BAB I PENDAHULUAN - Aplikasi Kebijakan Hukum Piana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementerian Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan narkotika telah ada sejak zaman prasejarah, mulanya hanya

  dikenal sebagai obat penghilang rasa sakit atau obat bius, namun zat tersebut terus berkembang penggunaannya oleh masyarakat dunia sehingga beralih fungsi keberadaannya. Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar semakin banyak pula

   ragamnya.

  Narkotika apabila dipergunakan secara proposional, artinya sesuai menurut pemanfaatannya, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana narkotika. Penggunaan narkotika sebaliknya jika untuk maksud- maksud tertentu di luar daripada ilmu pengetahuan, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan/atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

  Masalah tentang Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan bahan Adiktif lainnya) adalah merupakan salah satu tindak pidana khusus yang masalahnya menyebar secara Nasional dan Internasional, karena penyalahgunaannya berdampak negatif dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. 1

   Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini: 1.

  Penyalahgunaan melebihi dosis; 2. Pengedaran Narkotika; dan 3. Jual beli Narkotika.

  Ketiga bentuk tindak pidana narkotika itu adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat itu sendiri, seperti: pembunuhan, pencurian, penodongan, penjamretan, penipuan dan pemerkosaan.

  Peran hukum dalam hal ini adalah untuk penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana dan merupakan salah satu usaha dalam penegakan hukum.

  Kebijakaan merupakan hal yang fundamental dalam suatu negara. Negara Indonesia sendiri adalah merupakan Negara Hukum yang berbentuk republik seperti tersebut di dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana

   formal dan bidang hukum pelaksanaan pidana.

  Kebijakan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah untuk meningkatkan kegiatan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Sudarto kebijakan atau politik hukum 2 3 Ibid, hlm. 45.

  pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

   untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

  Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, maka kebijakan hukum pidana berperan dalam memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat

   membangun negeri ini dari keterpurukan di segala bidang.

  Mengingat dampak penyalahgunaan narkotika berpengaruh pada sendi-sendi keluarga, masyarakat dan pemerintah yang mengakibatkan hubungan diantara ketiganya mengalami gangguan. Penyalahgunaan menjadi beban bagi keluarga, adanya stigma masyarakat yang buruk terhadap korban, perilaku korban cenderung melakukan kriminal, pemerintah pun mengalami gangguan dalam melanjutkan pembangunan dalam pengembangan sumber daya manusia. Tentu hal ini memerlukan penanganan, salah satunya dengan merujuk pecandu atau korban untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi.

  Terangkum data dari pengguna atau penyalahguna narkotika dalam dua tahun terakhir yang dihimpun dari Balai Pemasyarakatan kota Medan terdapat data yang cukup signifikan: 4 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, ( Bandung: Sinar Baru, 1983),

  Table 1. Rekapitulasi Pengguna atau Penyalahguna Narkotika

Bulan Tahun 2013 Tahun 2014

  Januari

  24

  56 Februari

  26

  59 Maret

  29

  62 April

  31

  67 Mei

  34

  69 Juni

  36

  72 Juli

  40

  75 Agustus

  42

  77

  45 - September

  47 - Oktober

  50

  • November

  53 - Desember Sumber : BAPAS Kelas I Kota Medan

  Para penyalahguna narkotika di atas (tabel) sebagaimana kebijakan hukum pidana yang telah diterapkan putusan pengadilan memperlakukan mereka sebagai pelaku tindak pidana kriminal. Meskipun kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku terhitung relatif rendah. Hasil informasi yang diperoleh terdapat 6 orang pecandu narkotika yang dikabulkan oleh hakim untuk dikembalikan pada keluarga dinyatakan pulih melalui proses pembinaan secara kekeluargaan dan juga dengan

   keterlibatan dari pihak BAPAS.

