Aspek Legal Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang BPHTB

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan landasan pemungutan

pajak guna menghimpun penerimaan negara. Peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelum era reformasi perpajakan tahun 1983 merupakan warisan kolonial
Belanda, yang pada saat itu dibuat semata-mata untuk menghimpun dana bagi
Pemerintah

penjajahan

dalam

rangka


mempertahankan

dan

memperbesar

kekuasaannya di Indonesia.1
Sesuai dengan asas legal, sebuah peraturan dibidang pajak harus mempunyai
referensi dalam undang-undang. Hal tersebut secara jelas tertera dalam Pasal 23A
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Pasal ini selain memberikan dasar
hukum bagi pemungutan pajak oleh Negara terhadap rakyat, sekaligus juga
mengandung dasar falsafah pajak. Dengan adanya syarat bahwa yang menjadi dasar
hukum pemungutan pajak adalah undang-undang maka dengan sendirinya
disyaratkan pula adanya persetujuan dari rakyat terhadap pemungutan pajak tersebut.2
Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

1.Gunadi, Dkk. Perpajakan, Buku I, Yayasan dan Pengkajian Perpajakan Bekerjasama
dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Jakarta, 1998, hal 3
2

Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Edisi Terbaru, Penerbit Andi, Yogyakarta,
2009, hal 47.

1

2

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.3
Sumber hukum pajak yang bersifat tertulis terdiri dari Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan berbagai Undang-undang perpajakan baik yang
memuat ketentuan material maupun ketentuan formal beserta semua peraturan
perundang-undangan pada hirarki dibawahnya sebagaimana dimaksudkan Pasal 7 dan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang menyangkut bidang perpajakan. Sumber hukum pajak
yang bersifat tertulis lainnya adalah Perjanjian Perpajakan, Yurisprudensi Perpajakan,
dan Doktrin Perpajakan.
Pajak dapat dikelompokkan menggunakan kriteria tertentu, salah satunya
adalah berdasarkan kewenangan pemungutannya. Dengan mendasarkan kepada
kewenangan pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yakni pajak

yang dipungut oleh pemerintah pusat (pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah (pajak daerah).4
Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, antara lain adalah
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa (PPN),
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), dan Bea Meterai, sedangkan Pajak

3
Pasal 1 butir 1, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
Tentang Ketentuan Umum Tata Perpajakan.
4
Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Edisi Terbaru, Penerbit Andi, Yogyakarta,
2009, hal.14.

3

Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, baik itu Pemerintah
Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pajak Provinsi terbagi dalam beberapa jenis pajak yaitu Pajak Kendaraan
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan

Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan jenis-jenis pajak yang
merupakan pajak daerah Kabupaten/Kota adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan PerKotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.5
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diberlakukan untuk
meningkatkan penerimaan Negara, terutama untuk meningkatkan penerimaan
daerah yang penting bagi penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan nasional. Hal tersebut yang menjadi dasar pemikiran bahwa subjek
pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapat keuntungan
ekonomis dari kepemilikan tanah dan bangunan, sehingga dianggap wajar
apabila diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang
diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB). Meskipun demikian pengenaan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi
masyarakat terutama golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang
berpenghasilan rendah.6
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan pajak
properti yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sejak

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
5

Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
6
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek,
Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.7-8.

4

Retribusi Daerah, maka sejak tahun 2011 kewenangan memungut BPHTB dialihkan
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota.
Pengalihan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten atau Kota merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Indonesia dalam
penataan sistem perpajakan nasional. Berbagai pihak menilai kebijakan tersebut
sudah tepat dilakukan, namun tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan
tersebut diimplementasikan sehingga daerah Kabupaten atau Kota benar-benar dapat
melakukan pemungutan BPHTB secara optimal dan pelayanan kepada masyarakat
tidak mengalami penurunan. Dalam pelaksanaan pengalihan suatu jenis pajak,

terlebih lagi apabila jenis pajak tersebut merupakan jenis pajak baru daerah
Kabupaten atau Kota seperti BPHTB, akan terdapat sejumlah permasalahan yang
mencakup berbagai aspek, seperti aspek kebijakan, aspek legal, dan aspek
administrasi. Salah satu pemasalahan yang masih timbul adalah bagaimana sistem
atau teknik pemungutan yang seharusnya digunakan dalam memungut BPHTB.
Permasalahan yang timbul ini perlu mendapat penanganan segera dan dicarikan
pemecahannya untuk kelancaran pemungutan BPHTB.7
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan. Jenis pajak tersebut sebagai pajak pusat
mulai dipungut oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1997 berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah mengalami perubahan, terakhir dengan

7

Bastari M, Seminar BPHTB Pasca Pengalihan Dari Pajak Pusat Menjadi Pajak Daerah,
Sistem Pemungutan BPHTB, Medan, 29 Januari 2013. Hal 1.

