Langgeng Prima Anggradinata Sejarah Sast

Sejarah Sastra Periode 1960-an: Masalah Kelompok dan Aliran
Oleh Langgeng Prima Anggradinata

ABSTRAK:
Gejolak politik yang terjadi pada dekade 1960-an berdampak pada segala aspek kehidupan,
salah satunya sastra. Perebutan kekuasaan, hegemoni, dan perang ideologi terjadi pada
masa itu. Akhirnya, sastra dan politik menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Hal inilah
yang kemudian membuat penulisan sejarah sastra untuk periode 1960-an menjadi tidak
bebas dari kuasa. Dinamika sastra periode 1960-an selalu diawali dan ditandai dengan
ketegangan antara dua kelompok, Lekra dan Manikebu. Hal ini membuat apa yang terdapat
dalam sejarah sastra periode 1960-an penuh dengan ideologi dan kepentingan. Ada
semacam diskriminasi, subordinasi, bahkan penghapusan kelompok Lekra pada sebagian
historiografi. Hal ini justru merugikan sastra Indonesia itu sendiri dari segi ilmu
pengetahuan karena bagaimana pun karya Lekra adalah salah satu kekayaan dari sastra
Indonesia. Tulisan ini mencoba menggunakan perpektif lain dalam memandang sastra
Indonesia periode 1960-an. Perspektif itu tidak menggunakan perspektif yang dilakukan oleh
para ahli yang sudah-sudah. Perspektif yang digunakan ialah perspektif aliran. Selain itu,
tulisan ini mencoba menggali fakta lain dalam periode 1960-an yang tidak sempat digali
oleh para ahli. Fakta lain itu adalah komunitas sastra yang independen, yang jauh dari
kesan politik.


Kata kunci: Sejarah sastra Indonesia, periode 1960-an, PSK, Simbolisme

1. PENGANTAR
Peristiwa politik tahun 1965 begitu melekat dibenak setiap orang, baik yang terlibat
secara langsung, maupun yang tidak terlibat sama sekali; baik yang hidup di zaman itu
maupun yang hidup setelahnya. Peristiwa tersebut berhasil menjadi memori kolektif rakyat
Indonesia. Memori kolektif tersebut tentu saja dibangun sedemikian rupa oleh berbagai pihak
untuk berbagai kepentingan, baik politik maupun ilmu pengetahuan. Melalui kebijakan
politik dan ilmu pengetahuan (sejarah) memori kolektif itu dikonstruksi untuk mengukuhkan
status quo; status quo politik dan status quo ilmu pengetahuan.

Sebut saja orde baru yang berhasil merebut status quo dari orde lama. Ia berhasil
menciptakan status quo baru. Melalui meja-meja pendidikan dan kebudayaan, orde baru
berhasil membentuk memori kolektif tentang peristiwa 1965. Pada saat itu pula, ilmu
pengetahuan (sejarah) benar-benar dikuasai orde baru.
Alhasil, semua sektor terkena dampak dari kekuasaan itu. Secara tidak sadar, masingmasing orang dirasuki oleh pengetahuan yang berasal dari penguasa yang notabene
mengandung kepentingan politik tertentu. Opini publik yang terbentuk bukanlah opini yang
bersifat bebas dari kuasa, melainkan opini yang dikonstruksi oleh penguasa. Hal ini
1


menyebabkan terjadinya keberpihakan ilmu pengetahuan (sejarah) terhadap satu golongan.
Pada saat itulah yang berkuasa melakukan hegemoni terhadap segala aspek kehidupan secara
struktural dan menyeluruh. Peristiwa politik tahun 1965 telah menyentuh berbagai sektor
pengetahuan, tidak terkecuali sastra.
Buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) yang disusun H.B. Jassin menjadi contoh
bagaimana ideologi penyusun sejarah sastra bermain. Karya-karya Lekra tidak dimuat dalam
antologi itu dengan berbagai alasan yang cenderung politis dan sentimentil. Ajip Rosidi
dalam beberapa bukunya (Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia
[1970], Laut Biru Langit Biru (1977), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia [1977], dan Puisi
Indonesia Modern [2010]) tidak menaruh perhatian terhadap Lekra dan karya-karyanya.

Selain buku-buku dari kedua ahli itu, banyak buku sejarah sastra yang menempatkan Lekra
pada posisi yang tidak menguntungkan, terutama buku yang terbit pada zaman orde baru.
Pasca-runtuhnya orde baru, hal-hal mengenai Lekra coba diungkap kembali. Berbagai
penelitian dilakukan dan dibukukan. Beberapa buku ditulis untuk kembali mengungkapkan
apa yang terjadi pada periode 1960-an dan bagaimana sepak-terjang Lekra saat itu. Misalnya,
buku yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan berjudul Gugur
Merah: Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) dan buku Lekra Tak
Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (2008). Buku


tersebut menghimpun seluruh karya Lekra yang dimuat di lembar kebudayaan Harian Rakjat.
Ini merupakan suatu usaha untuk kembali mengenalkan karya-karya Lekra ke publik.
Menjadikan karya-karya itu tampil di pentas sastra Indonesia.
Selain itu, ada juga penelitiannya yang berbicara mengenai sastra Indonesia 1960-an
atau yang berkaitan dengannya dari berbagai sudut pandang. Di antara yang banyak itu ada
dua nama yang menarik perhatian, yakni Asep Sambodja dan Wijaya Herlambang. Masingmasing dari mereka membuat buku yang berjudul Historiografi Sastra Indonesia 1960-an
(2010) dan Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013). Pada dasarnya kedua buku tersebut kirakira memiliki tujuan yang sama, yaitu mengungkap kembali sejarah kelam 1965 (dan
setelahnya) dan menempatkan kembali Lekra pada sastra Indonesia. Mereka menilai bahwa
itu merupakan salah satu kekayaan sastra Indonesia yang mesti dimunculkan kembali.
Namun, nampaknya apa yang digunakan dalam buku-buku (penelitian) itu masih
menggunakan perspektif peristiwa politik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa tidak ada fakta
lain pada periode 1960-an selain fakta politik. Padahal, ada fakta lain yang sebenarnya cukup
berjarak dengan politik. Padahal, ada perspektif lain yang sebenarnya mampu menampung
seluruh khazanah sastra Indonesia pada periode 1960-an. Fakta lain itu adalah adanya sebuah
2

