Identifikasi dan Penentuan Radioaktivitas Alam dalam Abu Dasar (Bottom Ash) Batubara dengan Spektrometer Gamma Detektor HPGe

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Batubara
Batubara adalah suatu material yang tersusun dari bahan organik dan

anorganik dengan kandungan organik pada batuan dapat mencapai 50% dan
bahkan lebih dari 75%. Bahan organik ini disebut maseral yang berasal dari sisa
tumbuhan dan telah mengalami berbagai tingkat dekomposisi serta perubahan
sifat fisik dan kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh lapisan diatasnya,
sedangkan bahan anorganiknya disebut mineral atau. Kehadiran mineral dalam
jumlah tertentu akan mempengaruhi kualitas batubara terutama parameter abu,
sulfur dan nilai panas sehingga dapat membatasi penggunaan batubara
(Finkelman, 1993).
Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon,
hidrogen, oksigen, sulfur, dan senyawa-senyawa mineral (Kent, 1993). Batubara
digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Pada
pembakaran batubara, terutama pada batubara yang mengandung kadar sulfur
yang tinggi, menghasilkan polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat

menyebabkan terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat
pembakaran berdampak negatif pada lingkungan (Achmad, 2004).
Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah dan
terjaga pada tekanan yang tinggi dalam pemanasan dalam jangka waktu yang
lama. Tanaman mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman
dan pepohonan tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu didalam tanah
akan terjadi perubahan kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari
molekul selulosa tersebut (Zumdahl, 1997).

Universitas Sumatera Utara

2.1.1. Produksi dan Pemanfaatan Batubara
Awal dekade 90-an, pertambangan batubara Indonesia memasuki babak
baru yang ditandai dengan mulai beroperasinya perusahaan-perusahaan tambang
batubara skala besar. Pada tahun 1991, produksi batubara Indonesia hanya 13,8
juta ton per tahun. Pada tahun 2004 jumlah produksi batubara meningkat hampir
10 kali lipat yaitu 131 juta ton. Enam tahun kemudian, pada tahun 2010 naik lagi
menjadi 20 kali lipat, sebesar 280 juta ton. Hanya butuh tiga tahun yaitu pada
tahun 2013 naik menjadi 30 kali lipat atau sebesar 426 juta ton.
Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan produksi batubara selama 23

tahun terakhir adalah 17,4% per tahun. Selama sepuluh tahun terakhir (20042013), perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) memiliki
pertumbuhan produksi batubara sebesar 38,7% , per tahun. Sementara produksi
batubara dari perusahaan pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara) tumbuh 11,2% per tahun dalam periode yang sama.
Persentasi produksi dari perusahaan PKP2B pada tahun 2013 sebesar 68%
dari produksi nasional, sedangkan perusahaan IUP 29% sisanya PTBA (PT
Tambang Batubara Bukit Asam ) sebesar 3%. Pangsa produksi batubara IUP
mengalami peningkatan yang sangat signifikan, pada tahun 2004 hanya kurang
dari 7% dari produksi batubara nasional.
Hal ini sangat terkait dengan banyaknya IUP yang diterbitkan oleh daerah.
Pada saat ini terdapat lebih dari 3.800 perusahaan di seluruh Indonesia dan jumlah
IUP yang sudah dalam tahap produksi lebih dari 1.300 perusahaan. Selanjutnya,
pemanfaatan produksi batubara untuk kebutuhan di dalam negeri bekisar 25% dari
total produksi batubara nasional, selebihnya diekspor ke berbagai negara. Pada
tahun 2013, pemakaian batubara di dalam negeri sebesar 98 juta ton atau setara
dengan 392 juta SBM (setara barel minyak), sedangkan ekspor batubara mencapai
328 juta ton.
Indonesia pada saat ini merupakan pengekspor batubara terbesar di dunia.
Menurut World Coal Assosiation, pada tahun 2013 Indonesia merupakan negara
keempat terbesar produsen batubara dunia. Khususnya untuk batubara uap,


Universitas Sumatera Utara

Indonesia menguasai 44 % pasar ekspor dunia. Namun demikian, dari sisi volume
cadangan batubara, menurut BP Statistics 2014, Indonesia hanya menguasai 3,2%
cadangan batubara dunia, dengan rasio cadangan terhadap produksi sebesar 71
tahun (Warta Minerba, 2014).
2.1.2. Klasifikasi Batubara
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan,
panas dan waktu, batubara umumnya dibagi kedalam

empat kelas : lignit,

subbituminus, bituminus, dan antrasit.
1.Lignit
Lignit merupakan batubara peringkat rendah dimana kedudukan lignit dalam
tingkat klasifikasi batubara berada pada daerah transisi dari jenis gambut ke
batubara. Lignit adalah batubara yang berwarna cokelat kehitaman dan memiliki
tekstur seperti kayu.
2.Sub-bituminus

Batubara jenis ini merupakan jenis lignit dan bituminus. Batubara jenis ini
memiliki warna hitam yang mempunyai kandungan air, zat terbang, dan oksigen
yang tinggi serta memiliki kandungan karbon yang rendah. Sifat-sifat tersebut
menunjukan bahwa batubara jenis sub-bituminus ini merupakan batubara tingkat
rendah.
3.Bituminus
Batubara jenis ini merupakan batubara yang berwarna hitam denga tekstur ikatan
yang baik. Bituminus mengandung 68-86% unsur carbon (C) dan berkadar air 810%.
4.Antrasit
Antrasit merupakan batubara paling tinggi tingkatan yang mempunyai kandungan
karbon lebih dari 93% dan kandungan zat terbang kurang dari 10%. Antrasit
umumnya lebih keras, kuat dan seringkali berwarna hitam mengkilat seperti kaca
(Sukandarrumidi,1999)

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.Reaksi Pembentukan Batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari
selulosa. Proses pembentukan batubara dibantu oleh faktor fisika, dan faktor
kimia yang akan mengubah selulosa menjadi lignit, subbituminus, bituminus, dan

antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut.
REAKSI:
5 (C 6 H 10 O 5)

