No. 224, didirikan Dewan Penasehat Ilmiah di bawah
Kementrian Kehakiman Federasi Rusia, untuk mengkaji materi informasi dari konten agama
guna mengidentifikasi tanda-tanda ekstrimisme. Dewan ini dibentuk dari para ahli di bidang
teologi, studi agama, sosiologi, sejarah, filologi, psikologi, dan para ahli di bidang media khusus
lainnya. Diharapkan melalui Dewan ini, masalah konflik terkait keagamaan dapat diurai dan
kemudian dapat dicegah kemunculannya kembali.
2.4 Multikulturalisme dan Rusia
Termin multikulturalisme pertama kali muncul di tahun 60-an dalam leksikon politik di
Kanada, kemudian Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa Barat dengan jumlah
imigran yang signifikan turun mengembangkan konsep ini. Di Eropa konsep "masyarakat
multikultural" datang di tahun 70-an dan dengan cepat menjadi kunci kebijakan imigrasi dan
juga slogan untuk menyatukan semua kekuatan antinationalis. Multikulturalisme belum
diresmikan dalam bentuk hukum, dan masih hanya sebatas ide dan konsep tidak dikembangkan
secara rinci, sulit untuk memberikan perkiraan mutlak. Itulah sebabnya, di dalam kata ini
terdapat pengertian yang berbeda di berbagai negara, juga perwujudannya yang berbeda.
Di Kanada, model multikulturalisme di negara itu berbentuk integrasi tanpa asimilasi.
Multikulturalisme berjalan seperti halnya keyakinan kepada berbagai kemungkinan percampuran
―pluralisme budaвa‖ palinР luas, persatuan indentitas keаarРaneРaraan dan integritas nasional.
Di Amerika Serikat, multikulturalisme ditujukan sebagai pencapai kesetaraan antara orangorang dari berbagai ras, kelompok etnis dan agama dengan menghilangkan ketidakadilan sejarah
dan strata sosial. Di Australia, multikulturalisme ditujukan guna meningkatkan citra negara ke
dunia luar dan menarik imigran untuk menghilangkan defisit sumber daya tenaga kerja. Australia
mendorong imigran untuk pindah ke pelestarian etnis dan budaya, di sana loyalitas mereka
dibentuk dan diarahkan untuk mengadopsi nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip masyarakat
demokratis. Di Jerman, multikulturalime model toleransi fungsional dijalankan, para pekerja
asing diterima di sana, mereka tidak menerima hak-hak sipil secara penuh namun mereka
diberikan kesempatan untuk hidup dan bekerja di Jerman dan juga melesetarikan identitas
mereka.

21

Sementara itu, Rusia bukan merupakan negara imigran. Masyarakatnya telah tinggal di
wilayah itu dan memiliki kesamaan sejarah yang mewarnai tempat dimana mereka hidup.
Mereka memiliki benang merah yang kuat yang terhubung pada kesamaan sejarah. Memutus
benang merah itu, seperti halnya yang dilakukan oleh para imigran di Eropa Barat, adalah hal
yang tidak diinginkan oleh berbagai perwakilan etnis di federasi Rusia, namun melakukan
multikulturalisme secara paksa merupakan sebuah genosida kebudayaan. Di Rusia, kesatuan
identitas kelompok etnis yang mendiami wilayah Rusia diberikan pada waktu yang berbeda
dengan cara yang berbeda. Keunikan itu bermula dari Kekaisaran Rusia yang memiliki koloni di
perbatasan negara, lalu mereka memperluas daerah mereka di benua Eurasia. Semua bangsa yang
berada di bawah kekaisaran Rusia memiliki kesetiaan umum untuk raja. Cara lain untuk
membangun identitas adalah Ortodoks, yang disebarkan di tengah orang-orang non-Slavia.
Berbeda halnya pada periode Soviet yang secara aktif mempropagandakan identitas nasional
yang baru, "Bangsa Soviet", penciptaan identitas ini diproklamasikan dari hasil kebijakan
nasional Uni Soviet, di mana pada tingkat negara keragaman etnis tetap dipertahankan, walau
kenyataannya dalam semua periode sejarah, dominasi budaya dari etnis Rusia masih saja sangat
besar terhadap kelompok etnis non-Rusia. Sebab itu, praktek multikulturalisme di Rusia
menyiratkan penolakan dari norma-norma budaya yang dominan (dalam hal ini norma-norma
budaya dari etnis Rusia yang jumlahnya 80% dari populasi negara)[16] yang idelanya memberikan
dorongan baru kepada pengembangan budaya minoritas.
Berhasil atau gagalnya kebijakan negara tentang multikulturalisme tidak lepas dari sejarah,
serangkaian masalah sosial ekonomi dan demografi dan imigrasi. Kebijakan multikulturalisme
tidak dapat menjamin integrasi masyarakat dan pembentukan persatuan nasional. Dalam setiap
tatanan masyarakat terdapat hambatan yang lahir dari kedua belah pihak. Imigran tertarik untuk
melestarikan dan menekankan "keberbedaan", karena mereka memiliki jenis keistimewaan
dalam bentuk berbagai dukungan pemerintah. Sementara kaum mayoritas tidak begitu merasa
harus menghargai orang-orang yang bukan dilahirkan di negara mereka atau dibesarkan oleh
budaya dan tradisi yang sama dengan mereka. Terkait Rusia, migrasi yang terjadi di Rusia sangat
spesifik jika dibandingkan dengan migrasi di negara-negara Barat. Dalam kasus Rusia, para
imigran didominasi dari negara-negara pecahan Soviet, dimana kesenjangan budaya antara
imigran dan masyarakat umum di Rusia jauh lebih rendah jika dibanding dengan yang terjadi di
Eropa Barat atau Amerika. Terlebih kesatuan sistem pendidikan yang ada di bekas Uni Soviet
selama lebih dari setengah abad dan telah mencakup beberapa generasi memberikan warisan satu
bahasa komunikasi antaretnis (bahasa Rusia) serta prinsip pengetahuan bermasyarakat yang
sama. Kenyataan ini yang menjadikan Rusia tidak menerapkan politik multikulturalisme seperti
yang ada di negara Barat.

