BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tenaga kerja/buruh memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan nasional, baik sebagai pelaku maupun tujuan pembangunan itu sendiri. Sehubungan dengan itu adalah penting meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan

  keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan tenaga kerja dimaksud untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan, kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja buruh dengan tetap mempertimbangkan kemajuan

   dunia usaha.

  Pada tanggal 25 Maret 2003 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan untuk menggantikan berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan. Undang-undang ini juga diharapkan dapat menciptakan hubungan industrial yang berkeadilan untuk mewujudkan jaminan perlindungan bagi pihak yang lemah sehingga terwujud

   keseimbangan (equality). 1 Lihat Bagian Menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109. 2 Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan,(Jakarta: Dss Publishing, 2005) hal.3.

  Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan: “Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya”. Salah satu usaha penegakan hukum terhadap undang-undang ini, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang

  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sebagai landasan sosiologis dikeluarkannya undang-undang ini adalah untuk hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal lain adalah bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian

   perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.

  Meskipun kedua undang-undang ini telah diberlakukan akan tetapi perlindungan terhadap tenaga kerja/ buruh belum dapat dilakukan secara maksimal.

  Hal ini karena secara sosiologis, posisi atau kedudukan buruh lebih lemah dibandingkan pengusaha. Buruh adalah orang yang tidak bebas menentukan 3 Lihat Bagian Menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004

  Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Lembaran Negara Republik Inonesia Tahun 2004 Nomor 6. kehendaknya terhadap pengusaha karena dalam suatu hubungan kerja pengusaha

  

  telah memberikan batasan-batasan yang harus diikuti oleh buruh. Akibat dari kondisi sosiologis yang demikian jika terjadi perselisihan hubungan industrial antara pihak tenaga kerja/buruh dengan perusahaan khususnya menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, membuat posisi tenaga kerja/buruh dengan pihak pengusaha tidak seimbang dalam berperkara di pengadilan.

  Pengadilan hubungan industrial sebagai pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial belum dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan khususnya bagi tenaga kerja/buruh sebagai pihak lemah. Padahal pembentukan pengadilan hubungan industrial sebagai pengadilan khusus merupakan kebutuhan untuk mencapai kepastian hukum yang berkeadilan bagi tenaga kerja/buruh dan pengusaha. Kepastian hukum itu diwujudkan untuk mengakhiri perselisihan yang berkepanjangan antara pekerja dan pengusaha yang mempengaruhi

   proses produksi bagi pengusaha dan mengganggu perekonomian keluarga pekerja.

  Tidak dapat dipungkiri, kepastian hukum atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial telah berkekuatan hukum tetap, dalam prakteknya putusan itu tidak dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena ketidakmauan dari pihak pengusaha untuk melaksanakan putusan secara sukarela. Masalah pelaksanaan 4 5 Sehat Damanik, Op.Cit, hal.2.

  Agus Rasyid Candra Wijaya, Eksekusi Putusan Dalam Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ,http://.blogspot.com/2013/01, diakses tanggal 24 Maret 2014, pukul 17.00 WIB. putusan masih menjadi masalah yang sangat krusial, seolah-olah putusan itu tidak bernilai karena sulit untuk dieksekusi. Pelaksanaan putusan bukanlah sesuatu yang “pasti” dan sangat susah dilakukan meskipun putusan tersebut telah mempunyai

  

  hukum yang tetap. Hal ini juga karena tidak adanya lagi campur tangan pengawasan dari pemerintah dalam proses eksekusi sebagaimana dalam peraturan penyelesaian perselisihan sebelumnya, dan disisi lain tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pihak yang tidak melaksanakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

  Pada prinsipnya setiap putusan pengadilan haruslah dapat dieksekusi, karena tidak akan ada artinya jika putusan tidak dapat dieksekusi. Seperti diketahui, putusan hakim itu sewaktu-waktu akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap (

