Akibat Hukum Praktik Jual Rugi Dalam Industri Retail Ditinjau Dari UU No. 5 Tahun 1999

21

akan diberikan kesimpulan dan saran.

BAB II
PRAKTEK MENJUAL RUGI DALAM INDUSTRI RETAIL DALAM
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

A. Pasar Persaingan
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan pasar
diartikan sebagai lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi
perdagangan barang dan/atau jasa.
Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan pasar adalah tempat
orang berjual beli, kekuatan penawaran dan permintaan, tempat penjual yang
ingin menukar barang dengan uang. 8
Pengertian ini senada juga dengan apa yang disebut oleh para ekonom
dimana pasar adalah sebagai suatu arena yang di dalamnya pembeli dan
penjual mempertukarkan barang dan jasa. 9
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 istilah pasar tidak digunakan secara

tersendiri, namun pengertian pasar tersebut meletakkan dasar untuk pengertian
pasar bersangkutan, struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar dan harga

8



Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka,
Jakarta, 2003, hal. 833.
9

Sih Yuliana Wahyuningtyas, “Op.Cit, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

22

pasar.

Pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing sempurna (perfect

competition market). Pasar dapat dikatakan bersifat persaingan sempurna jika
memiliki beberapa ciri :
23

1. Barang yang diperjual belikan homogen baik jenis maupun
kualitasnya.
2. Jumlah penjual dan pembeli sangat banyak hingga tidak ada satupun
pelaku pasar yang dapat menentukan harga secara sendiri-sendiri,
baik di pihak penjual maupun di pihak pembeli. Pada kondisi seperti
ini, para ekonom mengatakan bahwa harga ditentukan oleh pasar dan
para penjual hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pasar
(price taker). Oleh karena harga ditentukan oleh pasar, berapapun
jumlah barang yang dijual harganya akan tetap sama bagi pedagang
tersebut sehingga pada umumnya keuntungan yang lebih banyak bagi
penjual di dalam pasar persaingan sempurna dapat dicapai jika dia
dapat menjual lebih banyak. Keinginan untuk menjual lebih banyak
akan meningkatkan persaingan.
3. Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) bagi setiap penjual
untuk masuk ke dalam pasar dan tidak ada pula hambatan untuk
keluar (barrier to exit) dari pasar. Pasar seperti ini biasanya ditandai

dengan kecilnya komponen biaya yang hilang jika dia harus berhenti
berjualan. Salah satu alasan utama yang mendorong orang untuk
masuk ke dalam pasar adalah adanya keuntungan yang diterima oleh
pelaku yang ada di dalam pasar. Dengan kecilnya kemungkina biaya
yang hilang jika seorang penjual keluar dari pasar, maka dorongan
untuk ikut berusaha dalam bidang yang sama akan semakin besar.
4. Setiap orang, baik penjual maupun pembeli, mengetahui seluruh
informasi pasar secara sempurna. 10
Sedangkan Munir Fuady menjelaskan karekteristik pasar yang
kompetitif tersebut dengan mengutip pendapat Sullivan yaitu :
1. Terdapatnya banyak pembeli dan penjual.
2. Idak satupun perusahaan sangat besar sehingga tindak tanduk dari
hanya satu perusahaan tersebut dapat mempengaruhi harga di pasar.
3. Produk di pasar cukup homogen, dimana setiap produk sanggup
10



Ibid., hal. 23.


Universitas Sumatera Utara

23

menjadi substitusi bagi yang lain.
4. Tidak terdapat penghalangan untuk memasuki pasar (barrier to
entry).
5. Kemampuan untuk meningkatkan produksi tidak ada rintangan.
6. Produsen dan konsumen mempunyai informasi yang lengkap
mengenai faktor-faktor yang relevan dengan pasar.
7. Keputusan yang diambil oleh produsen dan konsumen bersifat
individual dan tidak terkoordinasi antar sesama produsen maupun
konsumen. 11
Istilah pasar sebagaimana dijelaskan di atas akan sangat menentukan
apakah telah terjadi praktek monooli dalam suatu pasar dimana suatu
perusahaan dianggap memiliki market power (kekuatan pasar), maka akan
tergantung sekali kepada penentuan daripada definisi pasar itu sendiri.
Perjanjian pembagian wilayah dapat dikategorikan berdasarkan produk
yang diperdagangkan dan jangkauan geografis dari pasar tersebut. Pasar
produk menggambarkan barang dan jasa yang diperjual belikan sedangkan

pasar geografis menggambarkan lokasi produksi dari produsen atau penjual.
Tetapi seberapa besar jangkauan pasar suatu produk, baik dilihat dari produk
yang diperjual belikan maupun dari lokasi yang memproduksinya merupakan
hal yang tidak mudah untuk ditetapkan, terutama dalam menentukan apakah di
satu pasar tertentu telah terjadi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat. “Dalam ilmu ekonomi maka sebagai langkah pertama adalah definisi
dari relevant market (pasar bersangkutan) adalah faktor yang esensial untuk

11



Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

24

menentukan suatu pasar”. 12


Istilah pasar bersangkutan merupakan istilah sentral semua tata hukum
anti monopoli dan berasal dari hukum anti monopoli Amerika Serikat.
Pengertian yang umum dari pasar dibatasi dalam pasar bersangkutan.
Pembatasan tersebut berkaitan dengan :
1. Jangkauan atau daerah pemasaran.
2. Kelompok pelaku usaha.
3. Barang dan/atau jasa tertentu, yaitu barang dan/atau yang sama atau
sejenis, atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. 13
Pembatasan tersebut penting karena transaksi sebagaimana disebut
dalam pengertian pasar hanya mungkin terjadi dalam kelompok pelaku usaha
tertentu, atas barang dan/atau jasa tertentu, dalam jangkauan atau daerah
pemasaran yang tertentu pula. Akan tetapi, dalam ketentuan tersebut tidak
diatur baik siapa maupun dasar yang menentukan barang dan/atau jasa adalah
sama sejenis atau merupakan substitusi.
Pengertian pasar bersangkutan dijelaskan melalui suatu produk atau
suatu kelompok produk dan suatu area geografis. Untuk menentukan apakah
suatu monopoli hipotesis akan berada dalam posisi yang menentukan untuk
penguasaan pasar, perlu untuk mengevaluasi kecenderungan respon


12



13



Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 2003, hal. 34-35.
Sih Yuliana Wahyuningtyas, Op.Cit, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

