Analisis Perkembangan Sistem Moneter Int

ANALISIS PERKEMBANGAN SISTEM MONETER INTERNASIONAL DAN KRISIS MONETER DI INDONESIA

Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ekonomi Internasional II Dosen Pengampu: Bapak Samsul Arifin, SE., M.SE.

Disusun Oleh:

  EDWIN RONALDO

  (NIM. 5553121723)

  TRIA ANUGRAH S.

  (NIM. 5553121832)

  DWI WAHYUNISSA

  (NIM. 5553122055)

  BAHAR OKTA P.

  (NIM. 5553122150)

  Kelas : V F 5F

JURUSAN ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA Jalan Raya Jakarta Km. 4, Serang, Banten

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena, atas berkat dan kehendak-Nyalah paper ini dapat selesai tepat pada waktunya.

  Dalam penulisan paper ini penulis menemukan banyak kesulitan, terutama keterbatasan mengenai penguasaan Ilmu Ekonomi Internasional II. Tetapi berkat bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak akhirnya penulis pun dapat menyelesaikan paper ini. Karena itu penulis turut mengucapkan terima kasih kepada :

   Dosen Ilmu Ekonomi Internasional II, Bapak Samsul Arifin SE., M.SE., yang telah memberikan izin untuk mengkaji krisis moneter.

   Ayah dan Ibu penulis tersayang yang telah memberikan dukungan atau motivasi secara moral, spiritual, dan materil.

  Penulis menyadarai bahwa paper ini masih ditemukan banyak kekurangan. Maka, kritik dan saran dirasakan sangat dibutuhkan untuk kemajuan penulis di masa yang akan datang.

  Penulis berharap, agar dengan adanya paper ini, dapat berguna bagi semua Mahasiswa yang mengikuti Mata Kuliah Ekonomi Moneter 1 khususnya mahasiswai Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  Serang, 27 November 2014

PENULIS

DAFTAR TABEL

  Tabel 2. 1 Indikator Utama Ekonomi Indonesia 1990 – 1997 ....................................... 30

  BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Sistem moneter internasional merupakan sistem keuangan yang berlaku untuk semua Negara di dunia yang membahas tentang pembayaran atas transaksi lintas negara dilaksanakan. Sistem ini menentukan bagaimana kurs tukar asing ditentukan dan bagaimana pemerintah dapat mempengaruhi kurs tukar. Sistem moneter internasional yang berfungsi dengan baik akan memfasilitasi perdagangan internasional dan investasi, serta mempermudah adaptasi terhadap perubahan. Pembahasan inti dari sistem moneter internasional adalah menentukan pengaturan sistem kurs tukar. Semenjak dimulainya sistem standar emas hingga abad ke 20, sistem moneter internasional telah mengalami pasang surut. Perubahan dari sistem ke sistem yang lain diakibatkan oleh gejolak ekonomi pada saat itu. Sampai saat ini pun sistem moneter internasional masih menjadi perhatian semua negara dan masih ingin merubah sistemnya menjadi lebih berfungsi optimal. Belum lagi rencana anggota Negara-negara asean untuk merumuskan kebijakan pemberlakuan mata uang bersama yang hanya berlaku tunggal di kawasan asean.

  Sebelum pemberlakuan kebijakan mata uang bersama, krisis moneter terlebih dahulu melanda negara-negara anggota ASEAN. Hal tersebut telah menjadikan struktur perekonomian negara-negara tersebut terguncang. Krisis ini dimulai pada pertengahan tahun 1997 semua perekonomian negara-negara ASEAN terpuruk oleh krisis ekonomi regional yang disebabkan oleh depresiasi mata uang dollar terhadap Amerika. Krisis moneter sendiri seperti virus yang mudah menular dimulai dari Thailand, ke Indonesia, Lalu Korea Selatan, dan berakhir di

  India. Tak tekecuali bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik ini, yang telah menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendi-sendi

  perekonomian nasional. “Secara garis besar, terganggunya perekonomian

  Indonesia dicerminkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi 1997 yang merosot

  menjadi 4,65 bahkan pada triwulan III tahun 1998 pertumbuhannya minus 17,13, turun drastis dari rata-rata pertumbuhan selama tiga tahun terakhir

  sebesar

  7,9”. (Yudanto,Noor.1998). Hal ini

  diperparah dengan

  menurunya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap dollar. Terganggunya perekonomian ini memiliki dua makna terhadap sektor ekonomi. Disatu pihak menimbulkan kelumpuhan pada sektor ekonomi daerah perkotaan yang mungkin bergantung pada dollar Amerika. Disisi lain mungkin bagi masyarakat pedesaan yang mayoritas petani kurang merasakan akibat terpuruknya keadaan ini, karena petani tidak bergantung pada dolar. Akan tetapi sangat mungkin dampak yang dirasakan petani adalah kenaikan harga barang-barang pokok karena pemerintah tidak bisa membiayai impor bahan baku karena melemahnya pertumbuhan ekonomi.

  Untuk mengatasi keadaan ini pemerintah tidak tinggal diam. Hal ini dibuktikan pemerintah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, baik kebijakan sementara maupun tetap. Salah satunya pemerintah pada saat itu mengeluarkan kebijakan sementara yang dipimpin langsung oleh menteri keuangan saat itu. “Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak

  negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi”. (Kartasasmita,Ginandjar.1998)

  Dengan kebijakan yang telah dibuat tersebut pemerintah optimis krisis dapat segera diatasi, terutama perbaikan ekonomi bagi masyarakat menengah kebawah.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah sebagai berikut:

  1 Bagaimanakah sejarah dan perkembangan sistem moneter

  internasional ?

  2 Bagaimanakah keterkaitan sistem moneter internasional dengan sistem

  moneter yang dianut di Indonesia?

  3 Faktor apakah yang menyebabkan Indonesia terkena krisis moneter?

  4 Bagaimana dampak yang ditimbulkan krisis moneter terhadap

  perekonomian Indonesia?

