Lhoknga 1945-1949: Modal Perjuangan Dari Ujung Barat Sumatera

BAB I
Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang

Lhoknga merupakan wilayah di Aceh yang berada paling barat dari pulau
Sumatera, memiliki gugusan pantai yang indah. Membuat Lhoknga menjadi salah
satu daerah pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi tetap dengan pantai
Lampuuk sebagai destinasi utama jika orang-orang hendak berkunjung ke Lhoknga.
Terletak tepat di ujung dari pulau Sumatera membuat daerah Lhoknga ini berhadapan
langsung dengan samudera Hindia dan jauh sebelum terkenal nya pantai di Lhoknga.
Pada masa pendudukan Jepang, Lhoknga di lirik sebagai tempat yang tepat untuk
dibangunnya pangkalan perang disebabkan letak yang sangat strategis dan
transportasi untuk ke wilayah ini yang mudah, serta menghalau pihak sekutu jika
mereka menyerang.
Pada saat perang dunia ke II Jepang yang datang ke wilayah Asia Tenggara
termasuk Indonesia, terkhusus untuk wilayah Indonesia, maka kota yang pertama kali
tempat Jepang mendarat ialah Tarakan, wilayah kota lainnya yang belum dimasuki
Jepang seperti Aceh, di kota Banda Aceh lebih dahulu Belanda berada di wilayah
tersebut sehingga kehadiran Jepang disambut baik oleh rakyat Aceh. Hal ini

disebabkan jepang memakai siasat propaganda mereka untuk menarik simpati dari
golongan uleebalang1, ulama, dan masyarakat Aceh. Namun janji Jepang dalam
propagandanya untuk mengusir Belanda dari Aceh lebih banyak menarik simpati dari
golongan ulama daripada golongan uleebalang, golongan ulama yang paling
bersentuhan keras dengan Belanda pada masa pendaratan Belanda pertama ke Aceh.
Golongan ulama merupakan salah satu golongan yang paling menyambut
kedatangan Jepang, dikarenakan golongan ini yang paling membenci dan anti
terhadap Belanda2. Melalui organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), maka
1

Uleebalang merupakan suatu kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah Aceh,
kelompok ini pada masa kerajaan kesultanan Aceh berada dibawah perintah sultan langsung untuk
mengatur tatanan adat penduduk di desa yang ditempati oleh uleebalang. Kedudukannya setara dengan
para ulama yang berada di Aceh, sultan, uleebalang, dan ulama, memiliki kedudukan yang sama dalam
mengatur seluruh penduduk Aceh. Walaupun kedudukan pemerintahan tertinggi dipegang oleh sultan
tetapi pada kelas penduduk di bawah, mereka lebih dekat dengan uleebalang dan ulama.
2

A .J . Piekaar, Aceh dan Peperangan dengan Jepang Bab 1(terjemahan), dari Abu Bakar,
1977, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, hal. 51.


Universitas Sumatera Utara

sebelum pendaratan Jepang ke Aceh pihak PUSA dan uleebalang menghubungi
Jepang yang berada di Malaya, antara bulan Januari dan Februari. Utusan dari PUSA
ialah Teungku Syekh Abdul Hamid sedangkan dari golongan uleebalang ialah Teuku
Muda dari Lhoksukon dan Teuku Ali Basyah dari Panton Labu3. Mereka datang
menuju perwakilan Jepang untuk meminta bantuan agar mengusir keberadaan
Belanda dari tanah Aceh.
Jepang memulai ekspansinya ke daerah Aceh pada tanggal 12 Maret 1942 di
tiga tempat yang berbeda yaitu Krueng Raba, Sabang, dan Peureulak. Pendaratan
pertama mereka lakukan ke wilayah Aceh Besar atau Krueng Raba, dan pihak tentara
Jepang turun di sekitar wilayah Uleelhee. Ketika mendarat di Aceh mereka disambut
baik oleh rakyat Aceh4. Penduduk yang telah mendengar kabar Jepang akan
membebaskan mereka dari penjajahan Belanda ramai-ramai menyambut kedatangan
Jepang yang disebut sebagai saudara tua.
Kekuatan yang dimiliki Jepang dan rakyat Aceh, membuat mereka dengan
mudahnya berhasil mengusir Belanda dari wilayah Aceh5. Rakyat Aceh memberikan
kepercayaannya kepada Jepang, dan dimanfaatkan jepang untuk menyusun kekuatan
mereka dengan merekrut pemuda-pemuda di Aceh untuk menjadi anggota militer

