BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH - Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH A. Pengertian perjanjian,syarat-syarat perjanjian, azas-azas perjanjian, dan

  jenis-jenis perjanjian

1.Pengertian perjanjian

  Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang “Perikatan-Perikatan yang DilahirkanDariKontrak atau Perjanjian, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertianperjanjian yang menyatakanSuatu perjanjian adalah suatu perbuatandengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satuorang lain atau lebihMenurut para ahli ketentuan dari pengertian perjanjian diatas memiliki beberapa kelemahan yaitu: a.

  Hanya menyangkut sepihak saja b. Tidak tampak asas konsensualisme c. Bersifat dualisme.

  Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukumpun disebut dengan perjanjian.

  Kata “perbuatan” yang terdapat dalam pasal tersebut mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Dalam pasal ini juga tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa. R. Setiawan mengusulkan untuk menambah kata-kata dalam perjanjian itu sebagai berikut : “perbuatan itu harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambah perkataan atau “saling mengikatkan dirinya”. 2 Perumusan pengertian perjanjian menurut R Setiawan menjadi, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.3

  Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata, maka beberapa ahli hukum mencoba memberi beberapa pengertian dari sudut pandang mereka masing masing. Beberapa pengertian menurut mereka yaitu

  1) R. SubektiSuatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.4

  2) Wirjono ProdjodikoroPerjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak

                                                              

  2 R.Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan,Bina Cipta, Bandung, 1987, hal 89.  

  3Ibid  

  4 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal 1.  

    melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.5 3)

  Abdul Kadir MuhammadPerjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.6 Dari beberapa pendapat para sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih berdasarkan suatu persetujuan, untuk melaksanakan suatu hak, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

2.Syarat-syarat sah perjanjian

  Suatu perjanjian atau kontrak dianggap sah apabila telah memenuhi empat syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu : a.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Pasal 1321 KUH Perdata menyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Paksaan itu terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Paksaan itu berwujud kekerasan jasmani atau

                                                              

  5 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 1986, hal 9    

  6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,   hal 225. ancaman (akan membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian Pasal 1323-1327 KUH Perdata.

  Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat

  Pasal 1328 KUH Perdata. Jika dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan b.

  Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.

  Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yangoleh undang- undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni Orang yang belum dewasa.Menurut Pasal 330 KUH Perdata Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 1963 yang menyatakan seorang istri tetap cakap berbuat sesuatu mencabut Pasal 108 dan 110 KUH Perdata.

  c.

  Suatu hal tertentu Secara yuridis dalam sebuah perjanjian jual beli harus terdapat unsur “perihal tertentu”. Yang dimaksud dengan perihal tertentu adalah objek dari suatu perjanjian jual beli tersebut. Terhadap objek tertentu itu telah diatu dalam KUH Perdata yaitu, Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian. Pasal .1333 menyatakan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Kemudian Pasal 1334 menyatakan bahwa barang-barang yang baru akan dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

  d.

  Suatu sebab yang halal Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa kausa atau sebab yang halal adalah apabila keadaan tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian. Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacatbagi perwujudan kehendak tersebut.

3.Asas-asas perjanjian

  Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif. Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifat- sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.7

  Dalam hukum perjanjian atau kontrak sendiri dikenal banyak asas, diantaranya adalah sebagai berikut : a.

  Asas konsesualisme Asas konsesualisme berarti kesepakatan. Yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip itu adalah dalam undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap sesuatu perjanjian, misalnya syarat harus tertulis.

  Contoh: Jual beli tanah yang merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.

  b.

  Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Setiap orang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338

                                                              

  

7Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty,   1991 hal 12. ayat 1 KUH Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dilihat dalam Pasal 1381 memberikan batasan yang sangat jelas bagi janji yang bersifat mengikat tersebut, yaitu daya ikat perjanjian tersebut hanya berlaku diantar pihak yang membuatnya. Dengan kata lain pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan kewajiban dari isi perjanjian hanya dapat dilakuikan oleh salah satu pihak atau lebih pihak terhadap pihak lain yang wanprestasi yang merupakan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

  c.

  Asas kepatutan Asas kepatutan mempunyai koherensi dengan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu yang berkaitan dengan kebiasaan yang ada didalam mayarakat luas yang pada akhirnya menjadi suatu kepatutan. Asas kepatutan ini menghendaki bahwaapa saja yang dituangkan kedalam suatu perjanjian jual beli yang disepakati para pihak harus memperhatikan prinsip kepatutan (kelayakan/seimbang), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang menyangkut hak dan kewajiban terhadap suatu prestasi dapat menimbulkan rasa keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian, setiap persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

  d.