  

inkracht van gewijsde ). Tujuan akhir dari suatu acara persidangan yang digelar di

  persidangan adalah agar pihak yang merasa dirugikan hak dan kepentingan hukumnya dipulihkan kembali melalui suatu putusan hakim, nampaknya masih suatu harapan dan belum menjadi suatu kenyataan dalam pengadilan hubungan industrial. Bahkan terhadap suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap sekalipun sulit untuk melaksanakannya. Putusan hakim tidak dapat dilaksanakan, walaupun terhadap putusan itu telah melekat kekuatan pelaksanaan, yakni suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

  6 7 Ibid R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Mandar Maju,2005) hal.194.

  Hal ini dapat terlihat dalam praktek, dimana kasus perselisihan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak mendapat kepastian hukum karena sulit mengeksekusinya. Sebagai salah satu contoh adalah kasus tenaga kerja/ buruh PT. Indah Pontjant. Hakim Agung Kasasi dan Peninjauan Kembali telah memutus kasus ini yang pada pokoknya menyatakan menolak permohonan kasasi dan permohonan peninjauan kembali dan memutuskan menyatakan hubungan kerja tergugat dengan para penggugat putus karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak para penggugat, sebesar Rp.

  148.263.300,- ( seratus empat puluh delapan juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus rupiah). Namun demikian putusan ini tidak dapat dieksekusi sehingga para tenaga kerja/buruh melakukan upaya permohonan pailit untuk memperoleh kepastian hukum akan hak-haknya melalui lembaga kepailitan.

  Permohonan pailit oleh tenaga kerja/ buruh terhadap perseroan terbatas dengan mendasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun tidak terlaksana adalah langkah maju dalam kepailitan Indonesia. Namun demikian harus diakui tentang posisi buruh sebagai kreditur dalam hal perusahaan tempat dia bekerja dimohonkan pailit sampai saat ini meskipun telah diundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, belum terjawab. Dalam undang-undang ini belum jelas kedudukan buruh, apakah buruh mendapatkan prioritas seperti disebutkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan, atau harus menunggu setelah kreditur preferens atau kreditur istimewa lainnya mendapatkan hak-hak mereka. Para tenaga kerja cenderung melihat undang-undang kepailitan masih menjadi hambatan bagi pemenuhan hak-hak buruh dalam kondisi tenaga kerja mengajukan permohonan pailit

   terhadap perusahaan.

  Permohonan pailit yang demikian, sudah barang tentu menjadi masalah tersendiri dalam hukum kepailitan. Hal ini berkaitan dengan kedudukan para tenaga kerja tersebut sebagai pihak pemohon pailit atas hak-hak yang dituntutnya yang sebelumnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan atau dieksekusi. Munculnya hak-hak tersebut dipersamakan atau dikualifikasikan sebagai utang yang timbul diluar perjanjian sehingga harus memperoleh pembayaran.

  Suatu putusan dikatakan memperoleh kekuatan hukum tetap adalah karena di dalam putusan telah terkandung wujud hubungan yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara karena itu mesti ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum yang dilakukan secara paksa atau dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan kata lain, putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde), yaitu suatu putusan yang sudah tidak

   mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.

  Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai arti sudah terdapat kebenaran dan kepastian terhadap hubungan antara para pihak yang 8 Diana Kusuma Sari ,

  httpdiakses tanggal 4 Pebruari 2014, Pukul 15: 34 WIB 9 Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011) hal. 330.

  berperkara, dimana para pihak mengakui dan pihak yang dikalahkan/dihukum harus menaatinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam amar/dictum, dan yang

   dilaksanakan secara sukarela atau paksa.

  H.I.R (Herziene Indonesisch Reglement) / R.B.G (Rechtsreglement

Buitengewesten) tidak ada mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Namun jika

  berpaling kepada doktrin, dapat diketahui bahwa suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai 3 macam kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk

  

  dilaksanakan. Pelaksanaan putusan pengadilan adalah realisasi dari apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan. Pada prinsipnya, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.