Jepang, seperti tokubetsu keisatsutai (polisi khusus), gyu gun (tentara sukarela), heiho
(serdadu pembantu).6 Mereka semua merupakan pemuda pribumi yang dilatih Jepang
secara serius agar nantinya matang apabila diperlukan sebagai tenaga bantuan untuk
melawan sekutu.
Tujuan Jepang ialah untuk kepentingannya dalam melawan sekutu, akan tetapi
berkat pelatihan militer Jepang lah orang-orang pribumi terutama di Aceh mulai dapat
belajar bagaimana cara berorganisasi secara militer yang tidak didapatkan pada masa
Belanda. Berbekal ilmu militer dari Jepang inilah nantinya ada beberapa orang
pribumi yang akan memimpin peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan di
Aceh dan wilayah-wilayah lainnya.

3

Nazaruddin Sjamsuddin, Revolusi Di Serambi Mekah, 1999, Jakarta: UI-press, hal. 42.

4

T. Ibrahim Alfian, dkk., Revolusi Kemerdekaan Indonesia Di Aceh (1945-1949), 1982,
Aceh: Museum Negeri Aceh, hal. 9.
5


Politik dua muka adalah politik yang dijalankan Jepang untuk memperdaya hulubalang dan
Ulama lihat di A. Hasjmy, 50 tahun aceh membangun, 1995, Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia
Daerah Istimewa Aceh, hal. 93.
6

T. Ibrahim Alfian, dkk., op.cit., hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

Pada saat Jepang berkuasa di Aceh, Jepang memperkuat pertahanan
militernya dengan membangun pangkalan angkatan perang di seluruh daerah Aceh
terutama di tepi pantai. Dari keseluruhan pangkalan angkatan perang tersebut ada
yang dibangun secara lengkap dan ada yang tidak lengkap. Kelengkapannya dapat
dilihat dari keberagaman fasilitas yang berada di wilayah tersebut, ada yang hanya
memiliki bunker, pos penjagaan, juga gudang senjata beserta amunisinya, dan ada
juga wilayah yang memiliki lapangan terbang, pabrik senjata, bahan peledak, pos
penjagaan dan gudang penyimpanan logistik.
Tidak banyak tempat atau wilayah memiliki pangkalan angkatan perang yang
dibangun oleh Jepang dengan sangat lengkap. Dalam membangun pangkalan

angkatan perangnya Jepang telah membentuk suatu perkumpulan pekerja-pekerja
untuk umum (Aceh Syu),7 perkumpulan pekerja inilah yang bertugas untuk
membangun pangkalan angkatan perang di wilayah Aceh. Dalam urusan pertanahan
Jepang menggunakan peraturan undang-undang yaitu Aceh Syu Rei8 (undang-undang
Aceh) yang mengatur wilayah-wilayah yang akan digunakan Jepang selama mereka
berada di Aceh.
Jepang banyak membangun pangkalan angkatan perang mereka di wilayah Aceh akan
tetapi pangkalan angkatan perang yang berada di Lhoknga merupakan salah satu yang
terkuat di wilayah Aceh bahkan pangkalan angkatan perang Jepang ini yang terkuat
di belahan barat Indonesia.9 Kekalahan Jepang dengan sekutu pada 14 agustus 1945
menghentikan kekuasaan Jepang di wilayah Aceh, Jepang hanya menunggu untuk
menyerahkan wilayah Aceh kepada Sekutu. Tentara rekrutan Jepang di Aceh
semuanya dirumahkan. Desas-desus kedatangan sekutu yang di dalamnya telah
disusupi Belanda, membuat rakyat Aceh khawatir.
Mereka tidak ingin dijajah Belanda lagi maka dari itu banyak dari rakyat Aceh mulai
menyusun kekuatan untuk melawan Belanda. Pada saat itu mata rakyat Aceh tertuju
kepada Jepang, dimana mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi
Belanda yang ingin kembali menjajah. Rakyat Aceh mulai merebut pangkalan
angkatan perang Jepang, salah satu pangkalan angkatan perang yang jatuh ke tangan
7


T. Ibrahim Alfian, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1978,Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 154.
8

Rusdi Sufi, dkk. Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1985,Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 29.
9

T.A. Talsya, Batu Karang Di Tengah Lautan (Perjuangan Kemerdekaan Di Aceh) 19451946, 1990, Medan: prakarsa abadi press, hal. 152.