komunitas sastra yang menasional, yang jauh dari kepentingan politik, yaitu Persada Studi
Klub (PSK). Perspektif itu adalah perspektif aliran sastra yang sebenarnya mampu
menampung ideologi berkarya semua kelompok sastra, baik Manikebu dengan humanisme
universal maupun Lekra dengan realisme sosialis. Dua hal inilah—komunitas alternatif dan

aliran sastra periode 1960-an—yang akan dibahas dalam tulisan ini. Hal ini merupakan upaya
menemukan cara lain dalam membaca sastra Indonesia periode 1960-an. Diharapkan ini
dapat menjadi pencair dalam kejumudan sastra Indonesia.

2.

SASTRA PERIODE 1960-AN

2.1

POLEMIK LEKRA DAN MANIKEBU

Untuk mengetahui sastra Indonesia periode 1960-an, perlu rasanya untuk melihat
kembali sejarah sastra yang memperlihatkan pertarungan Lekra dan Manikebu. Hal ini
sebagai titik tolak atau dasar dalam melihat sejarah sastra Indonesia periode 1960-an yang
lebih luas lagi.
Sejarah itu dimulai pada 17 Agustus 1950, ketika D.N. Aidit, M.S. Ashar, Njoto, dan
A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Pada saat itu A.S. Dharta yang
bertindak sebagai sekretaris jendral Lekra. Dalam perkembangannya, mereka menjadi
lembaga yang menghegemoni. Mereka memaksa dan atau menganjurkan seniman-seniman

untuk mengikuti cara mereka berkesenian. Dengan mengusung realisme sosialis, Lekra
mengambil jalan bahwa sastra harus berguna bagi rakyat. Hal ini jelas menimbulkan
pertentangan bagi sebagian orang yang lebih memilih berkesenian untuk seni itu sendiri.
Merespons apa yang dilakukan Lekra, berdirilah Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada 17
Agustus 1963 yang dipelopori Goenawan Mohamad, Arief Budiman, H.B. Jassin, Boen S.
Oemarjati, Taufiq Ismail, dll.
Manikebu hadir sebagai lembaga yang berupaya membela hak-hak manusia yang
ditindas oleh tirani. Dengan kata lain, Manikebu adalah kelompok seniman yang menentang
orde lama, menentang Soekarno, dan ingin mengembalikan ideologi Pancasila yang telah
tercerabut dari akarnya karena komunisme pada saat itu. Oleh sebab kelompok ini menentang
orde lama atau Soekarno, puisi-puisi, cerpen-cerpen, dan esai-esainya pun bernada protes
atau puisi-puisi tentang kemanusiaan.
Kelahiran Manikebu pun direspons oleh Lekra. Lekra yang saat itu dekat dengan PKI
dan penguasa, menggunakan caranya untuk menyingkirkan Manikebu. Pada 8 Mei 1964,
pemerintah kemudian mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa Manikebu adalah
3

perkumpulan yang dilarang karena tidak sejalan dengan revolusi. Lekra pun menjadi sesuatu
yang tak terhindarkan lagi dari kehidupan kesenian di saat itu. Ia menguasai kesenian
(mungkin) secara menyeluruh, dari kesenian rakyat, hingga seni kontemporer.

Namun, keadaan itu berbalik setelah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap
jenderal Angkatan Darat—peristiwa itu dikenal dengan G30S. PKI diduga menjadi dalang
dalam peristiwa itu. Pada tanggal 30 September 1965, PKI dan organisasi yang diduga
menjadi bagian darinya dilarang dan dibasmi. Lekra yang dianggap berafiliasi dengan PKI
pun turut dilarang dan seniman-seniman yang ada di dalamnya diasingkan. Akhirnya, sejak
saat itu, dominasi Lekra pun digantikan oleh Manikebu.
Dominasi itu kemudian dikukuhkan dalam berbagai karya sastra, kanon sastra, dan
penyusunan sejarah sastra Indonesia melalui perspektif politik. Apa yang terjadi
mengakibatkan timbulnya kekaburan identitas dan sejarah sastra Indonesia. Akhirnya timbul
pertanyaan, siapakah sebenarnya sastra Indonesia itu? Apakah hanya sebatas nama-nama
yang tertulis di buku sejarah sastra yang telah terkontaminasi kepentingan itu? Hal inilah
yang menyebabkan banyak orang merasa asing dengan karya-karya Lekra.
Masih banyak kalangan yang tidak tahu atau pun merasa tabu untuk menyoalkan
Lekra, LKN, atau lembaga kebudayaan yang acapkali dikaitkan dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Hal ini disebabkan oleh sejarah yang menkonstruksi lembaga kebudayaan
itu sebagai pihak—yang disebut Sambodja (2010) sebagai—antagonis. Mereka dikonstruksi
menjadi sesuatu yang jahat dan terlarang. Pada tahap ini orde baru telah berhasil menciptakan
ketakutan-ketakutan itu melalui sejarah, termasuk sejarah sastra.
Semestinya, sejarah sastra disusun berdasarkan pijakan suatu teori, meskipun tidak
luput dari subjektivitas dan kemampuan dokumentasi karya-karya sastra. Namun setidaknya,

dengan pijakan teori yang jelas, akan diraih sejarah sastra yang memuaskan dan bertanggung
jawab. Dengan begitu sejarah sastra mampu menempati fungsinya, yaitu sebagai acuan untuk
melihat dinamika suatu zaman. Pada saat itulah, sejarah sastra mampu menjadi acuan ilmu
pengetahuan.

