Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN. Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUDY HIMAWAN GONO 100200383

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

 

LEMBAR PENGESAHAN

TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN TERHADAP KONSUMEN PERUMAHAN ATAS PEMUTUSAN LISTRIK SECARA SEPIHAK YANG

DILAKUKAN OLEH PT. PLN PERSERO (Studi Putusan MA. NO. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

Oleh

RUDY HIMAWAN GONO 100200383

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Windha, SH. M.Hum NIP. 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Bismar Nasutian, SH, MH) (Windha, SH, M.Hum) NIP. 195603291986011001 NIP. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis mampu untuk menjalankan perkuliahan sampai tahap penyelesaian skripsi pada jurusan Hukum Ekonomi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN. Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)”. Judul ini diangkat karena ketertarikan penulis untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab developer perumahan atas kerugian yang dialami konsumen perumahan akibat pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN PERSERO.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang banyak membantu Penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Untuk semua ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada.

1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(4)

 

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H ,selaku Dosen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing I, yang sudah menyediakan waktu dan membagi pengetahuan berkenaan dengan skripsi yang dibahas, serta memberikan kritik dan saran sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Ibu Windha, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II, yang sudah menyediakan waktu dan memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, serta memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini..

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah diberikan sejak awal masuk perkuliahan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memberikan segala ilmu yang dapat menambah pengetahuan penulis.

10.Seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). 11.Orang tua penulis, Pioman Gono dan Rita Sugianto yang telah membesarkan,

mendidik, memberikan kasih sayang, serta memberikan dukungan yang luar biasa selama ini.


(5)

12. Abang, dan adik penulis: Rendy Himawan Gono dan Serlia Gono yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman baik penulis, Meriwaty Oei yang telah memberikan semangat selama kegiatan perkuliahan dan mendukung penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

14.Guru SMA SUTOMO 1 MEDAN yang telah mengajar dan memberikan ilmu sampai penulis dapat melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara (USU) hingga menyelesaikan skripsi ini.

15.Sahabat seperjuangan penulis, yaitu Daniel Cendrico, Ripin Winardi, Jensen Tiopan, dan Suhendra yang telah bersama-sama sejak awal memasuki perkuliahan dan saling memberikan dukungan sampai terselesainya skripsi ini. 16.Kawan-kawan akrab penulis, yaitu Christian Yoritomo, Steven Wang, Jerry

Thomas, Edward Zai, Robert Kie, Sally Putri, Rivera Wijaya, Vellichia Lawrence, Imelda, serta yang lainnya yang saling membantu selama kegiatan perkuliahan.

17.Senior-senior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu Yuvindri S.H., dan Cindy S.H. yang telah memberikan banyak informasi mengenai kegiatan perkuliahan dan memberikan nasihat-nasihat positif kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

18.Teman-teman organisasi Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI). Akhir kata, diharapkan tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu pengetahuan.


(6)

 

Medan, 18 September 2014 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .... ... i

DAFTAR ISI ... . vi

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN... ... 16

A. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 16

B. Hak dan Kewajiban Konsumen beserta Pelaku Usaha ... 24

C. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha... 30

D. Klausula Baku ... 37

E. Tanggungjawab Pelaku Usaha ... 43

BAB III HUBUNGAN HUKUM ANTARA DEVELOPER PERUMAHAN, PEMILIK RUMAH DAN PT. PLN PERSERO DALAM KAWASAN PERUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 48


(8)

 

A. Perjanjian Jual Beli Rumah dalam Kawasan Perumahan ... 48

B. Pengadaan Fasilitas Listrik Oleh PT. PLN Persero Dalam Kawasan Perumahan ... 62

C. Hubungan Hukum Antara Developer Perumahan, Pemilik Rumah dan PT. PLN Persero Dalam Kawasan Perumahan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 66

BAB IV TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN TERHADAP KONSUMEN PERUMAHAN ATAS PEMUTUSAN LISTRIK SECARA SEPIHAK YANG DILAKUKAN OLEH PT. PLN PERSERO (PUTUSAN MA. NO. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013) ... 72

A. Kewenangan PT. PLN Pesero dalam Pemutusan Listrik Secara Sepihak dikawasan Perumahan ... 72

B. Upaya Hukum Yang Dilakukan Konsumen Perumahan Untuk Mendapatkan Haknya Sebagai Pemilik Rumah Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Oleh PT. PLN Persero . 81 C. Tanggungjawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN Persero (Studi putusan MA.No.53PK/Pdt/Sus.BPSK/2013) ... 85

BAB V PENUTUP………...……... 102

A. Kesimpulan………..…102

B. Saran ………103


(9)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN TERHADAP KONSUMEN PERUMAHAN ATAS PEMUTUSAN LISTRIK SECARA SEPIHAK YANG

DILAKUKAN OLEH PT. PLN PERSERO (Studi Putusan MA. NO. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

*Rudy Himawan Gono ** Bismar Nasution

*** Windha

Developer adalah pelaku kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah ditentukan. Developer disebut juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan perlindungan konsumen menurut undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, bagaimanakah hubungan hokum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut UUPK, bagaimanakah tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero dalam putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yang menggunakan sumber data sekunder, berupa buku-buku, undang-undang, internet dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, klausula baku, tanggungjawab pelaku usaha. Hak dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 4 dan 5 UUPK, sedangkan hak dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur di dalam Pasal 8-17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Klausula baku diatur di dalam Pasal 1 angka 10 UUPK serta pengaturan pencantuman klausula baku diatur di dalam Pasal 18 UUPK. Tanggung jawab pelaku usaha diatur di dalam Pasal 19-28 UUPK. Hubungan hukum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut UUPK hanya mengatur hubungan 2 (dua) pihak semata, sedangkan hubungan 3 (tiga) pihak yang terjadi antara pemilik rumah, developer dan PT. PLN Persero sama sekali tidak diatur di dalam UUPK. Hubungan 3 (tiga) pihak ini dapat dilihat dari teori yang dikembangkan oleh para ahli dengan menekankan adanya bentuk hubungan langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan hukum antara ketiga pihak yang disebut diatas terdapat 2 (dua) hubungan langsung secara perjanjian yaitu hubungan antara pemilik rumah dengan developer dan hubungan developer dengan PT. PLN Persero. Sedangkan hubungan tidak langsung terjalin antara pemilik rumah dengan PT. PLN Persero. Tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero, pihak developer harus memasang kembali listrik yang telah diputuskan oleh PT. PLN (Persero) Perusahaan Listrik Negara Wilayah Sumatera Utara dan pihak Developer PT. Taman Malibu Indah membayar kerugian materil maupun moril kepada konsumen, seperti Putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013H-7.

