P ADAP ROYEKE KSPLORASIP ANASB UMI DIB ATURADEND ALAM P ERSPEKTIF FPIC

Kebijakan Komunikasi Pada Proyek Eksplorasi…
Alvin Yulityas Sandy

KEBIJAKAN KOMUNIKASI PADA PROYEK EKSPLORASI PANAS BUMI DI BATURADEN DALAM
PERSPEKTIF FPIC
COMMUNICATION POLICY OF GEOTHERMAL EXPLORATION AT BATURADEN ON FPIC PERSPECTIVE
Alvin Yulityas Sandy
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Jl. Sunter Permai Raya, Sunter Agung Podomoro, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Hp. 08562648900
Email: pentu.merah@gmail.com
diterima: 3Maret 2015 | direvisi: 25Maret 2015 | disetujui: 7April 2015

ABSRACT
The aim of this study is to find out the implementation of Free Prior of Informed Consent (FPIC) value in
Geothermal Project at Slamet Mountain, both Banyumas local government as a government identity and PT.
Sejahtera Alam Energy as a business identity. This research uses case study method through government,
market, and public relation perspective. This research also uses the value of FPIC implementation approach
applied by Banyumas local government and PT. SAE. Base on the research result it can be conclude that
FPIC implementation is still far from ideal level, mainly base on standard of UN REDD++ Indonesia. In
regulation side, FPIC has already existed and managed in regulation and license but it still weak at the level
of interpretation and implementation, so the effect is the form of public communication tends to one way

communication (linier model), it doesn’t suitable with the transactional communication base on FPIC value
and program.
Keywords: Implementation, Free Prior of Informed Consent, Government-Market-Society

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan nilai FPIC (Free Prior of Informed
Consent) pada proyek eksplorasi panas bumi di Gunung Selamet, baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas sebagai entitas negara, maupun oleh PT. Sejahtera Alam Energy sebagai entitas perusahaan.
Penelitian ini menggunakan metode study kasus, dengan perspektif relasi negara, pasar dan publik,
penggunaan pendekatan implementasi nilai FPIC yang diterapkan oleh pihak Pemda Banyumas dan PT.SAE,
berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pelaksanaan FPIC masih jauh dari tataran ideal, terutama
menggunakan standar pelaksanaan UN REDD ++ Indonesia. Dari sisi regulasi, FPIC sebetulnya sudah ada
dan diatur dalam serakan peraturan dan perijinan, namun masih lemah pada tataran teknis tafsir pelaksanaan,
sehingga menghasilkan bentuk komunikasi publik yang cenderung model komunikasi satu arah (linear),
tidak mencerminkan komunikasi transaksional yang berbasiskan pada program dan nilai Free Prior of
Informed Consent.
Kata Kunci : Implementasi, Free Prior of Informed Consent, Negara-Pasar-Publik.

I.


mekanisme komunikasi publik, minimnya ruangruang komunikasi publik menyebabkan konflik
laten didalamnya, Free Prior of Informed
Consent
merupakan
salah
satu
bentuk
komunikasi publik standara United Nation ( UN
REDD++) yang mengedepankan negosiasi dan
menginformasi publik sebelum sebuah kebijakan
diterapkan di lingkungannya.

PENDAHULUAN

Pemerintah saat ini sedang melakukan
percepatan alih energy fosil menuju energi
alternatif, salah satu hasil dari percepatan itu adalah
mulai munculnya proyek-proyek pembangkit listrik
panas bumi. Salah satu objek proyek pembangunan
itu adalah Gunung Selamet. Proyek baru ini tentu

tidak lepas dari masalah, terutama masalah
1

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan
Vol. 19 No.1 Juni 2015: 1-10

Dalam tataran praktis, FPIC merupakan
mekanisme
komunikasi
publik
yang
mengedepankan
negosiasi
untuk
mencapai
kesepakatan bersama, sehingga posisi antara subjek
dan objek kebijakan menjadi setara, masyarakat
sebagai objek kebjakan berhak menentukan ya
atau tidak pada sebuah proyek kebijakan di
tanah-tanah mereka maupun lingkungan mereka,

sehingga potensi kerugian dan gejolak masyarakat
bisa direduksi serta diminimalisir.
Masalah tersebut menimbulkan satu rumusan
masalah yaitu bagaimana implementasi Free Prior
Informed Concern oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Banyumas dan PT. Sejahtera Alam
Energy pada proyek eksplorasi panas bumi baturaden
Gunung Selamet Jawa Tengah.
Darirumusan
masalah
tersebut,
maka
ditemukan
beberapa
pertanyaan
penelitiandiantaranyaadalah: (1) Bagaimanakah
pandangan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten

Banyumas dan PT.Sejahtera Alam Energy dalam
menerapkan Free Prior of Informed Consent?
(2)Metode komunikasi apa sajakah yang digunakan
oleh PT.Sejahtera Alam Energy dan Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Banyumas
dalam
mengimplementasikan Free Prior of Informed
Consent?
Penelitian ini ditujukan untuk: (1) Mengetahui
bagaimana pemahaman aktor pelaksana kebijakan
(PT.SAE & Pemda Banyumas) tentang pelaksanaan
FPIC. (2) Untuk mengetahui bagaimana penerimaan
pelaksana kebijakan terhadap pelaksanaan FPIC. (3)
Untuk mengetahui sejauh mana aktivitas FPIC telah
dilaksanakan. (4) Untuk mengetahui aturan-aturan
(regulasi) yang mendukung pelaksanaan FPIC.
Dasar pemikiran penelitian ini adalah
bagaimana relasi negara, pasar dan publik yang

bersifat setara, model- model bentuk relasi ini
digagas oleh Steiner & Steiner (2004), untuk
memetakan bentuk yang setara didalamnya
diperlukan pemetaan stakeholder (Mitchell,
Agle & Wood 1997), FPIC merupakan gagasan
utama dalam penelitian ini, FPIC sebagai standar
komunikasi publik yang digunakan UNREDD++.
FPIC merupakan bentuk komunikasi negosiasi
yang transaksional (Wood2009), untuk lebih
memudahkan penyebaran komunikasi, penetrasi

komunikasi menggunakan
banyak media
(Vardiansyah 2004) diperlukan, hal ini bertujuan
agar, khalayak yang terbagi bedasarkan wilayah
geografis dan berbagai kharakter psikologis, dapat
memperoleh informasi yang dibutuhkan, hal ini
juga bertujuan memetakan bentuk komunikasi pada
stakeholder
berdasarkan kharaktersitiknya,

kesemua ini merupakan bentuk kebijakan
komunikasi
(Abrar
2008),
yang menjadi
pendulum dalam relasi tiga aktor (negara, pasar dan
publik).
Adapun kerangka konsep pemikiran penelitian
ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Konsep Pemikiran
Table 1. Concept of thought
Konsep
Keterangan
(the Concept)
(Description)
Pemahaman
Konsep pemahaman pada
FPIC
FPIC pada penelitian ini
adalah melihat sejauh mana

dan bagaimana kognisi atau
pemahaman Pemda
Banyumas dan PT.SAE pada
konsep FPIC.
Sikap Pada FPIC Konsep ini bertujuan melihat
bagaimana afeksi atau sikap
aktor pelaksana yaitu Pemda
Banyumas dan PT.SAE pada
kebijakan FPIC.
Jejak
Konsep ini akan melihat
Pelaksanaan
aktifitas apa sajakah yang
FPIC
sudah dilaksanakan oleh
PT.SAE dan Pemda Banyumas
dalam melakukan aktivitas
sosialisasi atau publisitas
dengan publik, maupun
menjaring partisipasi dengan

publik.
Koordinasi dan
Konsep ini akan melihat
Sinergitas antar bagaimana sinergitas
organisasi
program antara PT.SAE dan
Pemda Banyumas, serta
melihat mekanisme kontrol
Pemda Banyumas pada
PT.SAE, serta mekanisme
kontrol internal PT.SAE
sendiri,

2

Kebijakan Komunikasi Pada Proyek Eksplorasi…
Alvin Yulityas Sandy

Free Prior of Informed Consent (FPIC) bila
diterjemahkan secara harafiah berarti kebebasan

untuk menjadi terinformasi sebelum pengambilan
keputusan, Colchester mendifinisikannya sebagai
“suatu hak masyarakat adat untuk menentukan
bentuk -bentuk kegiatan apa saja yang mereka
inginkan pada tanah mereka” (Colchester 2006).
FPIC di negara anglosaxon, seperti Kanada
dan Amerika sudah lama dikenal
dan
diaplikasikan dalam sektor pertambangan /
pekerjaan
yang bersentuhan dengan public. Di
Indonesia konsep FPIC ini baru dikenal pada era
tahun 2008 dan dirintis pada tahun 2012 di Sulawesi
Tengah. Masuknya konsep FPIC di Indonesia
bebarengan dengan ditanda tanganinya Kyoto
Protokol, yang melahirkan program kredit karbon
dalam mekanisme “Reducing Emissions from
Deforesatation
and
(forest)

Degradation”
(REDD+) sekaligus juga melahirkan organisasi
yang
mengembannya
dalam tingkatan
multinasional United Nation REDD.
Pelaksanaan FPIC di Kanada berdasarkan
catatan Boreal Leadership Council (2012), seperti
yang dilaksanakan oleh De Beers perusahaan
tambang berlian di Otario utara, melaksanakan
bentuk mekanisme FPIC dari tahun 1999 – 2008,
dengan biaya yang dihabiskan 155.000 Dollar
Kanada, pada tahun 2008 perusahaan baru
beroperasi dan SK dari pemerintah baru turun
di tahun yang sama.
Hal yang berbeda terjadi di perintisan FPIC di
Indonesia di Hutan Dampelas Sulawesi Tengah.
Kesepakatan bersama dalam FPIC hanya
dirumuskan komunikasi intensif selama 3 hari,
secara representasi baik jumlah maupun gender
(Tim Evaluasi Pokja REDD+ Sulteng) pun sangat
minim.
Teori yang melandasi FPIC adalah teori
komunikasi transaksional di mana komunikasi
terjadi secara timbal balik. Negosiasi dan kesetaraan
informasi di dalamnya, untuk memperkuat bentuk
komunikasi
transaksional
maka
diperlukan
keterbukaan informasi dan penyebaran isu yang
lebih masif, penyebaran isu ini menggunakan
konsep komunikasi banyak media, baik media
cetak, elektronik maupun media baru internet.