  Tidak terlaksananya suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkara perdata khususnya dalam perkara perselisihan hubungan industrial adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Akibatnya kepastian hukum dan keadilan tidak tercapai. Dalam kondisi demikian buruh/tenaga kerja tidak putus asa. Untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum tenaga kerja telah menggunakan lembaga kepailitan sebagai upaya untuk mendapatkan hak-haknya 10 11 R. Soeparmono Op.cit, hal.330 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia ,(Yogyakarta: Liberty, 1993) hal. 177 sebagaimana telah diputus pengadilan hubungan industrial namun tidak dapat dilaksanakan.

  Pengajuan kepailitan dalam penelitian ini bukan karena utang yang lahir karena perikatan melainkan utang yang lahir karena adanya putusan pengadilan, dengan kata lain utang yang timbul disebabkan karena perintah undang-undang akibat adanya sengketa hak, hak atas upah, pembayaran uang pesangon atau suatu pembayaran yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang dalam hal ini putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

  Permohonan pailit oleh tenaga kerja atau buruh terhadap perseroan terbatas di Indonesia sebagaimana dalam penelitian ini dalam kenyataaannya tidak ada kaitannya dengan kesulitan keuangan (financial distress), dan tidak ada kaitannya dengan perusahaan yang tidak sehat atau karena perusahaan bangkrut, tetapi karena keengganan perusahaan untuk membayar kewajibannya berupa pembayaran pesangon, upah dan hak-hak normatif lainnya meskipun telah ada perintah hakim melalui putusannya.

  Permohonan pailit yang diajukan tenaga kerja/ buruh, tidak seperti halnya tujuan kepailitan dalam peraturan kepailitan. Tujuan kepailitan disini adalah sebagai jalan keluar karena pihak perusahaan (debitor) tidak bersedia secara sukarela membayar utang-utangnya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan cara

   mengajukan permohonan pailit.

  Kondisi demikian membuat kepailitan di Indonesia adalah alternatif untuk menuntut pembayaran utang di luar melakukan gugatan perdata secara konvensional.

  Namun karena menggunakan penyelesaian utang lewat pengadilan, penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata dirasakan sudah tidak memadai dan memakan waktu yang lama dan sulit untuk dilaksanakan ada kecenderungan pihak yang berperkara khususnya para tenaga kerja/buruh menggunakan lembaga kepailitan untuk pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

  Ketidakjelasan posisi atau kedudukan tenaga kerja atau buruh sebagai kreditur dalam hal terjadi permohonan pailit atau disaat terjadi kepailitan suatu perseroan terbatas membuat sejumlah buruh yang tergabung dalam Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) mengajukan permohonan pengujian terhadap UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Mahkamah Konstitusi. FISBI merasa Undang-Undang Kepailitan menjadi hambatan bagi pemenuhan hak-hak buruh dalam kondisi perusahaan pailit. Namun sangat disayangkan putusan atas permohonan ini belum sampai pada pemeriksaan

12 Muhammad Hafidz, Hukum Kepailitan dan Perburuhan, (Jakarta:Federasi Ikatan Serikat

  Buruh Indonesia) , 2011, hal.2 substansi pihak buruh tidak dapat menghadirkan ahli untuk memperkuat dalil-dalilnya

   sehingga Mahkamah Konsitusi melolak permohonan tersebut.

  Pengajuan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi ini diajukan oleh M. Komaruddin selaku Ketua Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dan Muhammad Hafidz selaku Sekretaris Umum FISBI (para pemohon).

  Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan

  Pasal 138 UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sangat berpotensi terhadap hilangnya hak-hak buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena perusahaan tempat kerjanya pailit. Dengan diputuskannya perusahaan pailit, demi hukum gugur segala tuntutan buruh yang sedang berjalan. Selain itu dengan adanya pasal yang mengatur kreditor separatis sebagai pemegang hak tanggungan yang mempunyai wewenang mutlak melakukan eksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan-ketentuan tersebut merugikan hak-hak konstitusional para pemohon yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan permohonan para

   pemohon tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard).