  Asas Iktikad baik

  Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma yang objektif.

  e.

  Asas kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 menyatakan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 menyatakan suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam pasal 1318 KUH Perdata mengatur tentang kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

4.Jenis-jenis perjanjian

  Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan. Berikut ini akan diuraikan beberapa jenis perjanjian: a.

  Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

  b.

  Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya Hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu terdapat selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

  c.

  Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian itu diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian- perjanjian yang tidak tumbuh didalam KUH Perdata, tetapi terdapat didalam masyarakat. lahirnya perjanjian ini didalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku didalam hukum perjanjian.

  d.

  Perjanjian campuran

  Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan.

  e.

  Perjanjian obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUH Perdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih tetap diperlukan satu lembaga lain yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya sendiri itu dinamakan perjanjian obligatoir.

  f.

  Perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dimana hak atas benda diahlikan/diserahkan (transfer of title)kepada pihak lain.

  g. perjanjian konsensual dan perjanjian riil

  Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana letaknya kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata). Namun demikian didalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Miaslnya,Perjanjian penitipan barang (Pasal 1649 KUH Perdata), pnjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan sisa dari hukum Romawi.

  B.Pelaksanaan pejanjian

  Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah yang disebut sebagai prestasi, sedangkan apabila salah satu pihak atau bahkan kedua pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya, itulah yang disebut dengan wanprestasi.

  Pihak yang wanprestasi dalam perjanjian dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan, namun pihak yang dituduh melakukan wanprestasi tersebut masih dapat melakukan pembelaan-pembelaan tertentu agar dapat terbebas dari pembayaran ganti rugi

  Berdasarkan alasan tersebut, pada bagian ini akan dibahas tiga hal pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, yaitu prestasi, wanpretasi, dan pembelaan debitur yang dituduh wanprestasi.

1.Prestasi

  Menurut KUH Perdata Pasal 1234 prestasi dibagi dalam tiga macam yakni a.

  Menyerahkan sesuatu .

  b.

  Berbuat sesuatu. c.

  Tidak berbuat sesuatu. Namun Ahmadi Miru tidak sependapat dengan pembagian tersebut karena menurutnya, apa yang disebut sebagai macam-macam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi hanya cara-cara melakukan prestasi, yakni:

  1) Prestasi yang berupa barang, cara melaksanakannya adalah menyerahkan sesuatu (barang).

  2) Prestasi yang berupa jasa cara melaksanakannya adalah dengan berbuat sesuatu.

  3) Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu, cara pelaksanaannya adalah dengan bersikap pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.8

  Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang sesuai dengan Pasal 1339 KUH Perdata. Menurut M.Yahya Harahap dalam bukunya segi-segi hukum perjanjian dalam Pasal 1339 tidak ada disinggung dalam pasal itu soal persiapan (voorbreiding). Demikian juga ditegaskan dalam Pasal 1235 KUH Perdata, perjanjian untuk memberikan sesuatu meliputi kewajiban menyerahkan, menjaga keselamatan barang sampai pada saat penyerahan.9

  Setiap pihak yang membuat perjanjian, terutama pihak kreditur sangat menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara sukarela sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi tentu tidak semua

                                                              

  

8Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajagrafindo Persada,

  Jakarta, 2008, hal 69-70.

9 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal 57.

  berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur ingkar secara sukarela menempati pelaksanaannya.Keingkaran debitur inilah yang memberi hak kepada kreditur untuk memaksa debitur melaksanakan prestasi. Tentu tidak denganegenrichingatau main hakim sendiri. Ini hanya bisa dalam keadaan tertentu seperti pada gadai yang memberi hak kepada kreditur untuk menjual sendiri barang agunan benda bergerak.

2.Wanprestasi

  Wanprestasi adalah pelaksanaan kewaiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan menurut selayaknya. Kalau begitu seorang dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalaam melakukan pelaksanaan pretasi telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakannya prestasi tidak menurut selayaknya.

  Menurut Pasal 1238 KUH Perdata bentuk pernyataan lalai yaitu: a.

  Berbentuk surat perintah (bevel) atau akta lain yang sejenis (of andre soorgelijke akte ).

  b.

  Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. Apabila dalam surat perjanjian itu telah ditetapkan ketentuan, debitur telah dianggap bersalah jika satu kali sajapun dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitur tepat melaksanakan kewajiban dan sekaligus pula untuk menghindari proses dan prosedur in gebrekke stelling.

  c.