Kata Kunci : Tanggung Jawab, Developer, Konsumen, Sepihak.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU


(10)

 

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN TERHADAP KONSUMEN PERUMAHAN ATAS PEMUTUSAN LISTRIK SECARA SEPIHAK YANG

DILAKUKAN OLEH PT. PLN PERSERO (Studi Putusan MA. NO. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

*Rudy Himawan Gono ** Bismar Nasution

*** Windha

Developer adalah pelaku kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah ditentukan. Developer disebut juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan perlindungan konsumen menurut undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, bagaimanakah hubungan hokum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut UUPK, bagaimanakah tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero dalam putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yang menggunakan sumber data sekunder, berupa buku-buku, undang-undang, internet dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, klausula baku, tanggungjawab pelaku usaha. Hak dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 4 dan 5 UUPK, sedangkan hak dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur di dalam Pasal 8-17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Klausula baku diatur di dalam Pasal 1 angka 10 UUPK serta pengaturan pencantuman klausula baku diatur di dalam Pasal 18 UUPK. Tanggung jawab pelaku usaha diatur di dalam Pasal 19-28 UUPK. Hubungan hukum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut UUPK hanya mengatur hubungan 2 (dua) pihak semata, sedangkan hubungan 3 (tiga) pihak yang terjadi antara pemilik rumah, developer dan PT. PLN Persero sama sekali tidak diatur di dalam UUPK. Hubungan 3 (tiga) pihak ini dapat dilihat dari teori yang dikembangkan oleh para ahli dengan menekankan adanya bentuk hubungan langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan hukum antara ketiga pihak yang disebut diatas terdapat 2 (dua) hubungan langsung secara perjanjian yaitu hubungan antara pemilik rumah dengan developer dan hubungan developer dengan PT. PLN Persero. Sedangkan hubungan tidak langsung terjalin antara pemilik rumah dengan PT. PLN Persero. Tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero, pihak developer harus memasang kembali listrik yang telah diputuskan oleh PT. PLN (Persero) Perusahaan Listrik Negara Wilayah Sumatera Utara dan pihak Developer PT. Taman Malibu Indah membayar kerugian materil maupun moril kepada konsumen, seperti Putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013H-7.

Kata Kunci : Tanggung Jawab, Developer, Konsumen, Sepihak.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Rumah memiliki andil besar dalam perkembangan dunia bisnis properti. Produsen material rumah mulai dari tingkat perorangan, home industry, sampai perusahaan besar hidup dan berkembang karena kebutuhan akan rumah selalu meningkat. Hal ini bisa dilihat mulai dari pengumpulan batu, pasir, pengrajin bata merah, pembuat kusen yang dilakukan oleh perorangan sampai perusahaan tertentu.

Rumah sebagai bangunan yang paling banyak dibangun diantara jenis bangunan lainnya sebab rumah merupakan kebutuhan pokok manusia yang memberikan sumber penghidupan. Rumah juga menghidupi dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat pekerja bangunan, bagi tenaga ahi bangunan dari arsitektur, bagi para pengembang properti. Bisnis rumah juga merupakan bisnis yang tidak pernah usang, sebab rumah selalu diperlakukan manusia selamanya.1

Rumah juga memberikan peluang kehidupan kepada berbagai lapisan pelaku usaha perumahan mulai dari perorangan sampai perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pihak-pihak untuk berinvetasi untuk berbisnis membangun rumah.

Pembangunan rumah dilakukan dengan berbagai bentuk atau jenis, bentuk atau jenis-jenis tersebut terbagi dari berbagai macam seperti, jenis rumah tunggal; rumah tinggal berbentuk rumah tapak berdiri sendiri atau terpisah dengan rumah lainnya, rumah tinggal kopel; jenis rumah tinggal tunggal yang disekat sama besar

      

1

Fredric Han, Jadi Konglomerat di Bisnis Properti (Jakarta: Pustaka Ananda Srva, 2013) hlm. 2. 


(12)

 

antara sisi kiri dan kanan rumah, dan biasanya rumah tinggal kopel ini untuk disewakan pemiliknya guna menghemat lahan bangunan, rumah bandar; rumah tapak berbentuk rumah gandeng dengan penambahan tempat parkir di dalam bangunannya, rumah berpekarangan dalam; rumah tapak yang memiliki perkarangan di dalam rumah.2

Jenis-jenis rumah tersebut dibangun berdasarkan selera ataupun kebutuhan dari si pemilik, dan bisa saja jenis-jenis rumah terbaru bermunculan berdasarkan tingkat kebutuhan si pemilik. Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman rumah (selanjutnya disebut UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman rumah) terbagi dari beberpa jenis yaitu, rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya, rumah khusus, rumah negara.

Properti adalah semua bangunan yang ada diatas permukaan bumi yang menjulang ke angkasa yang melekat secara permanen baik secara alamiah maupun dengan campur tangan manusia. Properti perumahan termasuk tempat tinggal pribadi.3

Rumah bukan hanya bermanfaat sebagai tempat berlindung dan bernaung bagi penghuninya, tetapi rumah juga merupakan sumber kehidupan bagi pelaku usaha yang berkaitan dengan bahan material, jasa konstruksi dan sebagainya.4

Rumah juga merupakan bagian kebutuhan pokok manusia yang diperlukan selamanya, maka akan memberikan serta merupakan sumber kehidupan berbagai

      

2

R. Serfianto D. Purnomo dan Cita Yustisia Serfiani, Buku Pintar Investasi Properti

(Jakarta: Gramedia Purtaka Utama, 2013), hlm. 17-19.  3

R. Serfianto Dibyo Purnomo, Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiyani, Kitab Hukum Bisnis Properti (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 7.  

