Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara
Abdil Mughis Mudhoffir
Indo Progress | 15 Desember 2016
http://indoprogress.com/2016/12/kekerasan-sipil-dan-kekuasaan-negara/

KEBERADAAN kelompok-kelompok sipil yang dapat menggunakan kekerasan secara
‘sahih’ di luar aparatus represif negara serta maraknya aksi-aksi intimidasi dan
kekerasan oleh kelompok tersebut (vigilantisme), kerap menjadi catatan khusus
dalam memahami proses demokratisasi di Indonesia. Pasalnya, meskipun
demokratisasi di Indonesia telah berjalan lebih dari satu setengah dasawarsa,
kekerasan sipil serta kelompok-kelompok vigilante tetap ada.
Beberapa kasus kekerasan sipil yang mencuat pasca Reformasi antara lain
pembubaraan diskusi, penganiayaan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas
serta penyerangan terhadap rumah ibadah. Namun, fenomena semacam itu bukan
hal yang baru di Indonesia. Sepanjang Orde Baru, kekerasan sipil juga telah menjadi
bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berpuncak pada pengorganisasian
kelompok preman dalam wadah Pemuda Pancasila.
Pertanyaannya, mengapa negara yang seringkali dianggap sebagai aktor yang paling
bertanggung jawab terhadap ketertiban sosial tampak mengabaikan adanya aksi-aksi
kekerasan dan kelompok vigilante?
Menurut saya, fenomena vigilantisme merupakan produk dari struktur ekonomi-politik

yang menghendaki penggunaan kekerasan sipil sebagai elemen penting suatu negara
dalam proses akumulasi sumber daya. Keberadaan kekerasan sipil, dengan demikian,
inheren di dalam proses pembentukan negara dan perkembangan kapitalisme di
Indonesia. Argumen ini merupakan kritik terhadap pandangan yang menilai
munculnya kelompok vigilante sebagai akibat lemahnya penegakan hukum pada era
demokrasi

yang

terfragmentasi.

terdesentralisasi

atau

akibat

kekuasaan

yang


semakin

Diskursus Negara dan Kekerasan
Beberapa pengamat, akademisi, serta aktivis demokrasi dan Hak Asasi Manusia
(HAM) menilai fenomena vigilantisme sebagai produk dari kegagalan negara dalam
menjamin perlindungan sosial kepada warganya. Kegagalan itu juga diyakini sebagai
manifestasi dari lemahnya penegakan hukum, baik yang berkaitan dengan
aparaturnya maupun sistemnya. Negara, di satu sisi, dapat dipandang abai dalam
melindungi warganya dari kekerasan, tetapi di sisi lain juga dapat diklaim secara
sengaja membutuhkan aktor-aktor kekerasan sipil itu sebagai proxy (perwakilan dari).
Pandangan semacam itu sesungguhnya lahir dari asumsi bahwa negara adalah aktor
yang memonopoli penggunaan kekerasan yang sahih dalam suatu teritori tertentu,
seperti yang didefinisikan oleh ilmuwan politik Max Weber. Namun, karena kekuasaan
negara dianggap tidak selalu dapat merengkuh semua yang ada dalam batas
teritorinya, agen-agen non-negara diperlukan untuk melengkapinya.
Asumsi tersebut juga seturut dengan pengertian vigilantisme itu sendiri, bahwa
‘tindakan main hakim sendiri’ lahir karena negara dianggap tidak mampu menegakkan
ketertiban. Argumen yang sama sering pula dikutip oleh kelompok-kelompok
semacam Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), dan Pemuda