   Jika tegoran atau kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul

  peringatan atau aanmaningn dan bisa juga disebut somasi. Somasi berati peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan teguran/pernyataan kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya. Dalam somasi ini kreditur menyatakan kehendaknya, perjanjian harus dilaksankan dalam batas waktu tertentu. Adapun wanprestasi dapat berupa : 1)

  Sama sekali tidak memenuhi prestasi; 2)

  Prestasi yang dilakukan tidak sempurna; 3)

  Terlambat memenuhi prestasi; 4)

  Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.10 Terjadinya wanpretasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan.Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:

  a) Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi};

b) Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).

  Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun, jika dua kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

                                                                

  10Ahmadi Miru, op, cit.,hal 74. a) Pembatalan kontrak saja;

  b) Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;

  c) Pemenuhan kontrak saja;

d) Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

  Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi terebut juga dibebani biaya perkara.

3.Pembelaan Pihak yang dituduh wanprestasi

  Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk dari wanpretasi tersebut.

  Tangkisan atau pembelaan tersebut dapat berupa : a. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena keadaan terpaksa

  (overmacht); b. Tidak dipenuhinya kontrak (wanpretasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exceptio non adimpleti contractus); c.

  Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas pemenuhan pretasi11 Pada dasarnya kontrak dibuat untuk saling mneguntungkan dan bukan untuk saling merugikan atau untuk merugikan pihak lain. Oleh karena itu,

                                                               11Ibid, hal 76. walaupun undang-undang memungkinkan pihak yang dirugikan untuk membatalkan kontrak, selayaknya wanprestasi-wanprestasi kecil atau tidak esensial tidak dijadikan alasan untuk pembatalan kontrak. Melainkan hanya pemenuhan kontrak baik yang disertai tuntutan ganti rugi maupun tidak. Hal ini penting untuk dipertimbangkan karena dalam kasus-kasu tertentu pihak yang wanprestasi dapat mengalami kerugian besar jika kontrak dibatalkan.

  Dengan demikian, walaupun pihak yang wanpretasi tidak dapat mengajukan salah satu pembelaan atau tangkisan sebagaimana disebut diatas, pihak lawan tidak selamanya dapat menuntut pembatalan kontrak apabila prestasi yang dilakukan terlambat atau tidak sempurna.

  Keadaan terpaksa (overmacht) tidak memenuhi kontrak sebagaimana dimaksud diatas dapat merupakan keadaan terpaksa yang mutlak, dapat pula yang bersifat relatif.

  Pembelaan yang berupa tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) oleh debitur yang terjadi karena pihak lain atau kreditor juga wanprestasi (exceptio non

  

adimpleti contractus ) dapat digunakan bilamana kreditur juga belum memenuhi

  apa yang dijanjikan atau belum memenuhi sepenuhnya tentang apa yang dijanjikan.

  Pembelaan debitur yang berupa pelepasan hak dapat diajukan jika si kreditor sendirir telah melepaskan haknya untuk menuntut kepada si debitur.

  C.Perjanjian jual beli rumah

1. Jual beli

  Perjanjian jual beli merupakan perjanjian penting yang dilakukan sehari- hari, namun terkadang tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan merupakan suatu perbuatan hukum yang tentu saja memiliki akibat-akibat hokum tertentu.

  Menurut Pasal 1457 KUH Perdata jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak pernjual berjanji menyerahkan sesuatu barang atau benda (zaak), dari pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pernyataan Pasal 1457 KUH Perdata tersebut jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu: a.

  Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

  b.

  Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang diberi kepada penjual.

  Tentang persetujuan jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUH Perdata). Jual beli tiada lain dari pada persesuaian kehendak (wiils overeenstemming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga.

  Barang dan hargalah yang menjadi unsur essensialia dalam perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tak mungkin terjadi jual beli.

  Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, dianggap jual beli tidak ada.

  Disamping benda/barang, harga merupakan salah satu unsur essensialia persetujuan jual beli. Harga berarti sesuatu jumla yang harus dibayar dalam bentuk uang. Pembayaran harga dengan uanglah yang bisa dikategorikan kedalam jual beli. Harga yang berbentuk lain diluar uang, berada diluar jangkauan persetujuan jual beli. Kalau harga barang yang dibeli tadi dibayar dengan benda lain yang bukan berbentuk uang, jelas persetujuan itu bukan jual beli. Yang terjadi adalah persetujuan tukar menukar (ruil overeenkomst).