  Berbagai hal tersebut diatas menjadi masalah tersendiri dalam kepailitan di Indonesia sehubungan dengan pengajuan permohonan pailit oleh tenaga kerja terhadap perseroan terbatas dengan mendasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak terlaksana. 13 Ricardo Simanjuntak, Tak Mampu Bayar Ahli, Gugatan Buruh Ditolak ,Kompas edisi Rabu 7 Mei 2008. 14 Samsudin M.Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: PT.Tata Nusa,2012), hal. 32.

  Bertolak dari fakta ini, perlu diketahui bagaimana kekuatan hukum atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap.

  Demikian juga tentang putusan pengadilan hubungan industrial yang digunakan sebagai dasar permohonan pailit, ditinjau dari aspek keadilan, dan kepastian hukum.

  Sebagai bahan analisis kasus dalam penelitian ini, akan dikemukakan kasus permohonan pailit Rohani, dkk/mantan buruh PT. Indah Pontjan (Perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor.

  03/PK/Pdt.Sus/2010).

  Permohonan pailit dalam kasus ini diajukan oleh Rohani,dkk (5 orang) selaku mantan pekerja/buruh PT. Indah Pontjan yang diwakili kuasa hukumnya Sarma Hutajulu, S.H,dkk terhadap PT. Indah Pontjan yang beralamat di desa Deli Muda Hilir, Kecamatan Perbaungan, Sumatera Utara.

  Adapun latar belakang pengajuan pailit diakibatkan Termohon pailit tidak melaksanakan putusan Majelis Hakim PHI yang menyatakan hubungan kerja tergugat dengan para penggugat putus karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menghukum tergugat untuk membayar hak-hak para penggugat, total sebesar Rp.

  148.263.300,- ( seratus empat puluh delapan juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus rupiah).

  Akibat tidak terlaksananya putusan tersebut, tenaga kerja/buruh (Rohani,dkk) mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Medan dengan alasan bahwa PT.

  Indah Pontjan sebagai termohon pailit mempunyai dua atau lebih kreditor yakni

  Rohani, dkk (5 orang) dan Tukilah dkk (11 orang). PT. Indah Pontjan selaku termohon pailit tidak membayar lunas satu pun utangnya padahal sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

  Berdasarkan uraian diatas, maka penting dilakukan penelitian tentang : Analisis Permohonan Palit Terhadap Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja dengan mengemukakan putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor .401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012 antara Rohani,dkk melawan PT. Indah Pontjan sebagai bahan analisis kasus.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam pembahasan proposal tesis ini yaitu:

  1. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah selama proses dapat dikategorikan sebagai utang?.

  2. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan dapat diajukan sebagai dasar permohonan pailit? 3. Bagaimana pertimbangan hakim atas permohonan pailit oleh tenaga kerja terhadap perseroan terbatas yang diputus hubungan kerja (permohonan pailit

  PT. Indah Pontjant) dalam perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo Nomor: 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor.

  03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Mahkamah Agung Peninjauan Kembali Nomor. 195 PK/Pdt.Sus/ 2012?.

C. Tujuan Penelitian

  Dari perumusan masalah penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut yaitu:

  1. Untuk mengetahui tentang putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah selama proses dikaitkan dengan utang dalam kepailitan.

  2. Untuk mengetahui pengajuan pailit yang timbul dari putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun karena tidak dapat dilaksanakan kemudian dijadikan dasar permohonan pailit.

  3. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hukum dan pertimbangan hukum majelis hakim dalam perkara permohonan pailit yang pengajuannya didasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak telaksana. Sebagaimana dalam putusan perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo Nomor: 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor: 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Mahkamah Agung Peninjauan Kembali Nomor: 195 PK/Pdt.Sus/ 2012.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.