5

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Undang-Undang BPHTB). Penerimaan
BPHTB sebagai pajak pusat, dibagihasilkan ke daerah dengan pola distribusi 16%

(enambelas persen) untuk provinsi, 64% (enampuluh empat persen) untuk daerah
Kabupaten/Kota, dan 20% (duapuluh persen) merupakan bagian pemerintah pusat
tetapi dibagikan kepada seluruh Kabupaten/Kota dengan porsi yang sama, dengan
demikian seluruh penerimaan BPHTB yang dipungut oleh pemerintah pusat pada
dasarnya diserahkan kepada daerah melalui mekanisme bagi hasil.
Dasar pertimbangan kebijakan pengalihan BPHTB yang semula merupakan
pajak pusat menjadi pajak daerah antara lain BPHTB kebih layak sebagai pajak
daerah karena jenis pajak ini memenuhi kriteria serta prinsip-prinsip pajak daerah
yang baik, seperti objek pajaknya terdapat di daerah dan tidak berpindah-pindah serta
ada hubungnan yang erat antara pembayar pajak dengan pihak yang menikmati hasil
pajaknya, dan pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan
pendapatan daerah yang bersumber dari daerah itu sendiri. Berbeda halnya dengan
BPHTB sebagai pajak pusat, meskipun penerimaannya kemudian diserahkan ke
daerah, tidak termasuk ke dalam kelompok Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan
tetapi sebagai penerimaan dana perimbangan atau dana bagi hasil.8
Dasar pertimbangan lainnya adalah peningkatan akuntabilitas daerah, dimana
dengan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah maka kebijakan BPHTB seperti
penetapan objek pajak, subjek pajak, tarif pajak dan dasar pengenaan pajak, akan
ditentukan oleh daerah dan disesuaikan dengan kondisi serta tujuan pembangunan
8


Ibid , hal. 2

6

daerah. Pemungutan BPHTB sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah, sehingga
optimalitas pemungutannya tergantung pada kemauan serta kemampuan daerah.
Penggunaan hasil penerimaan BPHTB ditetapkan oleh daerah melalui mekanisme
belanja dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), sehingga dengan
demikian daerah mempertanggungjawabkan segala sesuatunya yang terkait dengan
pemungutan BPHTB kepada masyarakat di daerahnya dan masyarakat mempunyai
akses untuk turut serta dalam pengawasan penggunaan hasil pemungutan BPHTB
tersebut.
Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan yang besar antara ketentuan mengenai
BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (BPHTB
sebagai pajak pusat) dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 (BPHTB sebagai
Pajak Daerah Kabupaten atau Kota). Perbedaan yang pokok terletak pada fleksibilitas
yang diberikan pada daerah dalam merumuskan kebijakan BPHTB untuk memberi
ruang kepada daerah Kabupaten atau Kota menetapkan kebijakan perpajakan yang

sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing.
Dasar hukum pemungutan BPHTB sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 95 ayat 1 adalah Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota tentang BPHTB yang
memuat ketentuan mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar
pengenaan pajak, dan lainnya. Namun demikian, pengaturan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten atau Kota harus disesuaikan dengan kebijakan yang memuat dalam