  Perjanjian jual beli yang dilakukan dengan sederhana tentu saja tidak banyak menimbulkan masalah, terutama jika barang yang diperjualbelikan tersebut hanya satu macam barang dan barang tersebut dapat dilihat atau diamati langsung oleh pembeli, denikian pula pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara tunai dengan menggunakan uang tunai.Akan tetapi, perjanjian jual beli yang berlangsung antara penjual dan pembeli tidak selamanya merupakan perjanjian jual beli yang sederhana bahkan tidak jarang menimbulkan masalah, diperlukan antara hukum yang mengatur tentang berbagai kemungkinan yang dapat timbul dalam perjanjian jual beli.

2.Risiko jual beli

  Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, dinamakan pihak yang mmemikul risiko atas barang tersebut.

  Persoalaan tentang risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “keadaan memaksa” (“overmacht”, “force majeur”). Dengan demikian maka persoalaan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalaan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga.

  Risiko atas barang objek jual beli tidak sama, terdapat perbedaan sesuai dengan sifat keadaan barang yang jadi objek jual beli.

  a.

  Objek jual beli terdiri dari barang tertentu, resiko atas barang berada pada “pihak pembeli”, terhitung sejak saat terjadinya persetujuuan pembelian.

  Sekalipun penyerahan barang terjadi, penjual berhak menuntut pembayaran harga seandainya barang musnah (Pasal 1460 KUH Perdata).

  Dari ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, jual beli mengenai barang tertentu; sekejap setelah penjualan berlangsung, resiko berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak dilevering lenyap, pembeli tetap wajib membayar harga.

  Apa lagi jika ketentuan pasal 1460 tadi dihubungkan dengan pasal 1237 KUH Perdata yang menetukan : sejak terjadinya perjanjian barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan bagi pihak kreditur. Jika debitur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung kealpaan tersebut, terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut.

  Akan tetapi oleh karena Pasal 1460 merupakan lex spesialis, ketentuan

  Pasal 1237 KUHPerdata sebagai lex generalis, dengan sendirinya tersingkir b.

  Objek jual beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan, “bilangan atau ukuran” resiko atas barang”, tetap berada dipihak penjual, sampai saat barang itu ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1461 KUH Perdata)

  Sedangkan resiko jual beli dalam KUH Perdata ada tiga peraturan yaitu: 1)

  Mengenai barang tertentu (Pasal 1460); 2)

  Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal 1461); dan

  3) Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462).

3. Kewajiban penjual dan pembeli

  Tentang kewajiban penjual, pengaturannya dimulai dari Pasal 1473KUH Perdata Penjual wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikat diri dalam persetujuan jual beli. Lantas, lebih lanjut pasal tersebut memberikan suatu

  

“interpretasi” . Segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli, atau

  yang mengandung pengertian kembar harus diartikan sebagai maksud yang

  

“merugikan” bagi pihak penjual.Jika Pasal 1473 tidak menyebut apa-apa yang

  menjadi kewajiban pihak penjual, kewajiban itu baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya. Yakni Pasal 1474 KUH Perdata. Pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal tersebut terdiri dari dua : a.

  Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

  b.

  Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan. Selain kewajiban diatas masih ada kewajiban lain dari pernjual yaitu, seperti: 1)

  Menjamin bahwa barang yang dijual baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian jual-beli.

  2) Penjual juga bertanggung jawab terhadap cacat-cacat tersembunyi yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai atau dapat mengurangi pemakaian itu, sehingga seandainya sipembeli tahu keadaan tersebut, ia tidak akan membeli barang tersebut atau membelinya dengan harga yang kurang dari harga yang telah disepakati.

  Adapun yang menjadi tanggung jawab pembeli, ialah:

  a) Membayar harga barang yang telah disepakati. Jika ternyata pembeli tidak membayar harga barang yang telah disepakati, maka penjual dapat menuntut ganti rugi atau pembatalan, karena hal yang demikian itu merupakan wanprestasi.

  b) Melakukan pembayaran tepat pada waktunya. Apabila barang yang dijual itu belum dibayar oleh si pembeli, penjual tidak diwajibkan atau diharuskan menyerahkan barang yang dijualnya itu, kecuali si penjual sendiri mengijinkan penundaan pembayaran oleh pembeli. c) Menanggung biaya akta jual-beli, jika tidak diatur sebaliknya dalam perjanjian.

  Sedangkan kewajiban utama sipembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.

