Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)

(1)

KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP

TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)

TESIS

Oleh

LIDYA CAROLINA SITEPU 097005011/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP

TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LIDYA CAROLINA SITEPU 097005011/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI DI POLDA SUMUT)

NAMA MAHASISWA : Lidya Carolina Sitepu

NOMOR POKOK : 097005011

PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum) K e t u a

(Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum) (Dr. Marlina, S.H., M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., MH) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 12 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Dr. Marlina, SH, M.Hum 3. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 adanya 12.273 kasus dengan 16.847 tersangka. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara, bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.

Menjawab permasalahan diatas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas petugas kepolisian besar daerah sumatera utara dan narapidana lembaga pemasyarakatan tanjung gusta medan. Keseluruhan data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan penulisan deskriptif analitis.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika di sumatera utara pada umumnya karena faktor ekonomi yang sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan napi tersebut menjual narkotika dengan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, selain itu karena faktor keluarga yang mendidik dengan keras dari kecil, dan kurangnya kasih sayang yang didapatkan dan faktor lain dikarena rasa keingintahuan/coba-coba dalam memakai narkotika, dari rasa coba-coba napi tersebut menjadi pecandu dikarenakan untuk mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu.

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dalam memberantas tindak pidana narkotika dimulai dari observasi, pembuntutan, pembelian terselubung, dan penyerahan yang diawasi. Peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan penanggulangan preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik itu anak sekolah, orang tua, maupun pemuka masyarakat serta pemuka agama akan bahayanya narkotika. Penanggulangan bersifat represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum dengan memberikan sanksi pidana maka dapat membuat jera pelaku tindak pidana narkotika. Upaya tersebut berupa penghancuran jaringan utama peredaran gelap, pengembangan teknik control delevery (penyerahan yang diawasi).


(6)

ABSTRACT

There were 12.273 cases and 16.847 suspects of narcotics in Sumatera Utara from 2007 to May 2011. This increasing number of narcotics-related criminal acts, in general, are caused by two things: first, to the dealers, narcotics promises them a bigger benefit, while to the users, narcotics promises them a calm and peaceful life that they can free themselves from the psychological problem they are having; second, the promise given by the narcotics lessens their fear of getting arrested, it can even make them more fearless. The negative impact of narcotics is not only experienced by the user individually, but also all of our young generation. The research problems discussed in this study were what factors did initiate the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara and how the criminal law policy was implemented in coping with the narcotics-related criminal act.

To answer the research problems above, this study employed normative juridical and sociological juridical approaches. The data used in this study were primary data obtained through field research and secondary data obtained through library research. The informants for this study were the police officers from Sumatera Utara Police Department and the convicted criminal in Tanjung Gusta Penitentiary, Medan. All of the data obtained were qualitatively analyzed by means of analytical descriptive writing.

The result of this study showed that, in general, the causal factors of the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara were the economic factor – it was very difficult for them to meet their daily necessity that they sold narcotics to get bigger benefit, and the family factor – when they were kids, they were very strictly educated by their parents so they felt that they did not get love and affection from their parents, and the factor of curiosity – because of their curiosity, they tried to consume the narcotics to get some inspiration in writing song then they became addicted to it.

The policy on Criminal Law Reinforcement towards the Narcotics-Related Criminal Act is regulated in Law No.35/2009 on Narcotics. The attempt of law upholding done by the police investigating officers in eliminating the narcotics-related criminal act started with observation, survelaince, undercover buy, and controlled delivery. The role of police officers in coping with the narcotics-related criminal act was done preventively by providing extension on the danger of narcotics to the community members such as students, parents, public figures, and religious leaders. Repressive action was conducted by giving criminal sanction that can make the criminals learn from what they have done. This attempt was done in the form of destroying the main network of illegal distribution and developing the controlled delivery technique.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat dan kasihNya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap

Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut).Tesis ini merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulisan tesis ini masih kurang sempurna, dan dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.

Penulis yakin dengan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tak retak” artinya bahwa tiada manusia yang luput dari kesalahan yang diperbuatnya, oleh karena itu penulis akan dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis yang penulis buat ini.

Didalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikan begitu saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dorongan, motivasi dari orang-orang yang ada disekitar penulis, baik yang bersifat moril ataupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:

1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K),selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing Utama Penulis.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Kedua Penulis.

6. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga Penulis. 7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS selaku Komisi Penguji Penulis.

8. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Komisi Penguji Penulis. Yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan arahan, bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan penulisan ini hingga bisa terselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, penulis berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar para pembimbing dan para penguji penulis senantiasa mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasihNya dan senantiasa mendapatkan kebahagiaan di dunia dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai kalangan akademisi dan di akhirat kelak.