2.2

KELOMPOK PERSADA STUDI KLUB

Nampaknya hampir semua penulisan sejarah periode 1960-an sastra terfokus pada
pertengkaran antara Lekra dan Manikebu. Segala sorotan seperti terhisap ke Jakarta.
Bagaimana dengan daerah-daerah lain yang bukan tak mungkin sastra hidup di dalamnya.
Apakah hanya karena pertengkaran Lekra dan Manikebu adalah peristiwa yang menasional,
4

maka peristiwa tersebut menjadi monumen sejarah sastra Indonesia yang patut dicatat?
Faktanya, di kota Yogyakarta terdapat komunitas yang kiranya tidak memiliki tendensi
politik, yang dibangun atas kecintaannya terhadap sastra. Komunitas itu seolah-olah menjadi
alternatif di tengah gejolak politik pada tahun 1960-an dan terdikotominya sastrawan pada
kelompok-kelompok tertentu.

Di tengah dikotomi sastrawan dalam kelompok-kelompok tertentu itulah (Lekra,
Manikebu, LKN, Lesbumi), studi klub sastra Mantika hadir sebagai komunitas penyair yang
independen. Abdul Hadi W.M., Umbu Landu Paranggi, Darmanto YT, dll. menjadi inisiator
dalam komunitas tersebut. Namun, komunitas itu tidak berlangsung lama, kira-kira hanya
bertahan dua tahun (1966-1968).
Selain studi klub sastra Mantika, terdapat pula komunitas lain yang tumbuh di
Yogyakarta, yaitu Persada yang digawangi oleh Masry AG. Namun, sejak studi klub sastra
Mantika bubar, Persada berubah namanya menjadi Persada Studi Klub. Umbu Landu
Paranggi-lah yang kemudian mengurus komunitas itu. Komunitas ini memiliki basis media,
yaitu Pelopor Yogya yang kemudian digawangi oleh Umbu Landu Paranggi.
Ketika itu ada mingguan Pelopor yang terbit 22 Januari 1950 sebagai
embrio mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan Malioboro 175, inilah
Umbu Landu Paranggi pada Rabu Paing jam 15.00 – 18.00 WIB pada tanggal 5 Maret
1969 mendirikan suatu study klub sastra terutama dalam bidang puisi yang dinamakan
Persada Studi Klub (PSK). Tujuh proklamator di antaranya: Umbu Landu Paranggi,
Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno
S Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono (Masry, 2009).
Uniknya, anggota dari PSK sendiri adalah orang-orang yang pernah dimuat dalam
media Pelopor Yogya . Ragil Suwarna Pragolapati (dalam Masry, 2009) mencatat ada 1.555
orang yang telah menjadi anggota dari PSK. Namun, bukan sekadar pemuatan puisi di media

tersebut, PSK bergerak dalam tradisi kepenulisan. PSK menjadi tempat berlatih orang-orang
yang ingin serius menulis puisi.
PSK memiliki bermacam-macam cara berlatih. Forum-forum diskusi pun dibentuk
untuk memperluas pengetahuan tentang sastra, baik teori maupun kepenulisan. Persaingan
pun sengaja dibangun dalam komunitas tersebut untuk membentuk daya kreatif dan dinamika
dalam komunitas.
Dari apa yang dilakukan PSK dengan forum diskusi sastra dan penulisannya, maka
dapatlah menyebut bahwa PSK adalah lembaga pendidikan sastra. Komunitas pendidikan
kesastraan, demikian Imam Budhi Santosa menyebutnya. Karena menurutnya, orang-orang
yang bergabung dan ikut beraktivitas dalam PSK, di kemudian hari mereka benar-benar
5

menjadi sastrawan serius, misalnya (selain nama-nama yang telah disebutkan) Ashadi
Siregar, Linus Suryadi Ag., Untung Basuki, Ebit G. Ade, Deded Er Moerad, Jabrohim, Iman
Budhi Santosa, Faisal Ismail, Ahmad Munif, Mustofa W. Hasyim, Emha Ainun Najib,
Bambang Darto, Joko Passandaran, Budi Sarjono, Tegus Ranusastra Asmara, Sutirman Eka
Ardhana, Fauzi Absal, Arwan Tuti Artha, RS Rudhatan, AY Suharyono, Suryanto
Sastroatmojo, Soeparno S. Adhiy, dll.
PSK juga kerap kali diundang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk berpartisipasi
dalam kegiatan sastra dan seni budaya. Artinya, PSK sebenarnya telah diakui oleh lembaga

atau orang-orang sastra di luar Yogyakarta. Beberapa antologi bersama yang diterbitkan
Pelopor Yogya atau PSK maupun penerbit lain yang di dalamnya memuat penyair PSK,

antara lain Tiga Bayangan (PSK, 1970), Tugu (1986), dll.
Pada saat itu, kehidupan sastra di Yogyakarta bukan saja terjadi di PSK, tetapi telah
meluas ke ruang-ruang formal dan media. Banyak pula sanggar-sanggar sastra yang dibentuk
kala itu. Masry (2009) mengatakan bahwa sanggar-sanggar tersebut berbasis di kampuskampus, misalnya FIB UGM, Fakultas Sastra UNY, Fakultas Sastra UAD, Fakultas Sasra
USD, Fakultas Sastra Sarwi, dan Fakultas Sastra UTY.
Apa yang terjadi di Yogyakarta sebenarnya jauh dari wilayah politik. Proses kreatiflah yang sebenarnya difokuskan dalam kehidupan sastra di Yogyakarta ketika itu. Oleh sebab
itu, kebanyakan nama yang telah disebut di atas tidak masuk dalam kanon yang dibuat H.B.
Jassin, yaitu Angkatan 66 padahal mereka bukanlah simpatisan apalagi anggota Lekra.
Memang sebenarnya nama-nama di atas menjadi sangat terkemuka baru pada periode 1970an. Namun, proses kreatif mereka telah dimulai pada periode 1960-an.