4


(13)

lapisan pelaku usaha. Oleh karena itu, tidak heran dengan semakin banyaknya orang yang memiliki dana untuk menginvestasikan nya ke bisnis properti.

Properti biasa dihubungkan dengan bangunan, ruko, rumah dan sejenisnya. Potensi pertumbuhan properti lebih disebabkan oleh adanya keinginan dari pada konsumen yang ingin membeli tempat tinggal di tengah kota.5

Bisnis properti semakin marak dan diminati oleh banyak kalangan belakangan ini, hal ini dikarenakan adanya kemanfaatan dari properti itu sendiri.6

Perkembangan sektor properti di Indonesia akhir-akhir kian pesat, sejalan dengan kondisi ekonomi makro yang terus tumbuh, sektor properti pun ikut berkembang. Jika program pengadaan perumahaan dapat direalisasikan, maka efeknya akan lebih menggigit untuk menggerakkan ekonomi nasional. Pemerintah sebenarnya punya alat untuk menggerakkan sektor properti, jika pemerintah dapat merealisasikan target 7,5 juta unit rumah untuk rakyat hingga tahun 2014 maka efeknya tentu akan luar biasa. Demikian pula pihak swasta yang terus mengembangkan kota-kota baru di sekitar kota besar.7

Sektor properti mampu mendorong permintaan sektor bangunan sebesar 55%, begitu juga terhadap sektor industri barang dari logam (6%), perdagangan (5%), pengilangan minyak bumi (3.5%), penambangan dan penggalian lain (3,5%). Demikian juga dengan sektor properti yang mampu menyerap tenaga

      

5

Tanpa nama, “Artikel Properti”, dalam http: // artikel properti. blogspot. com/2012/10/pengertian-properti-definisi-properti.html (diunduh pada tanggal 29 Juni 2014). 

6

Supriyadi Amir, Free Properti Dalam 17 Hari (Jakarta: Laskar Aksara, 2013), hlm. 2. 

7

Yuliana Rini DY, Mendorong Sektor Properti, Kompas, Senin, 18 Agustus 2014, hlm. 12. 


(14)

 

kerja. Jika satu unit rumah dikerjakan 10 orang untuk 50,000 unit rumah maka akan mampu mengurangi pengangguran yang ada.8

Pengembangan properti tidak lepas dari peran developer (pengembang). Developer dapat pula bekerja untuk membangun atau mengubah perumahan atau bangunan yang sudah ada sehingga menjadi perumahan/bangunan yang lebih baru, lebih baik dan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.9

Dalam mewujudkan keinginannya membangun perumahan, pengembang pada umumnya memakai jasa kontraktor untuk membangun rumah/bangunan sesuai perencanaan yang dibuat oleh pengembang. Rumah-rumah yang sudah selesai dibangun selanjutnya dijual oleh pengembang kepada masyarakat yang membutuhkan. Kontraktor hanya bertanggung jawab memasarkan rumah.

Developer adalah pelaku kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah ditentukan.10

Developer disebut juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Peran developer pada saat ini semakin dibutuhkan dengan banyaknya kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan rumah tinggal. Daerah perkotaan hingga pedesaan, developermengembangkan usahanya dengan meraup banyak keuntungan. Dengan menyikapi secara dingin mengenai pihak-pihak yang pro

      

8

Frederic Han, Op. cit., hlm. 3. 

9

Ibid., hlm. 10. 

10


(15)

maupun kontra terkait usaha developer dalam usaha pengembangan rumah tinggal, pihak-pihak yang diuntungkan terus menjalankan usahanya.

Tanggung jawab developer terhadap pihak yang telah melakukan jual beli rumah tinggal seharusnya dilakukan secara maksimal mengingat setiap fasilitas yang ada di rumah tinggal tersebut memang layak untuk dihuni baik secara keselamatan hingga pada akibat hukumnya. Suatu keharusan apabila developermemberikan tempat tinggal yang layak kepada pembeli (konsumen) khususnya rumah tinggal tersebut memang secara halal atau menurut undang-undang memang baik untuk ditempati. Oleh karena itu, pembeli rumah tinggal yang beritikad baik seharusnya dilindungi oleh undang-undang atas tindakan developer “nakal” dan tidak bertanggung jawab apabila secara nyata telah melakukan kecurangan dan akibatnya merugikan pemilik rumah (konsumen).

Adanya itikad tidak baik dari seorang developer terhadap fasilitas yang diberikan kepada konsumen merupakan bentuk suatu kesalahan ataupun pelanggaran hukum. Konsumen sebagai pihak yang dirugikan dalam hal ini telah mengeluarkan sejumlah uang untuk menikmati fasilitas rumah, akan tetapi pihak developeryang tidak bertanggung jawab telah merugikan konsumen itu sendiri.

Developer memiliki kewajiban dalam hal memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen apalagi terhadap fasilitas penggunaan listrik. Sebuah rumah di dalam perumahan sudah seharusnya memiliki aliran listrik apalagi perumahan tersebut berada di wilayah perkotaan, maka tidak seharusnya apabila aliran listrik tidak ada.


(16)

 

Masalah-masalah terkait dengan tanggung jawab developer perumahan tentu saja menjadi kajian yang menarik sehingga dalam hal ini sangat perlu dan penting untuk diteliti untuk melihat sejauh mana peraturan-peraturan yang ada dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pembelian rumah dalam suatu perumahan tanpa adanya fasilitas yang pada prinsipnya harus disediakan oleh developer (pengembang).

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimanakah hubungan hukum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

3. Bagaimankah tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero dalam putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

b. Untuk mengetaui hubungan hukum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;


(17)

c. Untuk mengetahui tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero dalam putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013.

