Karakteristik Penderita Bronkitis Kronik Di RSUP. H. Adam Malik, Medan Pada Tahun 2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Bronkitis Kronik

2.1.1. Definisi bronkitis kronik
Terma bronkitis kronik diperkenalkan di negara Inggris pada awal abad ke-19 untuk
mendiskripsi inflamasi mukosal bronkial yang kronik. Menurut teori medis bronkitis kronik
didefinisikan secara klinis sebagai inflamasi kronik pada mukosal bronkial yang menyebabkan
gejala batuk kronik berdahak untuk 3 bulan pada setiap 2 tahun berturut-turut (CHEST, 1995).
Bronkitis kronik adalah eskpektorasi sputum sekurang-kurangnya 3 bulan selama 2 tahun
berturut-turut dan pada kebiasaanya ada obstruksi pernapasan (Meyer, 2003). Bronkitis kronik
adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lain (PDPI,
2003).

Bronkitis kronik dapat dibagi atas:
1. Simple chronic bronchitis: bila sputumnya mukoid.
2. Chronic/recurrent mucopurulent bronchitis: dahak mukopurulen.

3. Chronic obstructive bronchitis: obstruksi saluran napas menetap.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Gambaran bronki normal dengan dengan bronkitis

2.1.2. Faktor resiko bronkitis kronik
a. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States menyatakan
bahwa merokok merupakan faktor risiko utama terjadi bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEV
1), terjadi penurunan mendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas
merokok. Merokok secara histologi dapat menyebabkan inflamasi saluran napas, hipertrofi
kalenjar sekresi mukosa dan hiperplasia sel goblet dimana secara langsung faktor ini memicu
untuk terjadi bronkitis kronik. Prevalensi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan
penyebab tingginya prevalensi bronkitis kronik dikalangan pria. Sementara prevalensi bronkitis
kronik dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok
dari tahun ke tahun (Peter K, 2007).
b. Hiperesponsif saluran pernapasan
Inflamasi di saluran pernapasan penderita bronkitis menyebabkan modifikasi saluran

pernapasan. Ini adalah respon saluran pernapasan terhadap iritasi kronik

Universitas Sumatera Utara

seperti asap rokok. Inflamasi ini akan menyebabkan peningkatan sel inflamasi di sirkulasi (faktor
kemotatik) dan secara tidak langsung ia akan meningkatkan proses inflamasi (sitokin
proinflamasi). Mekanisme ini akan menyebabkan hiperesponsif saluran pernapasan dan
hiperesponsif ini akan memicu perubahan struktur saluran pernapasan (GOLD, 2011).
c. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk perkembangan dan
progresifitas bronkitis kronik pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi saluran napas pada
masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan bronkitis kronik.
Meskipun infeksi saluran napas adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi bronkitis kronik,
hubungan infeksi saluran napas dewasa dengan perkembangan bronkitis kronik masih belum bisa
dibuktikan (Vestbo J,2004).
d. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan dan obstruksi saluran napas juga bisa
diakibatkan pemaparan terhadap abu, debu, wap kimia selama bekerja. Di negara yang kurang
maju, pemaparan akibat pekerjaan dikatakan tinggi berbanding negara yang maju karena undangundang sektor pekerjaan yang kurang ketat. Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan
debu dan gas berisiko untuk mendapat bronkitis kronik, efek yang muncul adalah kurang jika

dibandingkan dengan efek akibat merokok (David Mannino, 2007).
e. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan pada
individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih
tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya bronkitis kronik
masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran biomass
dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya bronkitis kronik pada kaum wanita di
beberapa negara.

Universitas Sumatera Utara

Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting berbanding
merokok (David Mannino, 2007).
f. Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk
terjadinya bronkitis kronik. Insidensi kasus bronkitis kronik yang disebabkan defisiensi α1antitripsin di Amerika Serikat kurang daripada satu peratus. α1-antitripsin merupakan inhibitor
protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrofil elastase di paru. Defisiensi
α1-antitripsin yang berat menyebabkan bronkitis kronik pada umur rata-rata 50 tahun untuk
penderita dengan riwayat merokok dan 40 tahun untuk penderita yang tidak merokok (Vestbo.J,
2004).