3.

SEJARAH SASTRA DAN LANDASAN TEORI

Sejarah sastra sebenarnya bukan sekadar penyebutan nama, tanggal, dan karya, tetapi
sangat erat kaitannya dengan teori atau perspektif apa yang digunakan. Rene Wellek dan
Austin Warren dalam Teori Kesusastraan (1989: 39) mengatakan bahwa tidak mungkin

menyusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra
dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa sejarah sastra dan teori sastra. Mereka juga menafikan
sesuatu yang tidak berlandaskan pada suatu pijakan yang sistematis. Dari sanalah sastra
memiliki bergerak sebagai ilmu pengetahuan yang objektif atau bisa dipertanggungjawabkan.

6

3.1.

GAYA BAHASA DAN KECENDERUNGAN ZAMAN

Bahasa bisa menjadi titik tolak untuk memahami kecenderungan karya suatu zaman.
Ia lebih objektif dalam melihat suatu karya sastra. Bahasa cenderung stabil, artinya jika ia
dikaji pada zaman tertentu, ia cenderung tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan
pemikiran atau ide dalam karya sastra, ia sangat bergantung pada perspektif, pendekatan, dan
atau interpretasi. Wellek dan Warren berpendapat bahwa bahasa adalah bahan baku
kesusastraan sebagaimana cat untuk lukisan. Tetapi, bahasa bukanlah benda mati seperti batu,
melainkan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistik dari kelompok pemakai
bahasa tertentu (1989: 14).
Oleh sebab bahasa menjadi perhatian utama dalam menemukan ciri khas suatu
periode sastra, stilistika menjadi pendekatan yang tepat untuk melihat kekhasan itu. Menurut
Rene Wellek dan Austin Warren, stilistika perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa
pada zamannya (1989: 221). Sebagai bagian dari ilmu sastra, stilistika dapat menjabarkan
ciri-ciri khusus karya sastra. Apabila kita dapat menguraikan gaya suatu karya atau
pengarang, tidak diragukan lagi bahwa kita pun dapat menguraikan gaya sekelompok karya,
genre (1989: 233).
Wellek dan Warren menjelaskan kembali bahwa manfaat stilistika yang sepenuhnya
bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk karya sastra dan kelompok karya
sastra yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya, stilistika akan menjadi penting
karena hanya metode stilistika yang dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra (1989:
225).
Apa yang akan dilihat kemudian adalah bahwa pada periode 1960-an terdapat
beberapa aliran yang dominan—khususnya dalam puisi, yaitu realisme sosialis, humanisme
universal, dan simbolisme. Aliran-aliran itulah yang sebenarnya membentuk dan yang

menjadi ciri khas dari periode 1960-an dalam sastra Indonesia. Lantas apa hubungannya
antara aliran dan gaya bahasa? Jawabannya ialah bahwa apa yang akan dilakukan berikutnya
yaitu ingin melihat bagaimana gaya bahasa yang digunakan suatu aliran.

3.2.

ALIRAN DALAM PERIODE 1960-AN

Realisme sosialis pertama diusulkan oleh Lukacs. Ia sangat terpengaruh oleh Marx

dan Hegel. Berangkat dari sana, Lukacs memperlakukan karya-karya sebagai sesuatu yang
7

terbuka. Baginya, sebuah karya sastra realis harus mampu menelanjangi kontradiksikontradiksi dalam suatu tatanan sosial. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pandangannya
adalah pandangan marxis yang menekankan pada hakikat material dan sejarah struktur
masyarakat (Selden, 1991).
Isitilah realisme sosialis ini pula yang digunakan Lekra untuk dasar kekaryaannya.
Dalam buku Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (Yudiono, 2009:105) Pramudya Ananta Toer
mengungkapkan konsep realisme sosialis, yaitu merupakan metode penciptaan sastra yang
bertujuan memenangkan sosialisme sehingga memiliki ketegasan politik dan militan sebagai
mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan atas
rakyat pekerja, yakni buruh dan tani yang harus menghalau imperalisme-kolonialisme demi
peningkatan kondisi dan situasi rakyat pekerja di seluruh dunia
Humanisme (yang kemudian disebut humanisme universal) pertama kali diajukan

oleh seorang sarjana bahasa Latin, yaitu Francesco Petrarca dan Giovani Boccacio.
Humanisme mula-mula merupakan sebuah gerakan yang terjadi di Eropa pada masa
Renaissance. Gerakan merupakan penelitian-penelitian kembali terhadap kebudayaan Yunani
dan Romawi. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya Renaissance yang juga
memiliki arti sebagai kelahiran baru, kelahiran manusia baru karena mendapat semangat
baru. Dalam Aliran-Aliran Klasik, Romantik, dan Realisma dalam Kesusastraan yang ditulis
Aoh K. Hadimadja (1972) disebutkan bahwa gerakan humanisme ini berpusat pada manusia.
Ia memisahkan filsafat dan kebudayaan dengan agama.
Humanisme universal di Indonesia pertama kali dicetus melalui Surat Kepercayaan
Gelanggang. Tentu saja apa yang dimaksud humanisme universal berakar dari humanisme
yang ada sejak zaman Renaissance. Pokok-pokok dari humanisme universal ini masih sama
dengan humanisme pada masa lampau, yaitu perihal budi pekerti manusia, cara
memanusiakan manusia, dan hak-hak manusia atau kebebasan pribadi.
Humanisme universal menganjurkan pada kebebasan pribadi dan kedaulatan. Moral
menjadi titik tekan pada humanisme universal. Dari moral luhur itulah kemudian tercipta
kepedulian antar sesama manusia. Humanisme universal percaya bahwa pemecahan masalahmasalah yang dihadapi manusia ialah terletak pada pemikiran manusia itu sendiri. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, aliran ini diusung oleh kelompok Manikebu.
Simbolisme terkadang dipadupadankan dengan imajisme, begitupun sebaliknya.