7

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Daerah yang secara hirarkis
berada diatasnya.
Adapun kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 yaitu pasal 95 ayat 3 bahwa Peraturan Daerah atau Qanun
tentang pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai nama, objek, dan subjek
pajak, dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak, wilayah pemungutan,
masa pajak, penetapan tata cara pembayaran dan penagihan, kadaluwarsa, sanksi
administratif dan tanggal mulai berlakunya.
Pemungutan pajak merupakan tujuan utama administrasi pajak dan yang menjadi
alasan adanya administrasi pajak. Dalam memungut pajak terdapat tiga sistem

yang secara teoritis dapat digunakan yaitu :9
1. Self Assessment System : dalam self assessment system, wajib pajak diberikan
wewenang untuk menentukan sendiri jumlah pajak terutang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan, dimana wajib pajak sendiri yang
menghitung, menetapkan, menyetorkan, serta melaporkan pajak yang
terutang, sedangkan fiskus berkewajiban untuk memberi pelayanan,
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap wajib pajak. Fungsi
pengawasan dan pembinaan dari fiskus merupakan konsekuensi logis dari
pemberian kepercayaan kepada wajib pajak dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Official Assessment System : berbeda halnya dengan self assessment system,
dalam official assessment system, fiskus diberi kewenangan untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan. Wajib pajak lebih bersifat pasif, menunggu dikeluarkannya surat
ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak baru bisa diketahui setelah
adanya surat ketetapan pajak dan berdasarkan surat ketetapan pajak yang
dikeluarkan atau diterbitkan oleh fiskus, maka wajib pajak membayar pajak
yang terutang tersebut.
3. Withholding/Hybrid System : sistem ini memberikan kewenangan kepada
pihak ketiga sebagai withholding agent yang ditunjuk untuk menentukan

besarnya pajak terutang atas wajib pajak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Penunjukan pihak ketiga sebagai pemungut
pajak dapat dilakukan dengan Undang-Undang dan peraturan perundang9

Loc. cit, hal 5.

8

undangan pelaksanaannya untuk memotong, memungut, menyetorkan, dan
melaporkan pajak yang terutang, dan fungsi Fiskus dalam sistem ini hanya
pengawasan dan pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak
ketiga.
Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD) mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
jenis pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar
sendiri oleh wajib pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan pajak
diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 98
Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tersebut, maka
diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah
yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh
Wajib Pajak. Berdasarkan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010
tersebut ditetapkan bahwa pemungutan BPHTB dilakukan dengan cara dibayar
sendiri oleh wajib pajak, dengan demikian jelas bahwa sistem pemungutan BPHTB
sebagai pajak daerah Kabupaten atau Kota adalah memakai self assessment system
yang mekanismenya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah. Wajib
pajak BPHTB diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri BPHTB
yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), dan
melaporkannya kepada fiskus melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Pajak Daerah
(SPPD).
Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang telah bersertipikat yang dilakukan
para pihak harus dibuat dengan menggunakan akta otentik dan dilakukan
dihadapan PPAT. Oleh karena peralihan hak atas tanah dan bangunan merupakan
salah satu perbuatan hukum yang dibuat dengan akta oleh PPAT, maka salah satu

9

kewajiban PPAT dalam pembuatan akta itu adalah memastikan bahwa
pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang
terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak dengan memperlihatkan bukti Surat
Setoran Pajak Daerah (SSPD) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).10
Kabupaten/Kota tersebut dapat mengatur serta menambah pundi pendapatan
fiskalnya. Bila dilihat salah satu Kota yaitu Kota Lhokseumawe yang mana pada Kota
ini telah mengelola dan melaksanakan pemungutan BPHTB oleh pemerintah, dan
aturan yang mengatur BPHTB tersebut juga telah dikeluarkan yaitu Qanun (Perda)
Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB dan Peraturan Walikota
Nomor 30 Tahun 2013 tentang Sistem Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe.
Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa
pembayaran pajak yang terutang harus dilakukan sekaligus atau lunas, akan tetapi
dalam ayat (3) pasal 13 tersebut yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai bentuk, isi, ukuran, tata cara pembayaran dan penyampaian Surat Setoran
Pajak Daerah (SSPD) serta penelitian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Daerah.11 Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah Kota
Lhokseumawe mengeluarkan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun
2013 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kota Lhokseumawe. Pada pasal 7 ayat (1) Peraturan Walikota Nomor 30

10

Wilson Saktisila Widjono, Tesis, Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pasal 91 ayat(1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahDi Kota Medan,
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013, hal.6.
11
Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun 2010 Tentang BPHTB.