2. Manfaat penulisan a. Manfaat teoritis

Memberikan pengetahuan yang besar bagi penulis sendiri hapusnya pertanggungjawaban pelaku usaha jasa terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam pembangunan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan peralihan hukum perlindungan konsumen;

b. Manfaat praktis

1) Memberikan kontribusi terhadap masyarakat untuk dapat mengetahui tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero;

2) Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum perusahaan dan juga memberikan pemahaman pada pihak terkait seperti; praktisi hukum, praktisi legal corporate, dan juga mahasiswa diharapkan memberikan manfaat yang cukup luas.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh


(18)

 

PT. PLN Persero (studi putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013)” ini disusun berdasarkan pengumpulan bahan-bahan baik berupa bahan pustaka, undang-undang, peraturan perlindungan konsumen, maupun peraturan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan lembaga lainnya, yang diperoleh dari perpustakaan, media cetak, serta media elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul ini, penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh orang lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di lingkungan universitas/perguruan tinggi lainnya dalam wilayah Republik Indonesia. Apabila di kemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban.

E. Tinjauan Pustaka

Pengembang perumahaan (real estate developer) atau biasa juga disingkat dengan pengembang (developer) adalah orang-perseorangan atau perusahaan yang bekerja mengembangkan suatu kawasan pemukiman menjadi perumahan yang layak huni dan memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dijual kepada masyarakat. Pengembang dapat terdiri dari orang perorangan maupun perusahaan, baik perusahaan yang berbadan hukum (CV atau Firma) maupun perusahaan yang sudah berbadan hukum (PT atau Koperasi).11

Di Indonesia pengembang bernaung

      

11

R. Serfianto Dibyo Purnomo, Iswi Hariyani, dkk, Kitab Hukum Bisnis Properti


(19)

dalam dua asosiasi perusahaan pengembang perumahan, yaitu REI (Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia) dan APERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia).12

Pelaku dalam bisnis properti dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) pihak, yaitu:13

1. Penanam modal

Kepemilikan proyek properti ini dapat dikelola secara kerja sama dengan pihak lain atau investor, perusahaan maupun yayasan dana pensiun, serta individu;

2. Pemberi pinjaman

Sumber pemberi pinjaman ini bisa dari pihak bank, lembaga keuangan non-bank, dan individu yang meminjamkan dana untuk pembiayaan suatu proyek usaha developer;

3. Pemakai

Pihak yang membeli aset kepemilikan dari proyek investor tersebut akan dibuatkan bukti kepemilikan dalam bentuk sertifikat.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Tujuan perlindungan konsumen:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

      

12

Ibid. 

13

Property Puls Indonesia, Strategi Membangun Bisnis Developer Property, cetakan ke-2 (Jakarta: Ufuk Publishing House, 2011), hlm. 18. 


(20)

 

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi serta akses untuk memperoleh informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab dalam penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan 8 (delapan) klausula baku yang menyatakan:

1. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang atas pembayaran barang yang dibeli konsumen;

4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang dibeli konsumen secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; 7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, yang dibuat


(21)

sepihak oleh pelaku usaha;

8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak: tanggungan, gadai, jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersifat deskriptif yang mengacu kepada penelitian hukum normatif yaitu menguji, mengkaji ketentuan-ketentuan tentang hapusnya pertanggungjawaban pelaku usaha jasa terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis.

Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peritiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum14

. 2. Data penelitian

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.15

Sumber data dapat dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung.

      

14

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cetakan ketigabela (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.15.  

15

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Rineka Cipta: Jakarta, 2010), hlm.172. 


(22)

 

a. Bahan hukum primer

Diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa karya-karya ilmiah, berita-berita serta tulisan dan buku yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diajukan;

c. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan studi dokumen dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian. Menurut M. Nazil dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian, dikemukakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi


(23)

penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.16

4. Analisis data

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data berikut dengan analisisnya.17 Metode analisis data yang dilakukan adalah dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.18 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada skesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.19

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini diawali dengan latar belakang penelitian, yang berisi alasan-alasan penulis mengambil judul sebagaimana tercantum diatas. Uraian-uraian dalam bab ini ditujukan sebagai penjelasan awal mengenai terminologi-terminologi yang digunakan untuk mengemukakan permasalahan dalam mengidentifikasi masalah sebagai proses

      

16

M. Nazil, Metode Penelitian (Ghalia Indonesia: Jakarta), hlm. 111. 

17

Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 69. 

18

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11. 

19


(24)

 

signifikasi pembahasan. Disamping itu untuk mempertegas pembahasan dicantum pula maksud dan tujuan serta kegunaan penelitian.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab ini menjelaskan bagaimana pengaturan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia. Dalam bab ini akan membahas secara normatif bagaimana landasan hukum pengaturan perlindungan konsumen hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, klausula Baku, dan tanggungjawab pelaku usaha di Indonesia.

BAB III HUBUNGAN HUKUM ANTARA DEVELOPER

PERUMAHAN, PEMILIK RUMAH DAN PT. PLN PERSERO DALAM KAWASAN PERUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab ini menjelaskan hubungan hukum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bab ini juga menjelaskan Perjanjian jual beli rumah dalam kawasan perumahan, Pengadaan fasilitas listrik oleh PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan, hubungan hukum antara developer


(25)

perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN Persero dalam kawasan perumahan menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

BAB IV TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN TERHADAP KONSUMEN PERUMAHAN ATAS PEMUTUSAN LISTRIK SECARA SEPIHAK YANG DILAKUKAN OLEH PT. PLN PERSERO (PUTUSAN MA. NO.53 PK/Pdt.Sus.BPSK/2013)

Bab ini menjelaskan Tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013). Bab ini juga berisi kewenangan PT. PLN Persero dalam pemutusan listrik secara sepihak di kawasan perumahan, upaya hukum yang dilakukan konsumen perumahan untuk mendapatkan haknya sebagai pemilik rumah atas pemutusan listrik secara sepihak oleh PT. PLN Persero, tanggungjawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero (Studi Putusan MA.No.53PK/Pdt/Sus.BPSK/2013).

