Keberadaan SKB 5 Menteri Dibandingkan Dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Dan UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999

(1)

Syamsul Haq : Keberadaan SKB 5 Menteri Dibandingkan Dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Dan UU Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, 2008.

USU Repository © 2009

KEBERADAAN SKB 5 MENTERI DIBANDINGKAN

DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13

TAHUN 2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA

NOMOR 39 TAHUN 1999

SKRIPSI

Diajukan Memenuhi Tugas akhir Perkuliahan Untuk Mendapatkan

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Syamsul Haq

050200207

Bidang Hukum Perburuhan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

FAKULTAS HUKUM

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI I. PENULIS :

NAMA : SYAMSUL HAQ

NIM : 050200207

JURUSAN : HUKUM PERBURUHAN

JUDUL SKRIPSI : KEBERADAAN SKB 5 MENTERI DIBANDINGKAN

DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA NOMOR 39 TAHUN 1999

II. DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI : 1. PEMBIMBING I

NAMA : KELELUNG BUKIT, SH

NIK :130 365 211

TANDA TANGAN :

2. PEMBIMBING II

NAMA : SURIA NINGSIH, SH, M.HUM

NIK : 131 676 489

TANDA TANGAN :

KETUA JURUSAN DEPARTEMEN HAN

131 410 462


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan skripsi dalam rangka melaksanakan tugas akhir sebagai

mahasiswa program S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi

ini dimaksudkan sebagai sarana mengembangkan wawasan penulis di bidang hukum

pada umumnya dan bidang hukum perburuhan pada khususnya serta penerapannya pada

masalah-masalah yang nyata di lapangan.

Skripsi penulis ini berjudul “KEBERADAAN SKB 5 MENTERI

DIBANDINGKAN DENGAN UU KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN

2003 DAN UU HAK ASASI MANUSIA NOMOR 39 TAHUN 1999”. Dalam

menyelesaikan tulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima banyak bantuan dari

berbagai pihak, maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH MS, Selaku Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Kelelung Bukit SH, Selaku Ketua Jurusan Hukum Perburuhan pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen

Pembimbing I Penulis.

4. Ibu Suria Ningsih SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis..

5. Bapak dan Ibu Dosen dan sekaligus Staf Administrasi di Fakultas Hukum


(4)

6. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda

dan ibunda tercinta yang telah memberikan segalanya kepada penulis sehingga

penulis mampu menjadi seorang sarjana, semoga kasih sayang mereka tetap

menyertai penulis.

7. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada kakak, abang serta adik

penulis yang telah banyak memberikan dorongan atas selesainya penulisan skripsi

ini.

8. Buat rekan-rekanku yang se-almamater yang telah memberikan dorongan nasehat

dan dorongan yang membangun, semoga kita selalu bersama-sama dalam suka dan

duka.

Demikian penulis ucapkan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2008

Penulis

NIM: 050 200 207 (SYAMSUL HAQ)


(5)

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan Judul 1

B. Perumusan Masalah 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 10

D. Keasliaan penulisan 11

E. Metode Penulisan

1. Metode Penulisan 12

2. Data yang Digunakan 13

3. Teknik Pengumpulan Data 13

4. Analisis Data 14

F. Sistematika Penulisan 15

BAB II TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN

A. Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan 17

2. Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan 19

3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan 20

4. Subjek Hukum Ketenagakerjaan 21

B. Syarat-Syarat Kerja

1. Perjanjian Kerja Sebagai Awal Hubungan Kerja 33 2. Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja 37 3. Syarat-Syarat Kerja Sebagai Akibat Hubungan Kerja 40

4. Hubungan Industrial Pancasila 42

C. Hak-Hak dan Kewajiban Buruh Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003

1. Jaminan Perlindungan Buruh 46

2. Jaminan Upah Buruh 48

3. Lembur dan Cuti 51

4. Jaminan Sosial Tenaga kerja 55

D. Hak-hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Hak dan Kewajiban Pemerintah Menurut UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia 59

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP SKB 5 MENTERI


(6)

B. Isi SKB 5 Menteri. 67

C. Pandangan Pakar Terhadap SKB 5 MENTERI 69

D. Jam kerja dan Cuti Menurut Undang-Undang

No.13 tahun 2003 75

BAB IV PEMBAHASAN

A. Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang

ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 78

B. Pandangan Buruh terhadap SKB 5 Menteri 81

C. Perbandingan SKB 5 Menteri dengan Undang-Undang Hak

Asasi Manusia No.39 tahun 1999 82

D. Kelemahan dan kekurangan SKB 5 Menteri. 84

E. Kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan

dalam Solusi SKB 5 Menteri 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 86

B. Saran 87 C. Lampiran


(7)

ABSTRAKSI

Dalam penulisan skripsi ini mengambil judul ”Keberadaan SKB 5 Menteri

Dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Dan

Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999”, dimana penulis akan

memberikan uraian terhadap dikeluarkannya SKB 5 Menteri kemudian membandingkan

berdasarkan Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari

peran tenaga kerja yang ada di sektor-sektor industri. Agar tenaga kerja tersebut dapat

bekerja dengan baik, tenang dan aman, maka tenaga kerja tersebut perlu mendapatkan

perlindungan hukum. Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pekerja adalah

sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan seperti mengenai jaminan upah yang memadai dan juga upah lembur

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi

juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg

cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat.

Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu Menteri Perindustrian, Menteri

Energi dan Sumber Daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi,Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat keputusan yg dikenal


(8)

Sehubungan dengan dikeluarkannya SKB 5 Menteri tersebut, penulis dalam

penulisan skripsi ini ingin memaparkan Sejauh mana SKB 5 Menteri dapat di terapkan

dalam industri dan untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dari dikeluarkannya

SKB 5 Menteri tersebut, dan juga memaparkan kelemahan-kelemahan yang terdapat

dalam SKB 5 Menteri tersebut serta membandingkan apakah isi SKB 5 Menteri itu

bertentangan dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia..

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis melakukan metode penulisan

yang bersifat deskriptif (descriptive researh) yang bertujuan untuk melukiskan tentang

suatu hal tertentu didaerah tertentu dan pada saat tertentu, yang mana dalam teknik

pengumpulan data dilakukan dalam 2 (dua) teknik, yaitu: Library Research ( Penelitian

Kepustakaan), dan Field Research (Penelitian Lapangan).

Dari hasil penelitian dalam penulisan skripsi ini, penulis dapat menyimpulkan,

bahwa dengan dikeluarkannya SKB 5 menteri tersebut menyebabkan pergeseran waktu

libur bagi pekerja/buruh dan dengan di efektifkannya hari sabtu dan minggu sebagai

hari kerja sedikit banyaknya akan mengganggu kenyamanan umat beragama tertentu

yang aktifitas beragamanya dilakukan di hari minggu.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan judul

Di zaman penjajahan Belanda ekonomi Indonesia adalah ekonomi kolonial,

kedudukan ekonomi Indonesia ketika itu ialah: 1) sebagai sumber bahan mentah; 2)

sebagai sumber tenaga buruh yang murah; 3) sebagai pasar buat menjual hasil-hasil

produksi negeri-negeri kapitalis; 4) sebagai tempat investasi (penanaman) modal asing.

Ini berarti bahwa Indonesia tergantung dari export bahan-bahan mentah (timah, bauksit,

karet, dll. hasil perkebunan, dsb.) dan import barang keperluan hidup (textil, sepatu,

sepeda, dsb.).

Susunan ekonomi kolonial mengakibatkan Indonesia tidak mempunyai industri

sendiri yang bisa mengerjakan bahan mentahnya guna memenuhi kebutuhan Indonesia,

di lapangan ekonomi Indonesia tergantung dari luar negeri, dengan demikian tidak

mungkin ada perkembangan modal nasional dan industri nasional.

Ekonomi kolonial ini dipertahankan oleh imperialis Belanda dengan bantuan

penanam modal asing lainnya di Indonesia dengan suatu politik kolonial yang dalam

prakteknya bersifat setengah-fasis. Politik kolonial ini ditujukan untuk menindas

gerakan Rakyat yang menuntut kemerdekaan sebagai jaminan guna penyusunan

ekonomi nasional. Terutama gerakan buruh dan Partai Komunis Indonesia, sebagai


(10)

Pada tahun 1930 (statistik Hindia Belanda), penduduk Indonesia yang hidup dari

upah berjumlah lebih kurang 6.000.000 (enam juta) orang. Dalam jumlah ini sudah

dimasukkan buruh musiman (seizoen arbeiders) yang sangat besar jumlahnya dan

bekerja di perkebunan-perkebunan atau di pabrik-pabrik gula. Buruh musiman ini

umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin, yaitu penduduk desa yang sama sekali

tidak mempunyai tanah garapan atau mempunyai tanah tetapi sangat sedikit.

Di antara 6 juta kaum buruh itu, antara lain terdapat setengah juta buruh modern terdiri dari: 316.200 buruh transport, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang timah kepunyaan pemerintah dan partikulir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan pemerintah dan partikulir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikulir. Selainnya adalah buruh pabrik gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk polisi dan tentara), buruh industri kecil, buruh lepas dsb. Perlu diterangkan bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh lepas (2.003.200)1

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang,

dimana seluruh sektor pembangunan terus ditingkatkan. Dalam pembangunan ini terjadi

proses perubahan dari negara agraris menuju negara industri. Dengan pembangunan

juga diupayakan agar dapat meningkatkan pendapatan negara dan pendapatan

masyarakat melalui industri yang menghasilkan prosuk-produk ekspor dan dapat

menampung tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Semakin besar industri

tersebut semakin besar juga tenaga kerja yang dapat di tampung. .