Tabel 1. Lanjutan
Tabel 1. Continued
Konsep
Keterangan
(the Concept)
Ddescription)
Pemetaan
Konsep ini akan melihat
Sasaran FPIC
bagaimana pemetaan sasaran
FPIC, kelompok masyarakat
mana saja yang dilibatkan
dalam proses FPIC.
Dalam penelitian terdahulu konflik-konflik
pembangunan terjadi karena minimnya ruangruang komunikasi sebelum sebuah proyek
dilaksanakan (Mahrudin, 2010), dapat dilihat
bagaimana penolakan terjadi di PLTU di Cilacap
dan Pekalongan, konflik tambang besi di Urut
Sewu, dan konflik besar tambang emas di Bima,
setelah proyek berjalan bahkan sudah berdiri,
konflik terus terjadi, hal ini disebabkan karena
minimnya pengetahuan masyarakat pada potensi
kerugian. Potensi kerugian ini sejak awal tidak
dikomunikasikan kepada masyarakat, dan juga
tidak adanya mengalami kesepakatan bersama
pada pencegahan kerugian yang partisipatif.
Pada kebijakan
masyarakat umumnya
pemasifan peran, hanya menerima jadi tanah atau
lingkungan yang menjadi objek kebijakan, tanpa
ada mekanisme negosiasi, diskusi dan konsultasi.
Mampetnya
ruang
komunikasi menyebabkan
konflik
laten
yang
terpendam,
bagaikan
memelihara api dalam sekam, yang sewaktu-waktu
siap meledak.
FPIC merupakan mekanisme komunikasi
publik yang mengedepankan negosiasi antara
negara, pasar dan publik, FPIC merupakan standar
komunikasi UNREDD++ (rumusan Center Of
International of Inviromental Law, Kristen Hite,
2010) yang berbasiskan pada; (1) United Nation
Declaration on the Right of Indigenous Peoples,
(2)Universal Declaration of Human Right,
(3)International Convenant on Economics, Social
and Cultural Rights, (4) International Convenant on
Civil and Political Rights, (5) International
Convention on the Elimination of All Forms and
Racial Discrimination, (6)ILO Convention 169,
(7)Convention on the Protection and Promotion of
the Diversity Cultural Expression, dan (8)
Convention of Bilogical Diversity
3

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan
Vol. 19 No.1 Juni 2015: 1-10

Pola relasi negara, pasar dan publik yang ideal
diandaikan dalam konsep FPIC adalah pola relasi
stakeholder model, dimana dalam model ini
adalah kerjasama dari banyak sektor,
serta
mempercayai doktrin etika dalam berbisnis, relasi
negara, bisnis dan masyarakat
merupakan
bentuk
relasi
interpenetrasi coding-coding
(Luhman 2000) yang menggerakan masing- masing
entitas sistem tersebut, bisnis dengan kode
keuntungan, negara dengan kode pembangunan dan
masyarakat dengan kode
kesejahteraan,
ketiganya
saling
berelasidan
mempengaruhi.
Ruang relasi dan mempengaruhi ini diandaikan
dalam ruang komunikasi yang persuasif setara dan
adil, ruang komunikasi seperti itulah yang dibentuk
oleh mekanisme
FPIC,
bukan
bentuk
komunikasi
satu
arah,
maupaun
bentuk
komunikasi yang manipulatif seperti kebijakan
pembangunan di era orde baru, era reformasi saat
ini mengedepankan partisipasi dan kesetaraan
(demokrasi).