(9)

1. Ayahanda tercinta Kompol M. Sitepu dan Ibunda terkasih M.D Bangun. Dengan segenap jiwa dan lembut kasih sayangnya yang telah mengimaniku dengan kasihNya, mengajarkanku setiap hal terbaik, memberiku kasih terkuat dan jiwa yang besar saatku jatuh lalu berdiri tegar, dan menuntun penulis menyongsong masa depan yang lebih baik. Merekalah yang telah menghantarkan penulis dalam usaha mencapai kemantapan hidup guna menjadi putri kebanggaan. Oleh karena itu penulis berdoa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan perlindunganNya, memberikan kebahagiaan, kesehatan serta umur yang panjang. 2. Abang-abang tercinta dr. Franky Hadinata Sitepu dan Fredy Widi Asmara Sitepu,

ST dan adik tercinta Bram Aditya Sitepu yang telah mendoakan penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, semoga senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa dan senantiasa dimudahkan segala cita-citanya.

3. Bapak Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumut, AKBP K.A.M Sinambela, dan Bapak Kompol J. Silaban yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Satuan Narkoba Polda Sumut.

4. Bapak Kepala Bidang Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Tanjung Gusta Medan, serta informan yang bersedia diwawancara serta membantu untuk penyelesaian tesis ini.

5. Para Dosen dan Staff Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

6. Sahabat dan rekan-rekan mahasiswa seperjuangan Nancy Yosepin Simbolon, SH, MH terimakasih buat kebersamaannya selama ini dan terimakasih juga buat tumpangannya dengan si fero yang setia menemani penelitian ke lembaga, Ramadhan Putra Gayo terimakasih telah menemani selama melakukan penelitian ke lembaga, Melita Berlina Meliala, SH, MH terimakasih buat kebersamaannya mulai dari kuliah di Palembang sampai kuliah di Medan. Mughni Sulubara, SH, MH, Irma Atika Rangkuti, SH, MH, Reka Elvina Gulo, Agus Pratama terimakasih teman-teman buat kebersamaannya selama ini. Rina Consela, Cornelius Sembiring, Benny Capah, Rony Marbun terimakasih teman-teman buat dukungannya.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan guna kesempurnaan tesis ini di masa yang akan datang. Semoga tesis ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

Medan, Agustus 2011

Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Lidya Carolina Sitepu Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 30 April 1986

Jenis kelamin : Perempuan Agama : Protestan

Pendidikan : 1. SD Swasta Methodist Berastagi,Lulus Tahun 1998 2. SMP Negeri 1 Berastagi, Lulus Tahun 2001

3. SMU Negeri 2 Kabanjahe, Lulus Tahun 2004

4. Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,Lulus Tahun 2008

5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Lulus Tahun 2011


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang... 1

B.Perumusan Masalah... 10

C.Tujuan Penelitian... 10

D.Manfaat Penelitian... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsep... 11

1. Kerangka Teori... 11

2. Kerangka Konsep... 15

G. Metode Penelitian... 20

1. Jenis Penelitian... 20

2. Sumber Data... 21

3. Teknik Pengumpulan Data... 23

4. Analisis Data... 23

BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA... 24

A.Kajian Kriminologi Penyebab Terjadinya Kejahatan... 24

1. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif biologis... 25


(13)

B.Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika... 34

1. Faktor Internal Pelaku... 34

2. Faktor Eksternal Pelaku... 36

C.Bahaya dan Akibat Penyalahgunaan Narkotika... 43

BAB III : KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA... 52

A.Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika... 52

1. Ketentuan Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika... 59

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika 63 B.Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika 72 1. Penerapan Hukum Pidana... 72

2. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika 75

3. Peran Orang Tua, Sekolah (Perguruan Tinggi), Masyarakat, Pemerintah dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika 95

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 102

A.Kesimpulan... 102

B.Saran... 103


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika

Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011... 6 Tabel 2 : Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menurut Umur Pelaku

Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011... 7 Tabel 3 : Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara


(15)

ABSTRAK

Jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 adanya 12.273 kasus dengan 16.847 tersangka. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara, bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.

Menjawab permasalahan diatas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas petugas kepolisian besar daerah sumatera utara dan narapidana lembaga pemasyarakatan tanjung gusta medan. Keseluruhan data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan penulisan deskriptif analitis.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika di sumatera utara pada umumnya karena faktor ekonomi yang sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang menyebabkan napi tersebut menjual narkotika dengan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, selain itu karena faktor keluarga yang mendidik dengan keras dari kecil, dan kurangnya kasih sayang yang didapatkan dan faktor lain dikarena rasa keingintahuan/coba-coba dalam memakai narkotika, dari rasa coba-coba napi tersebut menjadi pecandu dikarenakan untuk mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu.

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dalam memberantas tindak pidana narkotika dimulai dari observasi, pembuntutan, pembelian terselubung, dan penyerahan yang diawasi. Peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan penanggulangan preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik itu anak sekolah, orang tua, maupun pemuka masyarakat serta pemuka agama akan bahayanya narkotika. Penanggulangan bersifat represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum dengan memberikan sanksi pidana maka dapat membuat jera pelaku tindak pidana narkotika. Upaya tersebut berupa penghancuran jaringan utama peredaran gelap, pengembangan teknik control delevery (penyerahan yang diawasi).