Dari angka-angka ini jelaslah bagi kita, bahwa merupakan bagian yang sangat

kecil dari buruh Indonesia (setengah juta) yang sudah berhubungan dengan alat-alat

produksi modern, sedangkan bagian terbesar belum berhubungan dengan alat-alat

produksi modern dan masih erat hubungannya dengan pertanian.

1

Arief Chandra, KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH, Komunis Indonesia, (Penerbit Yayasan "Pembaruan" , 2007.


(11)

Pembangunan dalam suatu negara tentu saja tidak terlepas dari pada

perekonomian suatu negara itu sendiri, yang pada hakekatnya pembangunan itu adalah

merupakan suatu cara atau dasar untuk memperkuat perekonomian negara yang

bersangkutan.

Di setiap negara di dunia ini selalu berusaha untuk meningkatkan

perekonomiannya melalui suatu kegiatan pembangunan secara terus-menerus dan

berkelanjutan. Dan apabila terjadi suatu penurunan pembangunan atau terjadinya

penghentian pembangunan tersebut maka akan terasa akibat yang berlangsung terhadap

keadaan perekonomian negara itu.

Adapun pembangunan yang terus menerus ditingkatkan adalah untuk menaikkan

tingkat pendapatan atau menaikkan tingkat kehidupan rakyat, apabila tingkat

pendapatan atau tingkat penghidupan rakyat rendah maka akan sangat berpengaruh

terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi negara itu sendiri. Oleh karena itu apabila tingkat

pendapatan rakyat rendah harus segera diatasi dengan memperbesar atau meningkatkan

dengan cara memajukan produksi nasional. Dengan peningkatan produksi nasional agar

berhasil adalah tergantung kepada tersedianya faktor-faktor produksi yang dapat

digerakkan di negara tersebut, karena faktor-faktor produksi merupakan syarat utama

dalam kelangsungan pelaksanaan pembangunan. Setiap negara di dunia ini mempunyai

corak ekonomi yang berbeda-beda dalam melaksanakan pembangunannnya, namun

tujuannya adalah tetap sama yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat atau dengan

perkataan lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya (Income Percapita) bagi

seluruh penduduk, sehingga akan terwujud ke suatu arah akan terpenuhinya kebutuhan


(12)

Berdasarkan uraian dalam situs apindo mengenai daya produktivitas Indonesia

dan negara-negara ASEAN diuraikan bahwa, dengan adanya pembangunan sudah tentu

akan mendorong timbulnya berbagai macam usaha seperti mendirikan atau

pengusahaan. Baik yang didirikan oleh pemerintah maupun pihak swasta, dengan

Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Dengan berdirinya perusahaan-perusahaan tersebut maka akan menimbulkan adanya

suatu kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat. Dengan kata lain

perusahaan-perusahaan tersebut otomatis akan membutuhkan tenaga kerja yang akan turut berperan

dalam menjalankan perusahaan tersebut. Maka dengan demikian para anggota

masyarakat yang semula hanya hidup dengan pekerjaan yang tak tetap dan hidup

sebagai pengangguran sudah dapat memiliki pekerjaan.

Sebuah proses industri akan berjalan apabila telah terdapat unsur-unsur yang

memungkinkan terlaksanakan kegiatan industri, seperti adanya pengusaha sebagai

pemilik modal dan pekerja yang akan melaksanakan apa yang menjadi bidang garapan

industri tersebut. Dalam kaitan ini pengusaha dan pekerja akan saling bekerja sama

untuk mewujudkan terlaksananya kegiatan industri melalui hubungan kerja.

Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja

dapat terjadi setelah diadakan perjanjian antara pengusaha dan pekerja, dimana pekerja

menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha tersebut dengan menerima

upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja

dengan membayar upah. Perjanjian yang demikian disebut Perjanjian Kerja

Pengawasan biasanya dilakukan ditempat kerja dengan melihat dan memeriksa

langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu kerja lembur, pekerja/buruh wanita dan


(13)

pengawasan ini menjamin terlaksananya hak-hak pekerja atau buruh yang telah diatur

dalam peraturan perundang-undangan dan bagi pengusaha, pengawasan merupakan

sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak yang berwenang dan kompeten tentang

kewajibannya menurut aturan yang berlaku.

Dalam perjanjian kerja akan disepakati tentang berapa lama pekerja akan

mengikatkan diri dengan pengusaha dalam melakukan hubungan kerja. Oleh karena itu

pekerja tidak boleh melakukan pekerjaannya sekehendak hati, begitu pula pengusaha

tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup. Hal ini untuk memberikan

jaminan bahwa hak pribadi manusia tetap diperhatikan. KUH Perdata tidak mengatur

lebih jauh pengertian “waktu tertentu“. KUH Perdata hanya mengatur tentang

keadaan-keadaan dimana suatu hubungan kerja dapat berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal

1603(e) ayat 1, Pasal 1603(j) dan Pasal 1603(k) KUH Perdata yaitu sebagai berikut:

a. Jika habis waktunya seperti yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam

peraturan undang-undang atau jika semua itu tidak ada, menurut kebiasaan.

b. Jika pekerja telah meninggal dunia

c. Jika pekerja telah meninggal dunia, kecuali jika dari perjanjian dapat

disimpulkan sebaliknya2

2

. Soedharyo Soimin, SH, KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Hlm 401 dan 4003

.

Sedangkan dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 59, menyatakan

“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang

menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,


(14)

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu

lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dalam Undang-undang HAM dikatakan bahwa, hak asasi manusia adalah

sesuatu hak yang diberikan oleh Tuhan dari sejak lahir. Hak merupakan sesuatu yang

layak di terima oleh setiap manusia. Seperti mendapat pekerjaan dan penghidupan yang

layak, hak memeluk agama, dan hak untuk mendapat pengajaran. Hak selalu beriringan

dengan kewajiban-kewajiban, ini merupakan sesuatu yang harus kita lakukan bagi

bangsa, negara, dan kehidupan sosial.

Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi

sering terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Sudah sangat

jelas bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan

penghidupan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak warga negara yang

belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi

karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak daripada

kewajiban. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan

kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang

berkepanjangan. Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu

dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus


(15)

dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang

berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat

akan aman sejahtera.

Dalam praktek, pengaturan hak dan kewajiban khususnya yang berkaitan dengan persyaratan kerja tidaklah sederhana. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor. Pertama, tidak mungkin mengatur semua persyaratan kerja kedalam peraturan perundang-undangan. Kedua, adanya kepentingan yang berbeda dalam proses perumusan perjanjian kerja3

Untuk mengatasi hal ini maka pemerintah yaitu Menteri Perindustrian, Menteri

Energi dan Sumber Daya mineral, Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat keputusan yg dikenal

dengan SKB 5 Menteri. Dalam SKB 5 Menteri bertujuan untuk : .

Menurut Saifudiendjsh dalam tulisannya yang berjudul upah dan pesangon buruh,

bahwa faktor tenaga kerja sangat memegang peranan yang penting dalam jalur

pembangunan di perusahaan atau pabrik. Apabila seorang bekerja pada suatu pabrik

atau perusahaan dengan suatu hubungan kerja maka sudah barang tentu akan timbul

berbagai masalah yang menyangkut hubungan buruh dengan pihak perusahaan yang

antara lain mengenai upah, jam kerja, cuti, jaminan sosial, keselamatan kerja, dan lain

sebagainya. Jelasnya akan timbul masalah tentang syarat-syarat kerja dan kondisi kerja

yang menyangkut pihak buruh dan pihak pengusaha.

Semakin pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia membuat semakin tinggi

juga permintaan akan listrik yg diperlukan untuk menjalankan mesin ataupun untuk

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pemerintah harus meyediakan pasokan listrik yg

cukup agar perindustrian dan perekonomian Indonesia dapat berkembang dengan pesat.

3

Wiwoho Soedjono, Hukum Pengantar Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta, Cet. 1, 1983, hlm 10


(16)

A Mengatasi ketidakseimbangan pasokan listrik PT. PLN dengan kebutuhan listrik

sektor Industri.

B. Menghindari pemadaman listrik sehingga sektor Industri dapat melakukan

Operasi dengan baik.

Di dalam Situs Kapan lagi.com diuraikan bahwa, surat Keputusan Bersama

(SKB) lima menteri yang mengatur pergeseran hari libur, SKB tersebut mulai

diberlakukan tanggal 21 Juli 2008. Keputusan tersebut diberikan, karena sesuai dengan

perhitungan matematis, bahwa daya listrik di Indonesia terutama Jawa Bali tidak ada

kekurangan, hanya perlu pengaturan pada saat beban puncak. Pada Senin hingga Jumat,

khususnya listrik Jawa Bali kekurangan daya hingga 600 megawatt (mw), sebaliknya,

pada Sabtu dan Minggu, justru kelebihan daya hingga 1.000 MW. Dengan pengaturan

tersebut, maka kelebihan daya 1.000 mw bisa terserap dengan baik, tanpa harus

mengganggu jam kerja industri. Ketentuan tersebut akan berlangsung hingga

terbangunnya power plan pada sekitar Maret - april 2009, dengan tambahan daya 2.000

MW.