Mungkin kedua aliran ini memiliki beberapa kemiripan. Padahal kedua aliran ini memiliki
pengertian dan dasar pemikiran yang berbeda.

8

Melani Budianta, melalui pengantarnya (2010: 2) menjelaskan bahwa simbolisme
mulai muncul pada tahun 1886 di Prancis. Lahirnya simbolisme dicetuskan oleh kelompok
sastrawan Prancis, yaitu Baudeleire, kemudian didukung oleh Verlaine, Rimbaud, dan
Malarme. Mereka menamakan kelompok mereka simbolis. Kemudian nama itu dipakai oleh
kritikus sastra untuk menandai gerakan atau aliran sastra di Prancis. Simbolisme ini
kemudian menyebar ke berbagai daerah Eropa dan Amerika.
Budianta (2010:3) menulis, ―simbol dalam aliran simbolisme dipakai bukan untuk
memaknai atau menjelaskan—tetapi untuk membangkitkan serangkaian nuansa sugesif yang
unik—suatu pengalaman estetik yang tidak mungkin diredusir menjadi gagasan a atau b‖
(2010:3). Menurut Wilson (dalam Budianta [ed.], 2010: 3-4), ―tujuan sastrawan dalam
mazhab simbolisme adalah untuk mengkomunikasikan suatu perasaan pribadi yang unik
melalui gabungan atau medley metafor, yang membangkitkan asosiasi berbagai gagasan yang
kompleks‖.
Dalam simbolisme, metafor dan simbol menjadi sesuatu yang penting posisinya. Hal
tersebut dikarenakan metafor dan simbol menjadi semacam kendaraan untuk menghidupkan
suatu karya. Dalam karya-karya simbolis, metafora dan simbol diolah menjadi sesuatu yang
sangat personal, unik, dan tidak lazim. Untuk membuat metafora atau simbol, simbolis
melakukan penyilangan penginderaan, misalnya lukisan yang merdu, atau suara yang gelap
(2010:4).

4.

ANALISIS GAYA BAHASA PUISI ALIRAN SIMBOLISME

Karena ruang yang terbatas, pada bagian ini tidak semua aliran akan dibahas. Oleh
sebab itu ada beberapa hal yang menjadi batasan-batasan dalam bagian ini. Pertama, hanya
aliran simbolisme yang akan dibahas pada bagian ini. Hal tersebut dikarenakan masih
sedikitnya ahli yang membahas simbolisme dalam karya penyair di Indonesia, terutama
kelompok PSK. Kedua, hanya puisi yang akan dikaji dalam pembahasan ini. Ketiga, hanya
beberapa penyair yang akan dibahas dalam pembahasan ini, yaitu Umbu Landu Paranggi,
Ragil Swarna Pragolapati, dan Iman Budhi Santoso. Kiranya ini dapat sedikit memberi
gambaran bagaimana simbolisme bekerja dalam puisi kelompok PSK.

9

4.1.

UMBU LANDU PARANGGI

Umbu Landu Paranggi sedikit telah disinggung di bagian sebelumnya, bahwa ia
adalah pencetus, pengasuh PSK. Ia lahir pada 10 Agustus 1943 di Waikabubak, Sumba Barat.
Pengaruhnya sangat besar bagi sastra Indonesia, khususnya Yogyakarta dan Bali. Bagi
beberapa penyair, ia dianggap sebagai guru penyair karena begitu banyak anak didiknya yang
berhasil menjadi penyair. Salah satu puisinya yang akan dibahas pada bagian ini ialah puisi
yang berjudul ―Solitude‖. Puisi ini dibuat pada tahun 1965 dan dimuat di Pelopor Yogya , 26
April 1970.
Dalam puisi tersebut pembaca akan dihadapkan pada kesadaran bunyi yang sangat
tertata. sejumlah majas seperti personifikasi, matafora, hiperbola, dll. Puisi ini terkesan padat,
karena majas dalam puisi ini begitu rapat, ada dalam setiap lariknya. Hal yang paling penting
dalam puisi ini, bagaimana penyair menciptakan simbol-simbol yang kemudian menghasilkan
sensasi indra yang unik, magis, penuh dengan fantasi. Simbol-simbol itu dibentuk dari idiom,
diksi-diksi yang saling menyilang, bertabrakan.
Penyair menyediakan sejumlah citraan atau deskripsi pada setiap baitnya. Namun,
penggambaran itu seolah-olah parsial. Maksudnya, citraan dalam suatu bait atau kalimat
seperti terpotong, terpecah, dengan bait sebelum dan sesudahnya. Pembaca akan
mendapatkan mozaik-mozaik citraan yang tertuju pada bentuk yang utuh. Simak, kutipan bait
pertama dan kedua dalam puisi ini,