  Klasifikasi penanggulangan kesalahan atau kejahatan lazimnya dibedakan antara tingkat kerugian yang dilakukan oleh pelaku, dan juga dapat dibedakan berdasarkan motif, kondisi perilaku, kaidah yang dilanggar dan frekuensi

  

  kejahatan. Sebagaimana secara tegas dalam kebijakan hukum pidana SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika kedalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

  Membedakan adanya pengklasifikasian (tipologi) atas tindakan yang telah

   dilakukan pecandu.

  Lebih lanjut Didik dkk menyetujui adanya pengklasifikasian penyalahgunaan narkotika yang juga dikategorikan sebagai korban, yang dapat

  

  diidentifikasi menurut keadaan dan kondisi, yaitu: 1)

  Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku. 2)

  Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban. 3)

  Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 4)

  Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. 5)

  Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. 6)

  Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan 6 yang dilakukannya sendiri.

  

Wawancara M. Arifin Harahap (Kepala Sub. Bag. Tata Usaha) BAPAS Kelas I Medan,

tanggal 22 Agustus 2014 pukul 14.00 wib. 7 Referensi Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Laksabang Grafika-2013), hlm. 86. 8 9 Lihat SEMA No. 4 Tahun 2010 point 2 dan 3

  Pengklasifikasian di atas secara tidak langsung pecandu narkotika termasuk dalam kategori tipologi korban self victimizing victims, karena pecandu narkotika ketergantungannya akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukan sendiri. Sebagaimana berdasarkan data diatas pelaku penyalahgunaan narkotika adalah untuk kepuasan dirinya sendiri.

  Undang-undang narkotika memiliki keistimewaan dibandingkan dengan Undang-undang yang lain, dikarenakan seorang hakim memiliki kewenangan

   menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika.

  Penerapan suatu sanksi kepada pengguna tidak hanya sebatas dengan penjatuhan sanksi pidana akan tetapi peluang penjatuhan juga dapat menjatuhkan vonis sanksi

  

  tindakan. Tidak selamanya pula penegak hukum harus memenjarakan sebanyak- banyaknya para pengguna narkotika dan psikotropika di lembaga pemasyarakatan.

  Kenyataannya menunjukan penjatuhan vonis oleh hakim dalam perkara narkotika masih belum efektif pelaksanaannya. Sebagian besar pecandu narkotika tidak dijatuhkan vonis rehabilitasi sesuai yang disebutkan dalam undang-undang narkotika melainkan dijatuhkan vonis penjara meskipun ketentuan Undang-undang menjamin pengaturan upaya rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

  Penegakan hukum narkotika menggunakan instrumen pidana bukanlah merupakan satu-satunya kebijakan yang harus diutamakan, maka dalam hal ini di 10 11 Lihat Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. perlukan strategi penegakan hukum narkotika seperti strategi treatment (perawatan) dan rehabilitation (perbaikan). Strategi ini dengan menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan pertama, ialah eliminate drug dependency yakni tujuannya untuk mengurangi ketergantungan penyalahgunaan narkotika bagi pecandu narkotika, maka dilakukan program medical rehabilitation (rehabilitasi medis).

  Pendekatan kedua, ialah prevent recidivism, yakni program pembinaan terhadap para bekas narapidana narkotika atau para residivis narkotika, dengan tujuan dilakukannya pemantauan secara terus menerus agar tidak melibatkan diri

   kembali kepada perbuatan kriminal yang telah dilakukan sebelumnya.

  Indonesia sebagai salah satu peserta yang telah menandatangani beberapa Konvensi yaitu: Konvensi Tunggal Narkotika, Konvensi Psikotropika, Konvensi Pemberantasan peredaran gelap narkotika psikotropika, secara tidak langsung bertanggung jawab guna melengkapi kebijakan hukum dan juga sarana prasarana untuk penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika.

  Salah satu contoh yang berfungsi sebagai sarana rehabilitasi sosial di Sumatera Utara adalah Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara di bawah naungan Kementerian Sosial RI. Bertugas dan bertanggungjawab sebagai pemangku mandat kebijakan hukum pidana atas pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu tindak pidana narkotika.