10

Tahun 2013 dinyatakan bahwa setiap pembayaran BPHTB wajib diteliti oleh Fungsi
Pelayanan. Hal ini sejalan dengan pasal 13 ayat (3) Qanun Kota Lhokseumawe
Nomor 04 Tahun 2010, akan tetapi pasal 13 ayat (3) Qanun Nomor 04 Tahun 2010
tersebut bertolak belakang dengan sistem pemungutan BPHTB yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah yang
Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib
Pajak.
Kedudukan

Undang-undang

dan

Peraturan

Pemerintah

dalam

hirarki

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan Peraturan Walikota yang merupakan pelaksanaan daripada Qanun (Peraturan
Daerah). Hal tersebut yang melatarbelakangi pentingnya untuk dilakukan penelitian
dengan judul “Aspek Legal Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota
Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB”.

B.

Perumusan Masalah

1.

Bagaimana sistem pemungutan BPHTB di Kota Lhokseumawe Menurut Qanun
(Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB?

2.

Bagaimana kedudukan hukum Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30
tahun 2013 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB di Kota
Lhokseumawe?

3.

Apa kendala-kendala dalam pemungutan BPHTB berdasarkan Qanun Nomor
04 Tahun 2010 di Kota Lhokseumawe?

11

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian terhadap kedua permasalahan dimaksud di atas

adalah:
1.

Untuk mengetahui sistem pemungutan dan cara pembayaran BPHTB di Kota
Lhokseumawe menurut Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun
2010 tentang BPHTB.

2.

Untuk mengetahui kedudukan hukum Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor
30 tahun 2013 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB Kota
Lhokseumawe.

3.

Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapai di dalam pemungutan
BPHTB menurut Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun 2010
tentang BPHTB di Kota Lhokseumawe.

D.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis

dan praktis sebagai berikut:
1.

Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian
penelitian dan pengkajian lebih lanjut serta menambah khazanah ilmu
pengetahuan tentang pelaksanaan pemungutan BPHTB di Kota Lhokseumawe
dan cara pembayaran BPHTB di Kota Lhokseumawe.

2.

Secara praktis bermanfaat bagi struktur/fungsional Lembaga Perpajakan, Dinas
Pendapatan Kota Lhokseumawe, serta masyarakat yang merupakan Wajib Pajak.

12

E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan

informasi

dan

penelusuran

kepustakaan

yang

dilakukan

dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Program Studi
Magister Kenotariatan, belum ada Penelitian sebelumnya yang berjudul “Aspek Legal
Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010
Tentang BPHTB” terutama dalam permasalahan yang sama. Akan tetapi ada
beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan yang pernah ditulis sebelumnya, antara lain :
1.

Penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam transaksi jual beli tanah dan
bangunan di Kota Tanjung Balai”, oleh Chairumi, NIM: 117011056, Mahasiswi
Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara. Rumusan permasalahan
yang dibahas adalah :
a. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB dalam transaksi jual beli tanah
dan/atau bangunan di Kota Tanjung Balai?
b. Bagaimana Kepastian Hukum terhadap transaksi jual beli tanah dan/atau
bangunan di Tanjung Balai dengan adanya verifikasi oleh Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjung Balai?
c. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan BPHTB terutang di
Kota Tanjung Balai?

2.

Penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

13

Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”, oleh Henry Sinaga, NIM:
117011144, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara,
Rumusan permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimana

Kewenangan

Pemerintah

Kota

Pematangsiantar

Dalam

Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Pasca Berlakunya
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah?
b. Bagaimana Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan di Kota Pematangsiantar Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah?
c. Bagaimana Status Hukum Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Yang Dikembalikan Kepada Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Akibat Surat Walikota Pematangsiantar Sebagai Dasar
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Yang
Bertentangan Dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah?
3.

Penelitian dengan judul “Kajian Yuridis terhadap Pelaksanaan Pasal 91 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah di Kota Medan” oleh Wilson Saktisila Widjono, Mahasiswa Magister
Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, NIM: 107011049. Rumusan
permasalahan yang dibahas adalah :

14

a. Bagaimana fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh PPAT/Notaris
terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB atas pengalihan hak atas
Tanah dan Bangunan di Kota Medan?
b. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB di Kota Medan?
c. Bagaimana kepastian hukum atas pembayaran BPHTB Terutang yang akta
pengalihan hak atas tanah dan bangunannya telah dibuat oleh PPAT/Notaris di
Kota Medan?
4.

Penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Status Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah
Terkait dengan Terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah”, oleh Elissa, Mahasiswa Magister Kenotariatan,
Universitas Indonesia, NIM : 0906497683. Rumusan permasalahan yang dibahas
adalah :
a. Bagaimana penerapan BPHTB dan implikasinya sebelum lahirnya Peraturan
Daerah dan/atau Peraturan Walikota/Bupati?
b. Apakah PemerintahDaerah yang tidak menetapkan Peraturan Daerah tentang
BPHTB kehilangan hak untuk memungut BPHTB?
Berdasarkan hasil penelusuran judul tesis di atas dapat disimpulkan bahwa

judul dan permasalahan dalam penelitian ini tidak memiliki kesamaan dengan judul
dan permasalahan yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini baru
pertama kali dilakukan, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi

15

yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari
prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.

F.

Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1.

Kerangka Teori
Teori hukum merupakan salah satu alat bantu di dalam hukum, untuk dapat

menganalisis sebuah kelayakan atas suatu perbuatan, dimana perbuatan tersebut telah
bersesuaian dengan hukum atau perbuatan menjadi sebaliknya, dimana perbuatan
tersebut bisa saja bertentangan dengan hukum yang ada.
Sehingga keberadaan teori hukum sangatlah penting demi pengembangan
hukum tersebut. penelitian-penelitian hukum yang berusaha untuk menggali hukum
tersebut, ataupun hanya sebatas pengembangan dari hukum itu.
Dalam teori konvensional, tujuan hukum adalah “mewujudkan keadilan
(rechtgerchtigheid),

kemanfaatan

(rechtsutiliteit)

dan

kepastian

hukum

(rechtszekerheid).” Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790),
Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow
University pada tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice).
Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari
kerugian” (the end of justice is to secure from injury).12
Kepastian Hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur jelas dan logis. Jelas dalam artian
12

Wilson Saktisila Widjono, Tesis, Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pasal 91 ayat(1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Di Kota Medan,
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,Medan, 2013, hal.17-18.

16

tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang
jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.13
Kepastian

adalah

perihal

(keadaan)

yang

pasti,

ketentuan

atau

ketetapan.14 Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman
kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang
dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat
menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar
tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak
pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum
sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des
Rechts).15 Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam
suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu
sanksi.16 Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan

13

Afner Juwono, Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Dalam Hukum,
www.afnerjuwoNomorblogspot.com/2013/07/kepastian-dan-kemanfaatan.html, diakses 21 September
2014.
14
Cst Kansil, Christine S.t Kansil, Engelien R,palandeng dan Godlieb N mamahit, Kamus
Istilah Hukum, (Jakarta,Jala Permata Aksara,2009) hlm, 385.
15
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung: PT.
Revika Aditama,2006), hlm.79-80.
16
Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum,
(Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2010) hlm 24.

17

makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus
incertum, ibi jus nullum (dimana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).17
Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai
soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal yang konkret,
artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi
hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara, ke dua, kepastian
hukum berarti keamanan hukum, artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap
kesewenangan hakim.18
Menurut Jan Michael Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih
berdimensi yuridis. Namun, Otto ingin memberikan batasan kepastian hukum yang
lebih jauh, untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa
dalam situasi tertentu:
a)

Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh
(accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;

b) Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c)

Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut;

17

Ibid, hlm 82.
L.J van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, (Bandung : PT. Revika Aditama,2006), hlm 82-83.
18

18

d) Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturanaturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa
hukum, dan;
e)

Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.19
Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang disertai tugas

untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan
dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan kekacauan
dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak
main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam
suasana social disorganization atau kekacauan sosial.20
Kepastian hukum adalah “zekerheid des Rechts selbst” (kepastian tentang
hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian
hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundangundangan (gesetzliches recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta
(Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh
hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus
dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam

19

Jan Michael Otto terjemahan Tristam Moeliono dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum
Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung, PT. Revika Aditama,2006), hlm 85.
20
M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), hlm 76.