C 20 H 22 O 4 + 3CH 4 + 6CO 2 + CO + 8H 2 O

Selulosa

lignit

gas metana

uap air

Keterangan :
Selulosa merupakan senyawa organik berfungsi sebagai zat pembentuk batubara.
Unsur C dalam lignit lebih sedikit dibanding bituminus. Semakin banyak unsur C
didalam lignit semakin baik mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak
dibandingkan pada bituminus. Semakin banyak unsur H di dalam lignit maka
semakin buruk mutunya. Senyawa CH 4 (gas metana) dalam lignit sedikit

dibanding dalam bituminus, semakin banyak CH 4, lignit semakin baik kualitasnya
(Sukandarrumidi, 1995)
2.2. Abu Batubara
Abu batubara adalah hasil pembakaran batubara. Pembakaran batubara
akan menghasilkan abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Jumlah abu
terbang yang dihasilkan lebih banyak (80% dari total sisa abu pembakaran
batubara), butiran abu terbang lebih kecil (200 mesh) dan lebih berpotensi
menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai
kalor sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar (Munir,
2008).
Dari proses pembakaran batubara pada unit pembangkit uap (boiler) akan
terbentuk dua jenis abu yaitu abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash).
Komposisi abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10-20 % abu dasar,
sedangkan sisanya sekitar 80-90% berupa abu terbang. Abu terbang ditangkap
dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong
(Edy,2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1. Abu Terbang (fly ash)

Abu terbang merupakan salah satu residu (limbah batubara) yang
dihasilkan dalam pembakaran batubara. Abu terbang terdiri dari partikel halus
yang terbang, dan jumlahnya meningkat dengan bertambahnya gas buangan. Abu
tidak terbang disebut abu dasar. Dalam industri, abu terbang biasanya mengacu
pada abu yang dihasilkan selama proses pembakaran batubara. Abu terbang
umumnya dihasilkan dari cerobong hasil pembakaran batubara pada pabrik
pembangkit listrik. Abu terbang bersama-sama dengan abu dasar akan dihasilkan
dalam tungku pembakaran batubara, yang dikenal sebagai abu hasil pembakaran
batubara. Komponen abu terbang sangat bervariasi, dengan komponen utama
silikon dioksida (SiO 2 ) (baik amorf maupun kristal) dan kalsium oksida (CaO).
Abu terbang hasil pembakaran batubara umumnya dilepaskan ke atmosfir
tanpa adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh
karena itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian
pencemaran terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam. Di Amerika, abu
terbang umumnya disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubara,
dan akhirnya dibuang di landfill (tempat pembuangan). Penumpukan abu terbang
batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu dilakukan
berbagai

penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat


mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan (Munir, 2008).
Ukuran dan bentuk karakteristik dari partikel abu terbang sangat
bergantung pada tempat asal dan kesamaan dari batu bara, derajat penghancuran
sebelum dibakar, pembakaran yang merata dan sistem padat, berlubang atau bola.
Pembakaran batubara dapat menghasilkan abu terbang dengan berbagai macam
warna, hal ini sangat bergantung pada suhu di dalam tungku pada saat
pembakaran. Proses pembakran ini memiliki peranan penting terhadap mutu abu
terbang yang dihasilkan. Abu terbang akan berwarna kehitam-hitaman apabila
suhu pada saat kurang dari 1000C (pembakaran tidak sempurna) dan akan
berwarna abu-abu apabila pembakaran tersebut dilakukan pada suhu 10000C
(pembakran sempurna). Perbedaan ini adanya kandungan karbon yang belum
terbakar (Tripathi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Abu Dasar (Bottom ash)
Kebanyakan abu produk pembakaran batubara tetap tinggal di atas kisi dan
dibuang sebagai abu dasar (bottom ash) sekitar 80%, sedangkan butiran partikel
abu batubara yang lebih kecil ikut terbawa aliran gas pembakaran (fluel gas) dan

dipisahkan dengan penangkap abu sebagai abu terbang (fly ash ) sekitar 20 %.
Proses pembakaran biasanya menghasilkan abu batubara dengan kandungan
unburned carbon atau sering disebut LOI (loss on ignition) tinggi dan ditandai
dengan warna abu batubara yang kehitaman.
Partikel abu yang terbawa gas buang disebut abu terbang (fly ash),
sedangkan abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari bawah tungku disebut abu
dasar (bottom ash). Sebagian besar abu terbang dan abu dasar dikumpulkan dalam
pembuangan (ash disposal) (Murniati, 2009)
2.3. Limbah B3
Menurut peraturan pemerintah republik Indonesia N0. 101 tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) pasal 1 ayat 1,
dijelaskan bahwa “limbah B-3 adalah zat,energi,dan/atau komponen lain yang
karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia
dan mahluk lain”.
Berdasarkan tingkat bahayanya, limbah B-3 dikelompokkan kedalam dua kategori
yaitu :
-Limbah B-3 kategori 1
-Limbah B-3 kategori 2

Karakeristik dari limbah B-3 adalah mudah meledak, mudah menyala, reaktif,
infeksius, korosif, dan beracun ( PP RI NO 101 TAHUN 2014).

