BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika merupakan obat atau zat yang sangat bermanfaat di bidang

  pelayanan kesehatan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan penyakit tertentu. Narkotika di sisi lain juga dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda apabila

  1 dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

  Masalah penyalahgunaan narkotika telah menjadi masalah nasional maupun internasional yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Permasalahan penyalahgunaan narkotika telah menghiasi pemberitaan hampir setiap harinya. Penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental, emosi dan sikap dalam masyarakat. Masalah penyalahgunaan narkotika telah mengancam bangsa dan masyarakat tertentu sehingga menjadi suatu kejahatan teorganisasi nasional ataupun transnasional.

  Kejahatan terorganisasi transnasional merupakan ancaman terhadap negara dan masyarakat yang dapat mengikis human security dan kewajiban dasar negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban Salah satu bentuk permasalahan kejahatan terorganisasi adalah perdagangan gelap narkotika (delict drug

  

trafficking) . Kejahatan narkotika pada dasarnya termasuk kejahatan terhadap

  pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Ruang lingkup dan dimensi kejahatan narkotika sangat luas, sehingga kegiatan dan aktivitasnya mengandung ciri sebagai organized crime, white collar crime, corporate crime, dan transnational

  crime .

  Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini kian mengkhawatirkan bangsa-bangsa beradab hingga saat ini. Geliat mafia seakan tak mampu terbendung oleh gebrakan aparat penegak hukum di berbagai belahan dunia meski dengan begitu gencarnya memerangi kejahatan ini. Kita dapat sering mendengar pernyataan tentang membangun komitmen bersama memberantas narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit badan-badan dunia yang terlibat, namun ternyata peredaran gelap narkotika terus merajalela. Berbagai indikasi menunjukkan bahwa kejahatan narkotika merupakan extraordinary crime.

  Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Untuk itu

  

extraordinary punishment kiranya menjadi relevan mengiringi model kejahatan

  yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi ke seantero

  2 bumi ini sebagai transnational crime.

  Pengesahan Konvensi Wina Tahun 1971 yang mengatur kerjasama internasional dalam pengendalian, pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan narkotika dan psikotropika serta mencegah dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, dengan membatasi penggunaanya hanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan upaya pemerintah dengan penyelenggaraan kerjasama antara negara- negara lain dalam rangka suatu usaha pengawasan, peredaran dan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika yang memberikan arahan tentang prinsip-prinsip

  3 yuridis kriminal dan aturan-aturan tentang ekstradisi.

  Sidang umum ICPO (Intenational Criminal Police Organization) ke-66 tahun 1977 di India yang diikuti oleh seluruh anggota yang berjumlah 177 negara dari seluruh benua Amerika, Asia, Afrika, Eropa, dan Australia, Indonesia masuk dalam daftar tertinggi negara-negara yang menjadi sasaran peredaran obat-obatan terlarang narkotika, yang disejajarkan dengan Jepang, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Hongkong. Dari sidang tersebut diungkapkan juga bahwa narkotika. khususnya jenisnya ecstacy yang semula populer di Eropa terutama di Negeri

  4 Belanda, sekarang telah meluas keseluruh dunia termasuk Indonesia.

  Penyakit masyarakat ini sudah menjadi masalah semua negara di dunia, sehingga mayoritas anggota PBB telah menyepakati United Nation Convention

  

Against the Delict Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substances pada

  1988. Konvensi 1988 yang bertujuan memberantas perdagangan gelap narkotika dan psikotropika. Jika dilihat dari segi isi Konvensi 1988, muncul embrio dari upaya internasional untuk menanggulangi permasalahan organisasi kejahatan transnasional yang antara lain dapat diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang menyangkut ekstradisi; bantuan hukum timbal balik; penanganan perdagangan gelap narkoba melalui laut; controlled delivery; penguatan rezim anti pencucian

                                                               3  Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo uang (termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil kejahatan narkoba); dan kriminalisasi diversi prekursor dan pengawasan prekursor. Hal lain yang cukup mengesankan dalam perkembangan masalah narkotika dunia adalah upaya untuk meningkatkan penanggulangan masalah narkotika bukan hanya pada sisi

  5 ketersediaan (supply), tetapi juga dari sisi permintaan (demand).

  Peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya, Undang-Undang Narkotika hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan bila dilihat dari keadaan yang demikian dalam tataran empirisnya. Kejahatan narkotika dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pemakai narkotika khususnya generasi muda.

  Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan telah mengungkap berbagai macam kejahatan narkoba. Menurut lembaga ini selama 2011, sebanyak 94 pelaporan kasus diungkap Badan Narkotika Nasional (BNN). Sebanyak 61,8 persen diantaranya, atau sebanyak 60 kasus, telah berhasil diselesaikan penyelidikannya, dan kasusnya telah diserahkan ke Jaksa penuntut umum serta 38,2 persen atau sebanyak 34 kasus diantaranya masih dalam penyelesaian.

  Barang bukti yang disita selama tahun 2011 oleh BNN antara lain 79.847,23 gram shabu, 255,503,7 gram dan 1.000 batang pohon ganja, 50 gram kokain, 1,194,85

                                                              

5 BNN

   Portal: Kejahatan Transnasional, Masalah Narkoba, dan Diplomasi Indonesia, gram heroin, 276,995 butir ekstasi, 71,401,82 gram prekusor padat, serta 280.845 ml prekusor cair. Selama 2011, uang yang berhasil disita dari para tersangka mencapai Rp 28.970.596.143 dan Rp 28,782.860.804 diantaranya sudah

  6 dilimpahkan ke Kejaksaan.

  BNN menyatakan bahwa sepanjang tahun 2011 terdapat 11 jaringan internasional yang berhasil dibongkar. Satu diantaranya yang menonjol adalah ditangkapnya jaringan peredaran narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan yang melibatkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) tersebut.

  Pengungkapan jaringan yang melibatkan sindikat internasional yang paling spektakuler dan menonjol adalah terbongkarnya kasus Surya Bahadur Tamang, alias Boski, yang mengendalikan peredaran gelap narkoba dari balik jeruji besi di LP Nusa Kambangan sampai bandar besar berkewarganegaraan Iran yang ditangkap oleh polisi Thailand serta kasus Obina, narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang yang mengendalikan jaringannya dari dalam Lapas Cipinang. Total jaringan yang sudah diungkap BNN pada 2011 sebanyak 97 jaringan, dengan jumlah tersangka sebanyak 159 orang. BNN juga menyatakan bahwa tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang dari tahun 2010 yang 2,21 persen atau sekitar 4,02

  7 juta orang.

  Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan Hakim.

  Penegakan hukum seharusnya diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran narkotika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika tersebut.

  Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. Kasus-kasus terakhir ini telah banyak bandar-bandar dan pengedar narkoba tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya.

  Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda dalam program pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah ini tergabung dalam kebijakan sosial (social policy). Salah satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk di dalamnya kebijakan legislatif (legislative policy). Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan

  8 penegakan hukum (law enforcement policy).

  Pengkajian mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau yang mana bagiannya adalah kebijakan penanggulangan

  criminal law enforcement

  kejahatan (criminal policy). Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal).

  Penegakan hukum mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk

  9 kepentingan internalisasi.

  Keberadaan Undang-Undang Narkotika yakni Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika. Pembentukan Undang-Undang Narkotika diharapkan dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan sarana hukum pidana atau penal.

  Dalam uraian latar belakang, penulis akan melakukan penulisan skripsi yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan berbagai masalah yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan?

  2. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia?

  C. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum. Penulis dalam membuat dan memilih judul skripsi ini berdasarkan penelitian sendiri. Seperti kita ketahui bahwa saat ini masalah narkotika sudah pada tahap memprihatikan dan berbahaya apalagi sudah menimbulkan banyak korban terutama kalangan generasi muda bangsa sehingga perlu untuk dicegah dan ditanggulangi bersama.

  Penulisan skripsi mengenai narkotika pada Fakultas Hukum USU sudah terlebih dahulu ada sebelumnya, salah satunya adalah “Penerapan Hukum Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika” yang ditulis oleh Fransiska Sitepu, namun secara khusus yang membahas “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia” belum ada. Hal ini didukung dengan persetujuan dari perpustakaan untuk mengangkat judul skripsi. Oleh karena itu, penulis menjamin keaslian penulisan skripsi berdasarkan penelitian dan pengamatan penulis sendiri.

  D. Tujuan Penulisan

  Penulisan ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang sudah ada sebelumnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai

  1. Untuk mengetahui konsep kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan.

  2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia.

E. Manfaat Penulisan

  Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai berikut:

  1. Manfaat secara Teoritis Yaitu, penulisan ini bisa dijadikan sebagai bahan kajian untuk memberikan informasi-informasi pengetahuan tentang hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. Lebih lagi khususnya menambah pengetahuan hukum tentang kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia.

  2. Manfaat secara Praktis Yaitu, bisa memberikan informasi dan bahan masukan serta kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim maupun pengacara dan juga kepada masyarakat umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidanal terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia.

F. Tinjauan Kepustakaan 1.

  Pengertian Kebijkan Hukum Pidana (Penal Policy) Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut dengan juga dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh

  10 karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.

  Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan- peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai

  11 apa yang dicita-citakan.

  Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat

  12

  dan bernegara. Mahmud M.D., juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh p emerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus

                                                               10 dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal),

  13 maupun dalam penegakannya.

  Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk

  14 diterapkan.

  Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi

  15

  syarat keadilan dan dayaguna. Marc Ancel menyatakan politik hukum pidana merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan

  16 undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.

  A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang runag lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk

  17

  menentukan:

                                                               13 14  Ibid.  15  Ibid. 

  1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui;

  2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; 3.

  Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

  Defenisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme

  18 pelaksanaan pidana. .

  Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

  Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan

  19 dengan hukum pidana”.

  2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika a.

  Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

  Belanda yaitu strafbaar feit. Istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, yang terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, tetapi belum ada keseragaman

  20 pendapat saat ini.

  Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar

  21 feit adalah sebagai berikut: a.

  Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah yang sering ditemukan dalam perundang-undangan kita. Hampir seluruh peraturan perundang- undangan menggunakan istilah tindak pidana misalnya UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ahli yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH.

  b.

  Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.

  c.

  Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr.

  Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Prof. A. Zainal Abidin, SH. dalam buku beliau Hukum Pidana.

  d.

  Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

  Istilah ini dijumpai dalam berbagai literatur misalnya Prof. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana

                                                               20 disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Simons menyatakan strafbaar feit adalah suatu tindakan melawan hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu suatu

  22 perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.

  Istilah tindak pidana sebagai terjemaahan strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah yaitu Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang mengenai Pornografi

  23 yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.

  Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani sesorang. Hal-hal tersebut juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah telah melakukan tindak pidana. Kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang di dalam undang- undang menentukan pada pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenakan

  24 sanksi.

  Soedarto berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana. Beliau lebih condong memakai istilah

                                                               22 tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat Soedarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu mengggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana

  25 itu sudah mempunyai yang dipahami oleh masyarakat.

  Berbagai defenisi yang dikemukan di atas, bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif ( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan

  26 oleh hukum).

  b.

  Pengertian Tindak Pidana Narkotika Pengertian narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh

  27

  pemakai, yaitu: a. mempengaruhi kesadaran; b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; c. pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:

                                                               25

  1. penenang; 2. peransang (bukan ransang seks); 3. menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan keadaran akan waktu dan tempat).

  Soedarto menyatakan bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa. Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat menyatakan bahwa narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan

  28 stimulant.

  Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

  29 rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

  Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan–ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang- Undang no. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Tindak pidana narkotika juga dapat dikatakan adalah penggunaan atau peredaran narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar UU Narkotika).

30 Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara

  lain:

  31 a.

  Penyalahgunaan / melebihi dosis; b.

  Pengedaran narkotika; c. Jual beli narkotika.

G. Metode Penelitian 1.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

  32 2.

  Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skrispsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud oleh penulis adalah sebagai berikut: a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan yang berkaitan dengan permasalahan kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia.

                                                               30  Moh. Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Op. Cit., hlm. 45  31 b.

  Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika, artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.

  c.

  Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

  3. Metode Pengumpulan Data Penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan data yakni

  

library research (penelitian kepustakaan) yaitu penelitian yang dilakukan dengan

  menggunakan data dari berbagai sumber bacaaan seperti peraturan perundang- undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

  4. Analisis Data

  33 Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang

  diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

                                                              

33 Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti

  

pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah

sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan),

analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada

generalisasi.

H. Sistematika Penulisan

  Penulisan skripsi ini dibagi dalam empat bab yang disusun dengan sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN: Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan yang berisi pengertian kebijakan kriminal, pengertian tindak pidana, pengertian narkotika, tindak pidana narkotika, yang diakhiri dengan metode penelitian serta sistematika penulisan.

  BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA: Bab ini membahas konsep kebijakan hukum pidana dalam kebijakan penanggulangan kejahatan yakni kebijakan kriminal, kebijakan hukum pidana, dan kebijakan non penal (pidana).

  BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA : Bab ini membahas ajaran sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana narkotika, perbuatan-perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana narkotika dan jenis sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

  BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan bab ini memberikan saran-saran dari penulis berkaitan dengan masalah yang dibahas.

Dokumen yang terkait

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

6 150 156

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)

4 126 126

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Orangtua Terhadap Anak Kandungnya

1 2 31

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Di Indonesia(Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/Pn.Jkt.Tim)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 0 52

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Syarat Pemberian Remisi kepada Narapidana Tindak Pidana Korupsi (Koruptor)

0 0 27

BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

0 0 35