optimal, awalnya peneliti akan membuka struktur
organisasinya, serta aktor pelaksana organsasinya,
data akan dicari secara lebih mendalam, bagaimana
referensi pemahaman aktor manajemen PT.SAE dan
Pemda Banyumas, kedua kemudian akan dilihat
bagaimana sikap aktor pelaksana terhadap kebijakan
FPIC, dan terakhir akan dilihat jejak pelaksanaan
FPIC, apa-apa saja yang sudah mereka lakukan, dan
analisis dilakukan untuk melihat sejauh mana
tahapan pelaksanaan FPIC yang sudah dilakukan.
Lokasi penelitian pada penelitian ini terbatas
pada lingkup kerja eksplorasi panas bumi di gunung
Selamet provinsi Jawa Tengah, di lingkup Wilayah
Kerja Panas Bumi Gunung Selamet, Baturaden
Kabupaten Banyumas, PT. Sejahtera Alam Energy
dan Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas
sebagai objek utama penelitian, untuk lingkup
waktu dimulai sejak awal proyek yaitu Juni 2011
hingga penelitian ini dilakukan yaitu Desember
2013.
Penelitian ini menggunakan 3 teknik dalam
pengumpulan data, yaitu menggunakan teknik
observasi, wawancara mendalam dan teknik study
dokumen, untuk lebih jelasnya ketiga teknik
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
Jenis observasinya adalah observasi murni
dengan sifat observer yang terbuka (2009),
menggunakan observasi murni, bukan paritisipan
karena lingkup waktu dalam penelitian ini adalah
yang sudah terjadi (sejak Juni 2011), observasi yang
dilakukan di sini lebih merupakan pengamatan pada
bentuk organisasi dan mekanisme kerja organisasi
(sumberdaya metode), serta kondisi fenomena di
lapangan, sehingga tidak diperlukan partisipasi yang
mendalam. Peneliti akan mengamati fenomenafenomena komunikasi aktual yang mungkin saja
ditemukan. Berikut observasi yang dilakukan :
a. Observasi di kantor Pemda & PT SAE, melihat
bagaimana segi pemahaman, penerimaan dan
pelaksanaan FPIC di dalam aktivitas seharihari mereka.
b. Observasi juga dilakukan pada even-even
sosialisasi dan komunikasi (jika ada moment)
hal ini terkait dengan pelaksanaan FPIC.
c. Observasi pada Website (jika dimiliki)

II. METODOLOGI
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan
normatif empirik yang biasa digunakan dalam
analisis kebijakan. Kebijakan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kebijakan ekplorasi panas bumi
di Gunung Selamet. Melalui pendekatan ini akan
dicari apa yang seharusnya diperbuat dalam
pelaksanaan kebijakan ini (William 2000),
penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan
dalam kebijakan komunikasi non-media.
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode study kasus, lebih spesifik penelitian ini
merupakan studi instrumental pada kasus, dimana
kasus itu bukanlah kunci dari penelitian ini, namun
kasus memainkan peran sebagai peran suportif
untuk memahami sesuatu yang lain (Lincoln &
Denzin 2009), sesuatu yang lain itu adalah Free
Prior of Informatif Concern, melalui kasus
eksplorasi panas bumi di Gunung Selamet ini,
peneliti ingin menunjukan perspektif tentang FPIC
pada kebijakan-kebijakan pembangunan.
Study kasus dalam penelitian ini digunakan
untuk memahami,bagaimana sebuah kebijakan
disini adalah FPIC, dapat dilaksanakan dengan
4

Kebijakan Komunikasi Pada Proyek Eksplorasi…
Alvin Yulityas Sandy

Penelitian
ini
menggunakan
teknik
pengumpulan data dengan wawancara mendalam
(Lincoln & Denzin 2009), wawancara mendalam
berguna untuk mencari kekhasan dari sebuah
jawaban, tidak hanya berhenti pada jawaban
normatif, namun lebih pada kenapa dan bagaimana,
dalam wawancara ini dicari pemahaman aktor pada
aktivitas FPIC, wawancara juga membedah sistem
yang dibentuk dalam implementasi FPIC sebagai
narasumber kunci peneliti akan mengambil 2
narasumber yaitu:
a. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Alam
Kabupaten Banyumas.
b. Pihak perusahaan akan diwakili General
Manager PT. Sejahtera Alam Energy.

aktvitas sosialisasi dan komunikasi yang dilakukan
oleh PT.SAE dan Pemda Banyumas pada
masyarakat, teknik analisis dalam penelitian ini
yaitu data hasil temuan akan dicari kelemahannya
melalui pendekatan teoritis seperti yang digunakan
dalam kerangka pemikiran, yaitu relasi negara,
pasar dan publik, kebijakan komunikasi, Free Prior
of Informed Consent, ruang publik, komunikasi
transaksional, pendekatan berbagai media, serta
stakeholder maping.
Penggunaan teori-teori tersebut dimaksudkan
untuk mengarahkan proses sosialisasi dan
komunikasi pada konsep FPIC secara tepat, agar
nantinya dapat memberikan masukan bagi
pelaksanaan FPIC pada proyek eksplorasi panas
bumi di Baturaden, tujuannya agar tercipta
kepastian informasi bagi publik, sehingga tercipta
situasi yang harmonis dalam rencana kebijakan
eksplorasi panas bumi di Baturaden, Gunung
Selamet, Jawa Tengah.
Untuk mempermudah proses penelitian,
penelitian akan mencoba menjabarkan tiga tahapan
penelitian, tahapan tersebut yaitu:
1. Pra Penelitian: pada tahapan pra penelitian
penelitian mempersiapkan penelitian terkait
dengan perijinan, kebutuhan narasumber,
kebutuhan dokumen, dan juga mempersiapkan
interview
guide
untuk
mempermudah
pengumpulan dokumen,
peneliti mencoba
masuk ke lingkup penelitian
2. Penelitian: pada tahapan penelitian akan dibagi
menjadi dua: Pertama peneliti terjun lokasi
penelitian yaitu di lingkup daerah eksplorasi di
kabupaten Banyumas, di kantor Energy dan
Sumber Daya Mineral kabupaten Banyumas,
serta kantor Sejahtera Alam Energy site
koordinator Gunung Selamet untuk kebutuhan
observasi menangkap event/ fenomena yang
mungkin bisa ditemukan.Kedua peneliti akan
melakukan
wawancara
dengan
pihak
pemerintah daerah Kabupaten Banyumas dan
PT. SAE, wawancara akan dilakukan mengalir
menggunakan snowball sampling karena
kemungkinana narasumber terus berkembang
hingga titik jenuh.
3. Pasca Penelitian: pada tahapan ini peneliti
melakukan reduksi data dan kategorisasi data,