Universitas Sumatera Utara

2.3.1. Limbah Radioaktif
Limbah radiaoktif selama ini tidak pernah dibuang ke lingkungan
sembrangan karena telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara nasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku
secara internasional. Ketentuan yang mengatur masalah limbah radioaktif tidak
lain ditujukan untuk menjamin keselamatan lingkungan sehingga pemanfaatan
teknologi nuklir tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan
manusia.
Pengaturan masalah limbah radioaktif dan paparan radiasi secara
internasional ditetapkan oleh Internasional Atomic Energy Agency atau disingkat
IAEA, dan juga oleh International Commissions on Radiological Protection atau
ICRP. Sedangkan secara nasional, pengaturan dan pengawasan masalah tersebut
dilakukan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) untuk mengetahui
masalah limbah radioaktif perlu kiranya diketahui secara umum tentang
pengolahan limbah radioaktif dan masalah lainnya yang berkaitan dengan

radioekologi.
Limbah radioaktif secara umum berasal dari instalasi atom, seperti reaktor
nuklir, baik reaktor riset, reaktor produksi isotop maupun reaktor daya atau Pusat
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Selain dari itu, pemanfaatan energi nuklir juga
berpotensi untuk menghasilkan limbah radioaktif, seperti rumah skait, dan pusat
penelitian dan pemanfaatan teknologi nuklir dalam berbagai bidang lainnya
(Wardhana 1996).
2.3.2. Pengelolaan Limbah B-3
Pengelolaan terhadap limbah B-3 ini tidak dapat dilakukan secara
sembarangan, menurut undang-undang pemerintah RI No.101 tahun 2014 bahwa
pengelolaan

limbah

B-3

adalah

kegiatan

yang

meliputi

pengurangan,

penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau
penimbunan. Pembungan (Dumping) adalah kegiatan membuang, menempatkan,
dan/atau memsukkan limbaha dan/atau bahaan dalam jumlah, konsentrasi, waktu,
dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup

Universitas Sumatera Utara

tertentu. Lokasi penyimpanan limbah B-3 harus bebas dari banjir, tidak rawan
bencana alam, hal ini dimaksudkan agar limbah B-3 tidak tercemar ke sungaisungai atau air tanah yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat. Fasilitas
penyimpanan B-3 dapat berupa bangunan, tangki atau kontainer, silo, tempat
tumpukan limbah (waste pile), waste impoundement atau bentuk lainnya yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (PP NO. 101
TAHUN 2014)
Pemanfaatan limbah B-3 adalah kegiatan penggunaan kembali (reuse),
daur ulang (recyle), perolehan kembali (recover) yang bertujuan untuk mengubah
limbah B-3 menjadi produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi
lingkungan (PerMen LH No.2/2008).

Dengan pemanfaatan limbah B-3 sekaligus dapat mengurangi jumlah
limbah B-3, penghematan sumber daya alam dan meminimisasi potensi dampak
negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Penghasil limbah B-3 baik
perorangan maupun badan usaha tidak boleh membuang limbah B-3 yang
dihasilkan tersebut secara langsung kedalam media lingkungan (kedalam tanah,
air atau udara), tanpa pengolahan terlebih dahulu. Juga tidak boleh melakukan
pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah
B-3, karena pada hakekatnya pengenceran tidak mengurangi beban pencemaran
yang ada dan tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran. Dengan kata
lain pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya
limbah B-3 tersebut bahkan memperbanyak volume, hal ini berlawanan dengan
prinsip reduce.
Reuse adalah penggunaan kembali limbah B-3 dengan tujuan yang sama
tanpa melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi dan/atau secara
termal. Recycle adalah mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat
melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, dan/atau secara termal yang
menghasilkan produk yang sama atau produk yang berbeda. Recoveryadalah
perolehan kembali komponen-komponen yang bermanfaat secara fisika, kimia,
biologi atau secara termal. Skala prioritas pemanfaatan limbah B-3 dimulai dari
pemanfaatan secara reuse, kemudian dengan cara recycle, dan terakhir dengan

Universitas Sumatera Utara

cara recovery. Kegiatan pemanfaatan limbah B-3 tersebut dilakukan dengan
mengutamakan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta
perlindungan lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.
2.3.3. Pengelolaan Limbah Radioaktif
Pengolaan limbah radioaktif secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu penampungan, pengolahan, pembuangan. Ketiga tahap tersebut harus
dilakukan agar pada akhirnya limbah radioaktif tidak membahayakan manusia
ataupun lingkungan sekitarnya.
Pengolahan limbah radioaktif dimaksudkan untuk mengurangi paparan
radiasi dari limbah radioaktif agar limbah tersebut tidak membahayakan manusia
dan lingkungan sehingga dosis rata-rata yang diterima manusia tidak lebih dari
dosis maksimal tahunan yang telah ditetapkan. Bila pengurangan radiasi limbah
radioaktif sudah dapat menyamai paparan radiasi alam yang sudah ada sejak
terbentuknya bumi ini, maka limbah radiaktif tersebut tidak akan menjadi masalah
lagi. Untuk mengurangi paparan radiasi limbah radioaktif ada beberapa cara yang
ditempuh. Pemilihan cara tersebut dilakukan berdasarkan keadaan limbah
radioaktif yang akan diolah. Cara pengolahan limbah radioaktif tersebut antara
lain sebagai berikut :
1.

Pengenceran dan dispersi untuk limbah radioaktif yang mempunyai
aktivitas rendah.

2.

Penundaan dan peluruhan untuk limbah radioaktif berumur paro relatif
pendek.

3.

Pemampatan (pemadatan) untuk limbah radiokatif yang mempunyai
sedang dan aktivitas tinggi.

4.

Pewadahan (containment)
Keempat cara pengolahan tersebut diatas bertujuan untuk mengecilkan

konsentrasi limbah, melokalisasi aktivitas limbah dan juga untuk mengecilkan
volume limbah tersebut sehingga pada saat akan dibuang (disimpan) dapat tetap
aman dan tidak membahayakan manusia maupun lingkungan ( Wardhana 1996).