  Para terpidana narkotika dan psikotropika selama menjalani masa rehabilitasi, dapat pula dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk 12 dilakukannya pelatihan mengenai kewajiban memberikan informasi tentang bahaya dan kerugian yang ditimbulkan dari narkotika dan psikotropika.

  Tujuan pemidanaan dalam pelaksanaan rehabilitasi ini adalah treatment (perawatan) dan rehabilitation (perbaikan), yang lebih memandang pemberian pemidanaan pada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Sehingga tujuan kemanfaatan hukum untuk para pecandu dalam tindak pidana narkotika dapat tercapai.

  Pengaturan rehabilitasi atas pecandu narkotika menunjukkan adanya kebijakan hukum pidana yang bertujuan agar penyalah guna dan pecandu narkotika tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut. Berdasarkan data di atas upaya rehabilitasi merupakan suatu alternatif pemidanaan yang tepat untuk para pecandu narkotika, yang patut didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengakomodir hak bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika.

  Berdasarkan uraian dan fakta tersebut diatas sangatlah penting dan menarik untuk menggali, mengkaji, dan membahas tentang sinkronisasi “Aplikasi Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementrian Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara)”.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan diatas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika?

  2. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan bagi pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?

  3. Bagaimana hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Mengetahui aplikasi kebijakan hukum pidana terhadap pelaksanaan rehabilitasi bagi para penyalah guna dan pecandu narkotika.

  2. Mengetahui kemanfaatan hukum dari pelaksanaan pemidanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam kebijakan hukum pidana.

  3. Mengetahui hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalah guna dan pecandu narkotika.

D. Manfaat Penelitian

  Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan tesis ini juga diharapkan dapat memberi manfaat untuk berbagai hal diantaranya:

  1. Secara teoritis Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis guna melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan khususnya berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan menerapkan pengetahuan dan pengalaman praktis yang telah diperoleh selama ini dan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai pemidanaan yang tepat terhadap pecandu narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: a.

  Para aparat penegak hukum agar dapat mengetahui tentang bagaimana tindakan yang tepat untuk kasus penyalahgunaan narkotika terhadap pecandu tindak pidana narkotika.

  b.

  Bagi para legislator sebagai sumbangan pemikiran terhadap strategi penegakan hukum narkotika untuk para penyalah guna dan pecandu tindak pidana narkotika dalam kebijakan hukum pidana.

E. Keaslian Penulisan

  Sepanjang pengetahuan penulis dan penelitian yang dilakukan dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi di Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra Insyaf Kota Medan)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi judul yang terkait dengan permasalahan tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni:

  1. Syamsinar Simatupang, tesis pada tahun 2012 dengan judul : Pelaksanaan Terapi dan Rehabilitasi terhadap Narapidana Narkotika sebagai Sistem Pemidanaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (suatu studi di lembaga pemasyarakatan narkotika kelas II A Pematangsiantar)

  2. Ardiansyah, tesis pada tahun 2007 dengan judul : Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika.

  3. Mala Puspita Sari Boru Ginting, tesis pada tahun 2010 dengan judul : Analisis Yuridis Rehabilitasi terhadap Pengguna Narkotika dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.

  4. Muhamad Tavip, tesis pada tahun 2009 dengan judul : Pelaksanaan Therapeutic

  Community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika dan

  Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan dihubungkan dengan Tujuan Sistem Pemsyarakatan.

  Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mengacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Istilah teori berasal dari bahasa inggris, yaitu theory. Dalam bahasa belanda disebut dengan theorie. Menurut Fred N. Kerlinger perkembangan teori dalam ilmu hukum oleh HS. Salim, yakni sebagai “ seperangkat konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan

   memprediksi gejala itu.

  Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada perbuatan pidana. Istilah teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory. Perbuatan Pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam

  

  pidana. Penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek: yakni yang pertama, penetepan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan 13 HS. Salim, Perkembangan Teori dalam IlmuHukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum; keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah

   sistem hukum pidana.