25

permintaan dari konsumen atas suatu kenaikan harga. Suatu kenaikan harga
dapat dibuat tidak menguntung-kan oleh konsumen dengan beralih ke produk
lain atau beralih ke produk yang sama yang diproduksi oleh perusahaan dari
tempat lain. Sifat dan ukuran dua tipe respon permintaan ini menentukan

lingkup pasar produk dan pasar geografis.
Pasar berangkutan menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 diartikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau
daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang, dan/atau jasa yang
sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Dengan
demikian terdapat dua kriteria pokok untuk pasar bersangkutan di dalam
ketentuan tersebut yaitu :
1. Jangkauan atau daerah pemasaran tertentu.
2. Barang dan jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang
dan/atau jasa tersebut.
Mendefinisikan pasar bersangkutan secara sederhana berarti mengidentifikasi produk atau jasa tertentu atau kelas produk yang dihasilkan atau jasa
yang diberikan oleh pelaku bisnis di dalam wilayah geografis tertentu. Dengan
demikian maka dapat dikatakan juga bahwa pasar bersangkutan sebagai area
dari dari persaingan yang efektif, yang di dalamnya tergugat menjalankan
usaha.
Frans Jurgen Sacker dan Jens Thomas Fuller sebagaimana dikutip oleh
Sih Yuliana menjelaskan cara mengidentifikasi pasar yang dibedakan antara

Universitas Sumatera Utara


26

pasar pasokan (supply market) dengan pasar permintaan (demand market).
Cara mengidentifikasi pasar tersebut dilakukan dari segi faktual dan geografis,
di samping itu dijelaskan pula mengenai identifikasi pasar dari segi waktu.14
Pembatasan pasar baik menurut pasar patokan maupun pasar permintaan perlu
dilakukan untuk dapat menilai penguasaan pasar dari segi pemasok dan dari
segi pembeli menurut hukum persaingan usaha. Namun demikian pengaturan
dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya
mengasumsikan adanya pasar pasokan, sehingga tidak dapat digunakan untuk
mendefinisikan pasar permintaan.
Ada juga yang menjelaskan pasar bersangkutan secara kasus per kasus.
Pendekatan ini mencakup dimensi produk dan geografis dari pasar
bersangkutan. Metode penentuan pasar semacam ini dapat digunakan untuk
menentukan apakah terdapat pesaing aktual yang mampu menghambat
perilaku dari perusahaan yang dipersoalkan dan untuk mengkaji tingkat
kompetisi nyata di pasar.

B. Hukum Monopoli dan Persaingan Usaha
Kegiatan ekonomi atau bisnis dapat menimbulkan adanya suatu

persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan lainnya dan hal
tersebut merupakan hal yang biasa terjadi. Persaingan usaha yang sehat akan
berakibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing atau berkompetisi
karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efiseinsi, produktivitas
14



Ibid, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

27

dan kualitas produk yang dihasil-kan. Konsumen juga mendapatkan manfaat
dari adanya persaingan yang sehat karena dapat menimbulkan penurunan harga
dan kualitas produk tetap terjamin. Sebaliknya apabila persaingan yang terjadi
tidak sehat, akan dapat merusak perekonomian negara yang merugikan
masyarakat. 15
Kebutuhan akan suatu perangkat hukum yang mengatur persaingan

usaha antar pelaku usaha tidak dapat ditawar-tawar lagi. Untuk maksud
tersebut pada tanggal 5 MAret 1999 telah diundangkan Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
Undang-Undang Anti Monopoli yang terdiri dari 11 Bab dan 53 pasal
ini, Monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dalam Black’s Law
Dictionary, Monopoli diartikan sebagai a privilege or peculiar advantage
vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right
(or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a
particular article, or control the sale of the whole supply of a particular
commodity. 16 Berbeda dari definisi yang diberikan dalam undang-undang
yang

15

langsung menunjuk pada penguasaan pasar, dalam Black’s Law



Abdul R. Saliman, dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan
Contoh Kasus, Prenada media, Jakarta, 2004, hal. 170.
16

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999, hal. 12-13.

Universitas Sumatera Utara

28

Dictionary penekanan lebih diberikan pada adanya suatu “hak istimewa”
(privilege) yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya
juga akan menciptakan penguasaan pasar.
Munir Fuady menjelaskan bahwa :
Dengan praktek monopoli dimaksudkan adalah sebagai suatu pemusatan
kekuatan ekonomi oleh 1 (satu) atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. 17
Selanjutnya dalam Black’s Law Dictionary dikatakan “Monopoly as
prohibited by Section 2 of the Sherman Antitrust Act, has two elements :
1. Possesion of monofoly power in relevant market;
2. Willful acquisition or maintenance of that power”. 18
Point 1 (kesatu) di atas menjelaskan monopoli dilarang karena
menguasai pasar, dan 2 point (kedua) menjelaskan usaha-usaha memelihara
kekuasaan pasar tersebut. Kedua hal di atas menerangkan monopolis yang
dilarang dalam Sherman Act adalah monopoli yang bertujuan untuk
menghilangkan kemampuan untuk melakukan persaingan dan atau untuk tetap
mempertahankannya.
Hal ini memberikan konsekwensi dimungkinkan dan diperkenankannya
monopoli yang terjadi secara alamiah, tanpa adanya kehendak dari pelaku
usaha tersebut

17

untuk

melakukan

monopoli. Uraian di atas menekankan



Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 213
18

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

29

proses terjadinya monopolisasi dan bukan pada monopoli yang ada. Ada
beberapa argumen yang dapat dikemukakan dengan proses terjadinya
monopoli secara alamiah.
Hal-hal tersebut atara lain meliputi hal-hal berikut di bawah ini : 19
1. Monopoli terjadi sebagai akibat dari suatu “superior skill”, yang salah
satunya dapat terwujud dari pemberian hak paten secara eksklusif oleh
negara, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan atas
teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal dengan istilah “trade
secret”, yang meskipun tidak memperoleh eksklusifitas “pengakuan” oleh
negara, namun dengan teknologi “rahasia” nya mampu membuat suatu
produk superior.
2. Monopoli terjadi karena pemberian negara. Di Indonesia hal ini sangat
jelas dapat dilihat dari pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan pasal
33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang dikutip kembali alam Pasal
51 undang-undang ini.
3. Monopoli merupakan suatu “historical accident”. Dikatakan sebagai
“historical accident” oleh karena monopoli tersebut terjadi karena tidak
senga-ja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh
berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini
penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memugkinkan terjadinya

19



Ibid, hal. 13-14.