Universitas Sumatera Utara

2.4. Radionuklida
Radionuklida adalah isotop suatu unsur yang tidak stabil untuk menjadi
isotop unsur lain dengan melepaskan kelebihan energinya dalam bentuk radiasi
nuklir. Radionuklida ini akan mengalami peluruhan sambil memancarkan radiasi
berupa partikel alfa, beta dan sinar gamma. Radionuklida alam penyumbang
terbesar terhadap besarnya paparan gamma ke manusia adalah anak luruh U-238,
Th-232 dan K-40 (UNSCEAR, 2000).
2.4.1. Radionuklida Alam
Radionulklida alam ada sejak terbentuknya alam semesta atau biasa
disebut dengan NORM (Naturally Occuring Radioactive Material), dan terdiri
dari uranium, thorium, kalium, dan unsur lainnya yang terdapat dalam tanah dan
juga batuan (Barnes, 1983).
Radionuklida alam terbagi atas :
a. Radionuklida primordial.
Radionuklida ini ada sejak terbentuknya alam semesta dan terdiri dari
radionuklida deret uranium dengan induk Uranium (U-238) dan ujung
akhir nuklida stabil Timbal (Pb-206), radionuklida deret Thorium (Th232) dan ujung akhir nuklida stabil timbal (Pb-208). Gambar pada
lampiran 9, menunjukkan deret peluruhan, waktu paro dan jenis radiasi
yang dipancarkan oleh masing-masing radionuklida. Karena Uranium
alam terdiri dari U-238 dan U-235 (dengan kelimpahan masing-masing,
sekitar 99,3% dan 0,7%) maka bumi terbentuk radionuklida dari kedua
deret ini. Selain itu dalam radionuklida alam terdapat K-40 yang tidak
membentuk deret.
b. Radionuklida kosmogenik.
Dari reaksi antara radiasi kosmik dengan inti atom utama di lapisan
atmosfir rendah seperti N, O dan Ar dihasilkan sekitar 20 radionuklida.
Jumlah radionuklida yang terbentuk berbeda-beda bergantung pada
intensitas radiasi kosmik dan konsentrasi inti yang bereaksi dengan radiasi
kosmik di atmosfer. Jika dilihat dalam rentang waktu yang panjang maka
jumlah radionuklida yang dihasilkan akan seimbang dengan jumlah yang
meluruh. Oleh karena itu kelimpahannya di alam hampir konstan.

Universitas Sumatera Utara

2.4.2.Radionuklida Buatan
Radionuklida buatan disebut juga dengan istilah Tenorm, sesuai dengan
artinya, tenorm adalah bahan radioaktif yang diambil dari alam (buatan, tanah,
dan mineral) dan konsentrasinya meningkat dengan adanya kegiatan industri
manusia. TENORM dijumpai di pertambangan uranium, pabrik produksi pupuk,
fospat, produksi minyak dan gas, produksi energi geothermal (Wisnubroto, 2003).
2.4.3. Uranium
Uranium adalah salah satu unsur radioaktif yang terjadi secara alami di
lapisan kerak bumi. Uranium merupakan logam dengan densitas yang tinggi (18,9
9/cm3). Radionuklida uranium termasuk kelompok aktinida yang mempunyai
nomor atom 92, bobot massa 238,02891, titik cair 11350C dan titik didih 41310C.
Uranium dalam bentuk murninya adalah logam berat berwarna perak dengan
densitas hampir dua kali timbal (Pb). Batuan bumi mengandung rata-rata 3 ppm
(3mg/kg) uranium, dan di air laut diperkirakan 3 ppb (=3µg/kg). Katren (1998)
menyebutkan bahwa hampir semua jenis batuan mengandung uranium rata-rata
33Bq/kg. Uranium yang berasal secara alami terdiri dari tiga isotop yang
semuanya merupakan zat radioaktif

yaitu

merupakan nuklida induk (parent), sedangkan
dari deret

238

U,

234

235

U,

234

U.

238

U dan

235

U

U merupakan produk peluruhan

238

U. Uranium yang terdapat dalam perairan alami adalah uranium

hekasavalen, berupa ion uranil (UO 2 2-).
Tabel 2.1. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami
Isotop Uranium
Isotop

Persentase dalam

Nomor

Nomor

Waktu paruh

uranium alamiah

proton

neutron

(Tahun)

U-238

99.284

92

146

146milyar

U-235

0.711

92

143

704 juta

U-234

0.00055

92

142

245000

Universitas Sumatera Utara

Peluruhan uranium sangat lambat dengan memancarkan partikel alfa. Waktu
paruh uranium-238 adalah 4,5 milyar tahun, yang berarti tidak sangat radioaktif
seperti ditunjukkan oleh spesific abudance yang rendah (0,00000034 Ci/g).
Sejumlah kecil uranium alam dapat ditemukan hampir di setiap tempat, di tanah,
di batuan bumi, dan air, sementara biji uranium ditemukan hanya dibeberapa
tempat biasanya dalam batuan keras atau batuan pasir, depositnya biasanya
ditutupi oleh tanah dan vegetasi.
Selama bertahun-tahun, uranium digunakan untuk mewarnai gelas
keramik, menghasilkan warna yang berkisar dari merah jingga sampai kuning
lemon. Uranium juga digunakan untuk pewarnaan pada masa awal fitografi. Sifat
radioaktif uranium tidak diketahui sampai pada tahun 1896, dan potensinya untuk
digunakan sebagai sumber energi tidak dipahami sampai pada pertengahan abad
ke-20. Dalam reaktor nuklir, uranium berfungsi baik sebagai sumber neutron
(melalui proses fisi) dan bahan target untuk menghasilkan plutonium.
Mineral uranium terdapat dalam kerak bumi pada semua jenis batuan
terutama batuan granit dengan kadar 3-4 gram per 1 ton batuan. Pada umunya
uranium terdistribusi secara merata dan dapat dijumpai dalam bentuk mineral
uranit maupun oksida komplek euksinit betafit. Uranit merupakan mineral yang
kandungan utamanya adalah uranium (80%) sedangkan euksinit betafit kandungan
uraniumnya 20% (Rasito et al,2008)
2.4.4.Thorium
Thorium adalah salah satu unsur radioaktif yang terbentuk secara alami di
lapisan kerak bumi dan tanah dengan konsentrasi rendah, dimana kelimpahannya
sekitar tiga kali lebih banyak daripada uranium. Tanah pada umumnya
mengandung thorium dengan rata-rata sekitar 6 ppm. Peluruhan Thorium-232
sangat lambat tetapi isotop thorium yang lain terbentuk dari hasil peluruhan dan
berada dalam rantai peluruhan uranium. Sebagian besar dari uranium tersebut
berumur pendek dan lebih radioaktif daripada

232

Th, walaupun jika didasarkan

pada massanya mereka tidak berbeda signifikan .