  5 Bagaimanakah peran IMF dalam membantu mengatasi masalah krisis

  moneter di Indonesia?

  6 Mengapa krisis moneter di Indonesia selalu lebih parah?

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Moneter Internasional

  suatu sistem

  yang memungkinkan suatu negara dapat saling berhubungan satu dangan yang lain. Sistem tersebut disebut sebagai sistem moneter internasional.

  Sistem moneter internasional menunjukkan seperangkat kebijakan, institusi, praktik, peraturan dan mekanisme yang menentukan tingkat dimana suatu mata uang diitukarkan dengan mata uang lain.(Shapiro, 1992). Sistem keuangan internasional dari sejarahnya telah mengalami begitu banyak perkembangan dan transpormasi dari masa ke masa. Perkembangan ini disebabkan oleh adanya perubahan ekonomi dan politik domestik serta internasional pada masing-masing masa.

  nasional problema

  ketidakseimbangan pembayaran antar daerah dapat disesuaikan melaui pergerakan modal ataupun kebijakan fiskal dan moneter, dalam skala internasional akan sedikit lebih rumit. Pembayaran yang tidak seimbang antar negara dapat diselesaikan melalui financing, perubahan kebijakan domestik untuk menggeser pola perdagangan dan investasi, melalui kontrol devisa untuk melakukan penjatahan pasokan devisa, atau dengan cara membiarkan nilai tukar mata uang berubah sesuai situasi dan kondisi. Sehingga yang terpenting dalam sistem moneter internasional adalah tersedianya alat atau cara untuk menyesuaikan ketidakseimbangan pembayaran internasional.

2.2 Sejarah dan Perkembangan Sistem Moneter Internasional

2.2.1 Sistem Standar Emas (1876-1913)

  Sistem standar emas internasional muncul mulai tahun 1870 di Inggris. Pemerintah Inggris menetapkan nilai pounsterling dengan emas. Perkembangan industri yang terjadi di Inggris serta perdagangan dunia yang makin berkembang pada abad 19 menambah kepercayaan dunia terhadap emas. Kepercayaan ini diperkuat dengan ditemukannya tambang emas di Amerika dan Afrika Utara. Dengan kejadian-kejadian tersebut sistem standar emas merupakan suatu sistem yang dipakai oleh banyak negara semenjak 1970 hingga perang dunia pertama.

  Perdagangan yang semakin meningkat membuat kebutuhan sistem pertukaran yang lebih formal menjadi semakin terasa. Standar emas pada dasarnya menetapkan nilai tukar mata uang negara berdasarkan emas. Pemerintah atau Negara yang bersangkutan harus menjaga persediaan emas yang cukup untuk menjamin jual-beli emas. Jika pemerintah negara lain juga menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan, maka kurs antar dua mata uang bisa ditentukan. Nilai emas terhadap barang lain tidak banyak berubah dalam jangka panjang, stabilitas nilai uang dan kurs mata uang tidak banyak berfluktuasi dalam jangka panjang.

  Standar emas berbeda dengan mata uang fiat (fiat money). Dalam mata uang fiat, nilai mata uang ditentukan berdasarkan kepercayaan terhadap kemauan pemerintah menjaga integritas menjag mata uang tersebut. Seringkali kepercayaan tersebut disalahgunakan. Pemerintah kadang tergoda menerbitan uang baru, karena biaya produksi penerbitan tersebut adalah 0 rupiah. Dengan menggunakan standar emas, nilai mata uang didasarkan pada emas. Pemerintah tidak bisa seenaknya menambah jumlah uang yang beredar , karena suplai uang dibatasi oleh suplai emas.

  Dengan proses tersebut kurs mata uang bisa terjaga selama negara- negara di dunia memakai emas sebagai standar mata uangnya. Inflasi yang berkepanjangan tidak akan terjadi di dalam situasi semacam itu.

  Dengan adanya Perang Dunia I (1919-1923) serta depresi dunia (1931-1934) negara-negara di Eropa dilanda inflasi serta ketidaksetabilan politik. Sistem moneter Internasional menjadi kacau. Kekacauan ini menimbulkan kurang kepercayaan dunia terhadap pounsterling yang masih dikaikan dengan emas. Ponsterling makin lama makin lemah posisinya. Kelemahan ini ditambah keharusan Inggris untuk memberi bantuan kepada Jerman. Pada tahun 1931 Inggris menanggalkan standar emas dan pounsterlling jatuh nilainya, diikuti oleh dolar Amerika.

2.2.2 Periode Perang Dunia (1914-1994)

  Perang dunia I mengakhiri standar emas klasik. Periode antara kedua perang dunia secara umum ditandai oleh kekacauan perdagangan dan keuangan internasional. Terjadinya fluktuasi kurs sejak akhir perang sampai tahun 1925 (kecuali di Amerika Serikat, yang kembali ke standar emas dalam tahun 1919). Mulai tahun 1925, suatu usaha dilakukan untuk menetapkan kembali standar emas, akan tetapi runtuh tahun 1991 pada waktu Depresi Besar. Kemudian disusul dengan periode persaingan Devaluasi, ketika negara-negara mencoba untuk mengekspor pengangguran mereka (kebijakan mengemis tetangga mereka). Tarif, kuota dan pengawasan nilai tukar juga meluas, dengan akibat volume perdagangan dunia berkurang hampir setengahnya. Kecenderungan devlasioner dapat diatasi sepenuhnya suaktu negara-negara dipersenjatai kembali untuk perang dunia II.

2.2.3 Periode Kurs Tetap

  Periode ini dimulai dengan perjanjian Bretton Woods. Melalui perjanjian ini, semua negara menetapkan nilai tukar mata uangnya melaui emas, Periode ini dimulai dengan perjanjian Bretton Woods. Melalui perjanjian ini, semua negara menetapkan nilai tukar mata uangnya melaui emas,

  Tekanan spekulasi menyebabkan sistem kurs tetap tidak layak lagi dipertahankan. Pasar keuangan dunia sempat tutup selama beberpa minggu dalam bulan Maret 1973. Ketika pasar tersebut dibuka, kurs mata uang dibiarkan mengambang sampai ke kurs yang ditentukan oleh kekuatan pasar.