Universitas Sumatera Utara

30

monopoli menjadi sangat relevan.

Selain definisi dari Monopoli, dalam undang-undang juga diberikan
pengertian dari praktek monopoli, yaitu suatu pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Dari definisi yang diberikan di atas dapat kita ketahui bahwa pada
dasarnya ada 4 hal penting yang dapat kita kemukakan tentang praktek
monopoli ini yaitu :
1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi;
2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha
ekonomi;
3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat; dan
4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum. 20
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu
pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa, dan persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan

20



Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia, Analisis Perbandingan UndangUndang No. 5 Tahun 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

31

cara tidak jujur atau melawan hukum atau meghambat persaingan usaha.
Satu hal yang cukup menarik dari undang-undang ini adalah bahwa
selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat (sebagaimana didefinisikan), maka hal itu tidak
dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau
bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara
nyata-nyata telah terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/ atau
pemasaran barang dan/atau jasa tertentu). Jadi jelaslah bahwa monopoli itu
sendiri tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
Dari pengertian yang diberikan di atas jelas dapat kita lihat bahwa salah
satu prasyarat pokok dapat dikatakan telah terjadi suatu pemusatan kekuatan
ekonomi adalah telah terjadinya penguasaan nyata dari suatu pasar
bersangkutan sehingga harga dari barang atau jasa yang diperdagangkan tidak
lagi mengikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan,
melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang
menguasai pasar tersebut.

C. Praktek Menjual Rugi Dalam Industri Retail Dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999
Proses menjual rugi pada dasarnya dapat dilakukan oleh kegiatan usaha
yang memiliki permodalan kuat bagi usaha pemasaran suatu produk.

Universitas Sumatera Utara

32

Prosesnya dilakukan dengan menjual di bawah harga rata-rata atau menjual di
bahwa harga biaya produksi dan pada waktu tertentu dikembalikan lagi ke
normal setelah para pesaing produk yang sama tidak ada lagi di pasaran.
Dengan demikian ada tempo atau waktu yang diambil dari jarak menjual rugi
lalu kembali kepada normal.
Sedangkan Ningrum Natasya Sirait membagi empat macam proses
kegiatan menjual ke pasar sebagai tindakan menjual rugi yaitu: 21
1. Teori yang dikemukakan Philip Areeda dan Donald Turner “Cost Based
school” atau dijelaskan diterapkannya pendekatan ekonomi dalam
memutuskan kasus menjual rugi. Alasannya adalah menjual rugi tidak akan
berarti apapun bila tidak timbul adanya kehilangan keuntungan dalam
waktu dengan tujuan akan mendapatkan keuntungan kembali kelak. Areeda
dan Turner mengusulkan agar tanggungjawab seorang monopolis dalam
menjual rugi harus diputuskan berdasarkan

perhitungan

secara khusus

terhadap biaya produksi. Menurut mereka, harga monopoli harus dilihat
sebagai tindakan menjual rugi hanya bila harga penjualan adalah di bawah
harga marginal ketika output ditambah satu. Begitupun karena data
mengenai biaya marginal sukar didapat, Areeda Turner berpendapat bahwa
harga adalah harga menjual rugi bila harga jual merupakan harga di bawah
antisipasi harga rata-rata. Sejak pendekatan ini diperkenalkan, peradilan

21



Ningrum Natasya Sirait, Menjual Rugi (Predatory Pricing) Dalam Hukum Persaingan
dan Pengaturannya dalam UU No. 5 /1999, Jurnal Hukum Bisnis Volume 23 No. 1 Tahun 2004,
hal. 73.

Universitas Sumatera Utara

33

mulai banyak melakukan pendekatan analisis ekonomi dalam kasus
menjual rugi. Bahkan dapat dikatakan bahwa analisis ekonomi merupakan
komponen utama dalam pembuktian menjual rugi dengan menggunakan
berbagai

pengujian

berdasarkan

biaya

(cost)

sebagaimana

yang

diperkenalkan oleh Areeda dan Turner.
2. Teori proses yang kedua adalah apa yang disebit dengan “struktural filter
schol” yang menggunakan aturan perhitungan biaya hanya bila struktur
pasar menunjukkan bahwa tindakan menjual rugi akan mengakibatkan
proses persaingan terganggu. Pendekatan ini bertumpu pada kondisi
dimana kesempatan masuk ke pasar menghambat kemampuan pelaku yang
menjual rugi untuk melakukan recoupment investasinya dengan cara
menetapkan harga di bawah produksi.
3. Proses yang ketiga disebut dengan istilah no rule, yang menetapkan bahwa
menjual rugi adalah tindakan yang jarang terjadi sehingga sebenarnya
hukum persaingan tidak perlu mengaturnya. Pertimbangannya adalah
bahwa pelaku yang menjual rugi tidak akan mampu bertahan, demikian
juga akan selalu ada pemain baru masuk ke pasar, sehingga strategi ini
tidak akan mampu bertahan lama. Kalau perilaku ini diatur oleh Hukum
Persaingan, maka dikhawatirkan justru akan mengganggu strategi yang pro
persaingan dan konsumen akan dirugikan.
4. Proses yang keempat disebut dengan game theoritic, yang memandang
bahwa menjual rugi merupakan strategi yang rasional dalam beberapa

Universitas Sumatera Utara

34

kondisi dan menolak perhitungan analisis harga untuk mengidentifikasikan
perilaku yang melanggar hukum. Pendekatan ini berdasarkan analisis
bahwa perusahaan yang ada menggunakan informasi yang ada untuk
mengancam pesaing yang baru masuk untuk keluar dari pasar ataupun
mengurangi output.
Perdebatan pendapat para ahli hukum persaingan juga menyinggung
apakah perilaku pemotongan harga termasuk dalam pelanggaran. Frank
Easterbrook kemudian menolak pengujian biaya versi Areeda dan Turner dan
mengatakan bahwa pemotongan harga harus dinyatakan sebagai tindakan yang
dibenarkan atau perse legal. Bork dan Easterbrook sama-sama setuju terhadap
pendapat Areeda dan Turner bahwa menjual rugi kecil kemungkinannya dapat
dibuktikan karena kerugian yang dilakukan semasa menjual di bawah harga
seharusnya akan didapat kembali melalui keuntungan dari harga monopoli
ketika pesaing sudah ke luar dari pasar. Namun keduanya menyimpulkan
bahwa upaya untuk menghentikan tindakan menjual rugi adalah tidak berguna
karena berdasarkan analisis cost dan benefit, secara realita walaupun memiliki
kemampuan keuangan yang kuat, tindakan ini sulit untuk dilaksanakan.
Berdasarkan pendekatan di atas, dalam beberapa putusannya,
pengadilan melihat beberapa pertimbangan yaitu:
1. Hubungan antara harga monopoli dan biaya akan memberikan petunjuk
yang membantu mengevaluasi terjadinya menjual rugi dengan asumsi
bahwa menjual di bawah harga rata-rata. Evaluasi harga juga tergantung