Universitas Sumatera Utara

Ketika dalam bentuk murninya, thorium merupakan logam berat dengan
warna putih perak yang akan tetap berkilau selama beberapa bulan. Tetapi, ketika
terkontaminasi oleh oksida, thorium akan memudar dengan perlahan-lahan di
udara, menjadi warna abu-abu dan dapat menjadi hitam. Thorium oksida (ThO 2 ),
yang disebut juga thoria, memiliki titik didih tertinggi dari semua jenis oksida
yang lain (33000C). Ketika dipanaskan di udara, logam thorium akan kembli
terbakar sempurna denga sinar putih. Karena sifat-sifat tersebut, thorium
ditemukan pada aplikaisnya yaitu elemen bola lampu, pembungkus lentera,
arc-light lamp, sambungan (las) elektroda, dan keramik tahan panas.
Sumber utama thorium adalah mineral fosfat, dengan rata-rata 6,7%.
Monazite ditemukan pada hasil solidifikasi magma (igneous) dan batuan lainnya
tetapi konsentrasi terbesar dalam deposit semen yang mengandung mineralmineral berharga (placer deposit), terkonsentrasi oleh gaya gelombang dan arus
bersama logam berat yang lain. Sumber Monozite di bumi di perkirakan sekita 12
juta ton. Thorium dibebaskan dari monazite biasanya melalui proses leaching
menggunakan sodium hidroxide pada suhu 1400C diikuti dengan proses kompleks
untuk mengendapkan ThO 2 murni ( World Nuclear Association, 2009).
2.4.5. Plumbum-210 (Pb-210)
Pb-210 juga merupakan radioisotop yang berasal dari peluruhan U-238,
yang dihasilkan dari anak luruh intermedite Ra-226 (t 1/2 = 1622 tahun) menjadi
gas mulia Rn-222 (t 1/2 = 3.83 hari), melalui desintegrasi alpha. Menyebar kedalam
atmosfer pada aliran yang konstan, Rn-222 mengikat aerosol yang dikembalikan
ke bumi sebagai preposisi atau deposisi kering. Penambahan Pb-210 pada
atmosfer di asumsikan akan menjadi setimbang dengan peluruhan Ra-226 tanpa
kehilangan radionuklida yang dapat diabaikan. Pb-210 merupakan partikel yang
memiliki kereaktifan tinggi dan diuraikan oleh senyawa-senyawa organik tetapi
dalam kondisi tidak beracun.Plumbum-210 merupakan salah satu anak luruh dari
Ra-226 yang paling radiotoksik. Pb-210 meluruh oleh emisi sinar beta menjadi
Bi-210 (t 1/2 = 5 hari), yang kemudian meluruh oleh emisi sinar beta menjadi
Po210. Karena Pb-210 memiliki waktu paruh yang paling lama, , Pb-210
merupakan isotop radioaktif yang kelimpahannya terbesar dibanding isotop

Universitas Sumatera Utara

radioaktif lainnya. Plumbum-210 sering digunakan secara luas dalam studi
sedimentasi dan penentuan umur sedimen (Zal U’yan wan et al 2013).
2.4.6. Radium
Radium merupakan merupakan suatu logam yang berwarna puti keperakan
yang bersifat radioaktif. Radium memncarkan energi dalam bentuk sinar, panjang
gelombang atau partikel-partikel. Radium ditemukan dialam dan dapat ditemukan
dalam beberapa bentuk. Radium terbentuk ketika dua unsur kimia ( uranium dan
thorium) pecah umumnya terjadi di batuan atau tanah. Radium akan mengalami
peluruhan radioaktif. Selama proses peluruhan , akan dihasilkan radiasi alpha,
beta, dan gamma. Radium selalu dihasilkan dari peluruhan uranium dan thorium.
Karena radium terdapat pada setiap level rendah pada batu-batuan dan tanah,
maka radium dengan kuat terikat pada material-material ini. Radium juga dapat
ditemukan di udara,pada beberapa bagian negeri, radium juga dapat ditemukan di
air. Ketikan air memiliki uranium, radium dengan level yang lebih tinggi juga
ditemukan didekat air tersebut. Radium dalam tanah mungkin dapat ditemukan
dari tanaman-tanaman. Radium juga dapat ditemukan pada ikan, atau hewanhewan air lainnya. Radium pertama kali ditemukan pada tahun 1900, tidak ada
satu orangpun yang tahu bahwa itu berbahaya. Radium digunakan untuk
menghasilkan berbagai produk dan untuk mengobati kanker. Sekarang ini,
penggunaan-penggunaan radium tersebut sudah diakhiri, karena alasan kesehatan
dan keselamatan. Saat ini radium masih digunakan untuk peralatan-peralatan
industri dan keperluan penelitian (Department health and Human Service, 2009)
2.5. Radioaktivitas
Radioaktivitas adalah kemampuan inti atom yang tak-stabil untuk
memancarkan radiasi menjadi inti yang stabil. Materi yang mengandung inti takstabil yang memancarkan radiasi, disebut zat radioaktif. Besarnya radioaktivitas
suatu unsur radioaktif (radionuklida) ditentukan oleh konstanta peluruhan (λ),
yang menyatakan laju peluruhan tiap detik, dan waktu paro (t½). Materi yang
mengandung radionuklida disebut zat radioaktif. Peluruhan ialah perubahan inti
atom yang tak-stabil menjadi inti atom yang lain, atau berubahnya suatu unsur
radioaktif menjadi unsur yang lain.