2.2.4 Post Bretton Woods

  Pada tanggal 22 Juli 1944 diadakan suatu konferensi moneter Internasional, yang dikenal dengan The Bretton Woods Conference, yang dihadiri oleh 44 negara. Konferensi tersebut bertujuan untuk menyusun rencana pembuatan sistem moneter. Dua tahun setelah konferensi tersebut, didirikan IMF dan Bank Dunia untuk mengawasi sistem tersebut. .

  Selama periode 1944-1973 dolar merupakan mata uang yang sangat penting dalam lalu lintas pembayaran Internasional. Peranan dolar ini timbul setelah perang dunia II, dusebabkan saat itu terjadi kekurangan dolar. Negara-negara Eropa yang sangat memerlukan uang dana untuk memulihkan keadaan ekonominya. Satu-satunya sumber adalah Amerika Serikat, sehingga dolar banyak diminta. Konsekuensinya, emas menjadi tergeser oleh dolar. Sebab, disamping memiliki tenaga beli yang kuat di Amerika, reserves dalam bentuk dolar akan membelikan penghasilan bunga. Dengan semakin pentingnya fungsi dolar, maka setiap anggota menetapkan perbandingan mata uangnya terhadap dolar, yang kemudian apabila perlu dapat ditukarkan dengan emas.

  DMI beranggotakan 134 negara, diantaranya 10 negara maju mempunyai posisi yang sangat kuat di dalam mengambil keputusan. Setiap anggota memperoleh jatahquota, yang harus dibayar 25 dengan emas dan sisanya 75 dengan mata uangnya. Besarnya quota menentukan hak suaranya serta jumlah pinjaman yang dapat diperoleh dari DMI. Dana pertama DMI dengan sendirinya 25 terdiri dari emas dan 75 berbagai mata uang negara anggota. Pinjaman diberikan kepada dalam mata uang negara lain yang harus di tukar dengan mata uang negara peminjam.

2.2.5 Sistem Semenjak 1973

  Semenjak 1973 sistem moneter internasional merupakan campuran antara kurs tetap dengan kurs berubah-ubah. Mata uang Yen, dolar Kanada, franc Perancis, dan Swiss berfluktuas tergantung dari permintaan dan pernawaran. Sering juga penguasa moneter negara-negara tersebut melakukan campur tangan di pasar valuta asing untuk mengurangi fluktuasi kurs yang berlebihan. Caranya apabila negara mengalami defisit dalam neraca pembayaran, kurs valuta asing cenderung naik. Untuk mencegah hal ini bank Central menjual valuta asing. Demikian juga apabila surplus di dalam neraca pembayaran, bank sentral membeli valuta asing di pasar untuk mengurangi penurunan kurs. Sisitem kurs demikian di sebut “managed atau dirty” float, sebagai lawan dari “clean” floatt di mana bank Sentral sama sekali tidak campur tangan di dalam pasar valuta asing.

  Lima negara Eropa (Jerman Barat, Belgia, Luxembrug, Swedia, Netherlan dan Norwegia) mengadakan pengaturan secara tersendiri. Krus tetap berlaku di antara mereka, tetapi berubah-ubah secara bersama-sama terhadap mata uang negara lain. Sisten krus semacam ini (mengambang bersama-sama) menghasilakan fluktuasi yang menyerupai ular, yang kemudian disebut “Snake like”.

  Negara-negara Eropa dan Jepang telah melepaskan ikatan mata uangnya dengan dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, telah merupakan mata uang yang mengambang. Namun demikian Dolar masih memegang peranan penting dalam lalu lintas pembayaran internasiolal. Pembayaran luar negeri, kebijakan campur tangan dalam valuta asing oleh Bank Sentral, serta catatan-catatan statistik Dana Moneter Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa masih menggunakan dasar mata uang Dolar.

  2.3 Sistem Penetapan Kurs

  Mekanisme penentuan kurs bisa dikategorikan menjadi beberapa kelompok:

2.3.1 Free Float (Mengambang Bebas)

  Berdasarkan sistem ini, kurs mata uang dibiarkan mengambang bebas tergantung kekuatan pasar. Beberapa faktor yang mempengaruhi kurs, misal inflasi, pertumbuhan ekonomi, inflasi akan digunakan oleh pasar dalam mengevaluasi kurs mata uang negara yang bersangkutan. Jika variable tersebut berubah, atau penghargaan terhadap variable tersebut berubah, kurs mata uang akan berubah. Sistem mengambang bebas juga disebut sebagai clean float.

2.3.2 Float yang dikelola (Managed Float)

  Sistem mengambang bebas mempunyai kerugian karena ketidakpastian kurs cukup tinggi. Sistem float yang dikelola, yang sering disebut juga sebagai dirty float, dilakukan melalui campur tangan Bank Sentral yang cukup aktif.

  Bank Sentral kemudian akan melakukan intervensi jika kurs yang terjadi di luar batasan yang telah ditetapkan. Beberapa bentuk intervensi: Bank Sentral kemudian akan melakukan intervensi jika kurs yang terjadi di luar batasan yang telah ditetapkan. Beberapa bentuk intervensi:

  Menstabilkan fluktuasi harian. Bank Sentral melakukan cara ini dengan tujuan menjaga stabilasisasi kurs agar perubahan atau pergerakan kurs tetap teratur.

  b) Menunda kurs (leaning against the wind). Melalui cara ini bank sentral

  melakukan intervensi dengan tujuan mencegah atau mengurangi fluktuasi jangka pendek yang cukup tajam, yang diakibatkan oleh kejadian yang sifatnya sementara.

  c)

  Kurs tetap secara tidak resmi (unofficial pegging). Melalui cara ini Bank Sentral melawan kekuatan pasar dengan menetapkan (secara resmi) kurs mata uangnya.