Universitas Sumatera Utara

35

pada faktor misalnya apakah hambatan masuk pasar memungkinkan pelaku
melakukan recoupment sesudah pesaing keluar dari pasar.
2. Pendekatan kedua fokus pada syarat struktural pasar untuk melihat
kemungkinan suksesnya menjual rugi.
3. Evaluasi mengenai pembuktian maksud.

Ilmu ekonomi pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing
sempurna (perfect competition market). Pasar dapat dikatakan bersifat
persaingan sempurna jika memiliki ciri-ciri:
1. Barang yang diperjualbelikan homogen baik jenis maupun kualitasnya.
2. Jumlah penjual dan pembeli sangat banyak hingga tidak ada satu pun
pelaku pasar yang dapat menentukan harga secara sendiri-sendiri, baik di
pihak penjual maupun di pihak pembeli. Pada kondisi seperti ini, para ahli
ekonomi mengatakan bahwa harga ditentukan oleh pasar dan para penjual
hanya bisa menerima harga yang ditentukan oleh pasar (price taker). Oleh
karena harga ditentukan oleh pasar,

berapapun

jumlah

barang yang

dijual harganya akan tetap sama bagi pedagang tersebut sehingga pada
umumnya keuntungan yang lebih banyak bagi penjual di dalam pasar
persaingan sempurna dapat dicapai jika dia dapat menjual lebih banyak.
Keinginan untuk menjual lebih banyak akan meningkatkan persaingan.
3. Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) bagi setiap penjual untuk
masuk ke dalam pasar dan tidak ada pula hambatan untuk keluar (barrier
to exit) dari pasar. Pasar seperti ini biasanya ditandai dengan kecilnya

Universitas Sumatera Utara

36

komponen biaya yang hilang jika dia harus berhenti berjualan. Salah satu
alasan utama yang mendorong orang untuk masuk ke dalam pasar adalah
adanya keuntungan yang diterima oleh para pelaku yang ada di dalam
pasar. Dengan kecilnya kemungkinan biaya yang hilang jika seorang
penjual keluar dari pasar, maka dorongan untuk ikut berusaha dalam
bidang yang sama akan semakin besar.
4. Setiap orang, baik penjual maupun pembeli mengetahui seluruh informasi
pasar secara sempurna.
Ada beberapa hal yang mungkin sangat sulit dicapai oleh setiap pasar
untuk mencapai kondisi pasar persaingan sempurna, terutama ciri pertama dan
keempat sebagaimana dijelaskan di atas. Sangat jarang dijumpai pasar yang
memiliki barang dan/atau jasa yang homogen. Demikian pula sangat langka
dimilikinya informasi yang sempurna oleh penjual dan pembeli. Ini adalah
jenis pasar yang ideal dalam prakteknya untuk dicapai.
Uraian di atas juga menjelaskan tentang keadaan-keadaan dihajatkan
dalam suatu pasar. Jadi ada suatu dilema jika kegiatan pasar tidak difungsikan
dari kegiatan persaingan yang sempurna, dimana produk yang diperjual
belikan hanya dipasok oleh satu orang pemasok atau dalam kegiatan pasar
telah terjadi kegiatan monopoli. Padahal untuk memunculkan pasar yang
sempurna maka diperlukan adanya beberapa pemasok yang melakukan
kegiatan jual beli secara baik sehingga tercipta persaingan yang sehat.
Selain ikhwal pemasok produk yang diperjual belikan, indikasi pasar

Universitas Sumatera Utara

37

yang baik itu juga dipahami dari keadaan pasar dari sisi geografis. Pasar
geografis ini diindikasikan dalam suatu batasan wilayah, seperti kota, atau
negara. Dalam mengisi kegiatan pasar geografis ini juga dibutuhkan
persaingan, sehingga tercipta pasar yang sempurna, jadi tidak hanya satu orang
yang memainkan peranan penting dalam kegiatan pasar geografis ini karena
akan memunculkan praktek monopoli.
Ada dimensi yang harus diperhitungkan dalam uraian di atas untuk
memunculkan pasar sempurna dimana pasar tidak dikuasai oleh satu jenis
produk saja atau pasar dikuasai oleh satu pelaku semata. Dengan demikian
maka pasar bersangkutan berupaya menjelaskan keadaan tersebut sehingga
tercipta keadaan pasar yang sempurna.
Keadaan ini dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 yang memberikan pengertian tentang pasar bersangkutan sebagai
pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh
pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut.
Pasar bersangkutan berupaya mengidentifikasikan keadaan-keadaan
yang menciptakan monopoli dalam kegiatan suatu pasar sehingga dapat
menghindarinya dan menciptakan pasar yang sempurna. Cara mengidentifikasi
pasar tersebut dilakukan dari segi faktual dan geografis, di samping itu
dijelaskan pula mengenai identifikasi pasar dari segi waktu. Pembatasan pasar
baik menurut pasar pasokan maupun pasar permintaan perlu dilakukan untuk

Universitas Sumatera Utara

38

dapat menilai penguasaan pasar dari segi pemasok dan segi pembeli menurut
hukum persaingan usaha. Namun demikian pengaturan dalam Pasal 1 angka 10
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya mengasumsikan adanya pasar
patokan, sehingga tidak dapat digunakan untuk mendefinisikan pasar
permintaan.
Berdasarkan uraian yang dijelaskan di atas dapat dibuat dua kriteria
pokok untuk menentukan pasar bersangkutan, yaitu pasar produk/pasar faktual
dan pasar geografis.