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 1903, Ernest Ruttherford mengemukakan bahwa radiasi yang
dipancarkan zat radioaktif dapat dibedakan atas dua jenis berdasarkan muatannya,
Radiasi yang bermuatan positif dinamai sinar alpha, dan yang bermuatan negatif
diberi nama sinar beta. Selanjutnya Paul U. Villard menemukan jenis sinar yang
ketiga yang tidak bermuatan dan diberi nama sinar gamma.
a. Sinar Alfa (α)
Sinar alfa merupakan radiasi yang bermuatan positif. Partikel sinar alfa
sama dengan inti helium -4, bermuatan +2e dan bermassa 4 sma. Partikel alfa
adalah partikel berat yang dihasilkan oleh zat radioaktif. Sinar alfa dipancarkan
dari inti dengan kecepatan 1/10 kecepatan cahaya. Karena memiliki massa yang
besar, daya tembus sinar alfa paling lemah diantara sinar-sinar radioaktif. Di udara
hanya dapat menembus beberapa cm saja dan tidak dapat menembus kulit. Sinar
alfa dapat dihentikan oleh selembar kertas biasa. Sinar alfa segera kehilangan
energinya ketika bertabrakan dengan molekul media yang dilaluinya. Tabrakan itu
mengakibatkan media yang dilaluinya mengalami ionisasi. Akhirnya partikel alfa
akan menangkap elektron dan berubah menjadi atom helium.
b. Sinar Beta (β)
Sinar beta merupakan radiasi partikel bermuatan negatif. Sinar beta
merupakan berkas elektron yang berasal dari inti atom. Partikel beta yang
bermuatan -1e dan bermassa 1/836 sma. Karena sangat kecil, partikel beta
dianggap tidak bermassa sehingga dinyatakan dengan notasi 0 -1 e. Energi sinar beta
sangat bervariasi, mempunyai daya tembus lebih besar dari sinar alfa tetapi daya
pengionnya lebih lemah. Sinar beta paling energetik dapat menembus sampai 300
cm dalam udara kering dan tidak dapat menembus kulit.
c. Sinar Gamma ( )
Sinar gamma adalah sinar radiasi elektromagnetik yang berenergi tinggi,
tidak bermuatan dan tidak bermassa. Sinar gamma dinyatakan dengan notasi 0 0

.

Sinar gamma mempunyai daya tembus. Selain sinar alfa, beta, gamma, zat
radioaktif buatan juga ada yang memancarkan sinar X dan sinar Positron . Sinar X
adalah radiasi sinar elektromagnetik (www.batan.go.id).

Universitas Sumatera Utara

2.5.1. Waktu Paro (t 1/2 )
Waktu paro atau t 1/2 adalah waktu yang diperlukan oleh suatu unsur
radioaktif untuk meluruh sehingga jumlah atom radionulklidanya menjadi
setengah dari jumlah atom radionuklida semula. Bila dinyatakan dalam aktivitas
A, maka waktu paro adalah waktu yang diperlukan oleh suatu unsur radioaktif
untuk meluruh sehingga aktivitasnya menjadi setengah dari aktivitas semula.
Sedangkan aktivitas A adalah keadaan jumlah atom pada setiap saat yang
dinyatakan dalam :
d N =A=ƛ N
dt
dengan cara yang sama akan diperoleh aktivitas pada setiap saat
A (t) = A (0)e-ƛt
Sehingga kalau dikaitkan dengan waktu paro akan diperoleh
½ A(0) = A (0) e-ƛt1/2
½ = e-ƛt1/2
Ln 1-ln 2 = e-ƛt1/2
t1/2 = ln 2
t1/2 = ln 2 = 0,693 (Wardhana, 1996)
ƛ

ƛ

2.5.2. Satuan Radiasi
Satuan yang dipakai untuk menunjukkan besaran radiasi nuklir adalah
meliputi energi, aktivitas dan dosis radiasi.
a. Energi Radiasi
Elektron Volt (eV) adalah satuan yang digunakan untuk menyatakan suatu
besaran energi atom atau nuklir. Satu elektron volt didefinisikan sebagai energi
kinetik sebuah partikel yang muatannya sama dengan muatan sebuah elektron,
setelah bergerak melewati beda potensial listrik sebesar satu volt. Energi radiasi
atom yang dimaksud, misalnya sinar-X yang biasa dinyatakan dalam kilo elektron
volt (KeV), 1 Kev= 103 eV.
b.Aktivitas Radiasi
Aktivitas radiasi atau radioaktivitas merapakan besaran yang menyatakan jumlah
peluruhan yang terjadi per satuan waktu (detik). Satuan untuk aktivitas suatu

Universitas Sumatera Utara

sumber radioaktif dinyatakan dengan bacquerel (Bq), 1Bq=1 desintegrasi
(peluruhan) persekon (detik) atau dps.Satuan bacquerel merupakan sistem satuan
internasional (SI) yang mulai dipakai sejak tahun 1976. Sebelum satuan ini
dipakai, telah digunakan satuan Curie (Ci). Satuan curie didefinisikan sebagai
aktivitas dalam 1 gram radium ( Ra-226). Jumlah disintegrasi persekon dalam 1
gram radium adalah 37 x 1010. Hubungan anatara satuan Curie dan Bacquerel
adalah 1 Ci =3,7 x 1010 Bq atau 1 Bq= 27,027 x 1012 Ci (Sastrosudarmo,S, 2014).
2.5.3.Upaya Proteksi Radiasi
Upaya proteksi radiasi berhubungan dengan bagaimana cara yang
dilakukan untuk melindungi diri dari paparan radiasi. Secara umum upaya
proteksi radiasi di bedakan berdasarkan jenis radiasinya. Seperi radiasi dan radiasi
interna.
2.5.3.1. Upaya Proteksi Radiasi Eksterna
Upaya proteksi radiasi eksterna biasanya berhubungan dengan kegiatan
pemakaian alat dan sumber pemancar radiasi, seperti pesawat sinar-X, reaktor
nuklir, akselerator, dan sumber radiasi tertutup. Upaya proteksi radiasi yang
dimaksud adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi pengaruh radiasi
yang merusak akibat pajanan radiasi, agar terimaan dosis radiasi yang diterima
seseorang baik sebagai pekerja radiasi maupun pekerja radiasi serendah mungkin.
Cara untuk mengurangi terimaan dosis radiasi yang dipancarkan dari sumber
radiasi ada empat cara yaitu.
1.