Data tidak hanya berhenti pada hasil dari
wawancara mendalam saja, namun bisa mengalir
melalui berbagai temuan-temuan di dalamnya,
dokumen-dokumen temuan bisa pula ditemukan
sebagai tambahan data sekunder sebagai data
penguat, berikut adalah dokumen kunci yang
dibutuhkan:
a.
Regulasi yang dijadikan acuan dan regulasi
yang dilahirkan Pemda.
b.
Profile organisasi, visi misi organisasi,
peraturan internal organisasi (PT.SAE dan
Pemda Banyumas).
c.
Komunikasi strategis yang diterapkan PT.
SAE dan Pemda Banyumas (panjang dan
pendek).
d.
Catatan proses sosialisasi dan komunikasi
yang sudah dilakukan yang dimiliki oleh
Pemda Banyumas dan PT. SAE.
e.
Dokumen
tentang
strategi
partisipasi
komunitas yang dimiliki oleh Pemda
Banyumas dan PT. SAE.
f.
Dokumen tentang aktivitas CSR dan
Community Development oleh PT. SAE.
Penelitian ini dimulai dengan melihat
bagaimana Pemda Banyumas dan PT.SAE memiliki
pemahaman (kognisi) dan penerimaan (afeksi) pada
konsep Free Prior of Infomred Consent, peneliti
askan berfokus pada keterwakilan aktor pelaksana
sebagai objek penelitian, kemudian peneliti akan
berfokus pada jejak-jejak pelaksanaan FPIC melalui
5

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan
Vol. 19 No.1 Juni 2015: 1-10

dengan
tujuan
mempermudah
untuk
menganalisis data dan untuk mempermudah
penyajian data berdasarkan kategorisasi yang
sudah di bentuk dalam konsep operasional
penelitian.

Pemda Banyumas untuk melakukan intervensi
apda
strategi komunikasi yang dilakukan oleh
PT.SAE.
Pemahaman pada FPIC dari PT.SAE masih
terdapat kekeliruan. Dalam wawancara dan risalah
rapat, FPIC dipahami oleh PT.SAE sebagai
mekanisme sosialisasi dan informasi masyarakat,
belum
sampai
pada
pemahaman
tataran
pengambilan
keputusan
bersama.
Padahal
mekanisme FPIC juga bisa memberikan kepastian
hukum pada pihak perusahaan. Kepastian hukum
ini lahir dari mekanisme kesepakatan bersama,
sehingga kesepakatan ini bisa mendeligitimasi
kelompok kepentingan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.

Landasan Hukum Konsep FPIC

Dari segi legalitas FPIC sebetulnya sudah
diatur dalam Undang–Undang, berdasarkan hasil
penelitian pengaturan FPIC Undang-Unadang
Tersebut adalah;
a. UU Keterbukaan Informasi No. 14 Tahun
2008, di mana wajib di informasikannya
masyarakat
tentang
kebijakan
yang
mempengaruhihajathiduporangbanyak
b. UUPerlindungandanPengelolaanLingkunganH
idupNo.32Tahun 2009, tentang pelibatan dan
paritispasi
masyarakat
pada
pembuatanAMDAL / UKL-UPL, kewajiban
menyediakan sistem informasi publik
danruangperansertamasyarakat(berhak
menentukankeberatan
dsb.), serta di
berikan
ruang
penyelesaian
sengketalingkungan tanpa dipidanakan.
c. UU Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah
No.
27
Tahun
2007,
tentangpelibatandanpartisipasimasyarakatyang
diturunkandalamPP
no69Tahun2010yangmenjelaskantentangmeka
nismekeberatan.
Berdasarkan peraturan perundangan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa mekanisme nilai FPIC
sudah termaktub dalam UU tersebut, seperti
penyediaan ruang komunikasi dan informasi,
lalu di dalamnya
juga
diatur mekanisme
partisipasi, serta keberatan masyarakat, yang
artinya ada ruang-ruang negosiasi di dalamnya.
B.