(16)

ABSTRACT

There were 12.273 cases and 16.847 suspects of narcotics in Sumatera Utara from 2007 to May 2011. This increasing number of narcotics-related criminal acts, in general, are caused by two things: first, to the dealers, narcotics promises them a bigger benefit, while to the users, narcotics promises them a calm and peaceful life that they can free themselves from the psychological problem they are having; second, the promise given by the narcotics lessens their fear of getting arrested, it can even make them more fearless. The negative impact of narcotics is not only experienced by the user individually, but also all of our young generation. The research problems discussed in this study were what factors did initiate the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara and how the criminal law policy was implemented in coping with the narcotics-related criminal act.

To answer the research problems above, this study employed normative juridical and sociological juridical approaches. The data used in this study were primary data obtained through field research and secondary data obtained through library research. The informants for this study were the police officers from Sumatera Utara Police Department and the convicted criminal in Tanjung Gusta Penitentiary, Medan. All of the data obtained were qualitatively analyzed by means of analytical descriptive writing.

The result of this study showed that, in general, the causal factors of the incident of the narcotics-related criminal act in Sumatera Utara were the economic factor – it was very difficult for them to meet their daily necessity that they sold narcotics to get bigger benefit, and the family factor – when they were kids, they were very strictly educated by their parents so they felt that they did not get love and affection from their parents, and the factor of curiosity – because of their curiosity, they tried to consume the narcotics to get some inspiration in writing song then they became addicted to it.

The policy on Criminal Law Reinforcement towards the Narcotics-Related Criminal Act is regulated in Law No.35/2009 on Narcotics. The attempt of law upholding done by the police investigating officers in eliminating the narcotics-related criminal act started with observation, survelaince, undercover buy, and controlled delivery. The role of police officers in coping with the narcotics-related criminal act was done preventively by providing extension on the danger of narcotics to the community members such as students, parents, public figures, and religious leaders. Repressive action was conducted by giving criminal sanction that can make the criminals learn from what they have done. This attempt was done in the form of destroying the main network of illegal distribution and developing the controlled delivery technique.


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.1 Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

Persoalan mengenai narkotika semakin lama semakin meningkat. Narkotika menjadi persoalan nasional bahkan internasional karena akibat dan dampak yang ditimbulkan telah meluas ke seluruh negara. Secara nasional perdagangan narkotika telah meluas kedalam setiap lapisan masyarakat, mulai lapisan masyarakat atas sampai masyarakat bawah.2 Dari segi usia, narkotika tidak dinikmati golongan remaja saja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua. Penyebaran narkotika sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa-desa.3

1

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2

Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus 2004, hal.188.

3

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 2.


(18)

Penggunaan narkotika bagi orang awam atau orang kurang mengerti, tentu saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkotika yang sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita. Menurut Graham Blaine seorang psikiater, sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut:4

a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan mempunyai resiko;

b. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orangtua, guru, hukum atau instansi berwenang;

c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;

d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;

e. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;

f. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan;

g. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis;

h. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan;

i. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosty) dan karena iseng (just for kicks). Penyebab penggunaan narkotika secara tidak legal yang dilakukan oleh para remaja dapatlah dikelompokkan tiga keinginan yaitu:5

1. Mereka yang ingin mengalami (the experience seekers) yaitu ingin memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika; 2. Mereka yang bermaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the

oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap keadaan terbius sebagai tempat pelarian terindah dan ternyaman;

3. Mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat merubah kepribadian, seperti menjadi tidak kaku dalam pergaulan.

4

Ibid., hal. 6. 5


(19)

Di kalangan orang-orang dewasa dan yang telah lanjut usia menggunakan narkotika dengan sebab-sebab sebagai berikut:6

1. Menghilangkan rasa sakit dari penyakit kronis;

2. Menjadi kebiasaan (akibat penyembuhan dan menghilangkan rasa sakit); 3. Pelarian dari frustasi;

4. Meningkatkan kesanggupan untuk berprestasi (biasanya sebagai zat perangsang).

Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien.7 Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan, pengaturan narkotika bertujuan untuk:

a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

6

Hari Sasangka., Op. Cit., hal. 7. 7

Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 100.


(20)

b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika.

Peredaran narkotika di dalam negeri hampir meliputi kota besar dan sejumlah desa, dan sebagai tempat transaksi biasanya tempat hiburan (diskotik, karaoke), lingkungan kampus, hotel, apartemen, dan tempat kumpul remaja seperti mall, pusat belanja, dan lain-lain.8 Pentingnya peredaran narkotika perlu diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal negatif. Disamping itu, melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk dilepaskan ketergantungannya.9

Peredaran narkotika secara ilegal harus segera ditanggulangi mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya, tetapi juga bagi keluarga, komunitas, hingga bangsa dan negara. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar

8

Togar M. Sianipar, Perkembangan Kejahatan Narkoba, Makalah dalam seminar Narkoba di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli 2003, hal. 9.