  1. Secara teoritis Memberikan masukan berupa sumbangan pemikiran bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum, tentang putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah proses dan hubungannya dengan utang dalam kepailitan. Selain hal itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan berupa sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, dalam hal ini hukum kepailitan, tentang pengajuan permohonan pailit yang didasarkan atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap.

  2. Secara Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perkara kepailitan (Majelis Hakim, Hakim Pengawas, Tenaga Kerja/Buruh, Perusahaan Perseroan Terbatas, Debitur, Kreditur, Kurator/Pengurus, Advokat), untuk mendapatkan suatu pemahaman menyangkut pengajuan permohonan pailit dengan mendasarkan pada putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan dalam kaitannya dengan aspek kepastian hukum dan keadilan.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, bahwa tesis yang berjudul “ Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor. 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012 antara Rohani, dkk Melawan PT.

  Indah Pontjan)belum ada penulis lain yang melakukan penelitian. Penulis telah melakukan pemeriksaan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan beberapa Tesis yang berhubungan dengan Kepailitan yang diajukan oleh tenaga kerja/buruh ditemukan tesis Ade Sumitra Hadi Surya (0777005094) dengan judul “Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Niaga Dengan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Buruh/ Pekerja Perusahaan”, dengan permasalahan: 1.

  Bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/ buruh atas upah atau pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan?.

  2. Bagaimana penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial?.

  3. Pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau uang pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan?.

  Penelitian ini dilakukan untuk membahas kekuatan hukum atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan, sehingga kemudian pihak tenaga kerja/ buruh mengajukan permohonan pailit dengan mendasarkan putusan yang berkekuatan hukum tersebut sebagai dasar permohoan pailit.

  Perbedaannya dengan penelitian terdahulu yakni penelitian Ade Sumitra Hadi Surya, meneliti tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan dan meneliti penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

  Sedangkan penelitian ini akan membahas permohohonan pailit tenaga kerja terhadap perseroan terbatas dimana permohonan pailit tersebut pengajuannya didasarkan atas suatu perintah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini juga menggunakan kasus sebagai bahan untuk analisnya yakni putusan perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo Nomor: 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012.

  Oleh karenanya penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuwan akademis.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

  Kerangka teori merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara teori-teori yang akan diteliti. Suatu konsep teori bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu biasanya dinamakan fakta. Sedangkan konsep teori merupakan suatu uraian mengenai hubungan- hubungan dalam fakta tersebut.

15 Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar

  masalah yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun.

16 Pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau

  permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis, hal mana dapat menjadi pegangan eksternal bagi penulis. Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi. M.Solly Lubis memberikan pengertian kerangka teori adalah :

17 Teori juga bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang sedang dikaji.

  

  15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1983), hal..25 16 Mukti fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), hal.93. 17 M.Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal.80. 18 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.cit, hal.44.

  Serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap masalah penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu teori dapat digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian.

  Teori menempati tempat yang terpenting dalam penelitian, sebab teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik. Hal-hal yang pada awalnya terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditujukan kaitannya satu sama lain secara bermakna, sehingga teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan

   mensistematisasikan masalah yang dikaji.

  Pemikiran teori hukum tidak terlepas dari keadaan lingkungan dan latar belakang permasalahan hukum atau mengugat suatu pemikiran hukum yang dominan

  

  pada saat itu. Pemikiran tentang teori hukum adalah akumulasi keresahan maupun sebuah jawaban dari masalah kemasyarakatan yang dihadapi oleh generasi saat itu.

  Teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam presfektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengenjawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dari kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tataran hukum positif yang

  19 20 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.53.

  Satjipto Raharjo, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni,1986), hal.4. meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideological terhadap

   hukum.

  Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Teori kepastian hukum dan Teori keadilan. Teori ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai pisau analisis sekaligus mengurai dan menjelaskan masalah yang diteliti, dimana nilai kepastian hukum dan nilai keadilan terhadap suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menjadi perhatian serius karena akibat tidak dapat dilaksanakannya putusan tersebut, tenaga kerja/ buruh sebagai pihak yang dimenangkan dalam perkara hubungan industrial mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan yang dulunya tempat mereka bekerja. Sebab suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan dan kemudian menggunakan lembaga kepailitan untuk memperoleh pembayaran berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah selama proses yang timbul dari putusan hakim perlu dikaji dan dianalisis dengan menggunakan teori kepastian hukum dan keadilan.

  Kepastian hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan hukum, agar tidak menimbulkan penafsiran yang salah mengenai hukum itu sendiri karena hukum adalah hukum itu sendiri yang memuat tentang norma atau pedoman hidup manusia dalam bertindak dan berperilaku yang berisi tentang anjuran, larangan, serta sanksi-

21 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal.122.

  sanksi yang terdapat di dalamnya. Kiranya perlu diuraikan kriteria kepastian hukum dan keadilan.

  Pertama kepastian hukum. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang berlaku, pada dasarnya tidak boleh menyimpang

fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).

  Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

   karena bertujuan ketertiban masyarakat.

  Kepastian hukum merupakan asas terpenting dalam tindakan hukum dan penegakan hukum. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan perundang- undangan dapat memberikan kepastian hukum lebih tinggi daripada hukum kebiasaan, hukum adat atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui bahwa kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan dalam bentuknya yang tertulis. Menurut Bagir Manan, untuk benar-benar menjamin kepastian hukum suatu perundang-undangan selain memenuhi syarat formal, harus 22 Sudikno Mertokusumo, dan A.Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta:

  P.T. Citra Aditya Bakti, 1993) hal.1 pula memenuhi syarat-syarat lain yaitu : jelas dalam perumusannya, konsisten dalam perumusannya baik secara intern maupun ekstern, penggunaan bahasa yang tepat dan

   mudah dimengerti.

  Undang-undang hanyalah salah satu bagian dari unsur peraturan perundang- undangan dan aturan substansi yang mencakupi aturan-aturan hukum, baik yang tertulis (written) maupun yang tidak tertulis (unwritten), termasuk putusan peradilan (judge made law). Selain unsur substansi hukum masih ada unsur struktur hukum dan

   unsur budaya hukum.

  Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu

   dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.

  Dalam penelitian ini kriteria yang menjadi kepastian hukum yang digunakan adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan terhadap suatu perkara yang telah berkekuatan 23 24 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni,2000) hal. 225

M.Lawrence,Friedmann, The Legal System, A Social Science Prespective, (New York:

  Russel Sage Foundation, 1975) hal.37 25 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal. 158.

  hukum tetap dan dapat dilaksanakan. Dimana pelaksanaan kepastian hukum ini mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.

  Dengan perkataan lain dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap Teori kepastian hukum dipandang tepat dan dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, karena kepastian hukum bukan hanya sekedar pencapaian yuridiksi tanpa wujud realisasi atau tindakan nyata bagi pemegang hak sebagai subjek hukum. Suatu putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan adalah suatu putusan yang tidak punya marwah. Putusan hukum pengadilan hubungan industrial bukan hanya bernilai moralitas diatas kertas tetapi yang terutama nilai kepastian dari suatu putusan yang berkekuatan

   hukum tetap itu dapat terlaksana bagi pencari keadilan.

  Kedua, keadilan hukum, sebagaimana dikemukakan H. Muchsin, bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum dan kemanfaatan. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban. Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan ”rechct ist wille zur

  

gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan). Pandangan para ahli

26 Dwi Syafriyanti, Mewujudkan Kepastian Hukum Dalam Pengadilan Hubungan Industrial, http://lawyerindonesia.blogspot.com/2009/03/, diakses tanggal 24 Maret 2014,Pukul 18.25 WIB.

  hukum (Purnadi Purbacaraka) yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu

   adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.