Sejalan dengan uraian yang dituangkan dalam media ekonomi bisnis Indonesia

bahwa, Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri terkait himbauan pemerintah

melaksanakan penghematan energi listrik berefek pada sektor industri. SKB yang

ditandatangani 5 menteri itu adalah Menteri Negara BUMN, Menteri Negara Energi

dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyepakati untuk

penghematan energi sektor industri agar dapat mengalihkan pola jam kerja pada hari

Sabtu dan Minggu atau perusahaan yang menggunakan listrik PLN untuk industri yang


(17)

Menurut hendy herdiman, pemadaman listrik dan pengalihan waktu kerja akan

berdampak pada jadwal produksi. Apalagi jika perusahaan tersebut sangat terpaku pada

'delivery due date'. Berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan dengan

mundurnya jadwal produksi. Berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan karena

harus merubah media pengiriman/ekspor barang dari jalur laut menjadi jalur udara

karena terbentur jadwal pengiriman yang sudah tidak bisa ditunda lagi. Apalagi jika

melihat pasal 7 yang berisi kewenangan PT PLN untuk mengenakan sanksi berupa

pemutusan aliran listrik sementara bagi perusahaan industri yang tidak melaksanakan

ketentuan pasal 2 peraturan bersama. Padahal selama ini PLN yang sering lebih

diuntungkan setiap bulannya. Lalu pada saat terjadi krisis listrik perusahaanlah yang

diberi sanksi hal ini sangat tidak adil, Perubahan jam kerja yang mewajibkan pekerja

untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu untuk mengganti hari kerja biasa yang

diliburkan karena adanya jadwal pemadaman listrik, jika dilihat dari segi jumlah jam

kerja tidak ada yang dirugikan.

Namun secara psikologis pekerja dirugikan karena selama ini secara umum, hari

Sabtu dan Minggu merupakan 'weekday' atau saatnya pekerja beristirahat atau

melakukan aktivitas sosial dalam keluarga dan masyarakat. kemudian ada berjuta-juta

anak-anak kaum pekerja yang harus kecewa setiap Sabtu dan Minggu karena tidak bisa

lagi bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada kedua hari tersebut, karena pada

hari biasa (Senin-Jumat) anak-anak ini harus tetap bersekolah.

Menurut Menakertrans Erman Suparno, pengalihan hari kerja dengan tetap

masuk pada hari Sabtu dan Minggu lebih pada esensi pengaturan waktu libur pekerja

dan menyeimbangkan surplus listrik Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk


(18)

Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi manusia No 39

tahun 1999.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah ;

1. Apakah SKB 5 Menteri dapat memenuhi kehendak para buruh?

2. Apakah SKB 5 Menteri tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Apakah SKB 5 Menteri tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

C. Tujuan dan Manfaat penulisan 1. Tujuan Penulisan

Secara umum, tujuan penulis melakukan pembahasan dan menguraikannya

dalam skripsi ini adalah untuk menjawab pemasalahan yang timbul dari skripsi ini yaitu;

b. Sejauh mana SKB 5 menteri dapat di terapkan dalam industri ?

c. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dari dikeluarkannya SKB5 Menteri tersebut?

d. Untuk mengetahui kelemahan dari SKB 5 Menteri tersebut di bandingkan dengan Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan


(19)

2. Manfaat Penulisan

Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat

memperoleh penjelasan tentang hak dan kewajiban buruh dalam undang-undang

ketenagakerjaan No 13 tahun 2003.

Selain itu, pembahasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis dalam

bidang ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perburuhan, dimana penulis

berusaha melakukan pembahasan tentang di keluarkannya SKB 5 Menteri apakah

mewakili keinginan para pekerja/buruh itu sendiri, dalam hal ini tentunya secara

spesifik penulis menyoroti mengenai dampak yang di timbulkan SKB 5 Menteri

tersebut terhadap pekerja/buruh dilihat dari Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13

tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No 39 tahun 1999.

Secara praktis, kegunaan dari pembahasan yang penulis laksanakan selain

menambah pengetahuan penulis sendiri tentang hak dan kewajiban buruh dalam

Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, apa peranannya bagi karyawan

dan perusahaan, pembahasan yg penulis lakukan juga dapat bermanfaat sebagai bahan

acuan ataupun literatur bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya

yang ingin mengetahui dan mendalami masalah-masalah ketenagakerjaan di Indonesia.

Kemudian, dari pembahasan ini dapat juga penulis ketahui kendala-kendala yang

timbul dalam lingkungan suatu perusahaan dalam kaitannya di keluarkannya SKB 5

Menteri tersebut.

D. Keaslian penulisan

Skripsi ini merupakan skripsi asli yang diangkat berdasarkan pemikiran


(20)

Penulis telah menelusuri terhadap judul skripsi hukum perburuhan di fakultas hukum

Universitas Sumatera Utara dan di berbagai fakultas hukum universitas swasta lainnya

di kota Medan dan penulis belum pernah melihat ada penulis sebelumnya yang

mengangkat topik permasalahan yang sama dengan penulis.

Hal ini menurut hemat penulis dikarenakan masih barunya permasalahan

mengenai SKB 5 Menteri, sedangkan penulis ingin membandingkan SKB 5 Menteri

dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak

Asasi Manusia No. 39 tahun 1999.

Jadi dapat disimpulkan bahwa skripsi ini murni dan asli dari hasil pemikiran dari

penulis sendiri dan bukan di dasarkan dari penulis-penulis terdahulu.

E. Metode Penulisan

Metode penelitian ini bersifat deskriptif (desciptive researh). Menurut Bambang

Waluyo, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan

tentang suatu hal tertentu di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Namun, secara

khusus, menurut jenis, sifat dan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian hukum

empirik atau dikenal juga penelitian hukum sosiologis. “Penelitian hukum empirik

didasarkan atas data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai

sumber pertama melalui penelitian”

1. Metode Penelitian

4

4

Abdul Muis, SH. MS, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode penelitian Hukum, FH-USU, Medan, 1990.

. hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah menginventarisasi hukum perburuhan, khususnya Undang-Undang

Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39


(21)

Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan Waktu Kerja Pada Sektor Industri di

Jawa-Bali. Untuk efektifitas dari perbandingan tersebut, maka dibutuhkanlah data

primer dari lapangan, yaitu pengusaha, buruh dan masyarakat.

2. Data Yang Digunakan

Suatu penulisan dan pembahasan atas suatu masalah yang sedang di teliti

membutuhkan data-data yang merupakan alat untuk melakukan penyelidikan dan

analisa suatu masalah. Data-data juga diperlukan untuk menguraikan masalah yang

sedang di teliti. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan (field

research)

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui literatur-literatur hukum,

hasil-hasil penelitian maupun peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan masalah penelitian ini.

1. Library Research (Penelitian Kepustakaan)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) tenik pengumpulan

data, yaitu :

Library Research adalah penelitian melalui perpustakaan dengan cara membaca,

menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari buku-buku, makalah-makalah seminar,

Peraturan-Peraturan dan bahan perkuliahan penulis sendiri yang menurut penulis


(22)

2. Field Research (Penelitian Lapangan)

Field Research adalah penelitian yang dilakukan dengan melihat langsung

kondisi yang sebenarnya di lapangan melalui wawancara kepada pengusaha dan

pekerja/buruh serta mengambil bahan-bahan tulisan yang berupa data-data yang dapat di

gunakan untuk mendukung penulisan skripsi ini.

Setelah diperoleh data dari lapangan dengan lengkap, maka tahap berikutnya

adalah mengolah dan menganalisis data. Data dianalisis dengan metode pendekatan

yang bersifat analitis deskriptif dan metode induksi dan deduktif, tergantung data yang

dianalisis dengan pendekatan yuridis sosiologis.

4. Analisis Data

Analitis deskriptif maksudnya bahwa penulis semaksimal mungkin berupaya

untuk memaparkan data-data yang sebelumnya terjadi dilapangan.

Metode deduktif artinya analitis didasarkan kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13

tahun 2003 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999 dijadikan

sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data

yang diperoleh dari penelitian.

Metode induktif artinya data-data yang khusus mengenai perbandingan SKB 5

Menteri dengan Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 dan

Undang-Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999, akan ditarik kesimpulan yang akan


(23)

Pendekatan secara sosiologis maksudnya bahwa pendekatan yang dilakukan

adalah berusaha meneliti bagaimana efektifitas (daya laku) Peraturan di dalam

masyarakat.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman materi maupun bentuk dari penulisan skripsi

ini, maka penulis membuat sistematika penulisan yang sekaligus merupakan gambaran

isi skripsi, yaitu sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam bab yang pertama ini diuraikan tentang hal-hal yang bersifat umum

dan dibagi dalam beberapa sub bab, antara lain : Latar Belakang Pemilihan

Judul, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan Dan Sistematika

Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM KETENAGA KERJAAN

Dalam bab yang kedua ini akan diuraikan tentang : Hukum Ketenagakerjaan

Di Indonesia yang di dalamnya membahas mengenai pengertian Hukum

Ketenagakerjaan, Asas dan Tujuan Hukum Ketengakerjaan, Sifat Hukum

Ketenagakerjaan dan Subjek Hukum Ketenagakerjaan. Syarat-Syarat Kerja

yang di dalamnya membahas mengenai Perjanjian Kerja Sebagai Awal

Hubungan kerja, Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja,

Syarat-Syarat Kerja Sebagai Akibat Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial

Pancasila. Hak-Hak dan Kewajiban Buruh menurut Undang-Undang


(24)

Perlindungan, Pengupahan dan Lembur, Kesejahteraan dan Waktu Istirahat,

dan terakhir Hak-Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Hak dan Kewajiban

Pemerintah menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP SKB 5 MENTERI TENTANG

MENGOPTIMALKAN BEBAN LISTRIK MELALUI PENGALIHAN

WAKTU KERJA PADA SEKTOR INDUSTRI

Dalam bab yang ketiga ini akan diuraikan tentang : Latar belakang

timbulnya SKB 5 Menteri, Isi SKB 5 Menteri, Pandangan Pakar terhadap

SKB 5 Menteri, Jam kerja dan Cuti menurut UU No. 13 tahun 2003.