19

pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak
boleh sering diubah-ubah.21
Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum,memang
sama sekali tak dapat dilepaskan sama sekali dari prilaku manusia. Kepastian hukum
bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang
cukup rumit, yang banyak berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri. Berbicara
mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah
kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (zekerheid des
rechts).22
Berdasarkan teori-teori tersebut maka teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah stufenbau teori, yang menganalisis hubungan antara peraturan perundanganundangan, dimana hubungan peraturan perundang-undangan tertinggi atau superiori
dengan undang-undang yang inferiori.
Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang
menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah
berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma
hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (groundnorm).
Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang diintrodusir Hans
Kelsen tersebut dapat dimaknai sebagai berikut: 1) peraturan perundangan yang lebih

21
22

Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, UKI Press, 2006, hlm 135-136.
Ibid, hlm 139.

20

rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. 2) isi atau materi muatan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.23
Dimana bila dihubungkan dengan penelitian ini, maka teori hukum tersebut
berusaha, untuk menganalisis hubungan atau korelasi antara Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah
Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh
Wajib Pajak, Peraturan Daerah Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun
2010 tentang BPHTB dan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 tahun 2013
tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe.
Dalam hubungan yang konkrit antara peraturan-peraturan tersebut, seberapa
besar Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk
dapat mengelola dan memungut BPHTB secara langsung,

dan menuangkan

kewenangan tersebut, ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan berupa
Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat Kepala Daerah beserta dengan Dewan
Perwakilan Daerah, serta peraturan Kepala Daerah itu sendiri.

23

Muhammad
Egi
Prayoga,
Teori
HansKelsen/Hans
Nawiaski,
www.ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kelsenhans-nawiaski-di.html, diakses 18 September
2014.

21

Konsep stufenbau teori ini, di Indonesia tertuang di dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Yang telah diganti melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undang.
Esensi terpenting di dalam hirarki perundang-undangan ini adalah bahwa
peraturan yang terendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan, yang ada diatasnya. Di Indonesia peraturan tertinggi adalah Konstitusi,
dimana konstitusi berdasarkan Groundnorm yang bersifat abstrak tetapi hidup
ditengah masyarakat, yaitu Pancasila. Dan dibawah konstitusi yang dalam hal ini
Undang-Undang Dasar 1945, adalah Undang-undang, sementara peraturan terendah
adalah Peraturan Desa.
Kedudukan peraturan daerah Kabupaten/Kota dalam sistem hirarki perundangundang Indonesia adalah langsung diatas peraturan desa, dari kedudukan peraturan
daerah tersebut, maka sudah jelas menurut asas perundang-undang yaitu Lex
Superiori derogat Lex Inferiori, hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan hukum
yang lebih rendah, atau hubungan yang lain, hukum yang lebih rendah harus
menyesuaikan dan tunduk kepada hukum yang lebih tinggi.
Sehingga melalui teori stufenbau ini, kita akan melihat hubungan antara
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang
Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh wajib
Pajak, dengan Peraturan Daerah Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun

22

2010 tentang BPHTB dan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 tahun 2013
tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe, dari segi
delegasi kewenangan.
2.

Landasan Konsepsional
Landasan konsepsional dalam penelitian ini sebagai pedoman konseptual

dengan tujuan untuk menghindari pemahaman atau penafsiran yang berbeda dari
konsep-konsep yang digunakan antara lain:
1.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.24

2.

Pemerintah Daerah Kota yang selanjutnya disebut Pemerintahan Kota adalah
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kota yang terdiri atas Walikota dan
Perangkat Daerah Kota.25

3.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.26

4.

Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.27
24

Waluyo, Perpajakan Indonesia, Edisi 10 Buku 1, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2011,

25

Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1, butir

hal 23.
nomor 4.
26

Pasal 1 angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.

23

5.

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengolahan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang bidang pertanahan dan bangunan.28

6.

Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data
objek dan subjek pajak, penetuan besarnya pajak yang terhutang sampai kegiatan
penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetoran.29

7.

Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di provinsi
Aceh. Di Aceh, Qanun terbagi atas 2 bagian yaitu:
a. Qanun Aceh yang berlaku diseluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh
disahkan oleh Gubernur Aceh setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh.
b. Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di Kabupaten/Kota tersebut, Qanun
Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Walikota setelah
persetujuan

bersama

dengan

DPRK

(Dewan

mendapatkan

Perwakilan

Rakyat

Kabupaten/Dewan Perwakilan Rakyat Kota).
8.

Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang, kepercayaan dan tanggunjawab kepada wajib pajak untuk

27

Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1, butir

nomor 9.
28

Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1,
butir nomor 10.
29
Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur
Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe, Pasal 1, butir 20.

24

menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus dibayar.30
9.

Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang yang wajib dibayar oleh wajib pajak.31

10. Hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah urutan sistematis peraturan
perundang-undangan dari yang tertinggi hingga terendah. Peraturan yang lebih
tinggi menjadi sumber dan dasar peraturan-peraturan dibawahnya. Setiap
peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.
11. Verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan, perhitungan uang, dan
sebagainya,32 atau proses pengecekan atau pemeriksaan data apakah sudah sesuai
dengan aturan atau tidak, apakah sesuai dengan data yang ada atau berbeda.
12. Surat Setoran Pajak Daerah (SPPD) adalah bukti pembayaran atau penyetoran
pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan
dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh
Kepala Daerah.33
13. Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD
BPHTB) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan

30

Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal.177.
31
Ibit, hal.177.
32
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, Widya Karya,
Semarang, 2014, hal.629.
33
Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1, butir
nomor 12.

25

pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kas Daerah atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan.34
14. Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) adalah Dinas Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah Kota Lhokseumawe.35

G.

Metode Penelitian

1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang

mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip),
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan pemungutan BPHTB oleh pemerintah Kota
Lhokseumawe-Aceh berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010
tentang BPHTB.36Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat,
penelitian yang dilakukan bersifat analisis deskriptif, yaitu penelitian yang
menggambarkan fakta-fakta tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematis
maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yuridis, dengan tujuan menjawab
permasalahan yang menjadi objek penelitian.37

34

Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur
Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe, Pasal 1 butir 18.
35
Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur
Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe, Pasal 1 butir 6.
36
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal
86
37
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001, hal.116-117.

26

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundangundangan (statute approach). Pendekatan undang-undang (statute approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.38
2.

Sumber Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari :
a)

Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya
adalah Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis
Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau
Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, Qanun (Peraturan Daerah) Kota
Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB), serta Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30
Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) Kota Lhokseumawe.
38

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 93

27

b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan–bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalis dan memahami bahan
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari
kalangan ahli hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan
masalah Pemungutan BPHTB yang berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe
Nomor 04 tahun 2010 tentang BPHTB.
c)

Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, jurnal
ilmiah, ensiklopedia yang berhubungan atau berkaitan dengan materi penelitian.
Untuk mendukung data sekunder, akan digunakan juga data primer berupa hasil

wawancara dengan para informan.
3.

Teknik Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui

tahap-tahap penelitian antara lain:
a.

Studi Kepustakaan (Library Research).
Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-

konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.39

39

Muis, Pedoman Penulisan Skripsi Dan Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan, 1990, hal 48.

28

b.

Wawancara.
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tatap muka atara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau
informan dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara. Sehingga
penelitian ini berusaha menggali informasi dari informan yang berkaitan dengan
penelitian ini. Pengumpulan data penunjang atau data tambahan yang diperoleh
dengan mengadakan wawancara dengan informan seperti 3 (tiga) orang Notaris di
Kota Lhokseumawe, dan 1 (satu) orang pegawai Dinas Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah Kota Lhokseumawe, dimana wawancara ini dilakukan secara langsung.
4.

Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni mengumpulkan data,

mensistematisasikan data, menganalisis data hingga menarik kesimpulan.40 Data
tersebut dianalisis berdasarkan teori-teori, asas-asas, norma-norma, kaidah-kaidah,
doktrin-doktrin yang relevan kemudian dikaitkan dengan Qanun Nomor 04 Tahun
2010 Tentang BPHTB. Memberikan argumentasi-argumentasi dalam penelitian ini,
memberikan penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya
menurut asas, norma-norma hukum, kaidah, dan doktrin. Teori-teori digunakan
sebagai alat untuk menganalisis masalah secara tajam dan mendalam.
Data yang dianalisis kemudian diungkap secara deduktif dalam bentuk uraian
secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data sehingga
permasalahan dalam penelitian ini dapat dipecahkan, mengenai Pemungutan BPHTB
oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe berdasarkan Qanun Nomor 04 Tahun 2010
tentang BPHTB.
40

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda, Bandung, 2007, hal 248.