C. Keterbukaan Sikap Pada FPIC
Baik PT.SAE maupun Pemda Banyumas,
memiliki
keterbukaan
sikap pada FPIC,
berdasarkan analisis data, terbentuk sebuah relasi
stakeholder model, baik PT.SAE dan Pemda
Banyumas memiliki keinginan untuk mencapai
sebuahs ituasi pembangunan yang harmonis dan
terbentuk situasi win-win solution, sayangnya
keterbukaan ini tidak dibarengi dengan pemahaman
yang utuh pada FPIC, sehingga melahirkan strategi
komunikasi yang kurang tepat.
Keterbukaan sikap ditunjukan oleh Pemda
Banyumas dengan menunjuk Sigit Widadi sebagai
penanggung jawab proyek yang membangun
komunikasi dengan masyarakat, sementara PT.SAE
memang belum membentuk divisi khusus yang
bertanggung jawab pada
komunikasi
publik.
Divisi ini masih dalam rencana pembentukan.
D. Jejak Pelaksanaan FPIC
Baik PT.SAE dan Pemda Banyumas sudah
melaksanakan beberapa komunikasi public. Dalam
penelitian ditemukan bahwa bentuk komunikasi
yang dilakukan masih pada tahapan awal FPIC,
yaitu tahapan sosialisasi awal atau publikasi isu,
belum sampai pada tahap diskusi dan
pengambilan
keputusan bersama, kelemahan
bentuk komunikasi yang dilakukan yaitu minimnya
ruang diskusi, dan minimnya publikasi sehingga
representasi masih sangat
lemah. Beberapa

Kekeliruan Hukum Konsep FPIC

Pemahaman tentang FPIC oleh Pemda
Banyumas dinilai sudah tepat definitif,
namun
pemahaman ini tidak dibarengi dengan pemahaman
akan partisipasi yang diwajibkan dalam UU PPLH
dan UU RTRW. Hal ini terlihat dari keraguan
6

Kebijakan Komunikasi Pada Proyek Eksplorasi…
Alvin Yulityas Sandy

analisis jejak pelaksanaan FPIC yang ditemukan
dalam penelitian adalah;

F.

Pemetaan Skateholder

Baik
PT.SAE
maupun
Pemda
Banyumas, belum melakukan pemetaan
stakeholder
secara
serius,
PT.SAE
memetakan stakeholder secara terbuka, setiap
orang berhak datang pada acara sosialisasi,
dan Pemda Banyumas, cenderung terjebak
pada tingkatan elit stakeholder, sebetulnya
pemetaan stakeholder dalam FPIC, bertujuan
untuk menentukan bentuk komunikasi yang
akan diterapkan,
Masing-masing
stakeholder
claim,
memiliki kharakteristiknya sendiri, sehingga
bentuk dan perlakuan komunikasinya berbeda,
sehingga komunikasi publik bisa lebih strategis
dan efisien.

1.

Strategi Komunikasi Langsung:
a. Komunikasi kelompok – minim representasi
(terjebak pada elit).
b. Strategi Humas – aktor kurang paham pada
peran Humas.
c. Kerjsama Pusat Informasi -kurang maksimal.
2. Komunikasi Menggunakan Media:
a. Pembagian Angket - perlu respon balik agar
terbentuk pola komunikasi transaksional.
b. Memaksimalkan RRI – kurang publikasi
sehingga minim audience.
c. Membangun Jaringan Dengan Wartawan –
belum terbentuk jaringan dengan wartawan.
3. Komunikasi Menggunakan Media Baru
a. Homesite PT.SAE – kurang informatif &
komunikatif.
b. Situs Sistem Informasi Publik – kurang
informatif & komunikatif.
c. Facebook PT.SAE – kurang pengelolaan &
komunikatif
d. Site dan Blog Pemda banyumas – repetisi
yang minim.

G.

Dinamika Masyarakat

Dinamika masyarakat peneliti bagi menjadi
tiga bagian, yang pertama masyarakat pesisir hutan
yang terdampak langsung, kedua aktivis kampus dan
lingkungan, ketiga yaitu masyarakat perkotaan yang
memiliki kekhawatiran, berdasarkan penelitian
ditemukan respon yang berbeda-bedadari ketiga
kelompok masyarakat tersebut, berikut hasil
temuannya;

Strategi tersebut masih belum bisa dibilang
masuk pada tahapan konsultasi dan negosiasi,
didalamnya sebaian besar hanya terjadi proses
komunikasi satu arah dan linear, hal ini
diperlukan upgrading strategi, serta aktor
pelaksana komunikasi publik, agar bisa terbentuk
sebuah komunkasi yang transaksional.

1. Kebingunan masyarakat Pesisir Hutan
Masyarakat pesisir hutan kebanyakan merasa
bingung karena merasa belum diberikan sosialisasi, dan mereka malah dengan antusias meminta sosialisasi, mereka memiliki kekhawatiran
pada proyek ini, dan ini bila dibiarkan dapat
menjadi masalah, karena adanya banjir informasi
dan ketidakpastian informasi bisa menghasilkan
per-sepsi yang negatif, hal ini terjadi menurut
peneliti,karena sosialisasi terjebak pada lingkaran
elit yaitu pemerintah desa dan beberapa elit
organisasi masyarakat yang justru tidak menyampaikan informasi pada masyarakat grassroot, dan
atau informasi justru dimodifikasi untuk kepentingan elit, masyrakat merasa bingung, walaupun
sikap mereka cenderung pasrah pada proyek
pembangunan ini, namun ini bisa menjadi api
dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa meledak.