BAB IV PEMBAHASAN

Dalam bab yang keempat ini akan diuraikan tentang : Perbandingan SKB 5

Menteri dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Pandangan Buruh

terhadap SKB 5 Menteri, Perbandingan SKB 5 Menteri Dengan

Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999, Kelemahan dan kekurangan

SKB 5 Menteri, kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan dalam

Solusi SKB 5 Menteri.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab terakhir ini penulis akan memuat kesimpulan penulis tentang apa

yang dibahas dalam bab-bab terdahulu dan sumbangan pikiran dan


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM KETENAGAKERJAAN

A. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia 1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan

Hukum ketenagakerjaan/perburuhan merupakan spesies dari genus hukum pada

umumnya. Sebagai bagian dari hukum pada umumnya memberikan batasan pengertian

hukum ketenagakerjaan/perburuhan tidak terlepas dari pengertian hukum pada

umumnya. Berbicara tentang batasan hukum, para ahli pada saat ini belum menemukan

batasan yang baku serta memuaskan semua pihak tentang hukum. Hal ini disebabkan

karena hukum memiliki bentuk dan cakupan yang sangat luas. Bentuk dan cakupan

yang luas ini menjadikan hukum dapat diartikan dari berbagai sudut pandang yang

berbeda5

5

Lalu Husni, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Raja Grafindo Persadi, Jakarta, h.20.

.

Untuk memberikan pengertian dari hukum ketenagakerjaan, kita harus kembali

kepada pendapat para sarjana. Imam Soepomo dalam bukunya “Pengantar Hukum

Perburuhan” mengemukakan pendapat beberapa ahli mengenai hukum ketenagakerjaan,

yaitu:

1. Menurut Moleenaar:

Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku

yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha,

antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dengan


(26)

2. Menurut M.G.Levenbach:

Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja,

dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan

penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.

3. Menurut N.E.H.Van Esveld:

Hukum Ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan

dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh

swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung-jawab dan resiko sendiri6

“Imam Soepomo sendiri memberikan pengertian Hukum Perburuhan

(Ketenagakerjaaan) adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak

tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seorang bekerja pada orang lain dengan

menerima upah"

.

7

Dari unsur diatas terlihat bahwa substansi hukum perburuhan hanya menyangkut

peraturan yang mengatur hubungan hukum seorang yang disebut buruh dan bekerja

pada orang lain disebut majikan (bersifat keperdataan), dimana tidak ada diatur

hubungan hukum diluar hubungan kerja. Konsep ini sesuai dengan pengertian buruh

didalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan .

Mengkaji pengertian yang diberikan Imam Soepomo tampak jelas bahwa hukum

perburuhan setidak-tidaknya mengandung unsur:

1. Himpunan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis);

2. Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa;

3. Seseorang bekerja pada orang lain;

4. Upah.

6

. Sendjun H.Manulang, 1988, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.1.

7


(27)

Perburuhan. Dalam undang-undang ini buruh diartikan sebagai barang siapa yang

bekerja pada majikan dengan menerima upah. Sedangkan majikan adalah orang/atau

badan hukum yang mempekerjakan buruh.

Jika kita meneliti Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, maka kita tidak akan mendapati 1 Pasal pun yang memberikan

defenisi mengenai hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Tetapi dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.

Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan ini dapat kita ambil batasan bahwa

hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga

kerja baik sebelum bekerja (pre employment), pada saat bekerja (during employment)

dan sesudah bekerja (post employment). "pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal ruang lingkupnya hanya berkenaan

dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan kerja saja"8

8

. Lalu Husni, 2003, Op.Cit, h.23-24.

.

2. Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan

Pasal 3 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas

keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai asas pembangunan nasional,

khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan


(28)

Dalam berbagai pihak, yaitu antara Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/Buruh.

Oleh karenanya pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk

kerjasama yang saling mendukung. "Asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui asas Koordinasi Fungsional Lintas Sektoral Pusat dan Daerah"9

Menurut Sendjun H. Manulang, Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata

(privat) dan dapat bersifat publik. Dikatakan Hukum Perburuhan bersifat Perdata karena

dalam Hukum Ketenagakerjaan hubungan antara para pihak, yaitu Pengusaha dan .

Adapun yang menjadi tujuan hukum ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam

Pasal 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003,yaitu:

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi;

b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang

sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan;

d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya;

Menurut Bahder Johan Nasution, Tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan

industrial adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan cara menciptakan

ketenangan bekerja dan berusaha yang dilandasi dengan prinsip kemitraan dan

keseimbangan, berasaskan kekeluargaan dan gotong-royong serta musyawarah untuk

mufakat.

3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan

9

. Abdul Khakim, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.6-7.


(29)

pekerja/buruh bersifat privat. Hubungan ini bersifat Privat dimana mereka para pihak

sepakat untuk mengadakan perjanjian yang kita kenal dengan nama Perjanjian Kerja.

Perjanjian Kerja ini sendiri tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ketiga tentang Hukum Perikatan (verbitenisen recht). Disamping bersifat

privat, hukum ketenagakerjaan/Perburuhan bersifat publik. Pertama dalam hal-hal

tertentu negara atau pemerintah turut campur dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya masalah-masalah PHK, Kedua, adanya sanksi/hukuman didalam setiap peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan10

.

Tujuan campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah untuk

mewujudkan hubungan industrial yang adil, karena peraturan perundang-undangan

ketenakerjaan memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai manusia utuh sehingga

harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan

sebagainya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha/

majikan yakni kelangsungan hidup perusahaan.

Sifat publik dari hukum perburuhan dapat dilihat dari :

1. Adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dibidang

perburuhan/ketenagakerjaan;

2. Ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standart upah (upah

minimum)11

Pihak dalam hukum ketenagakerjaan sangat luas, yaitu tidak hanya

pengusaha/buruh saja tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait. Luasnya para pihak ini .

4. Subjek Hukum Ketenagakerjaan

10

. Sendjun H Manulang, 1988, Op.Cit, h.2.

11


(30)

terjadi karena masing-masing pihak yang terkait dalam hubungan industrial saling

berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam menghasilkan barang dan/atau jasa12.

Adapun yang menjadi subjek dalam Hukum Perburuhan,antara lain:

1. Pekerja/buruh

Semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada perorangan maupun pada

badan hukum disebut sebagai buruh. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) (a)

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Dalam pasal ini buruh diartikan sebagai “Barang siapa yang bekerja pada majikan

dengan menerima upah”. Setelah lahirnya Undang-Undang nomor 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh disandingkan dengan istilah pekerja. Istilah

pekerja dan buruh secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak ada perbedaan

diantara keduanya. Kedua kata tersebut dipergunakan dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan, dimana kedua istilah ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 21

tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Pasal 1 butir 3 Undang-Undang

Ketenagakerjaan menyebutkan “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam defenisi pekerja/buruh yang

diberikan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini terdapat dua unsur yaitu unsur orang

yang bekerja dan unsur menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Dalam perkembangannya, istilah majikan ini tidak sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi

2. Pengusaha

12


(31)

sebagai pihak yang selalu berada diatas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh. Adanya konotasi negatif seperti ini membuat konsep majikan kurang diterima secara yuridis. Pekerja/buruh dan majikan adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Oleh karena itu istilah majikan lebih tepat jika disebut dengan Pengusaha13

1. Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja. .

Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang lahir belakangan seperti

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang JAMSOSTEK, Undang-Undang Nomor

25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan sendiri mengunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5

Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 menjelaskan:

“ Pengusaha adalah : a. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang

menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang

secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang

berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana

dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan diluar

Wilayah Indonesia”.

Dalam menjalankan suatu industri pengusaha juga memiliki hak dan kewajiban

yaitu:

HAK PENGUSAHA

2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi 3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja

4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha

13


(32)

KEWAJIBAN PENGUSAHA

1. Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya

2. Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan

3. Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan

4. Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan

5. Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi 6. Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah

mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih

7. Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek

Selain pengertian pengusaha, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga memberi

pengertian pemberi kerja yakni “orang perorangan, pengusaha, badan hukum atau

Badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan

dalam bentuk lain"14. Pengaturan istilah pemberi kerja ini muncul untuk menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai pengusaha

khususnya bagi sektor informal.