  Sedangkan Soejono K.S mendefinisikan keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan. Selanjutnya, hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia. Hukum tidak memiliki tujuan dalam dirinya sendiri. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Itulah sebabnya maka fungsi

   utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan.

  Kriteria hukum yang adil sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch yakni tentang persamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan, isi hukum antara “ada” (das sein) dan “harus” (das sollen) untuk mencapai apa yang disebut dengan

   kebenaran.

  Berdasarkan berbagai uraian sebagaimana disebut diatas rumusan keadilan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah apabila setiap orang sebagai warga negara telah menerima apa yang menjadi haknya karena peraturan perundang- 27 A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab , (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2005, hal.176. 28 29 Ibid Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal.162 undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini adalah hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan hak atas upah proses yang lahir karena suatu keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dimana keputusan tersebut juga bermakna sebagai undang-undang.

  Peraturan mengenai kepailitan diharapkan dapat sebagai salah solusi mengatasi masalah utang piutang dan memberikan rasa keadilan, baik terhadap kreditor maupun terhadap debitor. Menurut W. Friedman, suatu undang-undang atau peraturan haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi itu; kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas,

   kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan sosial saja.

  Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat, kegunaan dan kepentingan hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan “Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk

   melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat”.

  Keadilan tidak semata-mata dilihat menyangkut prosedural tetapi menyangkut nilai-nilai substansional yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan harus dipandang sebagai aturan-aturan hukum substantif, dengan tidak hanya melihat 30 Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7. 31 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2002), hal. 60.

  kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantive pemohon atau penggugat. Keadilan disini tidak hanya melihat keadilan yang diatur dalam undang-undang tetapi dengan melihat substansi kasus yang terjadi meskipun

   tidak dituliskan dalam undang-undang.

  Penelitian ini akan menggunakan teori kepastian hukum dan teori keadilan sebagai pisau analisis. Hal itu didasarkan karena masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah suatu perhohonan pailit yang didasarkan atas perintah undang- undang yakni putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan permohonan pailit Rohani, dkk/mantan buruh PT. Indah Pontjan (Perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor:401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012), akan dicoba dianalisis apakah asas atau prinsip kepastian hukum dan keadilan substansional sudah termuat dalam putusan hakim yang mengadili perkara ini.

  2. Landasan Konsepsional

  Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan atau konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu, yang dapat

  32 Ikhsan Fatah Yasin, Keadilan Substantif Dalam Putusan MK, http://www.academia.edu/4074304/, diakses tanggal 24 Juni 2014, pukul 17.10 WIB dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis

   dan konstruksi data.

  Konsep yang dipergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait langsung dengan variable penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu di dalam penelitian ini

  

  dirumuskan konsep dengan mempergunakan model definisi operasional. yaitu: a.

  Pailit Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin, dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah ‘faillite

   artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran.

  b.

  Kepailitan Menurut Subekti dan R.Tjitrosoedibio pailit adalah keadaan dimana

  

  seorang Debitor telah berhenti membayar utang-utangnya. Subekti dan R.Tjitrosoedibio, lebih menekankan pada “keadaan berhenti membayar” oleh Debitor. Walaupun misalnya harta debitor nilainya lebih besar daripada utang-utangnya tidak menjadi masalah, yang penting debitor dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya.

  33 34 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.137.

  

Fotocopy: Pedoman Penulisan Tesis Program Study Ilmu Hukum SPS USU, (Medan:

Universitas Sumatera Utara), hal.5. 35 36 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal 23

Subekti dan R.Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradina Pramita, 1978), hal.89.

  Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah

   pengawasan hakim pengawas.

  c.

  Perseroan Terbatas Perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memebuhi persyaratan yang

   ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.

  d.