//dalam tanganmu sunyi/jam dinding masih bermimpi/di luar siang menguap jadi
malam/tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam// dalam detik-detik, dalam
genggaman usia/mengombak suaramu jauh bergema/mengigilkan jemari, hati pada
kenangan/bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian// (―Solitude‖, 1965).
Dalam kutipan di atas pertama akan didapatkan frasa-frasa yang dibentuk dari diksi
yang saling silang, saling bertabrakan, atau sinestesia. Misalnya, frasa ‗tanganmu sunyi‘,
‗genggaman usia‘, ‗mengombak suaramu‘, ‗rindu dendam‘, dan ‗mengigilkan jemari‘. Frasafrasa tersebut kemudian menghasilkan citraan-citraan tertentu yang kemudian merujuk pada
suatu makna tertentu. Namun, yang lebih penting dari makna ialah citraan yang terbentuk
dari setiap idiom, larik, dan bait puisi ini menghasilkan suatu impresi, efek estetik tertentu.
Bait pertama akan dirasakan bagaimana kesunyian itu terbentuk. Ada subjek di sana
yang menjadi tokoh, yaitu ‗-mu‘ atau sudut pandang orang kedua ‗kamu‘. Kesunyian itu
dibentuk dari larik-larik berikutnya, misalnya, ―/di luar siang menguap jadi malam/‖. Pada
10

larik tersebut bagaimana siang yang notabene waktu orang beraktivitas (ramai) tiba-tiba
menjadi malam yang cenderung sepi.
Citraan penuh fantasi, lebih-lebih efek mistik atau magis juga dibangun melalui
bahasa, idiom, atau majas, yang terdapat dalam puisi ini. Misalnya larik ‗jam dinding masih
bermimpi‘, ‗mengombak suaramu jauh bergema ‘, ‗seberkas cahaya dari menara waktu ‘, ‗di
luar tiba-tiba angin, lalu gerimis bederai‘, adalah larik-larik yang mencitrakan fantasi lebih-

lebih efek mistik. Maksud mistik di sini ialah bagaimana sebuah larik menciptakan hal-hal
yang tidak terjangkau dengan akal, namun ia masih bisa tercitrakan dan citraan itu menjadi
sesuatu yang unik, kadang-kadang sangat personal. Kesan mistik ini sebenarnya hadir melalui
majas personifikasi dan metafora.
Seperti apa yang telah disebutkan bahwa larik-larik atau kalimat dalam puisi tersebut
terkesan parsial. Setiap kalimat atau larik membangun citraannya sendiri, seolah-olah tidak
ada kaitannya dengan larik atau kalimat sesudah dan sebelumnya. Seolah-olah ada kesan
melompat-lompat, lompatan imaji. Namun, ketika dikumpulkan, ketika puisi itu dibaca
seluruhnya, ada keutuhan di sana, ada makna, yaitu gambaran tentang kesunyian yang diidap
oleh seseorang.

4.2.

RAGIL SWARNA PRAGOLAPATI

Adalah salah satu pelopor PSK. Ia dilahirkan di Pati, 22 Januari 1948. Pernah
berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) sampai tahun 1972. Pada 1963 ia memulai
proses kreatifnya dengan menulis puisi, cerita pendek, esai, dan cerita anak-anak. Akhir
hayatnya tidak diketahui. Ia menghilang begitu saja.
Puisi Ragil Swarna Pragolapati memiliki kecenderungan yang hampir sama dengan
Umbu Landu Paranggi. Puisinya mengandalkan terkesan padat akan majas, simbol, dan
citraan-citraan. Pembaca akan mendapatkan kombinasi idom atau frasa yang unik. Namun,
yang berbeda dari Umbu Landu Paranggi ialah bahwa puisi penyair ini tidak terkesan parsial
pada setiap lirik atau kalimatnya. Hubungan antar larik terjalin dengan baik. Sehingga akan
menghasilkan puisi yang sedikit lebih mengalir, namun sangat kental dengan majas, simbol,
dan citraan.
Penyair cederung menggunakan majas yang biasa digunakan oleh penyair pada
umumnya, yaitu metafora, personifikasi, hiperbola (dll.). Puisinya tidak menekankan pada
kesadaran bunyi seperti kecenderungan puisi Umbu Landu Paranggi. Puisi ―Di Depan
Jendela‖ (yang kemudian akan dikaji), akan mendapatkan kalimat yang tidak sempurna dari
11

segi sintaksisnya, semacam ada pengabaian atas itu. Puisi ini ditulis pada tahun 1970 dan
dimuat di majalah Basis No. 12, Tahun XIX, September 1970. Berikut kutipan puisinya:
Di Depan Jendela
Jendela membuka cuaca
mempertiada gelap, dan senyap ruang
Terasa diri kita tiba-tiba kembali ada
tidak di sini, di mana lantai
mendingin, terinjak sepasang kaki
barangkali di tempat yang jauh, bayang atas udara
bayangan lengkap dari diri kita
Sebab demikian saja senja tiba
seketika melengkapkan segalanya
dan di sana, hingga ke kaki cakrawala
di sini: Di antara dindingdinding berkelam cahaya
terasa, waktu mengubur bayangbayang seutuhnya
seluruh diri kita, tertiada
dalam kelam udara, menyatu pula
ke satu titik, lenyap ke tengah spiral tandatanya.
Kamiswage, 12 Maret 1970