2.3.3 Perjanjian Zona Target Tertentu

  Melalui perjanjian ini, beberapa negara sepakat untuk menentukan kurs mata uangnya secara bersama dalam wilayah kurs tertentu. Jika kurs melewati batas atas atau batas bawah, Bank Sentral negara yang bersangkutan akan melakukan intervensi.

a. Dikaitkan dengan Mata Uang Lain

  Sekitar 62 negara dari 162 negara anggota IMF mengkaitkan nilai mata uangnya terhadap mata uang lainnya. Sebagian mengkaitkan nilai mata uangnya terhadap mata uang negara tetangga.

b. Dikaitkan dengan Kelompok Mata Uang lain

  Sekitar 21 negara mengkaitkan mata uangnya terhadap kelompok mata uang lainnya. Basket, kelompok, atau portofolio mata uang tersebut biasanya terdiri dari mata uang partner dagang yang penting. 19 negara mengkaitkan nilai mata uangnya terhadap portofolio yang mereka buat sendiri.

c. Dikaitkan dengan Indikator Tertentu

  Dua negara, Chili dan Nikaragua, mengkaitkan mata uangnya terhadap indikator tertentu, seperti kurs riil efektif, kurs yang telah memasukkan inflasi terhadap partner dagang mereka yang penting.

2.3.4 Sistem Kurs Tetap

  Di bawah sistem kurs tetap, pemerintah atau Bank Sentral menetapkan kurs secara resmi. Kemudian Bank Sentral akan selalu melakukan intervensi secara aktif untuk menjaga kurs yang telah ditetapkan tersebut.

  Jika kurs resmi dirasakan sudah tidak sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi negara tersebut, devaluasi atau revaluasi dilakukan. Cara yang bisa dilakukan selain devaluasi adalah:

  1. pinjaman asing

  2. pengetatan

  3. pengendalian harga dan upah

  4. pembatasan aliran modal keluar

2.4 Cara Melakukan Transaksi Internasional

  Adapun cara untuk melakukan pembayaran internasional yang timbul akibat perdagangan dan peminjaman internasional antara lain sebagai berikut:

a. Pembayaran dengan Surat Wesel Dagang (Commercial Bill of Exchange atau Commercial draft atau Trade Bill)

  Surat wesel dagang adalah pembayaran yang dilakukan dengan cara eksportir menarik surat wesel atas importir sejumlah harga barang- barang beserta biaya-biaya pengirimannya.

  Dalam surat wesel tersebut harus dilampiri dokumen-dokumen berupa: -

  faktur (invoice),

  konosemen atau surat muatan (bill of lading),

  daftar isi barang (packing list),

  surat keterangan asal barang (certificate of origin),

  surat keterangan pabean,

  surat asuransi (insurence). Cara pembayaran semacam ini sekarang masih banyak digunakan

  dalam lalu lintas pembayaran internasional. Dengan surat wesel, apabila eksportir membutuhkan uang sebelum jatuh tempo, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain, yang kelak akan menukarkannya kepada importir setelah wesel itu jatuh tempo.

b. Kompensasi Pribadi

  kompensasi pribadi adalah adalahcara pembayaran dengan mengalihkan penyelesaian utang piutang pada seorang penduduk dalam satu negara tempat penduduk tersebut tinggal.

  Cara pembayaran ini digunakan di Indonesia sekitar tahun 1960-an, namun sekarang sudah tidak banyak lagi digunakan dalam perdagangan internasional.

c. Pembayaran Tunai

  Pembayaran tunai atau pembayaran di muka adalah pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan uang tunai atau cek, yang dilakukan bersama-sama dengan surat pesanan atau menunggu diterimanya kabar bahwa barang yang telah dipesan dikapalkan oleh eksportir. Cara pembayaran ini mempunyai risiko yang besar.

d. Pembayaran dengan Letter of Credit

  Letter of credit atau commercial letter of credit adalah surat yang dikeluarkan oleh bank atas permintaan pembelian sejumlah barang di mana bank sendiri yang mengakseptir (menyetujui) dan membayar surat wesel yang ditarik oleh eksportir.

  Transaksi yang menggunakan fasilitas LC terdiri atas:

  LC biasa, artinya LC dimana seorang importir bisa langsung membayar sesuai dengan harga barang melalui bank yang ditunjuk

  Merchant LC, artinya LC dimana seorang importir dapat memasukkan barang terlebih dahulu dengan melakukan pembayaran sebagian, sedangkan sisanya dibayar kemudian.

  Indutrial LC, artinya impor banang-barang industri atau barang modal

  secara cepat dan tidak dipakai untuk barang konsumsi.

  Red Clause LC, artinya LC yang mencantumkan instruksi kepada

  Advising Bank (bank yang ditunjuk) untuk melaksanakan pembayaran sebagian dari jumlah LC kepada eksportin sebelum mengapalkan barang-barang ekspor.

  Usance LC, artinya LC yang pembayarannya baru dilakukan dengan tenggang waktu tertentu, misalnya 1 bulan dari pengapalan barang atau 1 bulan setelah penunjukan dokumen.

e. Pembayaran Kemudian atau Rekening Terbuka (Open Account)

  Pembayaran kemudian atau rekening terbuka adalah cara membiayai transaksi perdagangan internasional di mana eksportir mengirimkan barang kepada importir tanpa adanya dokumen- dokumen untuk meminta pembayaran. Pembayaran dilakukan setelah barang laku dijual atau satu sampai dengan tiga bulan setelah tanggal pengiriman, sesuai dengan penjanjian yang disepakati bersama. Sistem ini sangat membantu pengimpor melakukan transaksi perdagangan, akan tetapi berisiko besar bagi pengekspor.

f. Pembayaran dengan Konsinyasi (Consignment)

  Pembayararan secara konsinyasi dilakukan setelah barang yang dikirim sudah terjual seluruhnya atau sebagian. Metode ini biasanya dilakukan kepada orang yang telah dikenal dengan baik. Jadi, barang yang akan dijual merupakan barang titipan untuk jangka waktu tertentu dan pembayaran dengan termin waktu. Untuk memperkecil risiko penjual, sebaiknya menggunakan jasa bank dalam pengiriman dokumen penagihan dan bonded warehouse untuk penitipan barangnya. Apabila barang sudah terjual, pembeli membayar kepada bank sejumlah uang atas nilai barang dan sebagai gantinya bank akan menyerahkan delivery instruction kepada bonded warehouse untuk mengeluarkan barangnya.