9


(21)

menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian.10

Tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun demikian dalam kenyataannya para pelaku kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya faktor penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya.

Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Dalam rangka pelaksanaan politik kriminal, pemerintah berupaya menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai langkah antisipasi terhadap kejahatan penyalahgunaan narkotika yaitu dengan menggunakan dan menerapkan sarana penal. Kebijakan penetapan pidana dalam perundang-undangan menurut Barda Nawawi Arief merupakan:11

Tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijaksanaan untuk mengoperasionalkan sanksi pidana. Pada tahap inilah dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana

10

Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 6. 11

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV.Ananta, 1994), hal. 3.


(22)

oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana.

Penyalahgunaan narkotika sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu setiap masyarakat diharapkan partisipasinya dalam menanggulangi bahaya narkotika. Di Sumatera Utara tindak pidana narkotika mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 seperti dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1

Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011

NO TAHUN Kasus Tersangka JUMLAH 1 2007 2.958 4.160 7.118 2 2008 2.666 3.896 6.562 3 2009 2.802 3.531 6.333 4 2010 2.718 3.736 6.454 5 Mei 2011 1.129 1.524 2.653 JUMLAH 12.273 16.847 29.120 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

Tabel di atas menunjukkan tindak pidana narkotika dari tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 mengalami penurunan dan peningkatan. Tahun 2007 tercatat kasus tindak pidana narkotika sebanyak 2.958 dengan jumlah tersangka 4.160 orang. Tahun 2008 mengalami penurunan tercatat ada sebanyak 2.666 kasus dengan tersangka 3.896 orang. Tahun 2009 terjadinya kenaikan tindak pidana narkotika sebanyak 2.802 kasus dengan jumlah tersangka 3.531 orang. Tahun 2010 juga terjadi kenaikan dengan kasus sebanyak 2.718 kasus dengan jumlah tersangka 3.736 orang. Sedangkan Mei 2011 ada sebanyak 1.129 kasus tindak pidana narkotika dengan jumlah tersangka 1.524 orang.


(23)

Tindak pidana narkotika di Sumatera Utara sangat marak sekali, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa seperti dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2

Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menurut Umur Pelaku Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011

UMUR PELAKU NO TAHUN <15 THN 16-19 THN 20-24 THN 25-29 THN >30

THN JUMLAH 1 2007 26 380 1.149 1.091 1.514 4.160 2 2008 32 363 898 1.036 1.567 3.896 3 2009 29 295 818 970 1.419 3.531 4 2010 18 221 666 897 1.934 3.736 5

Mei

2011 16 85 248 370 805 1.524 JUMLAH 170 2.128 6.240 6.312 9.671 24.531 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa yang menyalahgunakan narkotika di bawah usia 15 tahun pada tahun 2007 ada sebanyak 26 orang, sementara di tahun 2008 mengalami sedikit peningkatan sebanyak 32 orang, di tahun 2009 sampai tahun 2010 adanya penurunan menjadi 29 orang dan 18 orang, sementara sampai bulan Mei 2011 ada sebanyak 16 orang.

Berusia 16-19 tahun di tahun 2007 ada sebanyak 380 orang, di tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan, sementara sampai dengan bulan Mei 2011 yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 85 orang. Tahun 2007 untuk usia 20-24 tahun yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 1.149 orang, antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan yang sangat drastis, dan untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 248 orang. Sedangkan yang berusia 25-29 tahun ada sebanyak 1.091 orang yang melakukan penyalahgunaan narkotika di tahun 2007,


(24)

antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 penyalahgunaan narkotika juga mengalami penurunan, untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 370 orang.

Tahun 2007 untuk yang berusia diatas 30 tahun ada sebanyak 1.514 orang, tahun 2008 ada sedikit peningkatan menjadi 1.567 orang, di tahun 2009 terjadi penurunan menjadi 1.419 orang, sedangkan di tahun 2010 terjadi kenaikan sebanyak 1.934 orang, sementara untuk bulan Mei 2011 ada 805 orang.

Data diatas yang paling memprihatinkan adalah korban penyalahgunaan narkotika yang pada umumnya masih remaja dan dewasa muda yang sedang dalam masa produktif dan merupakan sumber daya manusia atau aset bangsa dikemudian hari. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekali apabila tidak bisa diatasi jelas akan merusak generasi muda Indonesia dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, bangsa dan negara. Namun di Sumatera Utara yang lebih banyak menyalahgunakan narkotika justru pelaku yang berusia diatas 30 tahun.