E. Sinergitas Pemda Banyumas & PT.SAE
Sinergitas anatara Pemda Banyumas dan
PT.SAE, dari sisi tujuan mereka memiliki tujuan
yang sama, dan tentu hal ini menimbulkan sinergitas
yang baik antara Pemda Banyumas dan PT.SAE.
Sinergitas ini ditunjukan dari kegiatan program,
PT.SAE dan Pemda Banyumas saing melengkapi,
sinergitras ini seharusnya bisa didorong hingga
pada tataran merumuskan bersama bentuk dan
strategi komunikasi agar kedepan setiap aktivitas
bisa lebih efisien dengan tujuan yang lebih terukur.

7

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan
Vol. 19 No.1 Juni 2015: 1-10

2. Penolakan Aktivis Kampus dan Lingkungan

ormasiagar tercipta situasi yang harmonis.
Berdasarkan da t a jejakpelaksanaanFPIC,
pada
proyek
inimasihpadatahapan
praFPIC,atausosialisasiisu,haliniberartiperlupuladi
pahamioleh segalapihak (berbasiskan regulasi
FPIC)bahwaproyekinimasihbelumtentu bisa di
laksanakandanmasihbisadirenegosiasiulang,berdasa
rkanhasilFPICnantinya.
Sebagai negara dengan potensiSDA yang
melimpah,
tentu
sangat
disayangkanjikasetiapproyekpengelolaanSDAselal
uberpotensikan konflik, baik dengan masyarakat
adat
maupun
masyarakat
lokal,
konflik
mengakibatkan dirugikannya
kedua
belah pihak, baik
masyarakat,maupunperusahaanyangharusmengelua
rkanbiayalebih,untuk mengatasi masalah ini
diperlukan
kepastian
hukum
yangmengikat,baikpadaperusahaanmaupun
padamsayarakat.
Kepastian hukum bisa dilahirkan melalui
mekanisme FPIC sepertiyang dilaksanakan di
Kanada, melalui mekanisme FPIC, potensi
konflikdangangguandaripihakketigabisadieleminir,k
arenasudahada mekanisme negosiasi dan konsultasi
dengan masyarakat lokal, serta
adanya
kesepakatan bersama, kelompok stakeholder
lainnnya, dilibatkansesuaiporsinyamasing-masing.
BasisregulasidariFPICdalamUndangUndangRepublikIndonesia,
sudahada,
namunperlulagidiperkuatlagidalamtataranperaturan
menteri, maupaun pemerintah dalam tataran yang
lebih
teknis,sehinggatidakadakesalahantafsirdaripelaksana
kebijakan

Penolakanaktiviskampusinididasariolehasumsi
kerusakanalamdan ketidakpercayaan pada institusi
swastaseabagailembagapengelola sumber daya
alam, kelompok aktivis seperti ini bisa di fasilitasi
sebagai second opinion dalam diskusi kelompok
dipesisir hutan,serta pemberian informasi pada
kelompok ini bisa menggunakan mediakomunikasi
internet maupun massa, agar kelompok ini juga
bisa terinformasi dengan jelas, sehingga tidak ada
missinformasiyang dapat berpotensi konflik,
kelompok ini masuk dalam kategori power
stakeholder.
3. Dukungan Dengan Syarat Dari Masyarakat
Umum
Masyarakat umum memiliki pandangan positif
pada proyek Gheotermal, tetap kekhawatiran akan
kemungkinan akibat negatif dari proyek panas bumi
ini, dirasakan oleh masyarakat akibat masih merasa
minim sosialisasi dan informasi, dan sebagian
belum pernah mendengar proyek ini, situasi ini
perlu disikapi oleh PT. SAE dan Pemda Banyumas,
dengan
mensosialisasi
masyarakat
agar
kekhawatiran tidak berkembang dan bisa
berimplikasi pada hal negatif, kelompok ini
merupakan kelompok legitimate stakeholder.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
DarisisiKognisiataupemahamanpadaFPIC,baik
PT.SAE maupun Pemda Banyumas, masih belum
memahami secara utuh mekanisme FPIC dan
keuntungan dijalankannya mekanisme FPIC, hal
ini diperlukan upgrading pemahaman dari aktor,
padahal dari sisi regulasi nilai FPIC sudah diatur
didalam UUKIP,UUPPLH,danUURTRW.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih sebesar-besarnya pada pihak
PT.SAE yang telah cooperatif membuka informasi
seluas-luasnya dan juga telah memberikan bantuan
materil & imateril, ucapan terimakasih terutama di
ucapkan pada bapak Petto Rashido sebagai General
Manager PT.SAE, dan juga pak Fahmi dari PT.SAE
yang telah menyediakan banyak waktunya untuk
proses peneltiian.
Terlampir pula ucapan teriamakasih pada pihak
Pemda Banyumas dan masyarakt Banyumas yang

B. Saran
Diperlukan
perumusan
ulang
strategi
komunikasi kebijakan yangberbasiskan pada FPIC,
perumusan ulang juga dibarengi dengan pemetaan
stakeholder
yang dibagi
berdasarkan
3
jenisklaim
takeholder,ketigajenisstakeholderinitetapperludiinf
8

Kebijakan Komunikasi Pada Proyek Eksplorasi…
Alvin Yulityas Sandy

baik seara langsung maupun tidak langsung terlibat
dalam proses pembuatan penelitian ini.