1. Pasar produk/pasar faktual
Pasar produk adalah unsur pertama yang harus diperhitungkan untuk
me-nentukan pasar bersangkutan. Ketentuan hukum persaingan di Indonesia
menentukan bahwa yang penting dalam penentuan pasar produk adalah
sejauhmana produk bersangkutan dapat disubstitusikan oleh produk lain.
Produk dengan karakter yang dapat diperbandingkan dalam pengertian harga
dan kegunaannya adalah bagian dari pasar produk yang sama.
Suatu pasar produk yang bersangkutan mencakup semua produk
dan/atau jasa yang dianggap sebagai produk dan/atau jasa yang dapat saling
dipertukarkan atau disubstitusikan oleh konsumen karena karekteristik produk,
harga dan tujuan penggunaannya.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pasar faktual
adalah pasar dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis,
termasuk substitusinya. Namun demikian ketentuan tersebut tidak mengatur

Universitas Sumatera Utara

39

siapa yang menentukan apakah barang dan/atau jasa tersebut adalah sama atau
sejenis, dan tidak pula mengatur kriteria untuk menentukan barang dan/atau
jasa tersebut adalah sama atau sejenis.
Praktek persaingan usaha menjelaskan bahwa terdapat dua pengujian
yang erat kaitannya satu sama lain dan saling melengkapi untuk
mengidentifikasi pasar produk yang bersangkutan yaitu kegunaan yang saling
dapat dipertukarkan dan elastisitas silang dari permintaan.
Untuk pemisahan pasar dari segi faktual, konsep yang terpenting adalah
konsep substitusi yang menentukan pasar bersangkutan dari segi faktual
dengan cara menetapkan barang dan/atau jasa mana yang dapat disubstitusi
barang dan/atau jasa lain. Dalam pasar bersangkutan faktual hanya terdapat
barang dan/atau jasa yang dapat saling mensubstitusi. Sebagai bagian dari
konsep tersebut terdapat berbagai model untuk menentukan hubungan
substitusi. Model tersebut antara lain adalah konsep rencana ekonomi yang
mendefinisikan hubungan antar pesaing dan dengan demikian pasar
bersangkutan faktual, atas dasar pengetahuan yang dikuasai pemasok bahwa
pemasaran barangnya tidak hanya ditentukan oleh parameter kegiatannya
sendiri, melainkan juga oleh parameter-parameter pemasok lain. Berkaitan
dengan konsep kekosongan sunstitusi, pasar bersangkutan faktual terhenti oleh
adanya kekosongan substitusi, karena hanya apabila terdapat rangkaian
substitusi, maka barang-barang tersebut dapat dalam pasar bersangkutan
faktual.

Universitas Sumatera Utara

40

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk menganalisis pasar produk
adalah analisis substitusi yang dapat diukur dari :
a. Tingkat fungsional dari perdagangan, termasuk hubungan grosir dan retail
melalui rantai nilai yang komplek dan berlapis.
b. Substitusibilitas permintaan, hambatan bagi konsumen untuk beralih ke
produk atau pemasok lain.
c. Lingkup waktu analisis, biasanya satu tahun namun dapat pula 18 bulan
atau dua tahun.
d. Substitusi rantai, produk A dan C mungkin tidak saling bersubstitusi,
namun produk B dapat mensubstitusi keduanya, sehingga meletakkan A
dan C ke dalam satu pasar yang sama. Misalnya broadband cable TV
adalah substitusi untuk baik telephone maupun broadcast TV.
Analisis terhadap Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,
dapat dijelaskan kriteria substitusi dapat dianalisis sebagai berikut :
a. Dapat ditentukan secara absolut sifat barang dan/atau jasa yang sama atau
sejenis. Petunjuk pertama adalah sifat fisik yang sama dari barang dan/atau
jasa, berkaitan dengan tujuan pemakaian yang sama sehingga dapat saling
dipertukarkan. Di samping itu sifat-sifat eksternal seperti citra merek atau
hasil

pengujian

barang

dan/atau

jasa

bersangkutan

yang

dapat

mempengaruhi perilaku pembeli. Dua barang dan/atau jasa yang memiliki
sifat fisik yang sama dapat berada di dalam dua pasar yang berlainan
apabila salah satu dari barang dan/atau jasa tersebut mempunyai citra

Universitas Sumatera Utara

41

merek yang khusus sehingga pembeli lebih suka pada barang dan/atau jasa
tertentu, dan tidak membeli barang dan/atau jasa yang citranya biasanya
saja.
b. Berdasarkan sifat barang dan/atau jasa, pembeli perlu mengganggap bahwa
barang dan atau jasa tersebut dapat diganti barang dan/atau jasa lain. Yang
penting adalah penggunaan konkrit oleh pembeli dan bukan tujuan penggunaan
potensial yang hipotetis.
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 barang substitusi tidak
dapat disejajarkan dengan barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis, tetapi
dapat menggantikan kegunaan barang dan/atau jasa tertentu. Oleh sebab itu,
barang substitusi terdapat dalam pasar faktual yang sama, tetapi hanya berlaku
apabila barang dan/atau jasa yang berlainan tersebut dari segi kegunaan
utamanya dapat dipertukarkan. Apabila dua jenis barang dan/atau jasa dapat
dipertukarkan untuk kegunaan marjinal, maka barang tersebut tidak dianggap
berada di pasar faktual yang sama.
Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam mengidentifikasikan
pasar produk adalah harga. Harga berperan penting bagi konsumen ketika
membeli barang dan/atau jasa tertentu. Harga berkaitan erat dengan kegunaan
barang, karena konsumen harus mempertimbangkan antara kegunaan barang
dengan harga yang perlu dibayar. Meskipun Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tidak menunjukkan kepada harga sebagai unsur dalam

Universitas Sumatera Utara

42

mengidentifikasi pasar, harga dapat juga berperan. Hal ini terjadi apabila ada
barang yang kegunaannya sama, sedangkan harganya berbeda-beda. Perbedaan
harga besar antara barang-barang

yang dapat dipertukarkan menurut sifat

produk, akan dialo-kasikan di pasar berbeda-beda. Batas terendah perbedaan
harga antara pasar yang berbeda-beda tidak boleh ditentukan terlalu rendah.
Apabila perbedaan harga mencapai 100% maka barang-barang bersangkutan
dianggap terdapat dalam pasar yang berbeda.
Meskipun Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
mengasumsikan adanya pasar pasokan, pembatasan pasar permintaan juga
perlu karena pasal 13 tentang oligopsoni dan Pasal 18 tentang monopsoni
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 membahas praktek pihak
permintaan yang membatasi persaingan usaha.