Menurut status pelakunya penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3

Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Menurut Status Pelaku Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011

TAHUN

NO STATUS PELAKU 2007 2008 2009 2010 Mei

2011 JUMLAH

1 TNI 9 13 14 8 4 48

2 POLRI 11 30 30 15 14 100

3 PNS 21 29 29 21 15 115

4 PEG. SWASTA 1.101 588 322 253 142 2.406

5 PELAJAR 91 214 90 70 30 495


(25)

7 PENGANGGURAN 1.998 2.502 2.472 2.472 1.118 10.562 8 BURUH 881 409 503 851 175 2.819 JUMLAH 4.160 3.896 3.531 3.736 1.524 16.847 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

Tabel diatas menunjukkan bahwa TNI yang melakukan tindak pidana narkotika dalam kurun waktu 2007 sampai Mei 2011 ada sebanyak 48 orang. Sementara untuk POLRI ada sebanyak 100 orang, sedangkan untuk PNS ada sebanyak 115 orang, untuk pegawai swasta sebanyak 2.406 orang, pelajar sebanyak 495 orang, mahasiswa sebanyak 302 orang, untuk kalangan pengangguran ada sebanyak 10.562 orang, dan untuk kalangan buruh ada sebanyak 2.819 orang. Berdasarkan data yang diungkapkan diatas bahwa tindak pidana narkotika diantara masing-masing kalangan dari tahun 2007 sampai Mei 2011 menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan.

Permasalahan penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan massal dan lain sebagainya). Seringkali terjadi dimasyarakat, dampak dari penyalahgunaan ketergantungan narkotika antara lain: merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku antisosial, gangguan kesehatan, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan, dan kriminalitas lainnya.12 Berdasarkan alasan diatas, maka penulis

12


(26)

tertarik untuk menuliskannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini yang berjudul “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di POLDA SUMUT)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara?

2. Bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika.

2. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.


(27)

2. Secara Praktis

Penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum agar dapat mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika. Khusus bagi masyarakat umum agar dapat mengetahui akibat dari penyalahgunaan narkotika dan kebijakan penegakan hukum pidana apa yang dapat digunakan terhadap tindak pidana narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara”. Akan tetapi ada beberapa tesis membahas tentang narkotika namun di dalam tesis ini yang dibicarakan adalah mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika permasalahan yang diteliti tidaklah sama. Dengan demikian penelitian ini betul asli dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kejahatan yang merupakan suatu bentuk gejala sosial yang tidak berdiri

sendiri, melainkan nampak adanya korelasi dengan berbagai perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, hukum maupun teknologi serta berbagai perkembangan


(28)

lain adalah sebagai akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau perubahan sosial di dalam masyarakat.

Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori kebijakan hukum pidana (penal policy). Kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.13

Politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.14 Mahfud MD juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya.15

13

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 19.

14

Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana,(Bandung: Alumni,1989), hal. 159. 15


(29)

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).16 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan berarti upaya mewujudkan suatu hukum pidana yang dapat diterapkan dalam masyarakat dalam jangka waktu yang lama dan menjadi kebijakan perundang-undangan yang baik, maka ia harus memenuhi syarat yuridis, sosiologis dan filosofis.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto:17

Suatu peraturan hukum berlaku secara yuridis apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan. Peraturan hukum harus berlaku secara filosofis, apabila

16

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 24.

17

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 113.


(30)

peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.

Barda Nawawi mengutarakan masih pentingnya menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan yaitu:18

a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;

b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;

c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal oleh beberapa pakar kriminologi disebut juga dengan cara represif. Tindakan represif menitikberatkan pada upaya pemberantasan/penindasan/penumpasan sesudah kejahatan terjadi yaitu dengan dijatuhkannya sanksi pidana.19

Kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang

18

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV. Ananta, 1994), hal. 31.

19

Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: Remaja Karya, 1987), hal. 28.


(31)

berorientasi pada nilai. Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manusia seutuhnya. Apabila pidana yang digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu, pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau yang paling berharga bagi kehidupan manusia.20 Dengan demikian diperlukan adanya keterpaduan dan kerjasama yang baik aparat penegak hukum untuk menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan. Keterpaduan tersebut pada akhirnya akan menuju tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan hidup dalam masyarakat.

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini di defenisikan beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: kebijakan hukum pidana, penegakan hukum, kepolisian, penyelidikan, penyidikan, tindak pidana, narkotika.

20


(32)

Kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.21

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).22 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum ) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.

Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu

21

Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 18. 22


(33)

pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.23 Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketentraman, dan kepastian hukum, sesuai dengan UUD 1945.24

Istilah polisi pada mulanya berasal dari Yunani yaitu politeia yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Di abad sebelum masehi negara Junani terdiri dari kota-kota yang dinamakan polis. Arti polisi demikian luasnya bahkan selain meliputi seluruh pemerintahan negara kota, termasuk juga di dalamnya urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Setelah munculnya agama Nasrani maka urusan keagamaan menjadi terpisah dari pemerintahan, sehingga arti polisi menjadi seluruh pemerintahan negara dikurangi urusan agama.25

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah polisi berarti:26

a. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum;

b. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan.

