Aspek Legal Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang BPHTB

29

BAB II
SISTEM PEMUNGUTAN BPHTB DI KOTA LHOKSEUMAWE

A.

Definisi Dan Klasifikasi Pajak

1.

Definisi Pajak
Pajak sudah dikenal sejak ratusan tahun bahkan seribu tahun yang lalu, namun

konsep pajak pada masa itu jauh berbeda dengan masa sekarang. Intinya adalah
pengalihan harta dari suatu pihak kepada pihak yang lain dengan cara paksaan yang
digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa dengan tujuan memperkokoh
kedudukannya, mengumpulkan lebih banyak kekayaan untuk dinikmati atau
mengumpulkan kekuatan untuk mengalahkan lawannya. Pengenaan pajak langsung
sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno,
antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai

dengan tahun 167 sebelum Masehi. Pengenaan pajak penghasilan secara eksplisit
yang diatur dalam suatu Undang-Undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan
di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama
kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, di mana dasar pengenaan pajak
adalah “a person’s faculty, personal faculties and abilities”.
Pada tahun 1646 di Massachusetts dasar pengenaan pajak didasarkan pada
“returns and gain”. “Personal faculty and abilities” secara implisit adalah
pengenaan pajak penghasilan atas orang pribadi, sedangkan “returns and gain”
berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah

29

30

pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang
selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform
Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada
tahun

1860-an


berdasarkan

Undang-Undang

Pajak

Federal

tersebut

telah

dipergunakan sampai dengan tahun 1962.
Indonesia menjadi daerah jajahan untuk tiga setengah abad oleh Pemerintah
Kolonial Belanda yang juga mengenakan pajak dalam berbagai bentuk termasuk
monopoli pembelian hasil tanaman, kerja paksa atau rodi, pemberian upah yang kecil
kepada pekerja. Semua bentuk kegiatan itu termasuk pengertian pajak dalam arti
luas.41
Pada dasarnya, ada banyak pengertian pajak yang diberikan oleh para sarjana

yang mengemukakan apa sebenarnya pajak itu. Menurut Adriani, pajak adalah iuran
kepada Negara, yang tertuang oleh wajib pajak menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, gunanya untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berkaitan dengan tugas Negara untuk
menjalankan pemerintahan.42 Prestasi kembali yang dimaksud adalah prestasi dari
pemerintah berkaitan dengan pungutan pajak tersebut, yaitu prestasi yang secara
individual langsung dinikmati oleh wajib pajak.
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara
berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa

41
42

Diana Sari, Konsep Dasar Perpajakan, PT. Rafika Aditama, Bandung, 2013, hal 1.
Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal.32.

31

timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.43

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para sarjana
mengenai pajak tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa yang dikatakan pajak
apabila sudah terpenuhinya ciri-ciri berikut ini :44
1.

Pajak

dipungut

berdasarkan

ketentuan

undang-undang

dan

peraturan

pelaksanaannya.

2.

Dalam pembayaran tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi individual oleh
pemerintah

3.

Pajak dipungut oleh pemerintah baik pusat ataupun pemerintah daerah.

4.

Pajak digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran pemerintah, bila pemasukannya
surplus digunakan untuk membiayai public investment.

5.

Pajak dapat juga mempunyai tujuan yang tidak budgeter tetapi bertujuan
mengatur.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana


telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP).
Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

43

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Jakarta-Bandung,
1984, hal. 3.
44
Mokhammad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Sejarah, Konsep Tata
Hukum dan Politik Hukum Indonesia. Setara Press, Malang, 2012, hal 227.

32

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Beberapa poin penting dari paradigma kontemporer dalam mendefinisikan
pajak di antaranya :
1.


Pajak tidak boleh memaksa, karena prinsipnya pajak merupakan wujud
kesadaran masyarakat dalam memberikan konstribusi terhadap Negara.

2.

Pajak harus dikembalikan ke masyarakat sehingga hasil penerimaan pajak tidak
boleh digunakan untuk membayar utang dan menutupi defisit anggaran.

3.

Pembayar pajak mendapat benefit, terutama akses dari pemerintah berupa akses
informasi dan akses ekonomi.

4.

Pajak memiliki pengukuran benefit, misalnya secara transparan pemerintah
menunjukkan bahwa hasil penerimaan pajak digunakan untuk membangun infra
struktur, subsidi pendidikan, dan lainnya.

Ada beberapa yang termasuk kedalam asas-asas perpajakan, yaitu :

1.