Dasar hukum pembentukan serikat pekerja/buruh diatur dalam Pasal 104 ayat(1)

Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Dalam pasal ini disebutkan

bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat

3. Serikat pekerja/buruh

14


(33)

pekerja/serikat buruh”. Hak berserikat bagi pekerja/buruh ini secara global diatur dalam

Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tahun 1948 tentang

Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding

Bersama (Convention Concorning Fredom of Association and Protection of The Rights

to Organise). Karena kondisi dalam negara kita yang sedang dilanda berbagai gejolak

pada saat pertama sekali konvensi ini diterbitkan, pemerintah pada awalnya

meratifikasi konvensi ini dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang yaitu

Keppres No.83 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.87 tahun 1948.

Konvensi ini pada hakekatnya memberikan jaminan yang seluas-luasnya kepada

organisasi pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya dan untuk bergabung dengan

federasi-federasi, konfederasi dan organisasi apapun dan hukum negara tidak boleh

menghalangi jaminan berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana diatur oleh konvensi

tersebut.

Hak menjadi anggota serikat pekerja/buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh.

hak ini jugalah yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang

Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mulai berlaku sejak

ditetapkan pada tanggal 4 agustus 2000.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak ada satu pasal pun yang

memberikan defenisi mengenai pengertian asosiasi pengusaha. Demikian pula dalam

berbagai literatur-literatur hukum perburuhan, tidak ada juga ditemukan mengenai


(34)

defenisi asosiasi pengusaha. Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengisyaratkan

bahwa pengusaha dapat membentuk dan menjadi anggota asosiasi pengusaha15

15

. Lihat isi Pasal 105 UU Ketenagakerjaan

.

Namun demikian, kita dapat memberikan defenisi asosiasi pengusaha dari

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 5.

Dalam Pasal ini disebutkan:

“Pengusaha adalah:

a. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu

perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri

menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia

mewakili perusaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang

berkedudukan di luar wilayah Indonesia“.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan:

“Perusahaan adalah:

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,

milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik

negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain;

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk


(35)

Dari dua batasan yang telah diberikan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan di

atas, dapat kita ambil kesimpuan bahwa asosiasi pengusaha adalah kumpulan atau

gabungan dari beberapa orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu

perusahaan milik sendiri atau bukan milik sendiri ataupun mewakili perusahaan yang

berkedudukan di luar negeri.

Organisasi pengusaha di Indonesia sebenarnya telah tumbuh sejak zaman

Belanda. Beberapa organisasi pengusaha yang telah ada pada saat itu misalnya

Nederlandsche Indische Maatschappij Voor Nijverheid yang didirikan tahun 1853, Indische Landbouw Genootschap didirikan pada tahun 1871 dan Kamers Van Koophandel En Nijverheid In Nederlandsche Indische tahun 1863. Sejalan dengan

pertumbuhan ekonomi setelah proklamasi kemerdekaan, organisasi pengusaha dan

berkembang sangat pesat. Pada sektor atau bidang-bidang tertentu selalu dibentuk

organisasi pengusaha secara sendiri-sendiri. Keseluruhan organisasi pengusaha itu

kemudian berafilasi menjadi bagian dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN).

Organisasi pengusaha yang bergerak dibidang sosial ekonomi termasuk

ketenagakerjaan yang dibentuk, yang sekarang ini dikenal dengan nama Asosiasi

Pengusaha Indonesia (APINDO). Semula APINDO adalah organisasi dibidang sosial

ekonomi yang bernama Stichting Centraal Social Werkgevers Overleg (SCSWO) yang

kemudian namanya diubah menjadi Yayasan Badan Permusyawaratan Urusan Sosial

Pengusaha di Indonesia (YBPUSA).

Melalui MUNAS pertama di Jogjakarta tanggal 15-16 januari 1982, nama ini


(36)

Indonesia (PUSPI), lalu pada MUNAS kedua di Surabaya tanggal 29-31 januari 1985

nama PUSPI diganti dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)“16

KADIN pada awalnya dikenal dengan nama Kamers Van Koophandel en

Nijverhaid in Nederlandsche Indische yang dibentuk berdasarkan Besluit Gubernur

Jendral tanggal 29 oktober 1863. Setelah Indonesia merdeka dikeluarkanlah Peraturan

Pemerintah No.11 tahun 1956 tentang Dewan dan Majelis Perniagaan dan Perusahaan.

Selanjutnya untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan

pembangunan nasional, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 49 tahun

1973 membentuk KADIN. “KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan

bergerak dalam bidang perekonomiaan”

.

Pada saat sekarang ini organisasi pengusaha yang kita kenal adalah:

1. Kamar Dagang Indonesia (KADIN)

17

APINDO merupakan organisasi pengusaha yang khusus mengurus

masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. APINDO lahir didasari atas peran dan

tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam rangka turut serta mawujudkan

masyarakat adil dan makmur. APINDO wakil pengusaha dalam Lembaga Kerjasama

Tripartit yaitu wadah antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh yang bertujuan

memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi terutama dalam hal ketenagakerjaan.

Dalam menjalankan tugasnya APINDO merupakan mandataris KADIN, dimana

KADIN dan APINDO menjalin kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan. KADIN

dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya urusan-urusan yang berkaitan dengan .

2. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)

16

. Maimun, 2003, Op.Cit, h.21-22.

17


(37)

ketenagakerjaan dan hubungan industrial kepada APINDO. Hal ini kemudian diatur

melalui Surat Keputusan MENAKERTRANS No.22243/MEN/1975 yang mengatur

bahwa APINDO merupakan wakil pengusaha dalam lembaga tripartit.

Kegiatan-kegiatan APINDO antara lain memberikan advokasi kepada anggota,

pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia, khususnya dibidang

ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Dalam menjalankan aktivitasnya, APINDO

juga menjalin kerjasama dengan mitranya baik dari dalam maupun luar negeri.

3. Asosiasi Pengusaha yang bersifat sektoral

Asosiasi pengusaha yang bersifat sektoral ini berkonsenterasi pada bidang usaha

masing-masing sesuai sektornya dan bukan mengurusi sumber daya manusia dan

hubungan industrial, sebagaimana APINDO. Organisasi sektoral ini antara lain:

1. Sektor kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan , dibawah naungan

Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), yaitu:

a. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI);

b. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO);

c. Indonesia Sawmill and WoodWorking Association (ISWA);

d. Asosiasi Pengerajin Mebel Indonesia (ASMINDO);

e. dan lain-lain.

2. Sektor pertanian dan perkebunan, yaitu:

a. Asosiasi Gula Indonesia (AGI);

b. Asosiasi The Indonesia (ATI);

c. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia;


(38)

3. Sektor peternakan dan perikanan, yaitu:

a. Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO);

b. Himpunan Pengusaha Peternakan Indonesia (HIPERRINDO);

c. Himpunan Pengusaha Perikanan Indonesia (HPPI);

d. dan lain-lain.

4. Sektor pertambangan dan energi, yaitu:

a. Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi

(HISWANAMIGAS);

b. Asosiasi Pemboran Minyak dan Gas Bumi;

c. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia;

d. dan lain-lain.

5. Sektor Pariwisata, yaitu:

a. Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA);

b. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI);

c. dan lain-lain.

6. Sektor jasa perhubungan, yaitu:

a. Organisasi Angkutan Darat (ORGANDA);

b. Indonesia National Shipowners Association (INSA);

c. dan lain-lain.

7. Sektor jasa konstruksi dan pengembangan (real estate), yaitu:

a. Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI);

b. Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (GAPENSI);

c. Persatuan Real Estate Indonesia (REI);


(39)

8. Sektor Industri Logam Dasar dan Mesin, yaitu:

a. Asosiasi Industri Karoseri Indonesia (AIKI);

b. Gabungan Pabrik Besi Baja Indonesia (GAPBESI);

c. Ikatan Perusahaan Industri Kapal Nasional Indonesia (IPRINDO);

d. dan lain-lain18.

Pemerintah selaku penguasa negara berkepentingan untuk ikut campur tangan

dalam hukum ketenagakerjaan. Di negeri Belanda, orang mengatakan bahwa karena

campur tangan negara, “Arbeidsrecht” menjadi hukum perburuhan yang adil

5. Pemerintah

19

Pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap unsur-unsur dan

kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dan

secara terkoordinasi dengan mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat

pekerja/buruh dan organisasi profesi yang terkait, baik melalui kerjasama nasional

maupun internasional. Pembinaan dimaksud dilakukan pemerintah melalui kebijakan-. Hal ini

dikarenakan jika hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha yang sangat berbeda

secara sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk

mencapai keadilan dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan akan sulit untuk

tercapai, karena para pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah.

Atas dasar itulah pemerintah harus turut campur tangan.

Dalam bidang ketenagakerjaan, pemerintah melalui DEPNAKERTRANS

mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1. Pembinaan

18

. Abdul Khakim, 2003, Op.Cit, h.139-141.

19


(40)

kebijakan sesuai wewenang yang telah diberikan undang-undang sehingga tujuan

pembangunan ketenagakerjaan dapat tercapai.