23

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 15., Lihat juga Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 111. Penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapanperbuatan melawan hukum yangsungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).

24

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 8.

25

Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal. 14. 26

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 763.


(34)

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana.27 Penyelidikan merupakan tindakan tahap permulaan penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan.

Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.28

Istilah tindak pidana sering dipakai untuk menggantikan strafbaar feit. “Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat di hukum itu

27

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 101.

28


(35)

sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan ataupun tindakan”.29

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya menurut wujud atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana.30

Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika:31

Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

29

P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181.

30

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 16.

31

Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hal. 3.


(36)

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah dikumpulkan.32

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.33 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif.34 Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 1986), hal. 3. 33

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64.

34

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 295.


(37)

dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the jungle through judicial process).35Penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian yang bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan kemudian menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki36 seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini

35

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2.

36


(38)

yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan terhadap tindak pidana narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.37 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder38 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.

Penelitian ini juga didukung oleh data primer39 yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri dari Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumut, 10 (sepuluh) orang narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Tanjung Gusta Medan.

37

Jhony Ibrahim, Op.Cit, hal. 296. 38

Ibid. 39


(39)

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Penelitian Kepustakaan (Library Reseaarch)

Penelitian kepustakaan ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, teori-teori, pendapat para sarjana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kebijakan penal.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interviewguide). Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu.

4. Analisis Data

Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.40 Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif41 sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

40

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 121.

41


(40)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Kajian Kriminologi Penyebab Terjadinya Kejahatan

Kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.42 Menurut Sue Titus Reid, bagi suatu perumusan hukum tentang kejahatan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu:43

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat jahat;

2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;

3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum;

4. Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran. Secara sosiologis, maka kejahatan merupakan suatu perikelakuan manusia yang diciptakan oleh sebagian warga-warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang.44 Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam proses dimana ada interaksi sosial antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan

42

W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 25. 43

Sue Titus Reid dalam Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia, 1981), hal. 22.

44


(41)

pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan. Ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas.

Pendapat tentang kejahatan di atas tertampung dalam suatu ilmu pengetahuan yang disebut kriminologi. Kriminologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang muncul abad ke-19 yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab musabab dari kejahatan.

Kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.45

Sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam kriminologi dikarenakan faktor-faktor biologis (kejahatan karena bakat yang diperoleh sejak lahir) dan faktor-faktor sosiologis (kejahatan karena pengaruh lingkungan masyarakat).

1. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif Biologis

Cesare Lambroso (1835-1909) dengan bukunya yang berjudul L’huomo

delinquente (the criminal man) menyatakan bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam

45

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 10., obyek studi kriminologi melingkupi perbuatan yang disebut sebagai kejahatan, pelaku kejahatan dan reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun pelakunya. Ketiganya ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.


(42)

karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Teori Lambrosotentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan penjahat.46 Berdasarkan penelitiannya, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat dalam 4 (empat) golongan, yaitu:47

a. Born criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat; b. Insane criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot dan

paranoid;

c. Occasional criminal atau criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan

pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya;

d. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan karena

marah, cinta atau karena kehormatan.

Disamping teori biologi dari Lombrosso, terdapat beberapa teori lain yang menitikberatkan pada kondisi individu penjahat, antara lain:48

1. Teori Psikis, dimana sebab-sebab kejahatan dihubungkan dengan kondisi kejiwaan seseorang. Sarana yang digunakan adalah tes-tes mental seperti tes IQ.

2. Teori yang menyatakan bahwa penjahat memiliki bakat yang diwariskan oleh orang tuanya. Pada mulanya amat mudah mendapati anak yang memiliki karakter seperti orang tuanya, namun ternyata hasil yang sama pun tidak jarang ditemui pada anak-anak yang diadopsi atau anak-anak angkat.

46

Ibid., hal. 37. 47

Ibid., hal. 24. 48


(43)

3. Teori Psikopati: berbeda dengan teori-teori yang menekankan pada intelejensia ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari sebab-sebab kejahatan dari kondisi jiwanya yang abnormal. Seorang penjahat di sini terkadang tidak memiliki kesadaran atas kejahatan yang telah diperbuatnya sebagai akibat gangguan jiwanya.

4. Teori bahwa kejahatan sebagai gangguan kepribadian sempat digunakan di Amerika untuk menjelaskan beberapa perilaku yang dikategorikan sebagai crime without victim (kejahatan tanpa korban) seperti pemabuk, gelandangan, perjudian, prostitusi, penggunaan obat bius.

2. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif Sosiologis

Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Ada hubungan timbal-balik antara faktor-faktor umum sosial politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), social kontrol (kontrol sosial).49

Teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas

49


(44)

kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda, teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.

a. Teori Differential Association

Teori yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland ini pada dasarnya melandaskan diri pada proses belajar, ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. TeoriDifferential Association ini menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin Sutherland kemudian menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut:50

1. Criminal behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not inherited. (Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negatif berarti perilaku itu tidak diwarisi).

2. Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process of communication.This communication is verbal in many respects but includes also the communication of gesture (Perilaku kejahatan dipelajari dalam

50

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 20.


(45)

interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat).

3. The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within

intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal agencies of communication, such as movies and newspaper, plays a relatively unimportant part in the genesis of criminal behaviour (Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok yang intim/dekat. Secara negatif ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal, seperti melalui film dan surat kabar secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam hal terjadinya kejahatan).

4. When criminal behaviour is learned, the learning in cludes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations and attitudes. (ketika tingkah laku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari meliputi (a) teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sangat sulit , kadang sangat mudah, (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap-sikap).

5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable on unfavorable.In some societies an individual is surrounded by person who invariably define the legal codes as rules to be observed, while in others he is surrounded by person whose definitions are


(46)

favorable to the violation of the legal codes (Arah dari motif dan dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat kadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi oleh orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberi peluang dilakukannya kejahatan).

6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law definitions unfavorable to violation of law. (Seseorang menjadi delinkuen karena ekses dari pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya kejahatan daripada yang melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi).

7. Differential association may vary in frequency, duration, priority and

intensity. (Differensial association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas serta intensitasnya).

8. The process of learning criminal behaviour by association with criminal and anti-criminal patterns involves all of the mechanisms that are involved in any other learning. (Proses mempelajari perilaku kejahatan yang diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan yang


(47)

menyangkut seluruh mekanisme yang lazimnya terjadi dalam setiap proses belajar pada umumnya).

9. While criminal behaviour is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values since non-criminal behaviour is an expression of the same needs and values (Sementara perilaku kejahatan merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum, akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum itu, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga merupakan pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama).

Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan.

b. Teori Kontrol

Teori kontrol sosial merujuk pada pembahasan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku


(48)

kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai “kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal). Kedua, munculnya studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey.51 Teori kontrol dapat dibedakan menjadi dua macam kontrol, yaitu personal control dan sosial control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif.

Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen, hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse). Di samping itu, faktor

51

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 41.


(49)

internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).52

Teori kontrol atau sering juga disebut dengan Teori Kontrol Sosial berangkat dari suatu asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya membuatnya demikian, pun ia menjadi jahat apabila masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para remaja.53

Penyimpangan tingkah laku diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan moral pelaku terhadap masyarakat. Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial (social bond) dalam setiap masyarakat. Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Attachment sering diartikan secara bebas dengan keterikatan. Ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan keterikatan dengan teman sebaya dapat mencegah atau menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan. Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan

52

Ibid., hal. 42. 53


(50)

yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda, reputasi, masa depan, dan sebagainya. Ketiga,Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, segala aktivitas yang dapat memberi manfaat akan mencegah orang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Keempat, Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma-norma maka lebih besar kemungkinan melakukan pelanggaran. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.

B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika 1. Faktor Internal Pelaku

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu yang meliputi kejiwaan seseorang. Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat


(51)

mendorong seseorang terjerumus ke dalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain:54

a. Perasaan Egois.

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali mendominir seseorang tanpa sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika. b. Kehendak Ingin Bebas

Sifat ini merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud ke dalam perilaku setiap kali seseorang dihimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika. c. Kegoncangan Jiwa.

Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi atau diatasinya. Dalam keadaan jiwa yang

54


(52)

labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika.

d. Rasa Keingintahuan.

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.

2. Faktor Eksternal Pelaku

Faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak sekali, diantaranya yang paling penting adalah sebagai berikut:55

a. Keadaan ekonomi.

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut. Dalam hubungannya dengan

55


(53)

narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam kelompok ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil daripada mereka yang ekonominya cukup.

b. Pergaulan/Lingkungan.

Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan/lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh negatif terhadap seseorang, artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya. Apabila di lingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar adanya.

c. Kemudahan

Kemudahan disini dimaksudkan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika di pasar gelap maka akan semakin besarlah peluang terjadinya tindak pidana narkotika.


(54)

Pengawasan di sini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada gilirannya, keadaan semacam itu sulit untuk dikendalikan. Di sisi lain, keluarga merupakan inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat perbuatan yang tergolong pada tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan seperti dimaksudkan diatas, maka tindak pidana narkotika bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.

e. Ketidaksenangan dengan keadaan sosial.

Bagi seseorang yang terhimpit oleh keadaan sosial maka narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementara. Tapi bagi orang-orang tertentu yang memiliki wawasan, uang, tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat melepaskan diri dari himpitan keadaan sosial, tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu.