Seperti puisi simbolik pada umumnya, Puisi ini juga bertumpu pada idiom untuk
kemudian membangun suatu citraan-citraan tertentu. Namun, lebih besar lagi, ia
menggunakan kalimat atau larik untuk membangun citraan itu. Akhirnya, banyak frasa atau
idom yang saling silang, imajinatif, dan simbolik, di antaranya, ‗senyap ruang‘, ‗bayang atas
udara‘, ‗kaki cakrawala‘, ‗dindingdinding berkelam cahaya‘, dan ‗kelam udara‘. Frasa atau
idiom itu kemudian merujuk pada suatu pemaknaan. Misalnya, pada frasa atau idiom ‗kelam
udara‘ yang merujuk pada suasana yang penuh kesedihan atau kegamangan. Namun frasa
yang terdapat dalam puisi ini tidak terlalu eksploratif, tidak seperti Umbu Landu Paranggi.
Hal itu mengakibatkan fantasi yang dibangun dan makna yang di dapat tidak terlalu dalam,
tidak mencapai tingkat mistik dan magis. Misalnya, frasa ‗senyap ruang‘ yang memiliki arti
ruang yang kosong dan sepi. Dengan mudah pembaca akan merujuk pada makna itu karena
masing-masing diksi (senyap dan ruang) memiliki makna yang saling melengkapi atau tidak
bertabrakan. Begitu pun dengan ‗kaki cakrawala‘. Ada pula frasa atau idiom yang gelap,
sangat personal, dan sulit untuk dicitrakan, ialah frasa ‗bayangan atas udara‘. Namun tetap
saja frasa-frasa itu menjadi simbol yang merujuk pada pemaknaan tertentu itu.
Berlainan dari yang telah disampaikan, justru kalimat atau majas dalam puisi ini lebih
imajinatif dan simbolik. Misalnya pada kalimat atau majas ‗jendela membuka cuaca ‘, ‗sebab
demikian saja senja tiba ‘, ‗di antara dindingdinding berkelam cahaya ‘, ‗waktu mengubur

12

bayangbanyang seutuhnya ‘. Pada kalimat atau majas tersebut terdapat sesuatu yang berada di

luar realitas dan penuh dengan fantasi. Hal ini disebab puisi ini cenderung menggunakan
personifikasi untuk menciptakan efek fantasi itu. Misalnya pada kalimat ‗jendela membuka
cuaca ‘. Pada kalimat itu, akan tercitrakan suatu peristiwa perubahan cuaca ketika sebuah

jendela terbuka, dari cuaca badai yang gelap ke cuaca yang cerah. Hal ini ditandai bait
selanjutnya yang berbunyi, ‗mempertiada gelap, dan senyap ruang‘.
Puisi ini sebenarnya berbicara mengenai eksistensi seseorang atau ‗kita‘. Bagaimana
ia kembali menemukan dirinya. Jendela menjadi simbol yang menghubungkan antara subjek
dalam puisi dengan alam semesta, makrokosmos. Kemudian subjek puisi mempertanyakan
kembali apa makna dari ‗kita‘ yang kecil itu di dalam semesta yang luas. Pada tahap ini, puisi
―Di Depan Jendela‖ sangat transenden.
4.3.

IMAN BUDHI SANTOSA

Benar bahwa ia merupakan salah satu dari pelopor PSK. Ia dilahirkan di Magetan, 28
Maret 1948. Hingga tahun 1987, puisinya telah berbagai dimuat di antologi bersama dan di
media masa, seperti Basis, Horison, Minggu Pagi, Pelopor Yogya, dan Keluarga . Hingga kini
ia masih tinggal di Yogyakarya dan masih eksis menulis. Pada bagian ini, puisi yang akan
dibahas ialah puisi yang berjudul ―Penyair‖. Puisi ini ditulis pada tahun 1969 dan termuat
dalam antologi bersama Tiga Bayangan (PSK, 1970).
Iman Budhi Santosa menghadirkan puisi yang lebih cair dari puisi kedua penyair yang
telah dibahas di atas. Ia nampak tidak memadatkan diksi-diksinya menjadi sebuah idiom.
Jalinan antar bait cukup tertata. Ada lompatan-lompatan imaji, namun lompatan-lompatan itu
tidak terlampau jauh secara isotopis. Misalnya pada bait pertama tertulis,
//hari-mati/waktu pun berdesakan pelan dan hati-hati/di luar, musim pun berangkat
meninggi/di atas meja hidup berkisar-kisar dalam puisi// (―Penyair‖, 1969).
Pada bait itu, terlihat lompatan-lompatan kecil dari menyoal tentang waktu kemudian
menyoal tentang hidup dan puisi. Majas dalam bait tersebut pun menimbulkan kesan fantasi
oleh sebab personifikasi yang dipilih sebagai penyampai makna dan citraan. Misalnya, pada
larik kedua bait pertama, ‗waktu pun berdesak pelan dan hati-hati‘. Larik tersebut
menggambarkan waktu yang berjalan lambat bagi subjek puisi, yaitu penyair. Pada larik
selanjutnya terlihat, yaitu larik ‗di atas meja hidup berkisar-kisar dalam puisi‘, menunjukan
nasib-hidup penyair yang bergantung pada puisi.
13

//siapa yang bersuara dalam kata-kata/kawanku hanya bayangan yang tidur/sejak haripertama/tidak usah bercakap, katanya/tapi senantiasa terdengar/gema bersahutsahutan/harapan-harapan yang diberangkatkan/keyakinan yang menakutkan/dari
hidup yang berakhir/dengan kematian/pertemuan yang membingungkan/dengan diri
sendiri//(―Penyair‖, 1969).
Bait merupakan peristiwa simbolik yang merujuk pada makna kesepian yang dialami
subjek puisi. Ia mengatakan bahwa temannya hanya bayangan yang tidur, ‗kawanku hanya
bayangan yang tertidur ‘. Namun, dari dunia yang sepi itu, ada suara-suara yang asalnya dari

diri sendiri. Ia merasa asing dengan dirinya sendiri, ‗pertemuan-pertemuan yang
membingungkan dengan diri sendiri‘.