16 Rossiskaya Akademiya Nauk, Osnovnie Itogi Vserossiyskoy Perepisi Naseleniya 2002, Moscow, 2003, hal 15

22

2.5

Hubungan Pemerintah dan Agama Di Rusia

Dalam masalah ini tentunya perlu disoroti peran pemerintah Rusia prihal menjaga
kehidupan bertoleransi dalam masyarakatnya. Hubungan negara dan agama harus dibangun atas
dasar norma-norma konstitusi, terjaminnya kebebasan beragama, sekularisme, pemisahan
kelompok agama dari negara dan jaminan persamaan hak di mata hukum. Hal tersebut wajib
diimplementasikan, karena sesuai dengan apa yang tertulis pada pasal 4 UU Federal ―Kebebasan
Beryakinan dan Kelompok KeaРamaan‖ Tahun 1997. Pada paragrah pertamanya berbunyi: .
«

Ф





.
»
“Federasi Rusia merupakan negara sekuler. Tidak ada agama yang dapat
dijadikan agama negara atau agama wajib. Gerakan keagamaan terpisah dari
pemerintahan dan sama di hadapan hukum.”

Lebih lanjut pada paragraph kedua pasal 4 UU Federal Tahun 1997 tertulis:
«В

:
“Sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi organisasi agama dipisahkan dari
negara:
,

,

,

Tidak mengintervensi urusan hubungan warga negara terhadap agama dan
agama yang dianutnya, pengasuhan anak oleh orang tua atau perseorangan,
dengan pergantian kepercayaan yang mereka miliki dan atas dasar hak anak
dalam kebebasan berkeyakinan dan kebebasan beragama

,

,

Tidak memaksakan kelompok agama untuk menjalan fungsi menjadi otoritas
pemerintah, institusi pemerintah, atau menjadi lembaga pemerintah daerah

Ф

;

,

»
Tidak mengitervensi kelompok keagamaan, jika ia tidak bertentangan dasar
undang-undang federal, menjamin karakter pendidikan sekuler dalam institusinya
baik di tingkat nasional dan daerah
23

Dari Pasal 4 UU Federal Tahun 1997, banyak poin yang dapat ditarik terkait keputusan
Pemerintah Rusia untuk bersikap dan memposisikan diri terhadap kehidupan beragama di
negaranya. Pertama adalah jaminan dari negara untuk tidak mengintervensi keyakinan individu
dan kegiatan suatu kelompok agama selama ia tidak melakukan tindakan yang melanggar
hukum. Hal ini merupakan syarat pokok dari terciptanya kebebasan beragama pada suatu negara.
Rusia berlepas diri dari prihal keyakinan yang dianut rakyatnya, tidak mempengaruhi mereka
untuk menganut suatu kepercayaan tertentu, atau meminta mereka mengganti kepercayaannya.
Rusia pun memberikan hak kepada anak-anak untuk menganut kepercayan yang mereka yakini,
tidak harus mengikuti kepercayaan yang dianut oleh orang tuanya. Rusia berpendapat b