Hardiman, F. B., 2010. Menuju Masyarakat
Komunikatif .Yogyakarta: Kanisius.

DAFTAR PUSTAKA

Steiner, J. F., dan Steiner, G. A., 2004. Business,
Government and Society. NewYork: McGraw
Hill.

Abrar ,N. A. ,2008. Kebijakan Komunikasi,
Konsep, Hakikat dan Praktek. Yogyakarta:
Gavamedia.

Wood, J. T., 2009. Communication in Our Lives,
Sixth Edition. Boston:Wadswoth Publishing.

Ainsworth, Smith, dan Millership, 2007. Managing
Performance,
Managing
People:
Understanding
And
Improving
Team
Performance. London: B. Jain Publishers Pvt.
Ltd.

Khakim, A., 2009. Dasar-Dasar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Lane, M., 2007. Bangsa Yang Belum Selesai,
Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto
.Jakarta: Reform Institute.

Boreal Leader Council, 2012. Free Prior of
Infomed Consent In Canada. Otawwa Ontario:
BLC.

Lincoln, Y. S., & Denzin, N. K., 2009. Handbook of
Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Colchester, M., 2006. Keputusan Dini Tanpa
Paksaan Berdasarkan Informasi Lengkap
Sejak Awal “SebuahPanduanBagiAktivis”.
Jakarta: Pengurus Besar AMAN.

Niklas. L, 2000. The Reality If The Mass Media.
Cambridge: Polity Press.

Colchester, 2010. Free Prior and Informed
Consent: Making FPIC Work For Forest and
Peoples. The Forests Dialogue Commite 2010.

Mahrudin.2010. Konflik Kebijakan Pertambangan
Antara Pemerintah dan Masyarakat Di
Kabupaten Bunton. Kendari: STAIN Sultan
Qaimudin.

Dixon, Friedich, dan O’Hair., 2009. Strategic
Communication in Business and the
Professions. Boston: Allyn & Bacon.

Mckee, A., 2005. The Public Sphere: An
Introduction.
Cambridge:
Cambridge
University Press.

Enviro N. A., 2011. Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup –Upaya Pemantauan
Lingkungan Lidup Wilayah Kerja Panas Bumi
Gunung Selamet. Jakarta.

Nurudin, 2005. Sistem Komunikasi Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Flew,T., 2005. New Media An Introduction.
Melbourne: Oxford University Press.

Prajarto, N., 2004. Komunikasi, Negara dan
Masyarakat. Jogjakarta: Fisipol UGM.

Foss & Little John., 2009. Theories of Human
Communication. Jakarta: Salemba Humanika.
Freeman, R. E., 1984. Strategic Management: A
Stakeholder Approach. Boston: Pitman.

Putro, H. R., Kleden, E. O., dan Suharjito, D.,
2012. Laporan Hasil Evaluasi “Proses
Ujicoba Penerapan Prinsip FPIC Di Desa
Lembah Mukti Sulawesi Tengah”. Donggala:
Tim Evaluator.

Habermas, J., 2007. Ruang Publik “Sebuah Kajian
Tentang Kategori Masyarakat Borjuis”.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Nurudin, J., Toheke, M. dkk., 2011. Panduan
Pelaksanaan Free Prior of Informed Consent
Dalam Program UNREDD Di Sulawesi
9

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan
Vol. 19 No.1 Juni 2015: 1-10

Tengah Tim Penyusun Pokja IV
Robbins, dan Judge., 2007. Perilaku Organisasi,
Jilid 2. Jakarta: Salemba Empat
United Nation Departement of Economic and
Social Affairs., 2005.“Indigenous Peoples as
Main Actors in the Decision Making Process.
Sutarto.,
1998.
Dasar-dasar
Organisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
William, D., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan
Publik,
edisi
kedua. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Winardi, Sirajuddin, Sukriono D., 2011. Hukum
Pelayanan Publik Berbasis Keterbukaan
Informasi dan Partisipasi. Malang: Setara
Press.
Wood, Agle, Mitchell., 1997. Toward A Theory Of
Stakeholder Identification And Salience:
Defininf The Principle Of Who And What
Really Counts. Academy Of Management
Review, Vol 22, No. 4, 853-886
Vardiansyah, D., 2004. Ilmu Komunikasi
”Pendekatan Taksonomi Konseptual”. Bogor:
Ghalia Indonesia.

10