2.5 Fenomena Aktual Ekonomi internasional

  Fenomena yang terjadi saat ini khususnya di kawasan ASEAN adalah penyatuan mata uang di antara Negara ASEAN, atau pencanangan mata uang tunggal. Hal tersebut di lakukan kerena mengingat adanya keberhasilan kawasan ekonomi eropa memberlakukan kebijakan mata uang bersama.Dari sisi ekonomi jika sekelompok negara ternyata memiliki mata uang yang berkorelasi sangat erat, maka secara implisit kelompok negara tersebut dapat menggabungkan mata uangnya.

  Dengan kata lain negara tersebut dapat melepaskan kekuasaan moneternya dan memberikan kepada suatu badan supra nasional (dalam wadah ekonomi bersama).Salah satu contoh yang paling sukses dari proses penggabungan ini adalah keberadaan European Monetary Union, (EMU) dan mata uang tunggal dengan European Central Bank (ECB) sebagai bank sentralnya. Namun demikian proses kearah penggabungan moneter sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Treaty Of Rome (1957) dapat dikatakan titik tolak yang meletakkan dasar atau fase yang harus ditempuh dalam rangka pembentukan komunitas ekonomi Eopa.Salah Dengan kata lain negara tersebut dapat melepaskan kekuasaan moneternya dan memberikan kepada suatu badan supra nasional (dalam wadah ekonomi bersama).Salah satu contoh yang paling sukses dari proses penggabungan ini adalah keberadaan European Monetary Union, (EMU) dan mata uang tunggal dengan European Central Bank (ECB) sebagai bank sentralnya. Namun demikian proses kearah penggabungan moneter sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Treaty Of Rome (1957) dapat dikatakan titik tolak yang meletakkan dasar atau fase yang harus ditempuh dalam rangka pembentukan komunitas ekonomi Eopa.Salah

  1. Perdagangan intra wilayah (yang diukur oleh share perdagangan

  internal terhadap GDP).

  2. Komposisi perdagangan berdasarkan tipe produk. Dengan

  berlangsungnya transisi ekonomi, negara-negara di wilayah ini (kecuali Singapura) memiliki tendensi sebagai Negara manufaktur.

  3. Pola goncangan ekonomi. Meskipun dampak goncangan adalah lebih

  besar di ASEAN tetapi kecepatan pemulihan lebih tinggi di wilayah ini. Dengan demikian dapat dikatakan hasil bersih dari pola goncangan ekonomi semacam ini adalah cenderung netral.

  Namun demikian mereka juga menemukan beberapa faktor yang dianggap dapat mengurangi daya tarik penyatuan moneter bagi wilayah ASEAN. Faktor-faktor ini adalah :

  a)

  Diversifikasi budaya dan system politik di ASEAN cenderung lebih tinggi dibandingkan Uni Eropa

  b) Diversifikasi perdagangan yang signifikan.

  Meskipun US, Jepang dan Zona Eropa adalah rekan dagang utama, namun proporsi masing-masing adalah heterogen. Hal ini berimplikasi Pergerakan Bersama Mata Uang ASEAN 4 Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area Dengan Menggunakan Model Vector Error Correction bahwa setiap negara ASEAN memiliki suatu goncangan spesifik pada level tertentu.

  OCA index (Eichengreen dan Bayoumi, 1996) menunjukkan kesiapan negara ASEAN masih kalah dengan negara Eropa pra traktat Maastricth.

  Disini ditunjukkan divergennya arah keterkaitan mata uang ASEAN terhadap salah satu mata uang utama dunia. Singapura,Malaysia dan Philipina misalnya, lebih cocok masuk sebagai blok USD. Sedangkan Indonesia dan Thailand cenderung kepada blok JPY. Hasil ini mengkonfirmasi temuan empiris Frankel dan Wei (1994), Kim dan Ryou (2001) dan Alesina et al (2002) bahwa permasalahan yang dihadapi dalam penyatuan keuangan Negara-negara ASEAN adalah tidak adanya suatu mata uang anchor yang tunggal bagi mata uang negara ASEAN tersebut.

  Dari sisi institusi, aktivitas ditingkat ofisial tentang keberadaan OCA dapat dikatakan langka. Beberapa lembaga kerjasama regional telah ada diwilayah ini, misalnya ASEAN, AFTA dan SEACEN, ASEAN misalnya bahkan telah berdiri sejak 1967.

  Namun demikian diskursus mengenai suatu kerjasama regional yang lebih erat melalui kerjasama moneter (dan mata uang bersama) baru terdengar pasca krisis keuangan Asia 1997. Era sebelum ini suatu kerjasama moneter yang lebih serius tampaknya terkendala oleh keberadaan rezim nilai tukar yang heterogen diwilayah Asia (Wilson, 2002).

  Tahun 1997, Jepang menawarkan ide Asian Monetary Fund (AMF). Hal ini merupakan wujud dari kesadaran terhadap perlunya suatu dana emergency yang siap digunakan ketika dibutuhkan.