Semua sistem perpajakan pada hakikatnya tidak terlepas dari sasaran
pemungutan pajak itu sendiri, yaitu pengalihan penguasaan sumber dana dari
sektor swasta ke pemerintah sepanjang tidak membahayakan dan melahan harus
mampu memberikan kemudahan untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomi
lainnya.

2.

Dalam masyarakat yang modern, perpajakan bersama dengan instrument
kebijakan pemerintah lainnya, juga merupakan saran untuk mencapai suatu

33

standar ekonomi seperti stabilitas harga, kesempatan kerja, pertumbuhan
ekonomi, dan sebagainya.
3.

Untuk itu maka suatu sistem perpajakan hendaknya berlandaskan kepada prinsipprinsip dasar atau asas-asas yang sudah mapan.


2.

Klasifikasi / Penggolongan Pajak
Dari pembagian atau penggolongan pajak sebagai pengkajian, maka pajak dapat

dilihat dari jenis dan klasifikasi pajak yang terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak
langsung. Pembedaan antara kedua pajak tersebut untuk pertama kali digunakan oleh
kaum Physiokrat. Kaum ini merupakan sekelompok orang yang menganggap pajak
atas hasil tanah sebagai satu-satunya pajak langsung karena tanah dianggap sebagai
satu-satunya sumber kekayaan. Pajak lain yang menurut mereka akhirnya juga
dialihkan atas pendapatan dari tanah, dianggap sebagai pajak tidak langsung. Sejak
itu di mana-mana, baik dalam teori maupun praktek, pembedaan yang demikian itu
menjadi umum, namun tidak selalu didasarkan atas kreterium yang sama.
Secara ekonomis, untuk membedakan pajak langsung dengan pajak tidak
langsung dapat dilihat pada adanya 3 (tiga) unsur, yaitu :
a)

Penanggung jawab pajak (tax payer) adalah orang yang secara formal yuridis
diharuskan melunasi pajak, bila terdapat faktor/kejadian yang menimbulkan

sebab untuk dikenakan pajak;

b) Penanggung pajak adalah orang dalam faktanya dalam arti ekonomis memikul
beban pajak;

34

c)

Pemikul beban pajak adalah orang yang menurut maksud pembuat undangundang harus memikul beban pajak (destinataris).
Jika ketiga unsur tersebut terdapat pada seseorang atau suatu badan, maka pajak

tersebut adalah pajak langsung. Sebaliknya jika ketiga unsur tersebut terpisah, artinya
unsur-unsur terdapat pada lebih dari satu orang, maka pajak tersebut adalah pajak
tidak langsung.
a.

Pajak Langsung
Pajak langsung ialah pajak yang dipungut secara periodik (berkala) menurut


Kohir (daftar piutang pajak) yang sesungguhnya tidak lain daripada tindasan-tindasan
dari surat-surat ketetapan pajak. Kohir tersebut, disimpan menurut cara tertentu dalam
bagian Tata Usaha. Piutang pajak, dan dikerjakan menurut cara tertentu pula, seperti
halnya dengan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, Pajak Perseroan, Pajak Rumah
Tangga, Verponding.
Bagi pajak-pajak ini, yang dikenakan periodik terhadap golongan-golongan
wajib pajak yang sudah dapat ditentukan terlebih dulu, (sebelum permulaan tahun
pajak), telah dapat dibuatkan daftar-daftarnya yang bersangkutan. Hal semacam ini
tidak dapat diperbuat bagi pajak-pajak yang tidak termasuk golongan pajak langsung
ini.45 Secara yuridis, pada pajak langsung pihak bertanggung jawab atas pemenuhan

45

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Refika Aditama, Bandung,
2008, hal 85.

35

kewajiban pembayaran pajak ke kas negar ialah wajib pajak yang secara ekonomis
juga sebagai pemikul beban pajak.46
b.

Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung ialah pajak yang hanya dipungut kalau pada suatu ketika

terdapat suatu peristiwa atau perbuatan seperti penyerahan barang tak bergerak,
pembuatan suatu akte. Lagipula pajak ini tidak dipungut dengan surat ketetapan pajak
jadi tidak ada kohirnya, misalnya Bea Materai, Bea Balik Nama, Bea Warisan dan
sebagai besar dari Pajak. Pajak tidak langsung, pihak yang bertanggungjawab atas
pemenuhan kewajiban membayar pajak ke Kas Negara adalah wajib pajak yang telah
melimpahkan beban pajak kepada pihak ketiga. Selain itu, pajak ini merupakan pajak
yang bebannya dapat dilimpahkan kepada pihak atau orang lain dan pemungutannya
memerlukan peristiwa tertentu seperti jual beli barang kena pajak, mengimpor barang
kena pajak, menginap di hotel atau makan di restoran.
c.