Membatasi aktivitas sumber radiasi pada tingkat serendah mungkin

2.

Membatasi waktu kerja

3.

Bekerja dalam jarak sejauh mungkin dari sumber radiasi

4.

Menggunakan perisai (penahan) radiasi

2.5.3.2. Upaya Proteksi Radiasi Interna
Radiasi interna terjadi apabila sejumlah zat radioaktif masuk ke dalam
jaringan organ tubuh, melalui saluran pernapasan, pencernaan, dan kulit ( baik
yang utuh maupun luka). Dalam setiap pekerjaan yang melibatkan zat radioaktif
ada kemungkinan zat radioaktif tersebut dapat menyebar di daerah kerja karena
sirkulasi angin yang akhirnya zat radioaktif tersebut ddapat masuk ke dalam tubuh
orang yang melalui gerbang pernafasan (hidung), pencernaan (mulut), dan

Universitas Sumatera Utara

penyerapan pada kulit ( terutama kulit yang secara langsung masuk melalui
darah).
Untuk mencegah atau mengurangi masuknya zat radioaktif kedalam tubuh
ada tiga hal yang perlu diperhatikan :
1.

Mengurangi atau mencegah menyebarnya zat radioaktif ke lingkungan
kerja

2.

Mengurangi konsentrasi radionuklida di daerah kerja

3.

Menutupi jalur-jalur (pernapasan, pencernaan, dan kulit) atau mencegah
masuknya zat radioaktif kedalam tubuh.
Setiap pekerja harus menggunakan perlengkapan keselamatan kerja, baik

sebagai pekerja radiasi maupun bukan pekerja radiasi. Jenis perlengkapan
keselamatan kerja perorangan, antara lain respirator, perlengkapan pelindung
tubuh atau bagian tubuh mislanya, kacamata pengaman, pelindung kepala, dan
pelindung tangan dan kaki. Tujuan dari pemakaian perlengkapan keselamatan
kerja adalah untuk melindungi para pekerja baik pekerja radiasi mauupun bukan
pekerja radisi dari bahaya radiasi intrena dan eksterna serta bahaya yang bukan
berasal dari radiasi (Sastrosudarmo, 2014).

2.6. Spektrometer Gamma
Ada banyak metode-metode dan teknik yang dapat diterapkan dalam
penentuan radionuklida alami yang terdapat pada geologi, biologi dan lingkungan
seperti pada batu, tanah, udara, dan limbah air dari lingkungan. Namun kuantitatif
dari Spektroskometri Gamma adalah suatu teknik yang mempunyai kemampuan
untuk tidak merusak sampel dari media yang akan dianalisa (Yousef et al., 2007).
Spektrometer gamma adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk
melakukan analisa zat radioaktif yang memancarkan radiasi gamma. Setiap
radionuklida mempunyai tenaga tertentu dan bersifat spesifik. Hal ini digunakan
sebagai dasar dalam analisis secara kualitatif. Analisis secara kuantitatif
berdasarkan nilai cacahan dari spektrum yang dipancarkan, sebelum digunakan
dalam pengukuran, terlebih dahulu sistem spektrometer gamma dikalibrasi dengan
sumber standar untuk menentukan hubungan antara nomor salur dan energi
gamma (KeV). Agar dapat mengidentifikasi isotop radioaktif, spektrometer

Universitas Sumatera Utara

gamma dilengkapi dengan suatu perangkat lunak untuk kalibrasi dan
mencocokkan puncak-puncak energi foton (Photonpeak) dengan suatu pustaka
data nuklir (Nugrah L, et al 2013).
Spektrometer gamma terdiri dari detektor radiasi gamma, rangkaian
elektronik penunjang, dan sebuah Interface yang disebut Multi Channel Analyzer
(MCA) .Saat ini rangkaian elektronika, catu daya tegangan tinggi dan rangkaian
MCA telah dibuat secara terintegrasi pada onboard slot komputer. Dengan
perangkat lunak khusus (Software Maestro), pada seperangkat komputer dapat
berfungsi sebagai MCA dengan kemampuan pengolahan dan analisis yang lebih
baik.
Spektrometer gamma bekerja berdasarkan berbagai interaksi radiasi
gamma (energi foton) dengan bahan detektor. Interaksi yang paling umum
dibicarakan pada proses ini dikenal dengan efek fotolistrik, efek compton dan
produksi pasangan (pair production).
A. Efek foto listrik
Efek foto listrik terjadi saat radiasi elektromagnetik atau foton
memberikan seluruh energinya untuk berinteraksi dengan elektron pada orbital
tertentu suatu absorben atom (bahan detektor). Jika energi foton yang terlibat
lebih besar dari ikatan elektron maka elektron akan terionisasi menghasilkan
pasangan ion. Foton itu sendiri akan hilang sedangkan elektron yang tereksitasi
(fotoelektron) akan mengalamai proses ionisasi selanjutnya bersama atom lain.
Peristiwa fotolistrik kemungkinan besar terjadi pada radiasi gamma energi rendah
atau pada atom dengan nomor massa Z yang besar. Oleh karena itu detektor yang
digunakan pada spektrometer gamma tersusun atas atom dengan nomor massa
tinggi seperti I dalam NaI Sintilator atau Ge pada detektor semikonduktor..
B. Efek Compton
Efek compton berlangsung pada energi intermediat suatu radiasi gamma.
Proses ini menggambarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik (foton) dengan
elektron pada kristal bahan detektor yang menyebabkan arah foton dibelokkan
sebesar θ (tetha) dari arah aslinya. Foton yang dihasilkan memiliki energi yang
lebih rendah dari foton asal. Selanjutnya foton baru akan bertemu dengan elektron
lain dengan cara yang sama sampai energinya habis. Selain dihasilkan foton baru