  Tampaknya ini juga merupakan reaksi kecewa terhadap sikap lamban IMF dalam mengatasi krisis Asia. Ide ini memperoleh resistensi keras dari IMF (dan stake holder utamanya, sehingga akhirnya gagal diwujudkan. Sebagai pengganti, dalam kerangka ASEAN+3 suatu kesepakatan dalam hal penyediaan dana emergency diwujudkan dalam bentuk pejanjian swap. Inisiatif ini dikenal sebagai Chiang Mai Initiatives.

  Dari forum ini tampaknya terlihat adanya perkembangan kearah suatu instrument obligasi Asia. Dari sisi upaya penyatuan mata uang, negara- negara diwilayah ini terlihat jauh lebih kaku Meskipun dibawah Hanoi Plan Action dibulan Desember 1998, pemimpin wilayah ASEAN sepakat untuk memulai suatu studi kelayakan atas adopsi mata uang bersama. Namun baru Januari 2001, suatu proyek resmi untuk penelitian ini dimulai (Wilson, 2002). Proyek ini dikenal dengan nama Kobe Research Project. Meskipun ditingkat pengambil kebijakan arah penyatuan moneter adalah bergerak lamban, pra kondisi bagi negara Asia sebenarnya telah ada Eichengreen dan Bayoumi (1996) dalam suatu studinya berkesimpulan bahwa wilayah Asia Timur telah memenuhi persyaratan standar OCA serta telah memiliki kesiapan yang sama dengan wilayah zona Eropa.

  Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2010 (1999) juga mengusulkan hal yang serupa, namun dengan mesyaratkan perlunya suatu komitmen politik untuk memastikan bahwa proyek ini akan berhasil. Proposal lainnya dapat dilihat misalnya Wilson (2002), Mundel (2003), dan Branson dan Healy (2005). Syarat dan kondisi teoritis dimana penyatuan mata uang adalah menguntungkan merupakan subyek dari teori Optimum Currency Area (OCA). Teori OCA modern secara komprehensif diuraikan oleh Robert Mundell (1961) dalam seminar paper nya yang berjudul A Theory Of Optimum Currency Areas.

  Secara ringkas teori tersebut menguraikan bahwa sekelompok negara dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dengan melepaskan penggunaan mata uang sendiri dan (secara bersama) mengadopsi mata uang lain atau menerapkan rezim nilai tukar tetap (khususnya antar mata uang negara anggota OCA.

  Manfaat yang lebih besar ini dapat terjadi karena berbagai hal misalnya signifikannya transaksi perdagangan internal anggota OCA, Manfaat yang lebih besar ini dapat terjadi karena berbagai hal misalnya signifikannya transaksi perdagangan internal anggota OCA,

  Pada satu dekade belakangan ini berkembang suatu pemikiran kontemporer didalam teori OCA. Berbeda dengan pola pemikiran sebelumnya dimana wilayah moneter bersama akan optimal jika negara- negara anggotanya memenuhi syarat karakteristik OCA, Frankel dan Rose (1998), justru berpendapat sebaliknya: karakteristik OCA adalah bersifat endogen. Dengan kata lain sekelompok negara dapat saja tidak memenuhi satu-lebih karakteristik OCA.

2.5.1 Persyaratan Optimum Currency Area

  1. Fleksibilitas harga dan upah

  2. Mobilitas faktor produksi

  3. Integrasi pasar keuangan

  4. Tingkat keterbukaan ekonomi

  5. Diversifikasi produksi dan konsumsi

  6. Kesamaan tingkat inflasi

  7. Integrasi fiskal

  8. Integrasi politis

2.5.2 Karakteristik OCA Persyaratan Untuk OCA

  Fleksibilitas harga dan upah didalam dan diantara negara OCA memperkecil penyesuaian nilai tukar apabila terjadi kejutan.

  Mobilitas faktor produksi, termasuk tenaga kerja, antar negara OCA memperkecil penyesuaian harga factor produksi dan nilai tukar terhadap kejutan Integrasi finansial dalam bentuk mobilitas modal (FDI, portfolioinvestment, pinjaman) antar negara OCA memungkinkan penyesuian kejutan melalui aliran modal. Keterbukaan ekonomi antara negara OCA yang tinggi akan memperbesar transmisi harga internasional ke harga domestik.

  Keberagaman tenaga kerja, sektor ekonomi dan produksi antar negara OCA memperkecil penyesuaian Term Of Trade Kesamaan inflasi (dalam arti rendah dan stabil) antar negara OCA mendorong stabilitas term of trade dan menyeimbangkan current account. Sistem transfer fiskal antar negara OCA memungkinkan distribusi dana ke negara yang membutuhkan. Kemauan politik memperkuat kepatuhan komitmen bersama, kerjasama berbagai kebijakan ekonomi, dan hubungan kelembagaan antar Negara OCA.

2.5.3 Manfaat dan Biaya Integrasi Ekonomi

  1. Peningkatan efisiensi mikro karena penggunaan uang yang lebih luas.

  2. Perbaikan stabilitas makro dan pertumbuhan karena stabilitas harga dan Akses dana yang lebih besar dari integrasi finansial.

  3. Positive externality dari biaya transaksi dan cadangan devisa yang lebih rendah serta koordinasi kebijakan yang lebih efektif.

2.6 Faktor Penghambat Non Ekonomi Penerapan Mata Uang Tunggal di ASEAN

2.6.1 Heterogenitas Kultur Masyarakat di Kawasan ASEAN

  Masyarakat ASEAN terdiri dari berbagai etnis, ras, budaya, bahasa, serta adat istiadat yang berbeda-beda antar berbagai Negara, bahkan dalam satu lingkup negara pun masih terdapat heterogenitas masyarakat di dalahnya, seperti yang terjadi di indonesia. Hal tersebut menjadi salah Masyarakat ASEAN terdiri dari berbagai etnis, ras, budaya, bahasa, serta adat istiadat yang berbeda-beda antar berbagai Negara, bahkan dalam satu lingkup negara pun masih terdapat heterogenitas masyarakat di dalahnya, seperti yang terjadi di indonesia. Hal tersebut menjadi salah

2.6.2 Masih Rendahnya Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kawasan ASEAN

  Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di kawasan ASEAN terutama yang terdapat di Negara-negara seperti indonesia, Timor leste, dan Negara lain yang masih tergolong Negara berkembang menjadi salah satu penghambat dari peneapan mata uang tunggal di kawasan ASEAN. Karna faktor pendidikan sangat domonan dalam melakukan transformasi-transformasi di sebuah kawasan atau Negara.