Pajak Subjektif dan Pajak Objektif
Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaannya pertama-tama memperhatikan

pribadi wajib pajak (subjek), kemudian menetapkan objek pajaknya. Keadaan pribadi
wajib pajak (daya pikulnya) sangat mempengaruhi besarnya jumlah pajak yang
terutang. Pajak subjektif hanya pajak penghasilan (PPh).
Pajak objektif adalah pajak yang pengenaannya pertama-tama memperhatikan
kepada objeknya, yaitu berupa benda, keadaan perbuatan, peristiwa yang

46

H. Mustaqiem, Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta,
2008, hal 100.

36

menyebabkan utang pajak, kemudian ditetapkan subjeknya, tanpa mempersoalkan
apakah subjek tersebut bertempat tinggal di Indonesia atau tidak. Pajak objektif
diantaranya PPN dan PPn.BM, PBB.
3.

Sifat dan Fungsi Pajak
Menurut sifatnya pajak dapat dibedakan menjadi 4 (empat) pembagian pajak,

yaitu :
1.

Pajak kekayaan dan pajak pendapatan, ialah pajak atas bagian-bagian dari
kekayaan seseorang yang meliputi : pajak kekayaan itu sendiri dan pajak
verponding bangunan. Pajak pendapatan meliputi pajak pendapatan, pajak upah,
dan pajak verponding bukan bangunan.

2.

Pajak lalulintas kekayaan meliputi : bea balik nama karena perjanjian penyerahan
atau atas akta mengenai kapal, bea materai atas nota-nota efek, bea
peredaran/penjualan. Pajak lalulintas barang meliputi : bea masuk dan bea keluar,
bea statistik upah lelang.

3.

Pajak yang bersifat kebendaan meliputi : pajak rumah tangga, pajak senjata api,
pajak anjing, bea tetap karena mempunyai izin penyelidikan atas konsesi
tambang, pajak kendaraan bermotor.

4.

Pajak atas pemakaian meliputi : cukai-cukai, pajak potong hewan, pajak lotere.

Berdasarkan sifat-sifat pajak tersebut di atas, maka terdapat dua fungsi pajak yaitu :
(1) Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Fungsi penerimaan (budgeter) yaitu sebagai alat (sumber) untuk memasukkan
uang sebanyak-banyaknya dalam kas Negara dengan tujuan untuk membiayai

37

pengeluaran Negara yaitu pengeluaran rutin dan pembangunan. Sebagai sumber
pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
Negara.

Untuk

menjalankan

tugas-tugas

rutin

Negara

dan

melaksanakan

pembangunan Negara, membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari
penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti
belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk
pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni
penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari
tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang
semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
(2) Fungsi Mengatur (Reguler)
Fungsi mengatur (regular) yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang keuangan (umpamanya bidang ekonomi, politik, budaya, pertahanan
keamanan) misalnya : mengadakan perubahan tarif, memberikan pengecualianpengecualian, keringanan-keringanan atau sebaliknya pemberatan-pemberatan yang
khusus ditujukan kepada masalah tertentu. Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan
ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pelaksanaan fungsi ini bisa bersifat positif dan
negatif. Pelaksanaan fungsi pajak yang bersifat positif maksudnya jika suatu kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat oleh pemerintah dipandang sebagai suatu yang
positif, oleh karena itu kegiatan tersebut akan didukung oleh pemerintah dengan cara

38

memberikan dorongan berupa insentif pajak (tax incentive) yang dilakukan dengan
cara pemberian fasilitas perpajakan berupa beberapa hal berikut :
a.

Pemberian pembebasan pajak (tax holiday) dan keringanan pajak untuk jangka
waktu tertentu bagi investor baru yang akan memproduksi bahan baku yang
usahanya didirikan di wilayah Indonesia bagian timur.

b.

Pemberian pengurangan-pengurangan pajak bagi pengarang buku ilmiah
sehingga hasrat para ilmuwan untuk menerbitkan buku lebih besar bagi
pengembang ilmu pengetahuan.

c.

Pemberian

pengeculian-pengecualian

pajak

bagi

pertunjukan-pertunjukan

kesenian tradisional sehingga kesenian tradisional dapat hidup berdampingan
dengan kesenian lain.
d.