2. Pengawasan

Pengawasan yang dilakukan pemerintah melalui DEPNAKERTRANS

dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan. Dalam prakteknya, pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas

ketenagakerjaan yang telah ditetapkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pegawai

ketenagakerjaan dalam menjalankan tugasnya wajib untuk:

a. Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya wajib dirahasiakan;

b. Tidak menyalagunakan wewenangnya20

Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan memuat ketentuan pidana bagi

setiap yang melanggarnya. Guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran pidana di

bidang ketenagakerjaan maka ditunjuk pegawai atau badan yang berwenang dan

kompeten melakukan penyidikan. Pasal 182 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan memberikan wewenang kepada Pejabat Polisi Negara .

Pengawasan biasanya dilakukan ditempat kerja dengan melihat dan memeriksa

langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu kerja lembur, pekerja/buruh wanita dan

anak, serta aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Bagi pekerja/buruh,

pengawasan ini menjamin terlaksananya hak-hak pekerja atau buruh yang telah diatur

dalam peraturan perundang-undangan dan bagi pengusaha, pengawasan merupakan

sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak yang berwenang dan kompeten tentang

kewajibannya menurut aturan yang berlaku.

3. Penyidikan

20


(41)

Republik Indonesia dan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selaku Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS)21

Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja

dapat terjadi setelah diadakan perjanjian antara pengusaha dan pekerja, dimana pekerja

menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha tersebut dengan menerima

upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja .

B. SYARAT-SYARAT KERJA

Dalam hal penerimaan tenaga kerja sebuah industri akan menerapkan pola

seleksi apabila ternyata tenaga kerja yang tersedia lebih banyak dari yang dibutuhkan

oleh industri tersebut. Dengan pola seleksi juga dapat dipilih tenaga-tenaga yang

mempunyai keunggulan, seperti lebih berpengalaman, lebih ahli dan

kelebihan-kelebihan lain yang memang dibutuhkan oleh industri tersebut. Menyadari bahwa untuk

dapat diterima menjadi tenaga kerja dalam sebuah industri memerlukan beberapa

keahlian, maka sudah selayaknya para calon pekerja akan berusaha meningkatkan

kemampuannya sesuai dengan kriteria atau syarat-syarat yang dikehendaki oleh sebuah

industri.

1. Perjanjian Kerja Sebagai Awal Hubungan Kerja

Sebuah proses industri akan berjalan apabila telah terdapat unsur-unsur yang

memungkinkan terlaksanakan kegiatan industri, seperti adanya pengusaha sebagai

pemilik modal dan pekerja yang akan melaksanakan apa yang menjadi bidang garapan

industri tersebut. Dalam kaitan ini pengusaha dan pekerja akan saling bekerja sama

untuk mewujudkan terlaksananya kegiatan industri melalui hubungan kerja.

21


(42)

dengan membayar upah. Perjanjian yang demikian disebut Perjanjian Kerja22

Yang dimaksud dengan di bawah perintah orang lain adalah bahwa pekerja

dalam melakukan kegiatannya di bawah perintah pengusaha, sebagaimana diatur dalam

Pasal 1603 (b) KUH perdata yang menyatakan bahwa pekerja wajib menaati aturan . Dan

menurut Pasal 1601 (a) KUH Perdata, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah

sebagai berikut:

Perjanjian Kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh

(pekerja) mengikat diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan

(pengusaha), dengan upah selama waktu tertentu.

Dari batasan tentang perjanjian kerja dan isi Pasal 1601 (a) KUH Perdata

tersebut diatas, ada beberapa hal yang terkandung dalam perjanjian kerja yang dapat

disebut sebagai unsur-unsur dalam perjanjian kerja, yaitu;

1. Melakukan pekerjaan tertentu.

Suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang

membuat perjanjian kerja merupakan unsur penting dalam perjanjian kerja. Pasal 1601

(a) KUH Perdata menyatakan bahwa pekerja dalam melakukan pekerjaan wajib

melakukan sendiri pekerjaannya, kecuali mendapat ijin dari pengusaha dimana ia dapat

menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya. Dengan demikian pekerjaan itu

dilakukan sendiri oleh si pekerja (bersifat pribadi) dan tidak boleh digantikan oleh orang

lain.

2. Di bawah perintah atau pimpinan orang lain.

22


(43)

mengenai hal melakukan pekerjaan dan aturan yang ditujukan pada peningkatan tata

tertib dalam perusahaan pengusaha yang diberikan kepadanya oleh dan atau atas nama

pengusaha dalam batas aturan perundang-undangan atau perjanjian atau peraturan

perusahaan , atau jika tidak ada, menurut kebiasaan.

3. Adanya Upah

Unsur adanya upah merupakan hal yang penting dan menentukan dalam setiap

perjanjian kerja dan diberikan dalam bentuk-bentuk yang telah ditetapkan sesuai

perjanjian kerja. Apabila seseorang bekerja dengan tujuan bukan mencari upah maka

tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan perjanjian kerja. Dan menurut Pasal 1601 (p)

KUH Perdata, kalau upah yang dibayarkan oleh pengusaha diberikan dalam bentuk lain

yang telah ditetapkan dianggap tidak memberi upah. Sedangkan bentuk-bentuk upah

yang dapat dibayarkan oleh pengusaha antara lain:

a. Uang;

b. Makanan yang harus dimakan;

c. Pakaian kerja;

d. Jumlah tertentu dari hasil perusahaan;

e. Hak pakai sebidang tanah;

f. Pekerjaan/jasa tertentu yang dilakukan oleh pengusaha;

g. Hak pakai rumah atau sebagian rumah tertentu;


(44)

4. Untuk waktu tertentu

Bahwa dalam perjanjian kerja akan disepakati tentang berapa lama pekerja akan

mengikatkan diri dengan pengusaha dalam melakukan hubungan kerja. Oleh karena itu

pekerja tidak boleh melakukan pekerjaannya sekehendak hati, begitu pula pengusaha

tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup. Hal ini untuk memberikan

jaminan bahwa hak pribadi manusia tetap diperhatikan. KUH Perdata tidak mengatur

lebih jauh pengertian “waktu tertentu“. KUH Perdata hanya mengatur tentang

keadaan-keadaan dimana suatu hubungan kerja dapat berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal

1603(e) ayat 1, Pasal 1603(j) dan Pasal 1603(k) KUH Perdata yaitu sebagai berikut:

a. Jika habis waktunya seperti yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam

peraturan undang-undang atau jika semua itu tidak ada,menurut kebiasaan.

b. Jika pekerja telah meninggal dunia

c. Jika pekerja telah meninggal dunia, kecuali jika dari perjanjian dapat

disimpulkan sebaliknya23

Dengan uraian peristiwa itu diatas timbullah suatu hubungan antara dua pihak

yang dinamakan perikatan dan pada hakekatnya perjanjian itu adalah suatu rangkaian

perkataan yang mengandung hak dan kewajiban yang diucapkan atau ditulis. Dengan

demikian perjanjian ini dapat dilakukan secara lisan atau dengan surat pengangkatan

oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu dengan membuat surat perjanjian yang

ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dan bila perjanjian tersebut dibuat secara

tertulis, maka biaya akte dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pengusaha .

24

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa dalam pembuatan perjanjian kerja pada

dasarnya tidak disyaratkan bentuk tertentu apakah dalam bentuk tertulis atau tidak .

23

. Soedharyo Soimin, SH, KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 401 dan 403.

24


(45)

tertulis. Jadi seperti perjanjian lainnya, bentuk perjanjian kerja adalah bebas. Akan

tetapi lebih bermanfaat apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis karena dapat

dinyatakan rumusan tertentu dengan tegas dan jelas. Sehingga dengan makin tegas dan

jelasnya rumusan pernyataan kedua pihak akan timbul kepastian dan terhindar dari

keragu-raguan. Begitu pula perjanjian kerja tertulis akan sangat bermanfaat sebagai

tanda bukti tertulis bila terjadi perselisihan.

Dalam perjanjian kerja yang bertindak sebagai atau mewakili pengusaha sangat

tergantung kepada bentuk/badan hukum perusahaannya serta ketentuan peraturan yang

berlaku di lingkungan perusahaan bersangkutan sedangkan pihak pekerja biasanya

sebagai pihak yang berdiri sendiri. Sehingga dalam perjanjian kerja tertulis,

penandatanganan perjanjian kerja dilakukan oleh setiap pekerja atau seorang pekerja

atau setiap pribadi pekerja sebagai subjek hukum.

Karena suatu perjanjian kerja bersifat perorangan atau individual, maka sering dipakai istilah “Perjanjian Kerja Perorangan (PKP)“ atau dalam bahasa Belanda disebut Individuele Arbeids Overeencomst (IAO) atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah Individual Labour Agreement (ILA). Istilah yang terakhir ini sudah dikenal dalam setiap sistem hubungan kerja atau hubungan industrial25

Setelah terjadi hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja dengan dibuatnya

perjanjian kerja, maka pihak pengusaha akan membuat peraturan-peraturan yang disebut

peraturan pengusaha atau peraturan perusahaan yang dibuat secara sepihak oleh

pengusaha. Karena dibuat secara sepihak oleh pengusaha maka peraturan perusahaan

biasanya mencantumkan kewajiban pekerja yang maksimal dengan hak yang minimal

dan sebaliknya mencantumkan kewajiban pengusaha yang minimal dengan hak yang

maksimal. Dan sekali pun peraturan perusahaan tidak mensyaratkan adanya persetujuan .

2. Peraturan-Peraturan Tentang Hubungan Kerja

25

. Koko Kosidin, SH, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm 18.