2. Pasar geografis
Pasar geografis sebagai unsur kedua yang perlu diperhitungkan untuk
menentukan pasar yang bersangkutan. Pasar geografis dapat diartikan secara
luas sebagai area yang di dalamnya penjual produk atau jasa tertentu
menjalankan usaha. Pasar geografis dapat pula diartikan sebagai suatu pasar
yang di dalamnya penual produk atau jasa tertentu dapat menjalankan usaha
tanpa hambatan yang serius. Pasar geografis dapat saja dibatasi, misalnya
suatu kota kecil, atau dapat pula keseluruhan pasar internasional. Di antaranya
adalah mungkin untuk mempertimbangkan alternatif lain, seperti sejumlah
kota, provinsi, negara atau suatu region yang terdiri atas beberapa negara.

Universitas Sumatera Utara

43

Pasar geografis juga diindikasikan mencakup area yang di dalamnya
perusahaan yang dipersoalkan terlibat dalam suplai produk dan/atau jasa yang
di dalamnya kondisi persaingan cukup homogen.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan
jangkauan atau daerah pemasaran. Ini adalah pasar bersangkutan dari segi
geografis. Dengan identifikasi demikian, akan dapat ditentukan pasar-pasar
dengan jangkauan berbeda-beda, pasar lokal, pasar regional, pasar nasional,
pasar supranasional atau pasar dunia.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyebutkan
daerah pemasaran. Daerah pemasaran adalah wilayah dimana pemasok barang
dan/atau jasa sedang mengalami persaingan. Dalam prakteknya tidak sulit
untuk menentukan kriteria tersebut, tetapi untuk mengidentifikasi pasar
geografis tidak dapat digunakan secara terpisah dari faktor-faktor lain yang
membatasi lebih lanjut daerah pemasaran. Selain itu struktur distribusi yang
sudah mantap kedudukannya dapat merupakan indikasi adanya pasar yang
sudah tertutup, karena struktur pemasaran tersebut merupakan hambatan
masuk pasar bagi pelaku usaha yang belum terintegrasi.
Praktek

di

Indonesia

mengidentifikasi

pasar

geografis,

biaya

transportasi berperan penting, karena dari biaya tersebut dapat dijelaskan
jangkauan wilayah barang dan/atau jasa bersangkutan dapat dipasok secara
ekonomis.

Ketentuan

hukum

persaingan

menentukan

bahwa

ketika

menentukan pasar geogaris, transportasi dan biaya adalah dua hal yang sangat

Universitas Sumatera Utara

44

penting.

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah pasokan barang dan/atau
jasa yang terikat tempat. Barang dan/atau jasa tertentu hanya dapat dipasok di
daerah yang sempit. Hal ini terutama berlaku untuk jasa yang berkaitan dengan
kenyataan benda tidak bergerak. Karena itu dalam praktiknya di Indonesia jasa
pelabuhan dibatasi pada kawasan fasilitas pelabuhan bersangkutan sebagai
pasar geografis. Sama halnya dengan jasa yang disediakan oleh pengelola
bandar udara.
Unsur selanjutnya yang menentukan pasar geografis adalah kebiasaan
permintaan tertentu. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak
mencantumkan hal ini secara eksplisit, namun dapat dikatakan dari materinya,
karena daerah pemasaran tertentu tergantung kepada permintaan yang terbatas
pada daerah tertentu. Preferensi pembeli lokal yang diakibatkan berbagai
sebab, dapat menimbulkan struktur permintaan yang berbeda-beda.

BAB III
PENYEBAB TERJADINYA PRAKTEK JUAL RUGI DALAM
INDUSTRI RETAIL

Universitas Sumatera Utara

45

A. Industri Retail
Retail adalah penjualan dari sejumlah kecil komoditas kepada
konsumen. Retail berasal dari bahasa Perancis yaitu Retailer yang berarti
Memotong menjadi kecil kecil. Sedangkan menurut Gilbert Retail adalah
Semua usaha bisnis yang secara langsung mengarahkan kemampuan
pemasarannya untuk memuaskan konsumen akhir berdasarkan organisasi
penjualan barang dan jasa sebagai inti dari Distribusi. Dalam kamus Bahasa
Inggris Indonesia, Retail bisa juga di artikan sebagai Eceran. Pengertian
Retailing adalah semua aktivitas yang mengikut sertakan pemasaran barang
dan jasa secara langsung kepada pelanggan. Pengertian Retailer adalah semua
organisasi bisnis yang memperoleh lebuh dari setengah hasil penjualannya dari
retailing.

22

Bisnis ritel merupakan aktivitas bisnis yang melibatkan penjualan
barang

dan

jasa

secara

langsung

kepada

konsumen

akhir.

Pada

perkembangannya, kini bisnis ritel di Indonesia mulai bertransformasi dari
bisnis ritel tradisional menuju bisnis ritel modern. Perkembangan bisnis ritel
modern di Indonesia sudah semakin menjamur di hampir seluruh wilayah
Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya toko retailer modern yang
membuka cabang di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), bisnis ritel
47

atau usaha eceran di Indonesia mulai berkembang pada kisaran tahun 1980 an

Universitas Sumatera Utara

46

seiring dengan mulai dikembangkannya perekonomian Indonesia. Hal ini
timbul sebagai akibat dari pertumbuhan yang terjadi pada masyarakat kelas
menengah, yang menyebabkan timbulnya permintaan terhadap supermarket
dan departement store (convenience store) di wilayah perkotaan. 23
Trend inilah yang kemudian diperkirakan akan berlanjut di masa-masa
yang akan datang. Hal lain yang mendorong perkembangan bisnis ritel di
Indonesia adalah adanya perubahan gaya hidup masyarakat kelas menengah ke
atas, terutama di kawasan perkotaan yang cenderung lebih memilih berbelanja
di pusat perbelanjaan modern. Perubahan pola belanja yang terjadi pada
masyarakat perkotaan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan berbelanja saja
namun juga sekedar jalan-jalan dan mencari hiburan. Berkembangnya usaha di
industri ritel ini juga diikuti dengan persaingan yang semakin ketat antara
sejumlah peritel baik lokal maupun peritel asing yang marak bermunculan di
Indonesia.
Industri ritel di Indonesia saat ini semakin berkembang dengan semakin
banyaknya pembangunan gerai-gerai baru di berbagai tempat. Kegairahan para
pengusaha ritel untuk berlomba-lomba menanamkan investasi dalam
pembangunan gerai-gerai baru tidaklah sulit untuk dipahami. Dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 3% sejak tahun 2000 dan makin

22



Dian1.blogspot.com, "Pengertian Usaha Retail", Melalui http://dian1.blogspot.com/
2011/11/pengertian-usaha-riteil.html, Diakses tanggal 6 Juli 2014.
23

Euis Soliha, "Analisis Industri Ritel Di Indonesia", Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE),
September 2008, hal. 128.