Pemberian kompensasi pajak terhadap kerugian yang diderita oleh perusahaan
terhadap pajak penghasilannya untuk jangka waktu tertentu, dengan demikian
perusahaan tersebut dapat memperoleh hasil yang lebih produktif sehingga di
masa berikutnya akan dapat dikenakan pajak.

e.

Pemberian tarif yang rendah atau pembebasan kepada Badan-badan koperasi
yang berkedudukan di Indonesia. Tujuannya memberikan dorongan bagi koperasi
yang telah berdiri untuk lebih maju.
Sementara itu, pelaksanaan fungsi mengatur yang bersifat negatif dimaksudkan

untuk mencegah atau menghalangi perkembangan yang menjuruskan kehidupan
masyarakat kearah tujuan tertentu. Hal itu dapat dilakukan dengan membuat
peraturan di bidang perpajakan yang menghambat dan memberatkan masyarakat

39

untuk melakukan sesuatu kegiatan yang ingin diberantas oleh pemerintah demikian
ini dapat dinamakan des incentive tax, antara lain berupa beberapa tindakan berikut :
a.

Pemberian tarif yang tinggi atas hasil produksi barang-barang mewah, dimana
selain dikenakan pajak pertambahan nilai, juga dikenakan pajak penjualan,
sebagai suatu upaya nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak
yang sekaligus upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak
produktif.

b.

Pemberian pajak impor yang tinggi bagi barang-barang tertentu untuk
melindungi barang-barang yang juga diproduksi di dalam negeri.

c.

Pemberian hambatan terhadap barang-barang, misalnya minuman keras dan
pemberatan-pemberatan khusus terhadap pajaknya agar masyarakat tidak lagi
banyak mengkonsumsi minuman keras.

d.

Dalam bidang sosial (KB), keluarga yang melebihi jumlah anak 3, tidak
diberikan tambahan untuk penghasilan tidak kena pajak. Artinya tambahan untuk
wajib pajak kawin hanya diberikan pembatasan sebanyak 3 orang anak. Disini
terlihat bahwa pelaksanaan KB dibantu oleh fungsi pajak.

Selain dua fungsi di atas, pajak juga memiliki fungsi lain yaitu :
(1) Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemeritah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan
yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan.
Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di
masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

40

(2) Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
(3) Fungsi Demokrasi
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara merupakan wujud sistem gotong royong.
Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat
pembayar pajak.

B.
1.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pertama kali diatur

dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Undang-Undang ini merupakan landasan
hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan.
Di masa lalu terdapat pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang
diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik
Nama dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di
wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan
oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap dalam

41

Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah,
yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta rnenurut cara yang diatur
dalam Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang disebut di atas tidak
berlaku lagi, karena semuanya sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam
Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian,
sejak diundangkannya Undang-undang tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut
lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan
pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924
Nomor 291 masih tetap berlaku.
Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik
Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak
diundangkannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.47
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut
pajak. Pada dasarnya, BPHTB dikenakan atas setiap perolehan hak yang diterima
oleh orang atau badan dan terjadi dalam wilayah hukum negara Indonesia. BPHTB
47

Casavera, Perpajakan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hal 248.

42

merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu
hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat keputusan
pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh pribadi atau
badan. Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari
suatu pihak yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak
lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena dua hal, yaitu
peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Perolehan hak karena peristiwa hukum
merupakan perolehan hak yang diperoleh oleh seseorang karena adanya suatu peristiwa hukum, misalnya pewarisan, yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut
berpindah dari pemilik tanah dan bangunan sebelumnya (pewaris) kepada ahli waris
yang berhak. Perolehan hak karena pewarisan ini hanya terjadi apabila terjadi
peristiwa hukum, yaitu meninggalnya si pewaris.48 Apabila si pewaris tidak
meninggal dunia, tidak akan ada pewarisan yang mengakibatkan hak atas tanah dan
bangunan beralih dari pewaris kepada ahli waris. Cara perolehan hak yang kedua
adalah melalui perbuatan hukum, yaitu pemilik tanah dan bangunan secara sadar
melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak atas tanah dan bangunan miliknya
kepada pihak lain yang akan menerima peralihan hak tersebut. Contoh perolehan hak
karena perbuatan hukum antara lain jual beli, hibah, dan lelang.
48

Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Andi: Yogyakarat, 2000, hal 272.

43

Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk Hak
Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB
hanya boleh dikenakan atas perolehan hak yang diatur dalam UUPA, UndangUndang Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang
berkembang di masyarakat adat tetapi tidak diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan
BPHTB.49
Definisi yang penting untuk diketahui mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan antara lain adalah sebagai berikut :
1) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2) Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.
3) Hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

49

Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan Praktek. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 40-41.