  Pemidanaan mempunyai tujuan, beberapa tujuan yang dapat diklasifikasikan berdasarkan pada teori-teori pemidanaan adalah: retributive, deterrence,

  

integrative , treatment, social defence. Berdasarkan pada teori-teori pemidanaan,

rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment.

  Menurut C. Ray Jeffery dalam Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal

  

Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Treatment

  sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada

   pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

  Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kebijakan Kriminal, Teori Treatment, dan Teori Kemanfaatan. Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana

  

  di kemukakan oleh G. Petter Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah “ suatu usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat dalam melakukan penanggulangan dilakukan melalui:

  15 16 Teguh Prasetyo, Op.cit, hlm. 82.

  Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal a.

  Criminal Policy is the science of responses “ Kebijakan Kriminal merupakan ilmu tanggapan”.

  b.

  Criminal Policy is the science of crime prevention “ Kebijakan Kriminal merupakan ilmu pencegahan”.

  c.

  Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crime “ Kebijakan Kriminal merupakan kebijakan yang dapat merubah perilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.

  d.

  Criminal Policy is a rational total of the responses to crime “ Kebijakan Kriminal merupakan tanggapan dari seluruh pemangku kebijakan terhadap dampak satu kejahatan”.

  Tujuan dari Kebijakan Kriminal adalah memampukan antara kebijakan sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dengan upaya perlindungan (social defence) yang dikaitkan juga dengan kemaksimalan dalam kebijakan kriminal (penal dan non penal) sebagai mana diungkapkan bahwa

  

  kebijakan kriminal meliputi : “criminal policy as a science of policy is part of a larger policy the law

  enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non criminal legal crime prevention. The legislative and enforcement policy is in part of social policy”

  ( Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari ilmu kebijakan yang lebih luas dari kebijakan penegakan hukum. Dimana terdiri dari hukum administrasi dan perdata yang juga merupakan bagian yang sama dalam upaya pencegahan kejahatan di luar hukum pidana, sedangkan kebijakan legislative dan kebijakan penegakan hukum merupakan bagian penting dari pelaksanaan kebijakan sosial).

  Relavansi antara pelaksanaan rehabilitasi dengan teori kebijakan kriminal yakni pada bagaimana implementasi peraturan oleh kebijakan hukum pidana dalam upaya pemberantasan, pencegahan dan pemulihan terhadap penyalahguna dan pecandu narkotika.

  18

  Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan, menurut aliran teori treatment pelaku kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).

  Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat dari secara kongkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan.

  Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari

   dalam kriminologi.

  Dengan dilakukannya pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadikan suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L. Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya. Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih

   baik.

  Berdasarkan data yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan, teori Kemanfaatan dipandang tepat sebagai pisau anlisis dalam pelaksanaan rehabilitasi. Teori Kemanfaatan (Utilitarisme) dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Bagi Jeremy Bentham, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Prinsip ini dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the

  

Principles of Morals and Legislation (1789), yang bunyinya adalah the greatest

happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk

  

  sebanyak-banyaknya orang). Bahwa tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat.

  Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti bermanfaat. Menurut

  teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu atau dua orang melainkan masyarakat secara

  

  keseluruhan. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), yang tidak mempersalahakan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagiaan

   kepada manusia atau tidak. 20 Referensi, Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, ( California: Stanford University Press, 1968), hlm. 54. 21 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.76. 22 23 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, ( Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm. 66. Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.

  Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagian atau tidak. Demikian juga terhadap perundang- undangan. Baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut diatas. Bahwa undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar

   masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.

  Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau sebaliknya yaitu kerugian bagi orang-orang yang terkait. Menepati janji, berkata benar, atau menghormati milik orang adalah baik karena hasil baik yang dicapai dengannya, bukan karena suatu sifat intern dari perbuatan- perbuatan tersebut. Sedangkan, mengingkari janji, berbohong atau mencuri adalah perbuatan buruk karena akibat buruk yang dibawakannya, bukan karena suatu sifat dari perbuatan-perbuatan itu. Utilitarisme dapat memberi tempat juga kepada kewajiban, tetapi hanya dalam arti bahwa manusia harus menghasilkan kebaikan

   dan bukan keburukan.