Universitas Sumatera Utara

pejuang ialah pangkalan angkatan perang di Lhoknga. Pada tanggal 1 Desember
1945 fasilitas pangkalan perang itu jatuh ke tangan Republik. Perebutan tempat itu
dilakukan oleh pejuang Aceh yang terdiri dari massa rakyat dari sekitar wilayah
Lhoknga, yang dipimpin oleh Abdullah Masri, Pawang Leman, dan Nyak Neh. 10
Pejuang Aceh menjadikan pangkalan angkatan perang di Lhoknga sebagai modal11
dalam menghadapi Belanda jika mereka ingin memasuki Aceh dan wilayah
sekitarnya.

Selain itu, peranan dan fungsi pangkalan perang ini dalam mempertahankan
kemerdekaan selama agresi Belanda. Merupakan alasan penulis untuk menuliskan
pangkalan perang yang berada di Lhoknga. Maka dari itu penulis memilih judul
penelitian skripsi ini adalah “ Lhoknga: Modal Perjuangan Dari Ujung Barat
Sumatera 1945-1949”. Penulis akan menuliskan bagaimana situasi dan kondisi
wilayah Lhoknga pada masa awal Kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 hingga
1949. Batasan awal penelitian ini dimulai pada tahun 1945 karena periode itu sebagai
periode kemerdekaan Indonesia. Batasan akhir penulis memilih angka tahun 1949
karena pada masa ini berakhirnya perjuangan dengan senjata di Lhoknga.
1.2.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan bagian yang memuat lebih jelas tentang masalah yang
telah ditetapkan dalam latar belakang masalah. Dengan kata lain, masalah itu
diidentifikasi dengan rumusan masalah yang secara eksplisit dalam urutan sesuai
dengan intensitas terhadap topik penelitian.12 Dalam sebuah penulisan penulis harus
dapat menetapkan masalah yang akan di telitinya, hal ini bertujuan agar penulisan dan
penelitian yang akan dilakukan dapat tercapai dengan optimal.
Melihat dari latar belakang masalah maka penulis menentukan beberapa rumusan

masalah yang digunakan sebagai batasan dalam penulisan, batasan dalam penulisan
harus digunakan agar tulisan yang dibuat diharapkan tidak keluar dari jalur yang
semestinya. Beberapa rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:

10

Tgk. A.k. Jakobi, Aceh Daerah Modal Long March ke Medan Area, Jakarta: P.T. Yudha
Gama Corporation, 1992, hal. 317.
11

Modal dalam kamus besar bahasa indonesia ialah (ki) barang yang digunakan sebagai dasar
atau bekal untuk bekerja (berjuang dan sebagainya).
12

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999,

hal. 50.

Universitas Sumatera Utara


1. Apa yang melatarbelakangi pembangunan pangkalan perang Jepang di
Lhoknga ?
Dalam rumusan masalah ini, poin-poin yang akan dibahas adalah
 Mengenai letak geografis Lhoknga yang strategis. Juga kehadiran
Jepang di Aceh dan pembangunan pangkalan perang Jepang di
Lhoknga.
2. Bagaimana proses pengambilalihan pangkalan perang Jepang di Lhoknga
oleh rakyat Aceh.
Dalam rumusan masalah ini, poin-poin yang akan dibahas adalah;
 Mengenai pengambilalihan pangkalan angkatan perang Jepang
yang dilakukan oleh beberapa laskar rakyat sampai dapat dikuasai
sepenuhnya oleh rakyat Aceh. Dan bagaimana mengaktifkan
kembali pangkalan perang di bawah divisi Rencong Kesatria
Pesindo.
3. Bagaimana

peran

dari


basis

pertahanan

di

Lhoknga

dalam

mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam rumusan masalah ini, poin-poin yang akan dibahas adalah;
 Mengenai peran pangkalan perang yang berada di Lhoknga sebagai
modal dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer
Belanda pertama dan kedua. Juga mengenai peralatan perang yang
dibuat/dirakit pabrik senjata di Lhoknga yang didistribusikan untuk
membantu wilayah lain.


Universitas Sumatera Utara


1.3.

Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan berarti sebagai tindak lanjut terhadap masalah yang di identifikasi,
sehingga apa yang dituju hendaklah sesuai dengan urutan masalah yang telah
dirumuskan. Adapun manfaat di sini lebih ditegaskan pada penelitian itu bagi
pengembangan suatu ilmu dan bagi kegunaan praktis. 13 Maka dari itu tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Mengetahui apa yang melatarbelakangi pembangunan pangkalan angkatan
perang Jepang di Lhoknga, seperti dari kondisi wilayah Aceh ketika
dimasuki Jepang. Serta mengetahui bagaimana proses pembangunan
pangkalan angkatan perang tersebut dilakukan oleh Jepang.
2. Menjelaskan proses peralihan pangkalan angkatan perang Jepang ke tangan
rakyat Aceh. Serta kendala dan situasi yang dihadapi laskar rakyat dalam
merebut pangkalan angkatan perang tersebut.
3. Menjelaskan peran dari basis pertahanan Jepang di Lhoknga dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Aceh, juga peranan
basis pertahanan ini sebagai modal dalam mempertahankan kemerdekaan.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah informasi mengenai peranan
basis pertahanan yang digunakan pejuang Aceh untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
2. Diharapkan agar penelitian dan penulisan skripsi ini dapat menambah
literatur sejarah perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan di Aceh.