44

Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
4) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau
denda.
5) Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan
jumlah yang masih harus dibayar.
6) Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketatapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.
7) Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar
adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada yang seharusnya
terutang.
8) Surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah pajak yang dibayar.
9) Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang
oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak
yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos dan/atau Bank Badan Usaha

45

Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain
yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkanm data perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan
10) Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
11) Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan lebih
Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil
yang diajukan oleh wajib pajak.
12) Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap
Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
2.

Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Objek pajak adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sasaran pajak atau

dapat dikenakan pajak baik berupa keadaan, perbuatan maupun peristiwa. Menurut

46

Undang-Undang Perpajakan yang berlaku sesudah tahun 1983 terdapat 3 (tiga)
kelompok objek pajak, meliputi :50
a.

Objek pajak berupa kekayaan
Kekayaan adalah harta yang dimiliki seseorang, dapat berupa harta berwujud,
bergerak dan tidak bergerak dengan ukuran harta tersebut mempunyai nilai sosial
dan nilai ekonomis artinya harta tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang.

b.

Objek pajak berupa penghasilan
Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun diluar Indonesia
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Kemampuan
ekonomis adalah kemampuan dalam kehidupan ekonomi. Jadi orang yang
memiliki kemampuan ekonomis dan mempunyai nilai lebih maka atas kelebihan
kemampuan ini dikenakan Pajak Penghasilan. Pengertian kelebihan kemampuan
dan nilai tercantum pada Pasal 6 ayat (3) juncto Pasal 7 Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu bahwa kepada orang pribadi
selaku Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak, jadi apabila penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena
Pajak, maka kelebihannya itulah yang menjadi objek pajak berupa penghasilan.

50

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4.

47

c.

Objek pajak kegiatan dalam lalu lintas hukum
Seperti objek dalam PPN dan Bea Materai.
Pada dasarnya pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam

Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini
dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah
Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh
orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia.
Yang dimaksud dengan harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barangbarang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan
dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang, yaitu
Ordonansi Balik Nama Staatblad 1834 Nomor 27.51 Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, maka hak-hak kebendaan yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi, karena
semuanya sudah diganti dengan hak-hak yang baru yang diatur dalam UndangUndang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, misalnya, Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan lain-lain, sehingga Bea Balik Nama atas hak
harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi,52 sedangkan ketentuan
mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan pemindahan kapal yang

51

Heru Supriyanto, Cara Menghitung PBB, BPHTB, dan Bea Materai, Indeks, Jakarta, 2010,

hal 111.
52

Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Ketentuan-Ketentuan Konversi.

48

didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291 masih tetap
berlaku.
Sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah
yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak
atas tanah atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Oleh karena itu, pada 29 Mei 1997 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang kemudian
disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan.
Pokok penyempurnaan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 yaitu
untuk memperluas cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan
hak atas tanah dan bangunan dalam bentuk dan terminologi yang baru, meningkatkan
disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan sanksi bagi pejabat dan
Wajib Pajak yang melanggar, dan memberikan kemudahan dan perlindungan hukum
kepasa Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajibannya, serta menyesuaikan
ketentuan yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah.

49

Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan, yang
meliputi :53
1. Pemindahan hak karena :
a. jual beli
b. tukar menukar
c. hibah
d. hibah wasiat
e. waris
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h. penunjukkan pembeli dalam lelang
i. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j. penggabungan usaha
k. peleburan usaha
l. pemekaran usaha
m. hadiah
2. Pemberian hak baru karena :
a. kelanjutan pelepasan hak
b. di luar pelepasan hak
Hak atas tanah sebagaimana di maksud di atas adalah Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan
atau Hak Perolehan. Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
1.

Perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan atas perlakukan timbal
balik.

2.

Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum, adalah tanah dan atau bangunan
yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah baik Pemerintah Pusat

53

Muhammad Rusjdi, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan Bea Materai, Indeks, Jakarta, 2005, hal 35.

50

maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya tanah dan atau bangunan
yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan
umum;
3.

Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
keputusan menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi;

4.

Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Jika terjadi perubahan
nama, akan terutang BPHTB. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum
lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan
nama;

5.

Orang pribadi atau badan karena wakaf, adalah perbuatan hukum orang
pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya
yang berupa Hak Milik Tanah dan atau Bangunan dan melembagakannya
untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan
umum lainnya tanpa imbalan apapun;

6.

Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

51

3.

Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB
Tarif pajak ditetapkan 5% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), sedangkan DPP

nya adalah sebesar Nilai perolehan Objek Pajak, yang diuraikan berikut ini :54
Tabel 1
Dasar Pengenaan Pajak BPHTB
Nomor
1
2
3
4
5
6

Sumber Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan
Jual Beli
Tukar Menukar
Hibah, Hibah Wasiat dan Waris
Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya
Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan hak
Penunjukkan pembeli dalam lelang

Peralihan hak karena pelaksanaan
7
putusan
hakim
yang
mempunyai
kekuatan hokum
Pemberian hak baru atas tanah sebagai
8
kelanjutan dari pelepasan hak
Pemberian hak atas tanah diluar
9
pelepasan hak
Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran
10
Usaha
11
Hadiah
Sumber : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
1.

Dasar Pengenaan Pajak
Harga Transaksi
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Harga transaksi yang
tercantum dalam risalah
lelang
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar

Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud di atas tidak
diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
54

Pasal 5 dan 6 UU tentang BPHTB.

52

2.

Apabila NJOP PBB sebagaimana dimaksud di atas belum ditetapkan, Menteri
Keuangan dapat menetapkan besarnya NJOP PBB.

3.

Nilai perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara
regional paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam
hal perolehan hak secara waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri,

NJOPTKP

ditetapkan

secara

regional

paling

banyak

Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
4.

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Nilai Perolehan
Pajak di kurangi dengan NPOPTKP.

5.

Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff pajak
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) atau BPHTB = 5% x
NPOPKP.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.03/2007 yang

mengubah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000, diatur bahwa
BPHTB yang tertuang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan.
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah adalah :
1.

Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta yaitu tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, untuk Jual-Beli, Tukar-Menukar, Hibah, Pemasukan dalam Perseroan

53

atau badan hukum lainnya. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah,
2.

Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan, untuk Waris dan Hibah Wasiat,

3.

Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
untuk Putusan Hakim,

4.

Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang yaitu tanggal ditandatanganinya
Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang perundang-undangan yang berlaku
yang memuat antara lain nama pemenang lelang, untuk lelang,

5.

Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak
(SKPH), untuk Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan
hak dan diluar pelepasan hak.

C. Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)
1.

Sistem Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tidak semata-mata untuk

keperluan pemerintah di satu pihak, tetapi demi kepentingan rakyat banyak karena
pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah tanpa adanya kontra
prestasi langsung kepada masyarakat secara individual dan tidak memandang jumlah
yang diberikan masyarakat kepada pemerintah. Pemungutan pajak yang dilakukan
pemerintah, dilaksanakan sedemikian rupa agar tidak merugikan masyarakat. Oleh

54

karena itu, diperlukan syarat-syarat yang khusus untuk melakukannya agar seimbang
antara masyarakat dan pemerintah sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.55
Adapun syarat-syarat pemungutan pajak seperti yang ditulis oleh Mardiasmo
dalam bukunya Perpajakan, menyatakan bahwa: “Agar pemungutan pajak tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi
syarat yakni pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan).
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak
bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan
mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
a.

Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis). Di
Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2). Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya;

b.

Tidak menggangu perekonomian (Syarat Ekonomis). Pemungutan tidak boleh
mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat;

55

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia (Pembahasan Sesuai Dengan
Ketentuan Pelaksanaan Perundang-Undangan Perpajakan), Salemba Empat, Jakarta, 1999, hal 46.

55

c.

Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial). Sesuai fungsi budgetair,
biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil
pemungutannya;

d.

Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem pemungutan yang sederhana
akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang
baru”.
Dalam pemungutan pajak haruslah memenuhi syarat yang telah ditetapkan agar

dapat tercapai suatu hal yang berkesinambungan antara wajib pajak dan pemungutan
pajak serta untuk menghindari hambatan dan perlawanan dari wajib pajak, karena
wajib pajak merasa dirugikan oleh fiskus.
Pemungutan

pajak yang

dilakukan,

setidaknya harus memperhatikan 4

(empat) asas pokok pemungutan, yaitu adanya keseimbangan dan keadilan
“equality”, adanya kejelasan “certainty” atas substansi dari pungutan, ketepatan
pelaksanaan pembayaran “convenience of payment”, dan efisiensi pemungutan.56
Dalam melakukan pembayaran pajak, pemerintah dan wajib pajak perlu
mengetahui apa saja jenis sistem pemungutan pajak dan sistem apa yang berlaku di
Indonesia. Jenis-jenis sistem pemungutan pajak menurut Siti Kurnia Rahayu adalah
sebagai berikut: “Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi :57

56
57

Y. Sri Puditmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, 2002, hal 47.
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hal 25.