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan yang dikemukakan berdasarkan permasalahan yang telah dibahas dan dianalisis, dalam bab ini juga dikemukakan berbagai saran dari penulis atas penelitian yang dilakukan.


(26)

25

PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Sekurang-kurangnya ada dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda).20

Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.21

Pengertian consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok manakah penggunaan tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.22

Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (vitendelijke gebruiker

      

20

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Cetakan Ketiga Sinar Grafika, 2011), hlm. 22.  

21

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm. 7.  

22

Az. Nasution, Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen (Jakarta: Binacipta, 1999), hlm. 12. 


(27)

Van goerderen endiesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (Ondernamer)”.23

Dalam buku Az. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.24

Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, pengertian konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.25

Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen ”.26

Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen Perdagangan Republik Indonesia mengemukakan tentang pengertian dari

      

23

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman, Simposium,

Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen , Binacipta, Agustus 1986  24

Az. Nasution, Op cit, hal. 3  

25

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sumbangan Pikiran tentang RUU Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hlm 4 

26


(28)

 

konsumen, yaitu: “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan."27

Az. Nasution juga mengemukakan beberapa batasan tentang konsumen, yaitu :

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).28

Istilah “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “ sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua cabang hukum itu identik.29

M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted. 30

      

27

Ibid. hlm. 11 

28

Ibid. hlm 11-14 

29

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 9. 

30


(29)

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut Az. Nasution adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.31

Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai: Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen. Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut :32

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

      

31

Az. Nasution, Op cit., hlm. 3. 

32


(30)

 

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata “keseluruhan” dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

Pasal 1 angka 1 UUPK menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berkaitan dengan perlindungan konsumen,


(31)

dipergunakan berbagai istilah yang dapat diberi makna berbeda-beda, yang pada akhirnya dapat pula membawa akibat hukum yang berbeda.

Perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu.33

Hubungan yang terjalin antara pelaku usaha dengan konsumen sering kali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya, oleh karena itu perlindungan hukum terhadap konsumen sangat perlu dilaksanakan untuk menghindari eksploitasi terhadap konsumen.34

Berikut para pihak yang terdapat dalam UUPK: 1. Konsumen

Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, merupakan istilah yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Pengertian konsumen dalam rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu konsumen adalah

      

33

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, cetakan ke-5 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 209. 

34


(32)

 

pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali. 35

Pengertian konsumen dalam naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.36

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UUPK adalah setiap orang pemakai dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian ini lebih luas daripada pengertian konsumen pada kedua rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang telah disebutkan sebelumnya karena dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga meliputi pemakaian kepentingan makhluk hidup lain.

Selain pengertian-pengertian di atas, terdapat pula pengertian konsumen, di Amerika Serikat pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.

2. Pelaku usaha

Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

      

35

Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia: Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen, 1981), hlm. 2. 

36

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indnoesia, cetakan ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 20. 


(33)

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.

Istilah pelaku usaha sering disebut juga dengan produsen, dalam Pasal 1 angka 3 UUPK directive, produsen memiliki arti produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen.37

Ada beberapa persamaan pengertian pelaku usaha dengan produsen akan tetapi pengertian produsen memiliki arti luas maka akan mengakibatkan konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK merupakan pengertian yang sangat luas karena meliputi segala bentuk usaha, sehingga akan memudahkan konsumen dalam arti banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik apabila UUPK tersebut memberikan rincian, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa tuntutan akan diajukan jika timbul kerugian atas penggunaan produk.

Isitlah pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK meliputi berbagai bentuk/jenis usaha, maka sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya

      

37


(34)

 

digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:38

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan;

b. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya karena UUPK tentang Perlindungan Konsumen tidak mencakup pelaku usaha diluar negeri;

c. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

B. Hak dan Kewajiban Konsumen Beserta Pelaku Usaha

Perkembangan ekonomi dan diikutinya kemajuan teknologi telah memperluas gerak arus transaksi barang atau jasa, akibatnya barang atau jasa tersebut ditawarkan bervariasi baik produksi dalam maupun luar negeri. Kondisi ini satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen akan tetapi di sisi lain memberikan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang karena kedudukan konsumen adalah pihak yang lemah karena tergantung dari produksi barang atau jasa pelaku usaha. Atas keadaan ini, perlunya dijelaskan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

1. Hak konsumen dan pelaku usaha

      

38


(35)

a. Hak konsumen

Pada Pasal 4 UUPK menjelaskan terkait hak konsumen, yaitu:

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Setiap konsumen yang mendapatkan barang ataupun jasa dari yang telah dibelinya dari pelaku usaha berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa tersebut.ini lah hak dasar yang dimiliki oleh setiap konsumen;

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Setiap konsumen tidak memiliki kewajiban untuk memilih satu barang maupun jasa atas satu pelaku usaha, karena memilih tersebut adalah kebebasan yang diberikan undang-undang kepada konsumen;

3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi terkait dengan barang atau jasa yang akan dimanfaatkannya. Baik ataupun buruk nya dari barang maupun jasa, sudah seharusnya diketahui si konsumen sejak dari awal;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Ketika konsumen merasakan ketidaknyamanan atas barang ataupun jasa yang telah dipergunakann, konsumen


(36)

 

memiliki hak untuk mempertanyakannya kepada pelaku usaha (hak tanya jawab);

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Konsumen yang mengalami kerugian akibat pengguanaan barang ataupun jasa, berhak mendapatkan advokasi hukum terkait hak dan kewajibannya di depan hukum serta berhak mendapatkan penyelesaian sengketa yang sesuai dengan undang-undang;

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan serta pendidikan kepada konsumen. Dengan kata lain, pembinaan dan pendidikan harus dilaksanakan demi menjaga konsumen yang bermartabat serta taat hukum;

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Konsumen harus dilayani dengan baik ketika akan mempergunakan hak pilihnya atas suatu barang maupun jasa terhadap salah stu pelaku usaha tertentu;

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Setiap kerugian yang muncul akibat dari barang ataupun jasa itu sendiri, maka konsumen berhak mendapatkan ganti rugi ataas kerugian yang muncul tersebut;


(37)

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen dapat juga diperluas apa yang pernah dikemukakan oleh Presiden J. F. Kennedy pada tanggal 15 Maret 1962 di depan kongres, yaitu:39

1) Hak memperoleh keamanan;

2) Hak memilih;

3) Hak mendapat informasi;

4) Hak untuk didengar.

Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumer Union – IOCU) telah membuat beberapa tambahan terkait Hak-Hak Asasi Manusia terkait dengan hak dasar konsumen, yaitu:40

1) Hak untuk memperoleh kehidupan; 2) Hak untuk memperoleh ganti rugi;

3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. b. Hak pelaku usaha

Pada Pasal 6 UUPK menjelaskan terkait hak pelaku usaha, yaitu:

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Setiap penggunaan atau pembelian dari barang atau

      

39

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2011), hlm. 39.  

40


(38)

 

jasa dari pelaku usaha, konsumen harus melakukan pembayaran sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai konsumen;

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. Pelaku usaha mendapatkan perlindungan dari setiap konsumen yang berusaha mendapatkan keuntungan dari pelaku usaha yang beritikad baik;

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Sama halnya dengan hak konsumen untuk melakukan pembelaan, pelaku usaha juga memiliki hak untuk melakukan pembelaan diri dari setiap yang disangkakan kepadanya;

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Apabila terdapat konsumen yang merasa dirguikaan akibat penggunaan barag atau jasa dan ternyata tidak benar, maka nama baik pelaku usaha harus dikembalikan;

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Kewajiban konsumen dan pelaku usaha a. Kewajiban konsumen


(39)

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Setiap konsumen terlebih dahulu harus mengikuti petunjuk informasi dan prosedur setiap pemakaian barang atau jasa yang dibelinya dari pelaku usaha untuk menghindari penyalahgunaan barang atau jasa;

2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Konsumen harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaski pembelian batan atau jasa, bukan untuk mengelabui pelaku usaha;

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen harus melakukan pembayaran atas barang atau jasa yang dibelinya sesuai dengan harga yang telah disepakati;

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Konsumen harus mengikuit tata cara penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Kewajiban pelaku usaha

Pada Pasal 7 UUPK menjelaskan terkait kewajiban pelaku usaha, yaitu: 1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;


(40)

 

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah pihak yang memiliki sumber dana besar dimana dengan dana besar ini, pelaku usaha dapat memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada konsumen. Konsumen sebagai pihak pengguna jasa dan barang dari pelaku usaha memiliki kebebasan untuk memilih barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Adanya hubungan yang saling membutuhkan ini pada dasarnya harus disadari oleh pelaku usaha untuk bersifat jujur kepada nasabahnya oleh karena itu pelaku usaha tidak boleh memanfaatkan konsumen


(41)

yang pada akhirnya merugikan konsumen. Berikut perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen yang diatur dalam Pasal 8-17 UUPK.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 UUPK:

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkandan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;


(42)

 

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada angka 1 dan angka 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 9 UUPK:

1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:


(43)

a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilarang untuk diperdagangkan.


(44)

 

3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap angka 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pada Pasal 10 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; 2. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

4. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; 5. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pada Pasal 11 UUPK pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:

1. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;

2. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;

3. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;


(45)

4. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

5. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;

6. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Ketentuan Pasal 12 UUPK, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 13 UUPK:

1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya;

2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang masuk:


(46)

 

1. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; 2. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;

3. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

4. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Ketentuan Pasal 15 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Pasal 16 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

1. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

2. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 17 UUPK: 1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang


(47)

f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada angka 1.

D. Klausula Baku

Mungkin tidak semua orang pernah mendengar istilah klausula baku ini, namun pada kenyataannya klausula baku ini sering kali kita temui dalam kegiatan sehari-hari. Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) UUPK, Klausula Baku diartikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Bagi sebagian orang, klausula baku ini juga sering disebut sebagai “standard contract atau take it or leave it contract”. Dengan telah dipersiapkan terlebih dahulu ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian, maka konsumen tidak dapat lagi menegosiasikan isi kontrak tersebut. Jika dilihat dari hal ini, maka ada ketimpangan yang terjadi antara para pihak.

Hubungan hukum yang diwarnai oleh suasana take it or leave it ini sudah sangat banyak dan meluas merasuk dalam masyarakat kita. Hampir semua hubungan hukum yang menyangkut barang dan atau jasa konsumen seakan-akan telah dikuasai oleh bentuk perjanjian ini.41

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, Prinsip take it or leave it ini memberikan kebebasan kepada pihak konsumen untuk memilih atau menentukan sendiri keberadaan ikatan perjanjian tersebut.

      

41


(48)

 

Apabila ia telah menandatangani perjanjian secara hukum dianggap sudah menyetujui atau menyepakati isinya, dan apabila ia tidak menyetujui tentunya tidak akan menandatanganinya. Tanda tangan merupakan tanda kesepakatan.42

Ketentuan menerapkan klausula baku ini, pihak pembuat kontrak sering kali menggunakan kesempatan tersebut untuk membuat ketentuan-ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya. Terlebih jika posisi tawar antara para pihak tersebut tidak seimbang, maka pihak yang lebih lemah akan dirugikan dari kontrak tersebut. Tentu harus ada perlindungan bagi konsumen dalam keadaan-keadaan tersebut. Hal tersebut terdapat dalam aturan-aturan dalam UUPK. Dalam UUPK ini diatur mengenai hal-hal apa saja yang dilarang bagi seorang pelaku usaha. Dalam Pasal 18 UUPK disebutkan bahwa :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

      

42

Sanusi Bintang, Dahlan, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 107. 