Pancasila (PP) untuk melegitimasi penggunaan kekerasan.
Sementara itu, dengan menolak perspektif Weberian di atas, pandangan yang lain
menilai vigilantisme sebagai manifestasi kekuasaan negara yang tidak pernah benarbenar terpusat dan otonom. Monopoli penggunaan kekerasan oleh negara dianggap
hanya imajinasi belaka, tidak pernah mewujud sebagai kenyataan. Hakekat
kekuasaan negara, dengan kata lain, senantiasa dalam keadaan terfragmentasi.
Kehadiran kelompok-kelompok vigilante adalah wujud fragmentasi kekuasaan itu
sekaligus penantang negara dalam menegakkan otonomi dan monopoli penggunaan
kekerasan.
Pengertian Weberian tentang negara yang memonopoli penggunaan kekerasan
secara sahih pada akhirnya juga dapat diperluas kepada kelompok-kelompok
kekerasan sipil tersebut. Jika negara memperoleh kesahihan penggunaan kekerasan
melalui legitimasi legal, kelompok vigilante meraihnya melalui dukungan publik dan
pada segi tertentu juga pembiaran negara.

Retorika tentang nahi munkar (atau mencegah kesesatan dalam Islam) atau diskursus
tentang anti-komunisme dan pembelaan atas Pancasila, misalnya, kerap digunakan
untuk memperoleh dukungan publik atas eksistensi dan tindakan kekerasan oleh
kelompok semacam FPI hingga Pemuda Pancasila.

Ekonomi-Politik Kekerasan Sipil

Pandangan-pandangan

di

atas

menurut

saya

memiliki

dua

kelemahan

pokok. Pertama, keduanya memandang demokrasi mengandung anomali dan
kontradiksi. Di satu sisi demokrasi menjamin kebebasan, di sisi lain ia memberi
kesempatan kemunculan kelompok-kelompok kekerasan. Dengan kata lain,
vigilantisme lahir karena tersedianya kesempatan politik yang dijamin oleh institusi

demokrasi tetapi tidak dilengkapi oleh memadainya kapasitas negara dalam menjamin
keamanan warganya.
Situasi semacam ini juga sering dipandang sebagai gambaran bahwa demokrasi di
Indonesia belum mencapai tahap perkembangan yang matang atau disebut juga
masih dalam fase transisi. Namun, sampai kapan transisi demokrasi berlangsung dan
apa yang menjadi ukuran? Jawaban atas pertanyaan ini tidak pernah jelas. Yang ada,
tesis transisi demokrasi justru melegitimasi terus berlangsungnya praktik vigilantisme
karena pemaklumannya sebagai fenomena transisi.
Kenyataanya, kekerasan sipil bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak era otoriter
Soeharto yang sering dipahami memiliki kapasitas yang kuat dengan kekuasaan yang
tersentralisasi, kekerasan sipil telah hadir menyertai proses pembentukan negara dan
perkembangan kapitalisme. Bahkan sejak era kolonial Belanda, fenomena serupa
juga telah hadir.
Kelemahan kedua dengan demikian berkaitan dengan kecenderungan analisis yang
bersifat ahistoris karena mengabaikan struktur ekonomi-politik yang melahirkan
kekerasan sipil itu. Artinya, kelompok-kelompok vigilante itu pada kenyataannya dapat
hadir dalam berbagai konteks politik yang berbeda-beda, baik saat kekuasaan
terdesentralisasi atau tersentralisasi, dalam konteks demokrasi maupun otoriter, serta
dalam konteks negara yang lemah maupun kuat.


Kehadiran vigilantisme, dengan kata lain, tidak berhubungan dengan lemahnya
kapasitas negara, tidak berjalannya penegakkan hukum atau terdesentralisasinya
kekuasaan. Keberadaan kekerasan sipil lebih ditentukan oleh bekerjanya hubunganhubungan kekuasaan yang ditopang oleh aliansi birokrasi-kapital dalam proses
akumulasi kekayaan. Struktur ekonomi-politik semacam ini yang memungkinkan
negara, di satu sisi, terlihat mengabaikan, tetapi di sisi lain, tampak memanfaatkan
kelompok vigilante untuk kepentingan tertentu.
Namun, dalam setiap periode perkembangan sejarah, bentuk-bentuk penggunaan
kekerasan sipil, aktor-aktor yang menjadi aliansi utama, serta kepentingankepentingan yang muncul itu berbeda-beda sebagai produk perkembangan
kapitalisme dan negara.