56

1.

Official Assesment System

2.

Self Assesment System

3.

Withholding System

Sistem pelaksanaan pemungutan pajak yang dikenal adalah :
a.

Sistem Official Assessment (official assessment system)
Adalah sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan kepada aparatur

perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem
ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di
tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya
pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan
dominan ada pada aparatur perpajakan).
Adapun ciri-ciri dari Official Assessment System adalah sebagai berikut :
1.

Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus;

2.

Wajib pajak bersifat pasif;

3.

Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Negara yang menganut sistem pemungutan pajak ini adalah Belanda.58

Kelemahan dari sistem pemungutan pajak ini adalah masyarakat kurang bertanggung
jawab dalam memikul beban Negara yang pada hakikatnya adalah untuk kepentingan
mereka sendiri dalam hidup bermasyarakat, bernegara, dan berpemerintahan. Hal itu

58

Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan Tentang Kepastian
Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal 24.

57

terjadi disebabkan oleh ciri yang kedua yang telah disebutkan di atas, yaitu si wajib
pajak bersifat pasif.
b.

Sistem Self Assessment (Self Assessment System)
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam

menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif
serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib
Pajak. Wajib Pajak harus menghitung sendiri jumlah Pajak yang menjadi
tanggungannya, sesuai dengan tata cara perhitungan pajak yang ditetapkan oleh
Dirjen Pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak,
mampu memahami Undang-Undang perpajakan yang sedang berlaku, dan
mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar
pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk :
1.

Menghitung sendiri pajak yang terutang

2.

Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang

3.

Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang; dan

4.

Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.
Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak

banyak bergantung pada Wajib Pajak sendiri (Peran dominan ada pada Wajib Pajak).

58

Negara yang menganut sistem ini adalah Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia.59
Contohnya: Pengenaan PPh dan BPHTB.
c.

Sistem With Holding (With Holding Tax System)
Sistem with holding adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besamya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak. Pemotong pajak bisa majikan, bendahara atau pemberi
pajak sebelum menerima gaji atau sebelum pergi. Contohnya di Indonesia Pengenaan
PPh pada Pasal 21 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu pajak penghasilan
yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Dengan ditetapkan sistem self assessment menjadi sistem perpajakan nasional
maka petugas pajak (fiskus) berfungsi sebagai pengawas atas pemenuhan kewajiban
pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Pada BPHTB fiskus berkewajiban memeriksa
setiap pembayaran BPHTB yang dilaporkan oleh wajib pajak. Pemeriksaan ini
meliputi data tanah dan bangunan yang dijadikan objek perolehan hak, penetapan
dasar pengenaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, penetapan NPOPTKP yang
digunakan wajib pajak, perhitungan pajak terutang sesuai dengan ketentuan perolehan
hak atas tanah dan bangunan, dan kesesuaian jumlah pajak terutang yang dibayar oleh
wajib pajak. Penelitian ini diiakukan terhadap Surat Setoran BPHTB (SSB) yang
dilaporkan oleh wajib pajak beserta bukti pendukung yang dilampirkan pada saat
59

Rukiah Handoko, Pengantar Hukum Pajak, Buku A, Seri Buku Ajar, Depok, 2000, hal 31.

59

pelaporan, antara lain SPPT PBB atas tanah dan bangunan yang menjadi objek
perolehan hak, akta jual beli, akta hibah, dan lain-lain.
Berdasarkan pemeriksaan, fiskus akan menetapkan apakah wajib pajak telah
melunasi pajak terutang sesuai dengan ketentuan atau tidak, dengan demikian dapat
diketahui apakah pajak dibayar semestinya, terdapat kelebihan pembayaran pajak
ataupun kekurangan pembayaran pajak terutang.
2.

Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) setelah Dialihkan menjadi Pajak Daerah
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana

telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 dan diperbeharui
lagi dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, dengan berpegang teguh pada asas-asas keadilan, kepastian hukum,
legalitas dan kesederhanaan, bertujuan untuk memperluas cakupan obyek pajak,
meningkatkan disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan sanksi bagi
pejabat dan wajib pajak yang melanggar serta memberikan kemudahan dan
perlindungan hukum kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya, atas
setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenakan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan telah diketahuinya Nilai Perolehan Obyek
Pajak maka siapapun termasuk wajib pajak sendiri diharapkan dapat menghitung
sendiri besar pajak yang terutang.

60

Pihak-pihak yang terkait pada Pelaksanaan Self Assessment System dalam
pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk transaksi
terhadap peralihan hak atas tanah adalah sebagai berikut:
1.