(46)

kerja, tetapi dalam membuat peraturan perusahan, pengusaha harus memperhatikan

saran dan pertimbangan dari wakil pekerja perusahaan bersangkutan dan tidak boleh

melanggar undang-undang tentang ketertiban umum, tata susila dan ketentuan

perundang-undang yang sifatnya memaksa.

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa selain perjanjian kerja KUH Perdata

mengatur pula ketentuan-ketentuan tentang suatu bentuk peraturan yang memuat

syarat-syarat kerja bagi kelompok/para pekerja yang disebut Peraturan Perusahaan. Peraturan

perusahaan ini dimaksudkan sebagai perpanjangan (verlengstruk) dari semua perjanjian

kerja yang terpisah, yang berlaku untuk semua pekerja yang melakukan hubungan kerja

dengan seorang pengusaha. Akan tetapi peraturan perusahaan bukan untuk

menggantikan adanya perjanjian kerja, sehingga apabila serikat pekerja menginginkan

adanya perjanjian kerja, maka pengusaha wajib melayani. Dan menurut Levenbach

kedudukan peraturan perusahaan lebih tinggi daripada perjanjian kerja individual,

karena sifatnya sebagai hukum bersama, sekalipun perjanjian kerja individual tersebut

dibuat secara tertulis26

26

. Koko Kosidin, SH. DR, Op.Cit, hlm 89

.

Dalam KUH Pedata peraturan perusahaan diatur dlam Pasal 1601 (j), (k), (l) dan

(m), tetapi KUH Perdata tidak secara khusus memberikan batasan tentang peraturan

perusahaan. Sebagai contoh pada Pasal 1601(j) KUH Perdata hanya memuat bahwa

suatu peraturan yang ditetapkan oleh pengusaha hanya mengikat pekerja jika ia secara

tertulis telah menyatakan menyetujui peraturan tersebut dan selain itu telah dipenuhi

syarat-syarat formal sebagai berikut:

1. Bahwa selembar lengkap peraturan perusahaan dengan cuma-cuma oleh dan


(47)

2. Bahwa oleh dan/atau atas nama pengusaha telah diserahkan kepada Departemen

Tenaga Kerja satu lembar lengkap peraturan perusahan tersebut yang

ditandatangani oleh pengusaha, tersedia untuk dibaca oleh umum.

3. Bahwa suatu lembar lengkap peraturan perusahaan ini ditempelkan dan tetap

berada di tempat yang mudah dapat didatangi oleh pekerja, sedapat-dapatnya

dalam ruangan kerja hingga dibaca dengan terang.

Sebagai pelengkap dari KUH Perdata mengenai peraturan perusahaan, maka

Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menerangkan pada

Bab 1 Ketentuan Umum butir 14 bahwa yang dimaksud dengan peraturan perusahaan

adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat

kerja serta tata tertib perusahaan. Pembuatan peraturan perusahaan ini merupakan

kewajiban pengusaha. Dan peraturan perusahaan sebagaimana tercantum pada Pasal 42

Undang-Undang tersebut harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan tentang:

a. Hak dan kewajiban pengusaha;

b. Hak dan kewajiban pekerja;

c. Syarat kerja;

d. Tata tertib perusahaan;

e. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Sedangkan pengertian peraturan perusahaan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan

No.13 tahun 2003 pada Pasal 1 ayat (20), berbunyi:

“Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang

memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan”.


(48)

3. Syarat-Syarat Kerja Sebagai Akibat Hubungan Kerja

Ketika antara pengusaha dan pekerja sudah terjalin hubungan kerja, maka pada

saat itulah berlaku apa yang dinamakan sebagai hak dan kewajiban pengusaha serta hak

dan kewajiban pekerja. Seperti apa yang telah dikemukakan bahwa agar pelaksanaan

kegiatan sebuah proses industri dapat berjalan dengan baik, maka antara pengusaha dan

pekerja harus ada kerjasama yang baik pula. Demi terwujudnya kerjasama yang baik

itulah perusahaan membuat peraturan-peraturan yang dinamakan peraturan perusahaan.

Dengan adanya peraturan perusahaan maka antara pengusaha dan pekerja akan

mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Salah satu tujuan membuat peraturan

perusahaan adalah mengusahakan perbaikan syarat-syarat kerja sebagai bentuk

perlindungan bagi tenaga kerja. Usaha perbaikan syarat-syarat kerja bertujuan

memperbaiki taraf hidup pekerja dan meningkatkan kegairahan serta ketenangan kerja

yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan

produksi.

Dalam penjelasan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban

pengusaha dan pekerja yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dengan

kata lain syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja yang diatur

dalam peraturan perusahaan, kesepakatan bersama antara pengusaha dan pekerja atau

yang hak atau kewajiban yang timbul karena persetujuan kedua belah pihak. Dari uraian

tersebut terungkap bahwa hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja yang belum

diatur dalam peraturan perundang-undangan akan diatur dalam syarat-syarat kerja.

Seperti dalam Pasal 1602 dan Pasal 1603 KUH Perdata telah dinyatakan hal-hal yang


(49)

besarnya upah, lamanya cuti dan bentuk-bentuk lain perlindungan pekerja. Dengan

demikian syarat-syarat kerja mengatur segala sesuatu yang menjadi pedoman bagi

pengusaha dan pekerja demi tercapainya tujuan perusahaan, dimana pengusaha akan

membuat kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan pekerja

mendapatkan timbal balik sesuai dengan yang dikerjakannya. Dalam syarat-syarat kerja

juga diatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak pekerja seperti besarnya

upah, jaminan sosial tenaga kerja dan kriteria-kriteria pemutusan hubungan kerja.

Syarat-syarat kerja menjadi penting bagi pengusaha dan pekerja dalam mencapai

tujuan perusahaan. Dan adanya syarat-syarat kerja akan terjalin komunikasi yang baik

antara pengusaha dan pekerja. Hal ini dapat dipahami karena dengan dibuatnya

syarat-syarat kerja, aka segala tindakan dalam rangka pelaksanaan kegiatan perusahaan akan

mengacu atau berpedoman pada syarat-syarat kerja tersebut. Ada dua tujuan dibuat

syarat kerja, yaitu:

1. Agar pekerja dapat menikmati dan mengembangkan perikehidupannya sebagai

manusia pada umumnya.

2. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja (atau yang sering disebut sebagai

kondisi kerja). Syarat kerja ini pada hakekatnya adalah kondisi kerja, yaitu suatu

kondisi yang harus dipenuhi, baik oleh pengusaha maupun pekerja untuk

mencegah timbulnya kecelakan kerja27

27

. Endang Rokhani, SH, Pengetahuan Dasar Tentang Hak-Hak Buruh, Yakoma-PGI, Jakarta, 1999, hlm 1.

.

Sesuai dengan pasala 1320 KUH Perdata, agar setiap perjanjian kerja yang


(50)

a. Adannya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu

(antara buruh dan majikan). Jadi tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak,

jika ada paksaan maka perjanjian tersebut adalah batal.

b. Adanya kemauan atau kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.

c. Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan.

Isi dari perjanjian kerja adalah hak-hak dan kewajiban tenaga kerja dan majikan.

Hak dari tenaga kerja merupakan kewajiban dari si majikan, yaitu upah. Sebaliknya apa

yang merupakan kewajiban dari tenaga kerja adalah hak dari majikan yaitu pekerja,

dimana tenaga kerja wajib melakukan pekerjaan dan majikan mempekerjakan tenaga

kerja.

4. Hubungan Industrial Pancasila

Pemerintah orde baru telah bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD

1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Salah satu aspek tersebut adalah tata pergaulan atau kehidupan di tempat

bekerja/perusahaan yang lazim disebut Hubungan Industrial28

28

. Zainal Asikin, SH, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 191.

, oleh karena itu aspek ini

harus pula ditata sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945. Disamping

dalam menunjang terwujudnya stabilitas nasional. Dan salah satu faktor penunjang

terwujudnya stabilitas produksi tersebut adalah ketenangan bekerja dan berusaha

(industrial peace). Ketenangan bekerja dan berusaha akan tercapai apabila diantara para


(51)

menciptakan keadaan tersebut maka hubungan industrial yang dilakukan harus

berlandaskan Pancasila.

Hubungan Industrial Pancasila adalah sistem hubungan yang terbentuk antara

para pelaku dalam proses produksi barang dan atau jasa (pekerja, pengusaha dan

pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari

keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan UUD 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas

kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia29

29

. Sendju H Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm 145.

.