Universitas Sumatera Utara

47

terkendalinya laju inflasi, bisa menjadi alasan mereka bahwa ekonomi
Indonesia bisa menguat kembali di masa mendatang.
Ramainya industri ritel Indonesia ditandai dengan pembukaan geraigerai baru yang dilakukan oleh pengecer asing seperti Makro (Belanda),
Carrefour (Perancis), dan Giant (Malaysia, yang kemudian juga digandeng
oleh PT Hero Supermarket Tbk), yang tersebar di kotakota besar seperti
Jakarta, Makassar, Semarang, Bandung, Yogyakarta, dan lain sebagainya.

B. Model dan Macam Industri Retail
Penggolongan bisnis ritel di Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan
sifatnya, yaitu ritel yang bersifat tradisional atau konvensional dan yang
bersifat modern. Ritel yang bersifat tradisional adalah sejumlah pengecer atau
pedagang eceran yang berukuran kecil dan sederhana, misalnya toko-toko
kelontong, pengecer atau pedagang eceran yang berada di pinggir jalan,
pedagang eceran yang berada di pasar tradisional, dan lain sebagainya.
Kelompok bisnis ritel ini memiliki modal yang sedikit dengan fasilitas
yang sederhana. Ritel modern adalah sejumlah pedagang eceran atau pengecer
berukuran besar, misalnya dengan jumlah gerai yang cukup banyak dan
memiliki fasilitas toko yang sangat lengkap dan modern. Hasil survey menurut
AC Nielsen lima pengecer terbesar yang termasuk dalam kategori ritel modern
di Indonesia berdasarkan nilai penjualan adalah Matahari, Ramayana, Makro,
Carrefour, dan Hero. Konsep yang ditawarkan peritel modern beragam seperti

Universitas Sumatera Utara

48

supermarket (swalayan), hypermarket, minimarket, departement store, dan lain
sebagainya.
Bisnis ritel dapat pula dibagi menjadi tiga kelompok usaha perdagangan
eceran yaitu:
1. Grosir (pedagang besar) atau hypermarket. Kelompok ini umumnya hanya
ada di kota-kota besar dan jumlahnya sedikit. Di Indonesia yang termasuk
dalam kelompok ini adalah:
a. PT Alfa Retailindo dengan nama gerai Alfa.
b. PT Makro Indonesia dengan nama gerai Makro.
c. PT Carrefour Indonesia dengan nama gerai Carrefour.
d. PT Goro Batara Sakti dengan nama gerai Goro.
e. PT Hero Supermarket dengan nama gerai Giant.
f. PT Matahari Putra Prima dengan nama gerai Matahari.
2. Pengecer besar atau menengah dengan jumlah gerai sekitar 500 gerai.
3. Minimarket modern. Pelaku kelompok ini tidak banyak namun mengalami
perkembangan pesat.24
Menurut Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen
Perdagangan Republik Indonesia, jenis-jenis perdagangan eceran terdiri dari:
1. Pasar tradisional, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual
dan pembeli, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memperjualbelikan barang/jasa kebutuhan sehari-hari secara eceran

24



Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri-Departemen Perdagangan, Kebijakan
Pengembangan Bisnis Ritel Modern. Jakarta, 2012, hal. 34.

Universitas Sumatera Utara

49

b. Melibatkan banyak pedagang eceran berskala kecil
c. Bangunan dan fasilitas pasarnya relatif sederhana
d. Pemilikan dan pengelolaannya umumnya oleh pemerintah daerah.
2. Supermarket (swalayan/rumah belanja), adalah pasar modern tempat
penjualan barang-barang eceran yang berskala besar dengan pelayanan
yang bersifat self service. Kepemilikannya bisa dimiliki oleh satu orang
atau lebih. Komoditi inti yang dijual adalah barang-barang rumah tangga,
makanan, minuman, dan lain-lain.
3. Departement Store (Toko Serba Ada), adalah pasar modern tempat
penjualan barang-barang eceran yang berskala besar. Komoditi inti yang
dijual adalah jenis-jenis fashion, seperti pakaian, sepatu, tas, kosmestik,
perhiasan, dan lain-lain. Pelayanan dibantu oleh pramuniaga dan adapula
yang self service.
4. Pasar Grosir, adalah tempat transaksi barang atau jasa antara penjual dan
pembeli secara partai besar, untuk kemudian diperdagangkan kembali.
5. Pasar Grosir tradisional, adalah pasar grosir dengan jumlah pedagang
grosir relatif banyak, seperti Pasar Tanah Abang Jakarta, Pasar Cipulir,
Pasar Mangga Dua Jakarta, dan lain sebagainya.
6. Pasar Grosir Modern, adalah pasar grosir dengan pelayanan yang bersifat
self service, seperti Pasar Grosir Makro, Alfa, dan lain-lain.
7. Pusat perbelanjaan/pusat perdagangan (mall/plaza/shopping center), adalah
suatu arena penjualan berbagai jenis komoditi yang terletak dalam satu

Universitas Sumatera Utara

50

gedung perbelanjaan. Dalam pusat perbelanjaan terdapat departement store,
supermarket, dan toko-toko lain dengan berbagai macam produk.
Contohnya: Galeria Mall, Blok M Plaza, dan lain-lain. 8. Toko bebas pajak
(duty free shop), adalah tempat melakukan kegiatan usaha perdagangan
barang yang memperdagangkan barang-barang tanpa dikenakan pajak
sehingga dapat dibeli dengan harga yang murah namun tidak semua orang
dapat berbelanja di tempat tersebut. Biasanya pembeli harus menjadi
anggota terlebih dahulu dan diprioritaskan untuk orang asing. Toko ini
berbentuk badan hukum.
9. Pasar percontohan, merupakan suatu tempat berupa pasar fisik yang berada
di daerah yang perekonomiannya relatif terbelakang dan diharapkan dapat
berkembang mandiri serta mampu mendorong berkembangnya potensi
ekonomi daerah sekitarnya, Jenis barang yang diperjualbelikan adalah
barang-barang kebutuhan sehari-hari serta barang-barang hasil produksi
pertanian dan kerajinan masyarakat setempat.
10. Pertokoan, adalah suatu wilayah yang terdapat bangunan toko-toko
sepanjang jalan raya dan ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai
pertokoan.
11. Pasar induk, adalah pasar tempat transaksi barang atau jasa antara penjual
dengan pembeli dalam partai besar untuk kemudian diperdagangkan