Geneologi Kekerasan Sipil
Jika pada era kolonial Belanda, jago, jawara dan preman dimanfaatkan untuk
memungut pajak, mencegah pembentukan serikat buruh perkebunan serta
mengintimidasi kelompok pemberontak, pada era kolonial Jepang kelompok yang
sama dimobilisasi sebagai milisi-milisi untuk melawan Sekutu.
Pasca kemerdekaan, kelompok preman juga telah dimobilisasi oleh partai-partai
politik untuk memobilisasi dukungan publik seperti laskar Sabilillah yang dibentuk oleh
Masyumi, Barisan Banteng yang terafiliasi dengan PNI dan Pesindo yang terafiliasi
dengan PKI.
Tentara pada periode tersebut juga telah menggunakan instrumen kekerasan sipil

untuk memperoleh dukungan publik dalam upaya membubarkan konstituante. Hal itu
dilakukan dengan membentuk Ikatan Pemuda Kemerdekaan Indonesia (IPKI) pada
tahun 1952. Selain itu, dalam melawan dominasi komunis pendukung Soekarno, pada
tahun 1959 tentara juga membentuk Pemuda Pancasila.
Pada tahun 1965, kekerasan sipil juga kembali digunakan dengan memobilisasi
kelompok-kelompok paramiliter serta organisasi pemuda seperti Darul Islam, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Pemuda Pancasila, Banser dan Pemuda Ansor,
termasuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk mengorganisasikan dukungan
publik dalam rangka mendelegitimasi kekuasaan Soekarno dan menghancurkan

komunisme. Periode ini merupakan momentum konsolidasi kapitalisme yang
dilakukan dengan memobilisasi sentimen anti-komunis melalui penghancuran PKI dan
pembunuhan massal para anggota dan simpatisan partai oleh kelompok sipil yang
sekaligus semakin melegitimasi penggunaan kekerasan sipil yang lebih intensif.
Sejak awal Orde Baru tahun 1970-an, misalnya, Soeharto telah memobilisasi
kelompok-kelompok kekerasan atau yang disebut juga gali (gabungan anak-anak liar)
ke dalam berbagai organisasi mulai dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia),
AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) hingga Pemuda Pancasila yang
terafiliasi dengan Golkar untuk memenangkan pemilu.
Pada era Reformasi, kelompok-kelompok kekerasan kembali dimobilisasi oleh negara

dalam wadah pamswakarsa untuk mempertahankan kekuasaan Habibie melawan
gerakan pro-demokrasi. Namun, retorika yang digunakan dalam menggalang
dukungan publik bukan lagi membela Pancasila, melainkan mempertahankan rezim
Islami yang direpresentasikan oleh Habibie sebagai sosok pemimpin Muslim. Sejak
saat itu, vilgilantisme Islam yang menggunakan retorika amar makruf nahi
munkar menguat di Indonesia.
Kasus-kasus diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas, represi terhadap
kelompok oposisi dengan memobilisasi kembali sentimen anti-komunisme, serta
berbagai represi terhadap gerakan-gerakan perlawanan dalam kasus pertambangan
maupun perkebunan, merupakan manifestasi penggunaan kekerasan non-negara
yang tetap hadir dalam praktik bernegara di Indonesia hingga kini.
Dengan demikian, hadirnya kekerasan sipil tidak berhubungan dengan karakteristik
kekuasaan serta sistem pemerintahan di suatu negara. Artinya, mengajukan jalan
keluar dengan memperkuat kapasitas negara dan penegakkan hukum bukan saja
kurang berguna, tetapi juga semakin melegitimasi tetap hadirnya kekerasan sipil
dalam kehidupan sosial-politik. Karena persoalannya terletak pada struktur ekonomipolitik yang memungkinkan penggunaan kekerasan non-negara sebagai bagian dari
instrumen akumulasi kapital, konsolidasi kekuasaan dan legitimasi publik, maka yang
selayaknya lebih menjadi perhatian adalah struktur ekonomi-politik tersebut. ***

Penulis adalah dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta. Kandidat PhD University

of Melbourne, Australia

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di IURIS. Dimuat ulang di sini untuk tujuan
Pendidikan.