2.6.3 Kondisi dan Letak Geografis Kawasan ASEAN

  Kondisi serta letak geografis Negara-negara di kawasan ASEAN yang terdiri dari ribuan pulau yang masing-masing di pisahkan oleh laut, menjadikan arus mobilitas, baik dari segi ekonomi maupun social agak terganggu. Karena keberhasilan arus mobolitas sebuah kawasan faktor yang utama di dukung oleh akses lalulintas ekonomi yang baik, serta mudah di jangkau.hal tersebut menjadi salah stu masalah dalam memberlakukan penerapan mata uang tunggal ASEAN.

2.6.4 Kondisi Keamanan yang Belum Stabil

  Konflik-konflik yang terjadi di kawasan ASEAN baik konflik horizontal.vertikal, maupun diagonal yang terjadi di dalam Suatu Negara atau sengketa antar Negara belum dapat di minimalisir secara optimal oleh pemerintah masing-masing Negara di kawasan ASEAN, contohnya konflik yang terjadi di Filipina Antara pemerintah flipin, Indonesia, Myanmar, Thailand, serta Kamboja. Faktor tersebut menjadi salah satu penghambat penerapan mata uang tunggal di ASEAN.

2.7 Kebijakan Moneter di Indonesia

  Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter. Sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

2.7.1 Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia

  Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku

2.7.2 Tujuan Kebijakan Moneter Di Indonesia

  Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.

  3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.

  Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

  Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional,

  pengendalian

  sasaran-sasaran

  moneter tersebut

  menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

2.8 Keterkaitan Sistem Moneter Internasional dengan Sistem Moneter

  yang Dianut di Indonesia.

  Rentang masa pada tahun 1945 – 1949, dimana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda merupakan masa teramat buruknya kondisi perekonomian yang dialami. Meskipun Belanda saat itu telah mengakui secara de jure kedaulatan Republik Indonesia, tetapi usaha-usaha mengontrol dan mengintervensi ekonomi Indonesia masih menjadi tujuan strategis mereka ketika berada di wilayah kedaulatan. Ini terbukti dari langkah-langkah mereka dalam menguasai sebagian wilayah Indonesia dan Indonesia beberapa kali mengalami pergantian penguasa dan pusat Negara (Ibukota) yang disebabkan penculikan yang dilakukan kepada penguasa saat itu (Soekarno).

  Selama masa itu (1945 – 1949) perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat menyedihkan. Seluruh indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas bahwa kondisi jatuhnya ekonomi teramat dalam. Penurunan produksi yang penyebab utamanya adalah hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang. Deficit neraca perdagangan terjadi beberapa tahun, deficit anggaran belanja Republik Indonesia dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan Belanda yang dibentuk di Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar dipergunakan untuk bidang militer yang masing-masing kepentingannya untuk berperang diantara keduanya. Sehingga saat itu penambahan volume peradaran uang yang berlebihan akibat pencetakan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan excess demand (permintaan berelebih) dari jumlah penawaran yang tetap dan terjadi inflasi yang sangat tinggi.

  Data saat itu menunjukkan bahwa volume peredaran uang telah mencapai Rp. 6 miliar untuk wilayah yang dikuasai Indonesia, sedangkan pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya mencapai Rp. 3,7 miliar (tahun 1949).

  Pada tahun yang sama terdapat berbagai jenis mata uang yang beradar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya mengakibatkan situasi moneter menjadi teramat kacau (chaos) dan membigungkan. Kebijakan-kebijakan keuangan Negara di daerah tidak banyak perbedaan dengan kebijakan daerah pendudukan Belanda. Anggaran belanja kedua pemerintahan terus-menerus deficit hanya untuk memenuhi kebutuhan perang dengan tanpa memperbaiki kondisi perekonomian yang saat itu inflasi terlampau tinggi. Kendati demikian, pada tahun itu, Amerika Serikat dalam rangka melaksanakan program ‘Marshal Plan’ telah bersedia menyediakan dana bagi negara-negara eropa untuk membantu memulihkan perkonomiannya. Nah, karena Indonesia merupakan ‘dependent territory’ dari Belanda (Nederland), maka berhak menerima baik langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat pemberian bantuan tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang Indonesia (pendudukan Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening ‘E.C.A. Counterpart Fund’, yang mulai diberlakukan untuk tujuan selektif. Akibat hal itu, lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan luar negeri berlangsung di bawah suatu ‘rezim devisa’, yang telah diberlakukan pada pertengahan 1940. Pangkal pokoknya dari ‘rezim devisa’ tersebut adalah bahwa devisa dan emas pada prinsipnya hanya diperkenankan dimiliki oleh negara. Dampak selanjutnya adalah valuta asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada dana devisa.

  Ekonomi moneter daerah kekuasaan Indonesia dengan secara langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana hanya mampu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan polotik dan militer serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan rakyat.

2.8.1 Peredaran Mata Uang di Indonesia

  Jumlah uang yang telah beradar di masyarakat pada saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure adalah jumlah uang tersebut ditambah dengan jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berikut adalah jenis-jenis mata uang yang telah diedarkan oleh pemerintahan Indonesia dan beberapa jenis mata uang yang beredar di Indonesia.