Universitas Sumatera Utara

51

kembali ke pasar-pasar lainnya, seperti Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dan
Pasar Induk Beras Cipinang.25

C. Penyebab Terjadinya Praktek Jual Rugi Dalam Industri Retail
Penyebab utama terjadinya praktek jual rugi dalam industri retail adalah
untuk mengalahkan dan mematikan usaha retail saingan para pelaku penjual
rugi. Penyebab tersebut adalah penyebab utama sehingga apabila konsumen
mengalihkan pembelian suatu produk kepada penjual yang menjual rugi pada
waktu yang sedemikian maka diharapkan pihak saingan dari penjual yang
sama akan merasa dirugikan karena pembelinya tidak ada lagi, sehingga kalah
bersaing.
Selain faktor persaingan tersebut maka menjual rugi juga dibuat
sedemikian rupa untuk menarik kembali. Artinya menjual rugi dilakukan
perusahaan untuk barang tertentu dan terhadap barang tertentu lainnya
diberikan harga standard. Dengan kondisi tersebut maka pembeli akan tertarik
membeli produk yang dijual rugi. Tetapi sebaliknya konsumen tanpa sadar
membeli produk lain yang harganya adalah harga standard. Dengan kebijakan
pemasaran yang sedemikian perusahaan diharapkan mendapatkan keuntungan.
Predatory pricing atau jual rugi adalah salah satu bentuk strategi yang
dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah
biaya produksi (average cost atau marginal cost). Adapun tujuan utama dari
predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan
25



Ibid., hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

52

juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke
dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil membuat pelaku usaha pesaing
keluar dari pasar dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, maka
selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan
keuntungan yang mungkin didapatkan. Untuk dapat melakukan perbuatan
tersebut, maka pelaku usaha tersebut haruslah mempunyai pangsa pasar yang
besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang
diderita selama masa predator. Terdapat dua syarat pendahuluan sebelum
melakukan predatori yaitu; pertama, pelaku usaha yakin bahwa pesaingnya
akan mati lebih dulu dari pada dia. Kedua, keuntungan setelah predatori akan
melebihi kerugian selama masa predatori.
Menurut R. Sheyam Khemani, Predatory pricing biasanya dilarang
bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu rendah terhadap produk
yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan datang pelaku
usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan harga. Oleh
karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing,
namun tidak mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga, maka
mungkin tidak akan terjadi predatory pricing yang bertentangan dengan
hukum.Pasal 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha
untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk menetapkan

Universitas Sumatera Utara

53

harga di bawah harga pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 26
Oleh karena ketentuan yang mengatur mengenai predatory pricing
dirumuskan secara rule of reason, maka sesungguhnya dapat dikatakan
sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, asalkan tidak
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau pelaku usaha
tersebut mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima.
Salah satu kasus predatory pricing adalah yang terjadi adalah antara
William Inglis & Son Co. vs. ITT Continetal Baking Co. Kasus ini diajukan
oleh Inglis yang mendalilkan bahwa Continental berusaha menghilangkan
persaingan dengan jalan menjual rugi roti dengan private label miliknya
dibawah biaya tidak tetap rata-rata, sehingga menyebabkan Inglis bankrut.
Sebaliknya Continental mendalilkan bahwa dia hanya melakukan kompetisi
secara ketat. Harganya adalah dapat dibenarkan mengingat kelebihan kapasitas
dalam industri. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Continental tidak
melanggar

Hukum

Persaingan.

Ninth

Circuit

(Pengadilan

Banding)

menyatakan bahwa apabila harga dari terlapor adalah dibawah harga total ratarata, tetapi diatas biaya tidak tetap rata-rata, maka pelapor/ penggugat
mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa harga dari terlapor adalah
predator. Namun apabila penggugat membuktikan bahwa harga Terlapor

26



Tipers, "Contoh Kasus Predatory Pricing", Melalui http://teentiper.blogspot.com/
2012/12/contoh-kasus-predatory-pricing.html, Diakses tanggal 5 Juli 2014.

Universitas Sumatera Utara

54

adalah dibawah harga tidak tetap rata-rata, maka Terlapor mempunyai
kewajiban untuk membuktikan bahwa harganya tersebut adalah masuk akal
terlepas dari akibatnya terhadap pesaing.
Predatory pricing ini tidaklah selalu bertentangan dengan hukum.
Harus dibedakan dengan persaingan sempurna atau persaingan yang sangat
ketat, karena bisa saja dianggap predatori tapi sebenarnya adalah persaingan
yang sangat kompetitif.
Strategi predatory pricing hanya bisa berlaku jika perusahaan pesaing
baru sulit muncul dan pesaing yang sudah mati sulit bangkit lagi dalam
industri tersebut. Jika tidak, ini adalah strategi “bunuh diri”: kalau pesaing baru
mudah muncul, atau pesaing lama mudah bangkit lagi, sang predator perlu
terus menerapkan harga jual-rugi. Semakin lama jual-rugi” dilakukan, semakin
dekatlah perusahaan pada kebangkrutan.
Secara garis besar teknik ini dilaksanakan dalam tiga tahap:
1. Perusahaan A memberikan harga yang rendah atas produk/jasa yang dia
produksi dengan tujuan memperoleh sebanyak mungkin konsumen
sehingga perusahaan pesaingnya (B,C, D) akan tertekan. meskipun
sebenarnya perusahaan A merugi.
2. Ketika perusahaan pesaing (B, C, D) sudah tidak mungkin lagi dapat
menggarap pasar karena pangsa pasar yang tersisa sudah sangat sedikit,
maka dalam pasar tersebut tinggal satu perusahaan saja yang sangat
dominan (perusahaan A).

Universitas Sumatera Utara

55

3. Ketika sudah tidak ada lagi pesaing yang berarti (signifikan) maka
perusahaan A akan menaikan harga barang/jasa, sehingga dapat menutup
kerugian yang dialami pada tahap 1.27
Kebijakan pricing seperti itu tentu akan merugikan dunia usaha dan
tentu saja konsumen. kerugian yang ditimbulkan ada