  Harga tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalam pengertian jual beli oleh karena bila tidak, umpamanya harga itu berupa barang makan itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar-menukar”, atau kalau harga itu berupa suatu jasa perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitu seterusnya

  Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun adalah diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan soal pihak ketiga. Dalam hal yang demikian maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak mampu mebuat perkiraan tersebut atau menentukannya , maka tidaklah terjadi suatu pembelian.

4. Pengikatan Perjanjian Jual-Beli (PPJB)

  Bila membeli rumah atau rusun, seorang konsumen pasti akan menjumpai dokumen-dokumen hukum (legal documents) yang penting, yaitu: a.

  Perjanjian pengikatan jual beli, disingkat PPJB antara pengembang dan konsumen; b.

  Akta jual beli yang dibuat dan ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengalihkan atau memecah pemilikan tanah dan rumah/sarusan dari pengembang kepada setiap konsumen; c.

  Perjanjian kredit pemilikan rumah/apartemen/sarusun.

  Dokumen yang pertama merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara pengembang dan konsumen, dimana pengembang mengikatkan diri untuk menjual rumah/sarusun dan tanah kepada konsumen, sedangkan konsumen membeli rumah dari pengembang dengan kewajiban membayar harga jualnya dalam bentuk: angsuran uang muka (down payment) dan sisanya diselesaikan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA)

  Sedangkan dokumen yang ketiga menunjukan adanya hubungan hukum antara konsumen dengan bank pemberi KPR/KPA. Di dalamnya, antara lain diatur jumlah pinjaman, jangka waktu pelunasan KPR/KPA, besarnya atau sistem perhitungan bunga pinjaman. Keberadaan dokumen-dokumen itu sangat penting untuk mengupayakan sejauhmana perlindungan konsumen diakomodasikan dalam instrument hukum perdata ini

  Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam PPJB yaitu : 1)

  Uraian mengenai obyek tanah dan bangunan harus jelas, antara lain ukuran luas tanah dan bangunan, sertifikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan pada obyek tanah dan bangunan tersebut. 2)

  Harga tanah per-meter dan harga total keseluruhan serta cara pembayarannya. Pembayaran harga tanah dapat juga ditentukan secara bertahap yang pelunasannya dapat dilakukan pada saat penandatanganan Akta Jual beli atau AJB.

  3) Syarat batal tertentu misalnya, misalnya jika ternyata pembangunannya tidak selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan oleh

  developer maka calon pembeli berhak membatalkannnya dan menerima kembali uang muka.

  4) Penegasan pembayarn pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak dan biaya-biaya lain yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran tanah dan biaya notaris/PPAT.12

  Adanya praktek jual beli rumah atau sarusun/apartemen yang masih dalam tahap pembangunan atau dalam tahap perencanaan ditampung atau diakomodasikan dengan dokumen hukum perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Dasar pemikiran hukumnya, PPJB bukanlah perbuatan hukum jual beli yang bersifat riil dan tunai. PPJB merupakan kesepaktan dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing di kemudian hari yakni pelaksanaan jual beli dihadapan PPAT, bila bangunan telah selesai bersertifikat dan layak huni.

  Menurut Maria Sumardjono, masalah PPJB itu termasuk dalam lingkup hukum perjanjian, sedangkan jual belinya termasuk dalam lingkup hukum tanah nasional yang tunduk pada Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.13

                                                               12www.legalakses.com di akses pada 12 Oktober 2014.

  

13Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra

  Aditya Bandung, 2000, hal 75-85.

     

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV. Surya Abadi)

13 134 95

Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN. Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

1 91 117

Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)

0 57 94

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Perumahan Dan Pemukiman Atas Iklan Yang Dijanjikan

14 91 117

Perlindungan Konsumen Perumahan Terhadap Developer Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Study Kasus : Zona Property Medan)

4 84 94

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Pembelian Perumahan Pada PT. Prima Sarana Mandiri

0 29 127

Perlindungan Konsumen Dalam Kontrak Jual Beli Rumah Di Perumahan Harapan Indah Bekasi

0 10 0

BAB II TEORI PERUMAHAN DI PERKOTAAN 2.1 Perumahan 2.1.1 Perumahan dan Permukiman - Studi Bentuk Perumahan di Jalan Karya Wisata Medan (Studi Kasus : Perumahan Citra Wisata Dan Perumahan Johor Indah Permai I )

0 1 26

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian 3. Pengertian Perjanjian - Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Kredit Perumahan Menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi Pada Perumahan Alamanda Indah Medan

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumen dalam Membeli Rumah di Perumahan Bougenville Jalan Sei Mencirim Kecamatan Sunggal

0 0 23