2.8.2 Jenis Mata Uang Pemerintah Pencetak Daerah Peredaran

   ORI Pemerintah Pusat (Yogyakarta) Jawa dan Madura  URIBA Pemda Aceh Aceh  URITA Pemda Tapanuli Tapanuli  ORIPS Pemda Sumatera Tengah Sumatera Tengah  URISU Pemda Sumatera Utara UMUT dan Aceh  URIDAB Pemda Banten Banten  Uang Mandat Dewan Pertahanan Daerah SUMSEL SUMSEL  Straits Dollar Pemerintah Singapura dan Malaya Kepulauan Riau  Nieuw Gulden Pemerintah Hindia Belanda Irian Barat  Gunpyo Militer Jepang Pendudukan Jepang

  Ketika masa pendudukan Belanda mata uang yang berlaku adalah mata uang yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda, yaitu uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas pemerintah Hindia Belanda (munbilyet). Mata uang tersebut tetap dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk aktivitas ekonomi Indonesia. Pada saat peredaran uang ‘muntbilyet’ itu, pemerintah Jepang mengeluarkan jenis mata uang sebagai alat pembayaran yang dikenal dengan ‘uang invasi’. Ketika pendudukan Indonesia oleh Jepang, ketiga mata uang tersebut beredar dan berlaku untuk segala transaksi perdagangan. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama sebab mata uang Jepang mampu mendominasi Ketika masa pendudukan Belanda mata uang yang berlaku adalah mata uang yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda, yaitu uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas pemerintah Hindia Belanda (munbilyet). Mata uang tersebut tetap dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk aktivitas ekonomi Indonesia. Pada saat peredaran uang ‘muntbilyet’ itu, pemerintah Jepang mengeluarkan jenis mata uang sebagai alat pembayaran yang dikenal dengan ‘uang invasi’. Ketika pendudukan Indonesia oleh Jepang, ketiga mata uang tersebut beredar dan berlaku untuk segala transaksi perdagangan. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama sebab mata uang Jepang mampu mendominasi

2.8.3 Daerah Peredaran Volume

  1. Pulau Jawa 2,4 miliar

  2. Sumatera 1,6 miliar

  3. Kalimantan dan Sulawesi 4 miliar Total Peredaran diperkirakan 8 miliar

2.8.4 ORI Sebagai Instrumen Moneter

  Oeang Republik Indonesia (ORI) merupakan uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kepentingan pencetakan ORI adalah untuk menggantikan uang Hindia Belanda dan uang Jepang yang telah lama beredar dan berlaku di Indonesia. Saat pengeluaran ORI berjalan penuh hambatan karena rencana pembuatan yaitu pada saat pemerintahan berada di Jakarta sedangkan ketika ORI sudah dikeluarkan pemerintahan berpindah ke Yogyakarta. Dala fungsiya sebagai alat pembayaran revolusi, ORI dapat disamakan dengan “continental money” (greenbacks), yang dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika Serikat. ORI juga sebagai “instrumen of revolution” karena dipergunakan untuk administrasi negara, memperkuat kebutuhan tentara, memelihara kemanan dan ketertiban, serta mensejahterakan rakyat.

  Ketika ORI akan diedarkan, pemerintah menarik kedua mata uang yang saat itu beredar di masyarakat. Tetapi menjadi hal yang tidak mungkin penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang terlalu besar, maka akan terjadi kekacauan perekonomian dan kerugian bagi masyarakat. Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk Ketika ORI akan diedarkan, pemerintah menarik kedua mata uang yang saat itu beredar di masyarakat. Tetapi menjadi hal yang tidak mungkin penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang terlalu besar, maka akan terjadi kekacauan perekonomian dan kerugian bagi masyarakat. Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk

  ORI ditandatangani oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis pada tanggal 17 Oktober 1945 dan kemudian mulai beredar pada tanggal 30 Oktober 1946. Hanya bertahan selama 3 tahun 5 bulan atau tepatnya pada bulan Maret 1950 ORI kembali ditarik dari peredaran sehingga mata uang ini yang tidak sempat disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia dibuatlah jenis mata tiap daerah oleh Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan alat pembayaran yang sah sebagaimana disebutkan penyusun pada pembahasan sebelumnya. ORI pada akhir tahun 1949 telah mencapai volume Rp. 6 miliar. Pemerintah saat itu sangat menyadari bahwa kebijakan deficit financing menyebabkan perkembangan inflasi yang sangat tinggi. Tetapi pemerintah berada dalam kondisi yang dilema disebabkan kebutuhan yang sangat besar untuk perang.tindakan-tindakan perpajakan sangat tidak mungkin dilakukan karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan.

2.8.5 Perubahan Fungsi Bank Central dari BNI ke BI

  Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang no 21946 tanggal

  5 Juli 1946 Bank Negara Indonesia (BNI) ditetapkan sebagai Bank sirkulasi dan Bank sentral kendati demikian BNI juga sebagai Bank Umum.

  Dalam kondisi perekonomian Indonesia pasca proklamasi yang masih menyedihkan, BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pengambil kebijakan moneter Indonesia secara maksimal. Kondisi perjuangan melawan penjajahan menyudutkan BNI untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun sudah memenuhi wewenangnya dan berperan serta dalam penerbitan ORI, tetapi proses pengawalan moneter menjadi terbengkalai. Pengeluaran ORI dalam volume yang sangat banyak menyebabkan BNI tidak mampu mengendalikan arus inflasi yang terjadi akibat kelebihan permintaan pada jumlah penawaran yang tetap.

  BNI memiliki beberapa tugas dan wewenang dalam memlihara stabilitas moneter dan mengamankan pertumbuhan ekonomi. Beberapa kategorinya pekerjaan yang sangat luas tersebut termasuk kebijakan pembatasan perkreditan secara kuantitatif dan kualitatif; penetpan dan perubahan tingkat bunga; penentuan junlah uang beredar, dan yag diperkirakan diperlukan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi tertentu. Sekali lagi, bahwa kondisi-kondisi yang penuh dengan kekacauan tugas- tugas tersebut tidajk dapat dipenuhi kecuali BNI pernah memberikan kredit ke berbagai bank-bank lain.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63