24 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT.

  Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 64. 25

  Secara lebih kongkret, dalam kerangka etika utilitarisme dapat dirumuskan tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk

  

  menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan, antara lain: a.

  Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Kebijaksanaan atau tindakan yang paling baik adalah menghasilkan hal yang baik, sebaliknya kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.

  b.

  Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu, ketika kerugian tidak bisa dihindari, dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).

  c.

  Kriteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang. Secara umum, utilitarisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda, antara lain: a.

  Sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak (sebagai prosedur untuk mengambil keputusan). Yaitu menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.

  b.

  Sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat konsekuensinya, sejauh mana mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.

  Teori kemanfaatan ini menggambarkan tentang apa yang sesungguhnya dilakukan oleh orang yang rasional dalam mengambil keputusan dalam hidup ini.

  Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya alternatif sanksi tindakan yakni

26 Ibid., hlm. 94-95.

  rehabilitasi, sebagai sanksi yang tepat untuk mencegah dan memulihkan para penyalah guna dan pecandu narkotika.

2. Kerangka Konsepsi

  Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: a. Aplikasi adalah penggunaan atau penerapan, pemakaian suatu cara atau metode atau suatu teori atau suatu sistem.

  b. Kebijakan hukum pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

  c. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

  d. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 28

   Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada tanggal 1 Agustus 2014, pukul 09.40 wib. 29 Sudarto,op.cit., hlm .20.

  e. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

  f. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum.

  g. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan atau diancam untuk menggunakan narkotika.

  h. Tindak Pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat di pertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. i. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman , baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. j. Tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan- ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun

  1997 tentang Narkotika yang digantikan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun

  31 32 Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 33 Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 34 Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 35 Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

  2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian yuridis normatif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pelaksanaan konsep- konsep hukum dan peraturan yang erat kaitannya dengan pokok bahasan tesis ini,

  

  sejauh mana para pemangku kebijakan menerapkannya. Penelitian yuridis normatif mempergunakan bahan-bahan hukum yang mengikat sebagai bagian data sekunder, dari beberapa sudut kekuatan mengikat dapat digolongkan ke dalam

   (Bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum tertier).

  Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian guna mengukur efektivitas hukum yang mampu dipahami dan dioperasikan dikalangan aparatur sebagai pemangku kebijakan dan juga para tokoh masyarakat yang dianggap layak dan tepat dalam memahaminya. Pada prinsip dalam metode ini ingin melihat sejauh mana niat dan tujuan para inisiator pembuat kebijakan itu, baik ditataran Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, LSM dan Pers yang memiliki persepsi yang sama sewaktu kebijakan tersebut diundangkan, melalui pengujian 37 38 Taufik Makaro., op.cit., hlm. 41.

  Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia, 1986), konsep-konsep tertulis yang telah dianggap sebagai wacana doctrinal terhadap

   hukum.

2. Sumber Data

  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu: a.

  Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

  

  perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang telah disempurnakan yang sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010.

  b.

  Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, komentar-komentar atas putusan hakim,

40 Ibid, hlm. 53.

  kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang

   berkaitan dengan topik penelitian.

  Dalam hal penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku teks tentang narkoba, kebijakan atau politik hukum pidana, dan sistem pemidanaan.

  c.

  Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

  Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kamus hukum dan situs-situs dalam internet. Kemudian, penelitian ini didukung oleh bahan non hukum, berupa hasil wawancara dengan para pelaksana tindakan rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan dan beberapa pegawai pendukung pelaksana tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Seluruh data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dianggap relavan. Selanjutnya pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara melalui studi lapangan (field research) terhadap pihak yang terkait dalam kebijakan pelaksanaan rehabilitasi pecandu tindak pidana narkotika.

42 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,( Surabaya: Bayumedia,

4. Analisis Data

  Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Lalu dilakukan studi lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis tentang bagaimana hukum dan kebijakan penanggulangan itu bekerja dan diupayakan. Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dan menjelaskan data informasi dari responden. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif. Sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan keterangan dan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.