Dari pengertian tersebut di atas jelas bahwa hubungan industrial Pancasila

menghendaki agar para pihak yang terlibat di dalam produksi barang dan jasa apabila

melakukan suatu tindakan harus sesuai dengan nilai Pancasila, atau jelasnya hubungan

industrial Pancasila adalah hubungan industrial yang dijiwai oleh kelima sila Pancasila,

yaitu:

1. Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa,

yaitu hubungan perburuhan yang mengakui dan meyakini kerja sebagai

pengabdian manusia kepada Tuhan dan sesama manusia;

2. Suatu hubungan perburuhan yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan

beradab, tidak menganggap pekerja sekedar sebagai faktor produksi tetapi

sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya;

3. Suatu hubungan perburuhan yang di dalam dirinya mengandung asas yang dapat

mendorong ke arah persatuan Indonesia, tidak membedakan golongan,


(52)

4. Suatu hubungan perburuhan yang didasarkan atas prinsip musyawarah untuk

mencapai mufakat, berusaha menghilangkan perbedaan dan mencari

persamaan-persamaan ke arah persetujuan antara pekerja dan pengusaha;

5. Suatu hubungan perburuhan yang mendorong ke arah terciptanya keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia dan untuk itu seluruh hasil upaya bangsa

khususnya pembangunan ekonomi harus dapat dinikmati bersama secara serasi,

seimbang dan merata. Serasi dan seimbang dalam arti bagian yang memadai

sesuai dengan fungsi dan prestasi para pelakunya. Merata dalam arti secara

nasional meliputi seluruh daerah secara vertikal yaitu meliputi seluruh daerah

kelompok masyarakat30

30

. Wiwoho Soedjono, Hukum Pengantar Perjanjian Kerja, Bina Aksara, Jakarta, Cet. I, 1983, hlm 110.

.

Untuk dapat mewujudkan hubungan industrial Pancasila sebagaimana diuraikan

diatas, maka masing-masing pihak dituntut mempunyai dan mengembangkan sikap

mental sebagai berikut:

a. Pekerja

Hubungan Industrial Pancasila berpegang dan berusaha mendorong timbul dan

berkembangnya sikap mental pekerja yang sesuai dengan Tri Dharma, yaitu:

1. Merasa ikut memiliki;

2. Ikut memelihara dan mempertahankan;

3. Terus menerus mawas diri.

b. Pengusaha

Sikap mental pengusaha yang diinginkan oleh hubungan industrial Pancasila


(53)

1. Kesadaran bahwa pekerja itu adalah manusia yang mempunyai harkat,

martabat dan harga diri;

2. Kesadaran bahwa meningkatkan derajat, martabat, harga diri dan

kesejahteraan pekerja merupakan kewajiban dan tugas kemanusiaan.

c. Pemerintah

Pemerintah dalam hal ini menempati posisi dan mempunyai peranan sebagai

pengayom, pembimbing, pelindung dan pendamai yang secara singkat berperan sebagai

pengayom bagi seluruh pihak dalam masyarakat pada umumnya dan pihak-pihak yang

tersangkut dalam proses produksi dan jasa pada khususnya31

31

. Zainal Asikin, SH, dkk, Op.Cit, hlm 199-200

.

C. HAK-HAK DAN KEWAJIBAN BURUH MENURUT UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN NOMOR 13 TAHUN 2003

Sebagai komponen yang sangat penting dalam pelaksanaan proses sebuah

industri, maka peranan pekerja dapat menentukan berkembang tidaknya proses industri

tersebut. Dan seperti telah diungkapkan bahwa bekerjasama yang baik antara pengusaha

dan pekerja mutlak diperlukan demi berhasilnya tujuan industri itu sendiri pada

khususnya dan pembangunan pada umumnya. Sebab pada tingkat yang lebih luas

pekerja dapat juga dikatakan sebagai pelaku pembangunan, dimana pekerja berperan

meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu tenaga

kerja harus diberdayakan agar dapat memiliki nilai lebih, dalam arti lebih mampu, lebih

terampil dan lebih berkualitas. Kemampuan, keterampilan dan keahlian tenaga kerja

perlu terus ditingkatkan melalui perencanaan dan program ketenagakerjaan termasuk


(1)

92

Disamping itu dalam SKB 5 Menteri tersebut tidak di jelaskan secara terperinci apakah karyawan tersebut masuk kerja seperti ketentuan pada hari kerja dan selesai kerja pada jam kerja pada hari normal atau ada pengaturan tertentu seperti shifting.

E. Kesepakatan Kerja antara Serikat Buruh dan Majikan dalam Solusi SKB 5 Menteri.

Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri tentang pengalihan jam kerja industri dinilai berpotensi menimbulkan kerawanan sosial. Hal ini di karenakan, SKB itu seakan-akan membenturkan antara pekerja/buruh dan pengusaha, karena pengalihan jam kerja ke hari Sabtu/Minggu jelas harus dengan upah lembur, sementara pengusaha sangat berat memenuhinya. Serikat buruh di Banten menyatakan, bahwa dengan dikeluarkan Surat keputusan bersama (SKB) 5 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) telah menganggu kenyamanan pekerja yang saat ini bekerja di perusahaan dan merugikan seluruh pekerja.

Menurut Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Banten, Sumantri, kebijakan pengalihan waktu kerja dari hari biasa ke hari libur dan tidak dihitung sebagai lembur sangat merugikan pekerja. Sebelumnya apabila pekerja lembur dihari sabtu dan minggu maka akan mendapatkan upah, tapi sekarang pekerja diliburkan disaat hari biasa. Selain itu, dengan adanya pengalihan waktu libur membuat dampak psikologis pekerja yang saat ini masih terauma akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu oleh pemerintah pusat. Menurut Sumantri, Ketua Konfederasi Serikat Buruh sejahtera Indonesia, Pemberlakuan SKB 5 Menteri mengenai jam kerja yang akan efektif pada tanggal 21 Juli mendatang ini menambah sulit ekonomi pekerja.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari Uraian bab-bab terdahulu dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

2. SKB 5 Menteri ini melanggar Pasal 85 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

3. Dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 pasal 38 ayat 4 yang berbunyi : Setiap Orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaanya berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Seharusnya Pemerintah melindungi dan menyalurkan pekerjaan sesuai dengan ketentuan Pasal 85 yang berbunyi: (1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.

(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan

pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.

(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


(3)

94

4. Dengan ketentuan pemerintah yang dituangkan dalam SKB 5 Menteri bahwa hari sabtu dan minggu dapat digunakan sebagai hari kerja, sedikit banyaknya akan menganggu kenyaman umat beragama tertentu yang aktifitas beragamanya dilakukan di hari minggu.

5. Keinginan setiap buruh pada dasarnya adalah agar pengusaha dan pemerintah dapat memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan pemberlakuan SKB 5 Menteri ini, buruh tidak mendapatkan haknya sesuai ketentuan yang di tuangkan dalam Pasal 85 Undang-Undang ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 seperti yg tertera di atas.

B. Saran

Dari fakta-fakta yang diuraikan dalam bab-bab terdahulu dan kesimpulan, seperti tersebut di atas, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Cara untuk memberlakukan SKB 5 Menteri harusnya berdasarkan kesepakatan bersama antara buruh, majikan dan tidak boleh dipaksakan. 2. Pemerintah Sebagai pihak yang mengeluarkan SKB 5 Menteri tersebut

sebaiknya mensosialisasikan SKB 5 menteri tersebut sebelum diberlakukan ke masyarakat umum.

3. Sebelum mengeluarkan SKB 5 menteri tersebut pemerintah seharusnya membicarakan terlebih dahulu dengan pengusaha, dan serikat pekerja mengenai ketentuan-ketentuan yg dituangkan dalam SKB 5 Menteri tersebut sehingga tidak merugikan pihak-pihak tertentu.

4. Penulis menghimbau kepada PLN agar lebih transparan dalam memberikan informasi mengenai daya suplai listrik yang ada ke masyarakat, dan


(4)

pemerintah juga lebih ketat lagi dalam memberikan pengawasan kepada PLN serta memberikan tindakan tegas apabila ada penyimpangan yg di lakukan pihak PLN maupun masyarakat.


(5)

96

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Zainal SH, dkk. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1997.

Chandra, Arief. KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH. Komunis Indonesia. Penerbit Yayasan "Pembaruan" . 2007.

Husni, Lalu. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. PT.Raja Grafindo Persadi. Jakarta. 2003.

Khakim, Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003.

Kosidin, Koko SH. Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan. Mandar Maju. Bandung,.1999.

Maimun. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Pradnya Paramita. Jakarta. 2003.

Manulang, Sendjun H. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 1998

Musanef, Drs & Drs. H. Moersaleh. Pedoman Membuat Skripsi. PT.Gunung Agung. Cetakan I. Jakarta. 1985.

Nasution, Bahder Johan. Hukum Ketenagakerjaan. CV.Mandor Maju. 2004 Rokhani, Endang SH. Pengetahuan Dasar Tentang Hak-Hak Buruh. Yakoma-PGI. Jakarta. 1999.

R. Subekti, SH. Prof. Aneka Perjanjian. Alumni. Bandung, 1985.

Soedjono, Wiwoho. Hukum Pengantar Perjanjian Kerja. Bina Aksara. Jakarta. Cetakan 1. 1983.

Soepomo, Prof Imam SH. Pengantar Hukum Perburuhan. Djambatan. Jakarta. 1982.

Soimin, Soedharyo SH. KUH Perdata. Sinar Grafika. Jakarta. 1995.

________________. Undang-Undang HAM. Cetakan Pertama. Visimedia. 2007. _____________. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang KetenagaKerjaan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang serikat Pkerja/Serikat Buruh. cetakan ketiga. PT. Visimedia. 2008.


(6)

http://apindo.or.id. Daya Saing Dan Produktivitas Indonesia Dan Negara-Negar

http:// ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com.

Jakarta. Juli 2008

www. Kapanlagi.com. SKB Lima Menteri Tak Akan Ganggu Jam Kerja dan Lembur. Jakarta.16 Juli 2008