Wajib pajak dalam hal ini adalah penjual dan pembeli, apabila Nilai Perolehan
Obyek Pajaknya diatas Nilai Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Tidak
Kena Pajak;

2.

PPAT/Notaris selaku Pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat akta
peralihan hak;

3.

Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, selaku instansi yang berwenang
menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB;

4.

Kantor Pertanahan, selaku instansi yang memproses permohonan pendaftaran
peralihan hak.
Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di

Kabupaten/Kota, terhadap wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya yaitu
membayar kepada kas negara dengan melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi,
bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang telah ditunjuk dengan sistem
pelayanan online.
Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
(BPHTB) dengan sistem self assessment, belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Wajib pajak belum menggunakan Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

61

Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan faktor
pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Hal
tersebut terkait tingginya Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
yang harus dibayar, sehingga wajib pajak menggunakan nilai terkecil dan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) atau harga transaksi dan mencantumkan harga transaksi yang
bukan sebenarnya dalam akta jual beli, sehingga dapat mempengaruhi besarnya Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibayar oleh wajib pajak. Oleh karena
itu, banyak wajib pajak menggunakan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (BPHTB) yang dipakai adalah dengan mengacu pada Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT).
Berkaitan dengan pemungutan BPHTB, berdasarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selain
pemungutan, maka hasil pungutan tersebut seluruhnya menjadi kewenangan daerah
karena dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB merupakan salah satu Pajak Daerah, sehingga
sebagai konsekuensinya tidak hanya pemungutannya saja tetapi segala sesuatunya
yang berkaitan dengan BPHTB kewenangannya menjadi milik Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dan bukan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self
assessment”. Artinya Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan

62

membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat
ketetapan pajak. Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos
dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau
tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan
Surat Setoran Bea (SSB).
Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat, mengesahkan satu Undang-Undang, yang namanya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagai
pengganti dari Ordonansi Bea Balik Nama yang diatur dalam Staatsblad 1924 Nomor
291. Undang-Undang ini seharusnya mulai berlaku sejak 1 Januari 1998, namun
ditangguhkan masa berlakunya mulai sejak 1 Mei 1998 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998.
Substansi dari Undang-Undang ini ialah bahwa setiap orang atau badan hukum
yang memperoleh hak atas tanah antara lain karena jual beli, tukar menukar, hibah,
hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan, penunjukan pembeli dalam lelang,
pelaksanaan keputusan hakim, hadiah, dan pemberian hak baru atas tanah, wajib
membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebesar 5% (lima
persen) dari nilai perolehan setelah dikurangi dengan nilai tidak kena pajak.
Kemudian Undang-Undang ini dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, yang memperluas objek
pajak (BPHTB) antara lain dengan Waris, pemisahan hak, penggabungan usaha,

63

peleburan usaha, pemekaran usaha. Tarif pajak tetap 5 % (lima persen) dari nilai
perolehan setelah dikurangi dengan nilai tidak kena pajak.
Pada 28 Desember 2010 Walikota Lhokseumawe menetapkan Qanun Nomor 04
Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau bangunan (BPHTB).
Namun dalam Qanun ini mengatur kembali apa yang telah ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009, yaitu antara lain mengenai :
1.

Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak

2.

Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak.

3.

Saat Terhutang Pajak.
Hal-hal lain yang diatur dalam Qanun ini, ialah Tentang Penetapan,

Pemungutan Pajak, Tata Cara Pemungutan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Pembayaran
Pajak, Keberatan dan Banding, dan lain-lain. Pasal 13 peraturan ini, menetapkan
bahwa sistem dan prosedur pemungutan BPHTB lebih lanjut diatur dengan Peraturan
Walikota. Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud mencakup prosedur pengurusan
akta pemindahan hak, pembayaran, penelitian, pendaftaran akta, pelaporan dan
pengurangan.60
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Qanun nomor 04 Tahun 2010, maka
Walikota Lhokseumawe menerbitkan Peraturan Walikota Nomor 30 Tahun 2013,
tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan. Ada hal yang menarik untuk dibahas dalam peraturan ini, setidaknya
menarik bagi peneliti, yaitu:
60

Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang BPHTB.

64

a)

Tentang penelitian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) yakni bukti setoran
BPHTB yang wajib dilakukan oleh Fungsi Pelayanan, dalam hal ini Dinas
Pengelola Keuangan Kota Lhokseumawe, (Pasal 7 Peraturan Walikota Nomor 30
Tahun 2013) serta sistem dan prosedur