(55)

Kedua faktor tersebut diatas tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu tindak pidana narkotika, tetapi dapat juga merupakan kejadian yang disebabkan karena kedua faktor tersebut saling mempengaruhi secara bersama.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Juni 2011 dengan 10 informan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, disimpulkan faktor penyebab mereka melakukan tindak pidana narkotika diantaranya adalah:

1) Faktor Ekonomi

Keadaan ekonomi yang sulit, menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana narkotika. Untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, seseorang rela menjadi pengedar narkotika untuk mencari nafkah tanpa mampu mencari alternatif lain selain menjadi pengedar narkotika. Karena keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut dengan cara mengedarkan narkotika. Dikarenakan dengan menjual narkotika keuntungan yang didapat sangat besar sekali.

2) Rasa Keingintahuan.

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika ini


(1)

diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar adanya.

3) Faktor didikan keluarga yang terlalu keras dapat menyebabkan seseorang menyalahgunakan narkotika, terlebih lagi tidak adanya kasih sayang yang didapat di dalam keluarga akan menyebabkan seseorang menyalahgunakan narkotika untuk mendapatkan kenikmatan sesaat.

2. Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dalam memberantas tindak pidana narkotika dimulai dari observasi (pengamatan), surveilance (pembuntutan), undercover buy (pembelian terselubung), dan controlled delevery (penyerahan yang diawasi). Peran polisi dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilakukan dengan penanggulangan preventif dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik itu anak sekolah, orang tua, maupun pemuka masyarakat serta pemuka agama akan bahayanya narkotika. Penanggulangan bersifat represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum dengan memberikan sanksi pidana maka dapat membuat jera pelaku tindak pidana narkotika. Upaya tersebut berupa penghancuran jaringan utama peredaran gelap, pengembangan teknik control delevery (penyerahan yang diawasi).

B. Saran

1. Perlunya penyidik bertindak tegas dalam penanggulangan tindak pidana narkotika, menghindari oknum-oknum yang menyulitkan pelaksanaan penyidikan, berani


(2)

menghadapi resiko tugas dan dapat berupaya semaksimal untuk memberantas tindak pidana narkotika. Dan diharapkan juga kepada aparat penegak hukum dalam menyidik perkara penyalahgunaan narkotika terhadap pecandu narkotika sebagai korban dari peredaran gelap narkotika setidaknya diterapkannya pemberian rehabilitasi kepada pecandu seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengenai pecandu narkotika yang seharusnya masuk ke panti rehabilitasi.

2. Kepada masyarakat perlu adanya partisipasi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika dengan memberikan informasi bila adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika kepada aparat penegak hukum, sehingga dengan adanya kerjasama masyarakat dan aparat penegak hukum, tindak pidana narkotika dapat dicegah dan diberantas dengan demikian tidak banyak lagi korban yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang: UMM Press, 2009.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana 2008.

---, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, Semarang: CV.Ananta, 1994.

---, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Arief, Dikdik dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.

Bonger, W.A., Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Dirdjosisworo, Soedjono, Pathologi Sosial, Bandung: Alumni, 1982.

---, Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung: Remaja Karya, 1987.

---, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990.

Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan


(4)

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2008.

Kelana, Momo, Hukum Kepolisian, Jakarta: Grasindo, 1994.

Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Lubis, Solly,Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni,1989. Makarao, Moh. Taufik, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.

Marpaung, Leden, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006. M.D, Mahfud,Politik hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1996.

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka

Bangsa Press, 2008.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Prasetyo, Teguh, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Prakoso, Djoko, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung: Alumni, 1978.


(5)

Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, 1993.

Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003.

---, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Pra Peradilan Dalam

Teori dan Praktek, cetakan 1, Bandung: Mandar Maju, 2007.

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI:Press, 2005. ---, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia, 1981.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Sudarto, Hukum Pidana, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. ---, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983. ---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

Taufik, Moh. Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

Malang: UMM Press, 2008.

B. Majalah, Jurnal Ilmiah, Surat Kabar

Lubis, Lusiana Andriani, Peranan Komunikasi Dalam Penanggulangan Korban

Penyalahgunaan Narkoba, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan

Komunitas Vol. 3 No. 1 Januari 2004

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari, 2003.

Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan


(6)

Sianipar, Togar M., Perkembangan Kejahatan Narkoba, Makalah dalam seminar Narkoba di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli 2003.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah Surat Keputusan Kapolri No.Pol: 1205/IX/2000 tentang penyelidikan reserse

D. Internet

Yanen Dwimukti Wibowo, Kasus Penyalahgunaan Narkoba Khususnya pada Remaja, http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsRemaja.aspx?id=5309, diakses tanggal 22 Juni 2011.

http://www.scribd.com/doc/38464777/Mengenal Jenis Dan Faktor Penyebab Penyalahgunaan Napza diakses tanggal 26 Mei 2011.

http://sawal99.wordpress.com/2009/04/29/penanggulangan-narkoba, diakses tanggal 22 Juni 2011.

http://www.anneahira.com/narkoba/penanggulangan-narkoba.htm, diakses tanggal 22 Juni 2011.