13

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

3. Diharapkan dengan ditulisnya bagaimana sebuah wilayah seperti Lhoknga
yang dahulunya merupakan pangkalan angkatan perang Jepang kemudian
direbut dan dijalankan oleh Laskar Rakyat dengan tujuan untuk menjaga
kemerdekaan Indonesia tidak hanya diceritakan dari mulut ke mulut (Oral
History) tetapi ditulis agar menambah kekayaan dari sejarah bangsa ini.

1.4.

Tinjauan Pustaka

Peranan basis pertahanan perang di Lhoknga dalam menangkal pergerakan
pihak NICA yang membonceng sekutu hanya disinggung dalam beberapa buku saja,
dan belum ada buku yang secara khusus membahas basis pertahanan perang ini dari
awal proses pembangunannya dari pihak Jepang sebagai pangkalan angkatan perang
mereka dalam menghadapi sekutu sampai pangkalan angkatan perang ini direbut
laskar rakyat dan rakyat Aceh, kemudian dirubah menjadi basis pertahanan perang
untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai
acuan dalam memperkuat fakta. Buku-buku yang penulis gunakan ialah buku yang
menyinggung tentang basis pertahanan yang berada di Lhoknga ini baik pada saat
pihak Jepang mulai membangunnya sebagai pangkalan angkatan perang mereka
sampai direbut oleh rakyat, buku-buku tersebut ialah:
Ali Hasjmy di dalam buku 50 Aceh Membangun (1995) menceritakan
bagaimana Jepang tidak hanya menggunakan propaganda Tiga A dalam menarik
simpati masyarakat tetapi Jepang juga menjalankan politik bermuka dua.
Penggunaannya dijalankan untuk mengumpulkan hasil padi rakyat tanpa memaksa
rakyat itu sendiri. Sebab rakyat yang percaya dengan uleebalang mengumpulkan
panen padi mereka dengan sukarela, sedangkan uleebalang merupakan suruhan
Jepang. Termasuk ulama juga digunakan Jepang untuk berdakwah kepada rakyat
Aceh bahwa setiap pembangunan pangkalan angkatan perang Jepang dan penyerahan
padi, akan digunakan untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.
Buku Tgk. A.K. Jakobi Aceh Daerah Modal Long March Ke Medan Area
(1992) digunakan sebab di dalamnya menjelaskan bagaimana bantuan dari Aceh terus

Universitas Sumatera Utara

mengalir ke Medan. Hal ini menggambarkan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan sudah bukan dilakukan secara kedaerahan, dan juga telah timbulnya
rasa nasionalisme untuk menjaga keutuhan dari kemerdekaan itu sendiri. Di dalam
buku ini menyinggung basis pertahanan perang yang berada di Lhoknga tersebut
sebagai salah satu gudang amunisi dan pabrik senjata yang menyuplai persenjataan
sampai ke pertempuran Medan Area.
Buku T.A. Talsya Batu Karang Di Tengah Lautan (1990) digunakan karena
menjelaskan urutan peristiwa penyerangan pihak Belanda ke daerah Aceh pada
umumnya dan Kecamatan Lhoknga khususnya. Penyerangan itu dapat dipatahkan
melalui perlawanan yang dilakukan dari basis pertahanan yang berada di Kecamatan
Lhoknga ini. Buku ini tidak secara khusus membahas basis pertahanan perang di
Kecamatan Lhoknga tersebut, hanya berupa gambaran umum saja, tentang bagaimana
basis pertahanan yang berada di Lhoknga ini menahan aksi dropping pihak NICA.
Buku T.A. Talsya Modal Perjuangan Kemerdekaan (1990) digunakan sebab
menjelaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan tersebut memerlukan sebuah
modal yang cukup besar. Di dalam buku ini juga menjelaskan secara umum
bagaimana para pejuang menggunakan fasilitas tersebut yang telah dirampas atau
diambil dari tangan Jepang, serta perubahan dari pangkalan angkatan perang yang
digunakan Jepang untuk berperang dengan sekutu setelah diambil alih oleh rakyat
Aceh kemudian dirubah menjadi basis pertahanan untuk mempertahankan wilayah
Aceh. Buku ini tidak secara khusus menjelaskan wilayah Lhoknga, bagaimana
peranan penduduk Lhoknga dalam menghadapi pihak NICA yang dengan pesawatnya
terbang di atas langit Lhoknga.
T. Ibrahim Alfian dkk. dalam buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh (1978) membahas proses kedatangan Jepang ke Aceh. Jepang tidak
langsung datang ke Aceh, tetapi mereka juga menyebarkan propaganda Tiga A untuk
menarik simpati masyarakat Aceh secara keseluruhan. Rakyat Aceh yang lelah
dengan Belanda berkumpul dan melawan bersama Jepang untuk mengusir Belanda
dari Aceh. Jepang dalam merangkul kekuatan pribumi di Aceh menggalang kekuatan
dari pihak PUSA dan uleebalang. Teknik Jepang ini berhasil untuk beberapa
golongan saja, tidak secara penuh Jepang berhasil menarik simpati.
1.5.