  Tenaga Kerja Tenaga kerja atau pekerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa baik untuk

  

  memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/buruh karena pengertian tenaga kerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang sedang terikat

   dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja.

  Sementara pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja

   37 dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

  

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang 38 39 Pasal 1 Undang-undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 40 Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 41 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta: Galia Indonesia 2004), hal 12-13.

Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

  e.

  Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan Hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban

   antara pekerja/buruh dan pengusaha.

  f.

  Kreditor Kreditor adalah pihak ( perorangan,kepada pihak lain (pihak kedua) atas dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau

   jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang.

  g.

  Debitor Debitor adalah pihak yangyang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang. Pemberidari pihak debitur. Jika seorang debitur gagal membayar pada tenggang waktu yang dijanjikan, suatu proses koleksi formal dapat dilakukan yang kadang mengizinkan

   42 penyitaan harta milik debitur untuk memaksa pembayaran. 43 Pasal 1 angka 25 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Wikipedia bahasa Indonesia, Debiturakses tanggal 26 Pebruari 2013, Pukul 16:10 WIB 44 Ibid

  h.

  Kreditor Separatis Kreditor Separatis (Scured Creditor) adalah kreditor pemegang gadai, hipotik, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hak agunan atas

   kebendaan lainnya.

  i.

  Kreditor Preferen Kreditor Preferen adalah kreditor yang didahulukan pembayarannya

   atas semua harta pailit berdasarkan sifat piutangnya.

  j.

  Kreditor Konkuren Kreditor Konkuren atau Kreditor Bersaing (Unsecured Creditor) adalah semua Kreditor atau penagih berdasarkan piutang tanpa ikatan

   tertentu.

G. Metode Penelitian

  Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang

  

  menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan cara penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan

  

  kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala

  45 46 Samsudin M. Sinaga Op.cit, hal.16 47 Ibid,hal.17 48 Ibid,hal.17 49 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.106.

  Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji,Op.Cit, hal.1.

  

  hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu yang dipilih.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

  Penelitian tentang “Permohonan Pailit Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja (Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor .401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012 antara Rohani,dkk melawan PT. Indah Pontjan)” adalah penelitian hukum normatif, yaitu berfokus pada jenis penelitian hukum yang meneliti kaedah atau norma, berlaku tidaknya kaedah atau norma tersebut serta untuk mengetahui apa yang seyogyanya dilakukan. Sebagai sebuah penelitian hukum normatif, titik berat penelitian adalah pada penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Namun untuk memperkaya dan melengkapi serta mendukung data yang diperoleh dari kepustakaan, juga dilakukan analisis putusan, apakah hukumnya bagi suatu perkara in-concreto. Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum (doctrinal), penelitian hukum untuk menemukan hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga

   mensyararatkan adanya inventarisasi hukum positif in-abstracto.

  Dalam penelitian ini norma hukum in-abstracto dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dengan perkara (legal facts) digunakan 50 51 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek ,(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.6.

  

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal.125. sebagai premise minor. Melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclusion) hukum positif in-concreto yang dijadikan sebagai bahan analisis.

  Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, untuk menggambarkan secara lengkap, menyeluruh dan mendalam aturan hukum yang relevan dengan penelitian ini serta menganalisis secara cermat permohonan pailit perseroan terbatas oleh tenaga kerja yang diputus hubungan kerja (analisis permohonan pailit PT. Indah Pontjant).

2. Sumber Bahan Hukum

  Sumber bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu: a.

  Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:

Dokumen yang terkait

Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P

16 158 185

Analisis Utang Pada Beberapa Putusan Perkara Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Dan Mahkamah Agung

0 23 56

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kedudukan Hak-Hak Tenaga Kerja Alih Daya Dalam Perspektif Keadilan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011)

0 2 14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/Pn.Dps)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

1 2 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Sebagai Kreditur Istimewa Dalam Mengajukan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit (Study Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010)

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

0 0 20