(49)

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; 7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain hal tersebut pelaku usaha juga dilarang untuk mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Hal seperti ini sering kali dilakukan oleh pelaku usaha di bidang telekomunikasi, dimana sering kali terdapat tanda bintang dibawah dengan tulisan yang kecil sekali yang menyatakan “syarat dan ketentuan berlaku”. Sebetulnya yang dilarang oleh UUPK ini bukanlah mengenai ada atau tidaknya tanda “syarat dan ketentuan berlaku”, namun yang dilarang adalah keadaan dimana akibat tulisan yang kecil tersebut membuat konsumen menjadi tidak ada ada ketentuan seperti itu. Karena itu, jika tulisan seperti itu masih dapat dilihat dengan jelas oleh konsumen, hal tersebut tidaklah melanggar ketentuan dalam UUPK ini. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mengenai Klausula baku tersebut, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.


(50)

 

Perjanjian baku yang menempatkan posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, pada akhirnya akan melahirkan perjanjian yang akan merugikan konsumen. UUPK tidak merumuskan pengertian perjanjian baku, tapi menggunakan istilah klausula baku.43

Klausula baku merupakan setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam hukum perjanjian, istilah klausula baku disebut juga dengan klausula eksonerasi. Pasal 1 angka 10 UUPK telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Klausula baku banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak dan dalam bahasa umum sering disebut sebagai disclamer yang bertujuan untuk melindungi pihak yang memberikan suatu jasa tertentu. Berikut beberapa contoh klausula baku:

1. Formulir

Pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya menyatakan “bank tidak bertanggung jawab atas

      

43

Irsan Armadi, Klausula Baku dalam Perlindungan Konsumen, tersedia pada


(51)

kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran atau koresponden, sub agen lainnya atau pegawai lainnya.”44

2. Kuitansi atau faktur pembelian barang

Kuitansi atau faktur pembelian barang sering didapat saat seseorang membeli barang atau kuitansi pembayaran parkir. Terhadap kuitansi pembayaran pada umumnya tertera tulisan “barang yang tidak diambil dalam 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan.”45

Pasal 18 UUPK menjelaskan ketentuan pencantuman klausula baku, yaitu: 1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

      

44

Irma Devita Purnamasari,” Klausula Baku VS Perlindungan Terhadap Konsumen”, diunduh dalam http ://irmadevita.com/2012/klausula-baku-vs-perlindungan-terhadap-konsumen. (Diakses pada tanggal 25 Maret 2014). 

45


(52)

 

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknyasulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dinyatakan batal demi hukum.

Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Untuk mewujudkan perlindungan konsumen atas adanya pencantuman klausula baku yang berkemungkinan membawa konsumen kepada hal yang akan merugikannya, maka diperlukan pengawasan yang tentunya dilakukan oleh lembaga yang telah diberi kewenangan untuk itu. Dalam UUPK Pasal 52,


(53)

lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang kemudian disingkat dengan BPSK. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen (Pasal 1 angka 11 UUPK.

E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Terkait dengan tanggung jawab pelaku usaha, ada baiknya diberikan beberapa contoh kasus yang mana para pelaku usaha sangat kurang untuk melakukan tanggung jawab atas segala kerugian yang telah ditimbulkannya. Pelaku Usaha yang menjalankan usaha produk makanan berkemasan plastik yang mengandung cacat tersembunyi di Kota Pematang Siantar, akan bersedia memberi ganti rugi kepada konsumen jika benar-benar produk makanan berkemasan plastik telah merugikan konsumen.46

Lain halnya yang terjadi di Pontianak, disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi makanan dan minuman kemasan tidak layak konsumsi tidak semuanya bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat dari makanan dan minuman kemasan tidak layak konsumsi. Penyebab hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran hukum dari pelaku usaha untuk melakukan kewajiban hukumnya terhadap konsumen tersebut.47

      

46

M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

(Jakarta: Akademia, 2012), hlm. 67.  47


(54)

 

Tanggung jawab pelaku usaha pada prinsipnya telah diatur dalam Pasal 19-28 UUPK, oleh karena itu apa yang terjadi di 2 (dua) daerah tersebut diatas seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian yang dialami oleh konsumen. Berikut tanggung jawab pelaku usaha yang tertuang dalam Pasal 19-28 UUPK, yaitu:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen;

6. Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut;


(55)

7. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri;

8. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing;

9. Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian;

10.Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 aya t (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen;

11.Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.


(56)

 

12.Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa yang tersebut;

13.Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan;

14.Pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:

a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;

b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

15.Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan;

16.Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;


(57)

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

17.Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, klausula baku, tanggungjawab pelaku usaha. Hak dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 4 dan 5 UUPK, sedangkan hak dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur di dalam Pasal 8-17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Klausula baku diatur di dalam Pasal 1 angka 10 UUPK serta pengaturan pencantuman klausula baku diatur di dalam Pasal 18 UUPK. Tanggung jawab pelaku usaha diatur di dalam Pasal 19-28 UUPK. 2. Hubungan hukum antara developer perumahan, pemilik rumah dan PT. PLN

Persero dalam kawasan perumahan menurut UUPK hanya mengatur hubungan 2 (dua) pihak semata, sedangkan hubungan 3 (tiga) pihak yang terjadi antara pemilik rumah, developer dan PT. PLN Persero sama sekali tidak diatur di dalam UUPK. Hubungan 3 (tiga) pihak ini dapat dilihat dari teori yang dikembangkan oleh para ahli dengan menekankan adanya bentuk hubungan


(2)

langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan hukum antara ketiga pihak yang disebut diatas terdapat 2 (dua) hubungan langsung secara perjanjian yaitu hubungan antara pemilik rumah dengan developer dan hubungan developer dengan PT. PLN Persero. Sedangkan hubungan tidak langsung terjalin antara pemilik rumah dengan PT. PLN Persero.