Universitas Sumatera Utara

interaksi ini juga menghasilkan pasangan ion dan elektron bebas. Elektron dari
proses tersebut akan menjalani proses ionosasi sekunder atau efek fotolistrik.
C. Produksi Pasangan
Produksi pasangan dihasilkan gamma foton berenergi tinggi ≥
( 1,02 MeV).
Dalam mekanisme ini foton yang melewati daerah inti suatu atom akan
terkonversi membentuk pasangan partikel bermuatan positif dan negatif (positron
dan elektron) yang masing-masing energinya setengah dari energi asalnya (0,51
MeV). Foton dengan energi diatas 1,02 MeV akan memberikan kelebihan
energinya pada partikel sebagai energi kinetik. Selanjutnya, elektron akan
berinteraksi dengan atom sekitar menjalani proses ionisasi sekunder sedangkan
positron akan berinteraksi dengan elektron bebas menjalani proses annihilasi
(kebalikan produksi pasangan).
Secara umum ketiga interaksi diatas menyebabkan elektron-elektron atom
bahan detektor terpental keluar sehingga berada dalam keadaan tereksitasi (excited
state). Elektron yang tereksitasi akan kembali ke keadaan daarnya (ground state)
dengan memancarkan cahaya. Cahaya yang dilepaskan akan diarahkan ke
fotokatoda sehingga permukaan foto katoda akan melepaskan elektron yang akan
dilipatgandakan oleh dinoda-dinoda yang tersusun diantara fotokatoda atau anoda.
Elektron hasil pelipatgandaan inilah yang menjadi pulse energi sebagai keluaran
detektor. Tenaga elektron yang dilepaskan bergantung pada intensitas sinar
gamma yang mengenai detektor. Makin tinggi energi elektron makin tinggi pula
pulse energi yang dihasilkannya, sedang makin banyak elektron yang dilepaskan
makin banyak pula cacahan pulse energinya (Wahyudi, 2008).
2.6.1. Kalibrasi Energi
Dalam spektrometer gamma puncak-puncak spektrum pada nomor salur
(nomor Channel) sistem spektrometer sebanding dengan energi sinar gamma.
Oleh karena itu perlu dicari hubungan antara nomor atom salur dan energi sinar
gamma yang biasa disebut dengan kalibrasi energi. Hal ini dilakukan dengan jalan
melakukan pengukuran (pencacahan) sumber radioaktif standar dengan beberapa
sumber energi dari tingkat rendah sampai dengan tingkat energi yang tinggi agar
kalibrasi energi yang dilakukan mempunyai jangkauan energi ynag cukup lebar.

Universitas Sumatera Utara

Apabila hubungan antara energi dan nomor salur dituangkan dalam grafik maka
akan diperoleh gambar garis lurus (Nugrah L, et al 2013)
2.6.2. Prinsip Analisa Kualitatif
Kalibrasi

energi

diperlukan

untuk

tujuan

analisis

kualitatif

spektrofotometri gamma. Setelah kalibrasi energi dilakukan maka sistem
spektrofotometer dapat dipergunakan untuk melakukan pengukuran suatu
cuplikan. Energi gamma yang dipancarkan oleh suatu radionuklida adalah salah
satu sifat karakteristik dari radionuklida tersebut. Sifat-sifat karakteristik dari
berbagai radionuklida dapat dilihat pada tabel isotop yang berisi energi sinar
gamma, waktu paro, dan intensitas. Puncak-puncak spektrum pada cuplikan dapat
diketahui mengunakan persamaan matematis pada kalibrasi energi. Sehingga
kandungan unsur radioaktif pada cuplikan dapat ditentukan.
2.6.3. Kalibrasi Efisiensi
Efisiensi deteksi adalah ukuran hubungan antara pencacahan yang di
hasilkan detektor dengan aktivitas zat radioaktif. Nilai suatu pencacahan belum
mencerminkan aktivitas yang sebenarnya dari suatu zat radioaktif. Suatu zat
radioaktif selalu memancarkan sinar radioaktif ke segala arah. Pengukuran
cuplikan zat radioaktif dilakukan pada jarak tertentu dari detektor, sehingga
sebenarnya hanya sebagian dari sinar radiasi gamma yang dipancarkan yang
terdeteksi oleh detektor. Dalam pengukuran zat radioaktif secara spektrometri
dimana pengukuran hanya ditunjukkan pada salah satu energi dari sekian banyak
energi dan metode peluruhan yang ada dalam cuplikan, maka besarnya efisiensi
deteksi juga merupakan fungsi tenaga dan dapat dituliskan sebagai berikut :
Analisa kuantitatif dalam spektrometer gamma membutuhkan kalibrasi
efisiensi. Apabila dilakukan pengukuran efisiensi dari tenaga rendah sampai
tenaga tinggi menggunakan sumber standar maka dapat dibuat grafik efisiensi
fungsi energi. Nilai efisiensi deteksi suatu pengukuran ditentukan oleh berbagai
faktor yaitu jarak cuplikan dengan detektor, dimensi zat radioaktif, volume
detektor dan daya pisah detektor.

Universitas Sumatera Utara

2.6.4. Prinsip Analisa Kuantitatif
Pengukuran aktivitas zat radioaktif selain menggunakan kalibrasi efisiensi
dapat pula dilakukan dnegan menggunakan prinsip perbandingan puncak
spektrum sumber standar dengan puncak spektrum sumber radioaktif. Cara ini
dapat berlaku jika sumber cuplikan telah diketui jenis unsur radioaktifnya dan
dimensi sumber standar zat radioaktif. Dengan kondisi kerja yang sama, jenis
unsur dan dimensi zat radioaktif sama maka aktivitas zat radioaktif dapat
ditentukan. Spektrometer gamma mempunyai batas kemampuan pengukuran pada
laju cacah yang rendah. Untuk itu perlu juga diketahui batas kemampuan
pengukuran suatu detektor atau berapa deteksi minimum yang bisa dicapai oleh
sdetektor nuklir (Wisnu,S, 1988).

Universitas Sumatera Utara