//wahai betapa rindu untuk bisa mengerti/wahai betapa riuh perjamuan ini/perjamuan
di dalam batas tidur/dan terjaga/dalam/sunyi// (―Penyair‖, 1969).
Suasana batin tentang kesepian semakin dikuatkan dalam bait terakhir. Walaupun
terdapat larik ‗wahai betapa riuh perjamuan ini‘, makna riuh dalam larik tersebut bukanlah
makna denotatif, namun makna yang menunjukan ironi kehidupan penyair. Ironi menunjukan
kehidupan penyair yang merasa terasing dengan dirinya sendiri, dengan keriuhan dunia luar.
Ia selalu berada pada batas kenyataan dan mimpi, angan-anganya yang penuh dengan
kesunyian.
Puisi ini tidak terlalu bermain pada wilayah idiom dan sinestesia yang saling silang,
saling tabrak-menabrak. Majas pun tetap berada pada wilayah metafora, personifikasi, dll.
Dalam hal ini, harus disadari bahwa simbolisme tidak saja bekerja pada puisi-puisi yang
ketat, namun juga bekerja pada puisi yang cenderung cair (tapi bukan puisi yang
menggunakan bahasa sehari-hari).
Terlalu dini dan dangkal jika menyebut bahwa tiga puisi di atas merupakan
representasi dari puisi aliran simbolisme di Indonesia yang berkembang pada periode 1960an. Pada tahap ini, belum bisa di dapat bagaimana sebenarnya kecenderungan simbolisme di
Indonesia. Tapi minimal, dari tiga puisi di atas, dapat dilihat bagaimana tiga penyair itu
menyajikan bahasa yang majasi dan simbolik (baik yang dibangun dari idiom, majas, atau
bait). Ciri khas dari gaya bahasa dalam simbolisme ialah ia tidak menggunakan majas
perbandingan secara eksplisit seperti simile. Ia lebih mengutamakan majas kiasan seperti
metafora dan personifikasi, atau majas lainnya.
Hal yang harus ditekankan ialah bahwa simbolisme juga diikuti oleh berbagai penyair
di luar PSK. Misalnya, Goenawan Mohammad, Ibrahim Sattah, Dami N. Toda, Emha Anun

14

Najib, Abdul Hadi W.M., dll. Artinya, dalam hal ini, tidak ada hubungannya antara PSK dan
simbolisme. Tapi hubungan itu tejadi antara sastra Indonesia dengan simbolisme.

5.

KESIMPULAN

Penyusunan sejarah sastra Indonesia periode 1960-an mengandung ideologi tertentu.
Hal ini menyebabkan sejarah sastra Indonesia cenderung tidak objektif, ilmiah, dan total. Hal
ini berpengaruh terhadap pengetahuan masa setelah periode 1960-an di mana terdapat
subordinasi suatu kelompok sastrawan, yaitu Lekra. Oleh sebab itu, penting untuk membuat
landasan yang ilmiah dalam menyusun sejarah sastra untuk mendapat sejarah yang ilmiah,
objektif, dan menyeluruh.
Beberapa sejarah sastra Indonesia terfokus pada pertarungan ideologi pada waktu itu.
Hal ini menyebabkan sejarah sastra justru malah cenderung membahas hal-hal di luar sastra.
Padahal fenomena sastra pada periode 1960-an tidak hanya terfokus pada wilayah
pertarungan ideologi itu saja, tetapi ada dinamika yang menarik lainnya, salah satunya
kehidupan sastra di Yogyakarta yang berbasis pada komunitas dan media. Komunitas tersebut
(PSK) mampu menjadi alternatif atas dikotomi-dikotomi sastra yang terjadi pada periode
1960-an.
Periode 1960-an diwarnai oleh berbagai jenis aliran, yaitu realisme sosialis,
humanisme universal, dan simbolisme serta imajisme. Masing-masing dari aliran itu memiliki
kecenderungan tema dan gaya bahasa yang berbeda. Pemaparan ini sekaligus mematahkan
kecenderungan karya (puisi) yang bertemakan sosial atas respons dari gejolak politik pada
masa itu.[]

15

SUMBER BACAAN
Aminuddin. 1995. Stilistika : Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra . Semarang:
IKIP Semarang Press.
Budianta, Melani (ed.). 2010. Simbolisme dan Imajisme dalam Sastra Indonesia . Jakarta:
Pusat Bahasa.
Faruk. 2005. Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fokema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Hadimadja, Aoh K. 1972. Aliran-aliran Klasik, Romantik, dan Realisma dalam
Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangsel: Marjin Kiri.
Jassin, H.B. (ed.). 1968. Angkatan ’66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
__________. 2013. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
__________. 1966. ―Angkatan ‘66, Bangkitnya Satu Generasi‖. Majalah Sastra Horison, 2
Agustus 1966.
Kratz, Ernst Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG.
Linus Suryadi A.G. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 3. Jakarta: Gramedia.
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia . Jakarta: Bening
Publishing.
Ratna Nyoman Kutha. 2008. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. 1970. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia . Bandung:
Pustaka Jaya.
__________. 1977. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia . Bandung: Putra A. Bardin.
__________. 2010. Puisi Indonesia Modern. Bandung: Pustaka Jaya.
Sambodja, Asep. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop.
Santosa, Iman Budhi. 2003. ―Persada Studi Klub dan Sejarah Sastra Yogya‖. Harian
Kedaulatan Rakyat, 31 Agustus.
Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemahan Rahmat
Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni, Krisis Kesadaran . Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.
Wibisono, M.G., 2009, ―Umbu Landu Paranggi, ‗Presiden Malioboro‘‖, [online],
(http://emgewibisono.wordpress.com/2009/02/10/umbu-landu-paranggi-presidenmalioboro/ diakses pada tanggal 5 Desember 2013)
Yudiono K.S. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia . Jakarta: Grasindo
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Gugur Merah: Sehimpun Puisi
Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba.

16