3. Tanggung jawab developer perumahan terhadap konsumen perumahan atas pemutusan listrik secara sepihak yang dilakukan oleh PT. PLN Persero, pihak developer harus memasang kembali listrik yang telah diputuskan oleh PT. PLN (Persero) Perusahaan Listrik Negara Wilayah Sumatera Utara dan pihak Developer PT. Taman Malibu Indah membayar kerugian materil maupun moril kepada konsumen, seperti Putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013H-7

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan terkait dengan kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan konsumen telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Rendahnya tingkat kesadaran pelaku usaha terhadap perlindungan konsumen sudah seharusnya ditingkatkan, mengingat pada kenyataannya kedudukan konsumen lebih rendah dari pada pelaku usaha. Tingginya kebutuhan konsumen terhadap pelaku usaha kadang kala dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan, dan disaat yang sama konsumen mengalami kerugian. Oleh karena itu, pentingnya kesadaran atas perlindungan konsumen sudah harus ditingkatkan.


(3)

2. Hubungan 3 (tiga) pihak terkait dengan hubungan konsumen dan produsen tidak menyalahi aturan atau undang-undang. Akan tetapi hubungan seperti ini kadangkala memberi dampak negatif kepada pihak yang hubungannya terjalin secara tidak langsung. Pihak yang hubungannya terjalin secara langsung sering memafaatkan kondisi seperti ini. Adanya efek buruk yang merugikan salah satu pihak atas hubungan yang terjalin tidak langsung, ada baiknya hubungan 3 (tiga) pihak diatur di dalam undang-undang.

3. Putusan Putusan MA. No. 53 PK/Pdt/Sus.BPSK/2013 sudah tepat dengan menguatkan putusan pada Pengadilan Negeri. Hukuman yang diberikan kepada pelaku usaha sudah tepat dijatuhkan mengingat tindakan pelaku usaha yang tidak memiliki itikad baik. Diharapkan dengan adanya putusan ini dapat memberikan pelajaran kepada pelaku usaha lainnya bahwa konsumen sudah seharusnya hak-hak nya dilindungi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku:

Amir, Supriyadi. Free Properti Dalam 17 Hari. Jakarta: Laskar Aksara. 2013. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka

Cipta: Jakarta. 2010.

Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001

Barkatulah, Abdul Halim, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran. Bandung: Nusa Media. 2008.

Dahlan, Sanusi Bintang. Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000.

Fuady, Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 1999.

Han, Fredric. Jadi Konglomerat di Bisnis Properti. Jakarta: Pustaka Ananda Srva. 2013.

Kristiyanti Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Cetakan Ketiga Sinar Grafika. 2011

Liliweri, Alo. Dasar-dasar Komunikasi Periklana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1992.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. 1981.

Miru , Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Perada. 2011.

Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indnoesia. cetakan ke-2. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.

Nasution Az., Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Jakarta: Binacipta. 1999.


(5)

Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Mathalena Pohan. Hukum Perikatan. Surabaya: Bina Ilmu. 1984.

Prayudi, Guse. Seluk Beluk Perjanjian Yang Penting Untuk Diketahui: Mulai Dari A-Z. Yogyakarta: Pustaka Pena. 2007.

Purnomo R. Serfianto Dibyo, Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiyani, Kitab Hukum Bisnis Properti. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011

Property Puls Indonesia. Strategi Membangun Bisnis Developer Property. cetakan ke-2. Jakarta: Ufuk Publishing House. 2011.

Purnomo, R. Serfianto D.. Cita Yustisia. dkk. Buku Pintar Investasi Properti. Jakarta: Gramedia. 2013.

Purnomo, R. Serfianto Dibyo. Iswi Hariyani. dkk. Kitab Hukum Bisnis Properti. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2011.

Sadar, M. Moh. Taufik Makarao. dkk. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta: Akademia. 2012.

Saliman, Abdul R.. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus. cetakan ke-5. .Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.

Sembiring, Jimmy Joses. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (negosiasi. Mediasi. Konsiliasi & Arbitrase). Jakarta: Visi Media. 2011.

Simanjuntak, Ricardo. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: Kontan Publishing. 2011.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. cetakan ketigabelas. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2011.

Subekti, R.. Hukum Perjanjian. cetakan kedua puluh satu. Jakarta: Intermasa. 2005

Yayasan Lembaga Konsumen. Perlindungan Konsumen Indonesia: Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen. 1981.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(6)

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Permuahan dan Kawasan Pemukiman.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1972 tentang Perusahaan Umum Listrik

Negara

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penyerahan Prasarana.

Keputusan Direksi PT. PLN Persero Nomor 1486 K/DIR/2011 tentang Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik

C. Jurnal/Makalah

Soedjajadi Keman. “Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman”. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univ. Airlangga. Vol. 2. No. 1. Juli 2005

Az. Nasution. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Kontrak Pembelian Ruumah Murah. Makalah. disampaikan dalam Seminar Sehari tentang Pertanggung Jawab Produk dan Kontrak Bangunan. Jakarta. 1998

Yuliana Rini DY. Mendorong Sektor Properti. Kompas. Kamis. 12 Mei 2011 D. Kamus:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.. 2008.

E. Internet:

Irma Devita Purnamasari.” Klausula Baku VS Perlindungan Terhadap Konsumen”. diunduh dalam http ://irmadevita.com/2012/klausula-baku-vs-perlindungan-terhadap-konsumen/.

Irsan Armadi, Klausula Baku dalam Perlindungan Konsumen, tersedia pada www.hariansumutpos.com diakses tanggal 12 September 2014


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV. Surya Abadi)

13 134 95

Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN. Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

1 91 117

Tanggung Jawab Hukum Suami atau Istri Dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)

0 59 130

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Perumahan Dan Pemukiman Atas Iklan Yang Dijanjikan

14 91 117

Tanggung Jawab Perusahaan Pengembang Perumahan Terhadap Konsep Pengembangan Permukiman Terpadu Yang Berwawasan Lingkungan (Studi Terhadap Perusahaan Pengembang Perumahan Di Kota Medan,2003

0 48 220

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH - Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV.

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV. Surya Abadi)

0 1 10

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen - Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang

1 1 32

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN. Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

0 0 15

Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang Dilakukan Oleh PT. PLN. Persero (Studi Putusan MA. No. 53 PK/PDT/SUS.BPSK/2013)

0 1 9