Metode Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Secara definisi metode sejarah ialah proses menguji dan memeriksa secara
kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.14 Metode juga sebuah cara prosedural
untuk membuat dan mengerjakan sesuatu dalam sebuah sistem yang teratur dan
terencana.15 Berdasarkan hal tersebut penulisan sejarah sangat bertumpu pada empat
kegiatan yaitu heuristic, kritik, interpretasi, dan historiografi dan menjadi langkah
operasional dalam penulisan sejarah.16
Heuristik dalam bahasa Yunani heuristiken yang berarti menemukan atau
mengumpulkan sumber, yaitu sumber sejarah yang tersebar berupa catatan,
kesaksian, dan fakta-fakta lain yang dapat memberikan penggambaran tentang sebuah
peristiwa menyangkut kehidupan manusia.17 Heuristik merupakan langkah pertama
yang telah penulis gunakan dalam penulisan ini. Untuk mendapatkan bahan atau
sumber tertulis, penulis telah melakukan studi pusaka.
Untuk memperoleh sumber melalui studi pustaka penulis berkunjung ke
perpustakaan Ali Hasjmy, perpustakaan daerah Aceh, Pusat Dokumentasi Dan
Informasi Aceh (PDIA). Di samping itu peneliti juga melakukan studi arsip pada
lembaga kearsipan yang ada di Provinsi Aceh. Dan memperoleh arsip tentang tempat
bersejarah di wilayah Lhoknga Leupung. sementara study lapangan dilakukan
melalui teknik wawancara terhadap kedua narasumber yaitu; Harun Asyek dan
Ibrahim Banta .
Kritik merupakan teknik berikutnya yang akan penulis gunakan. Sumber yang
telah didapatkan akan dikritik secara internal dan eksternal untuk mendapatkan
sumber yang objektif. Kritik internal ialah kritik yang akan menguji kebenaran dari
suatu sumber dan kritik eksternal ialah kritik eksternal penulis akan memilih sumbersumber mana yang akan dijadikan sumber tulisan.
Interpretasi yaitu tahap dimana penulis akan menuangkan semua ide yang
telah di dapatkan melalui sumber-sumber yang telah diuji keabsahannya, untuk
selanjutnya ditafsirkan sesuai dengan fakta yang ada sehingga mendekati dengan

14

Louis Gotschalk, Mengerti Sejarah, Penerjemah Nugroho Notosusanto, 1985, Jakarta: UI
Press, hal. 32.
15

M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, 2014, Jakarta:
Prenada Media Group, hal. 217.
16

Ibid,. hal. 54.

17

Ibid,. hal. 219.

Universitas Sumatera Utara

peristiwa yang sebenarnya. Sehingga data yang dituliskan sesuai dengan objek yang
diteliti.
Historiografi merupakan rekontruksi yang imajinatif daripada masa lampau
berdasarkan data yang diperoleh.18Historiografi merupakan tahap akhir dalam metode
yang akan digunakan untuk penulisan ini. Di tahap ini penulis akan menuliskan
hasilnya secara deskripsi spasial yaitu deskripsi yang melukiskan ruang atau tempat
yang pelukisan nya dijelaskan dari berbagai segi tentang keadaan Lhoknga pada
tahun 1945-1949 dari sudut pandang sejarah.

18

Louis Gotschalk, op.cit., hal. 33.

Universitas Sumatera Utara