2.1.3.

Patofisiologi bronkitis kronik
Perubahan struktur pada saluran pernapasan menimbulkan perubahan fisiologik yang

merupakan gejala bronkitis kronik seperti batuk kronik, produksi sputum, obstruksi jalan napas,
gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dank atau pulmonale. Akibat perubahan bronkial
terjadi gangguan pertukaran gas yang menimbulkan dua masalah serius yaitu:
1. Aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli tidak sesuai dimana berlaku mismatched.
Sebagian tempat alveoli terdapat aliran darah yang adekuat tetapi sangat sikit aliran udara dan
sebagian tempat lain sebaliknya.
2. Prestasi yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot respirasi sehingga terjadi
overinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan hipoventalasi dan tidak cukupnya udara
ke aveoli menyebabkan karbon dioksida darah meningkat dan oksigen dalam darah berkurang.
Mekanisme patofisiologi yang bertanggung jawab pada bronkitis kronik sangat kompleks,
berawal dari rangsang iritasi pada jalan napas menimbulkan 4 hal besar seperti inflamasi jalan
napas, hipersekresi mukus, disfungsi silia dan rangsangan reflex vagal saling mempengaruhi dan
berinteraksi menimbulkan suatu proses yang sangat kompleks (Sanjay Sethi, 1999).


Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Gejala-gejala bronkitis kronik
Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana kondisi pasien
mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat
ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak napas yang semakin memburuk, batuk produktif
dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak
khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis bronkitis kronik eksaserbasi
akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi
berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum,
batuk yang semakin sering, dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (GOLD,
2011).

2.1.5. Diagnosis bronkitis kronik
Gejala dan tanda bronkitis kronik sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Penderita bronkitis kronik akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak napas, batuk-batuk
kronik, sputum yang produktif, serta adanya riwayat faktor resiko. Sedangkan bronkitis kronik
ringan dapat tanpa keluhan atau gejala.(PDPI, 2003).

Diagnosis dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesis meliputi keluhan utama dan
keluhan tambahan. Biasanya keluhan pasien adalah batuk maupun sesak napas yang kronik dan
berulang. Pada bronkitis kronik gejala batuk sebagai keluhan yang menonjol, batuk disertai
dahak yang banyak, kadang kental dan kalau berwarna kekuningan pertanda adanya super infeksi
bakterial. Gangguan pernapasan kronik pada bronkitis kronik secara progresif memperburuk
fungsi paru dan keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi, dan komplikasi dapat terjadi

Universitas Sumatera Utara

gangguan pernapasan dan jantung. Perburukan penyakit menyebabkan menurunnya
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai kehilangan kualitas hidup
(PDPI, 2003).
Adanya riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja juga sering ditemukan. Kemudian adanya riwayat
penyakit pada keluarga dan terdapat faktor predisposisi pada masa anak, misalnya berat badan
lahir rendah, infeksi saluran napas berulang dan lingkungan asap rokok dan polusi udara.
Kemudian adanya batuk berulang dengan atau tanpa dahak dan sesak dengan atau tanpa bunyi
mengi. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed - lips breathing
atau sering dikatakan mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu adanya barrel chest
(diameter antero - posterior dan transversal sebanding). Pada saat bernapas dapat ditemukan

penggunaan otot bantu napas dan hipertropi otot bantu napas. Pelebaran sela iga dan bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai serta adanya
penampilan pink puffer atau blue bloater . Pada saat palpasi didapati stem fremitus yang lemah
dan adanya pelebaran iga. Pada saat perkusi akan didapati hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk
mendengar apakah suara napas vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat ronki atau
mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi
jantung terdengar jauh. (PDPI, 2003)
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa adalah faal
paru, dengan menggunakan spirometri. Apabila spirometri tidak tersedia, arus puncak ekspirasi
(APE) meter walaupun kurang tepat, namun dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore. Lalu uji faal paru lain yang dapat dilakukan adalah uji
bronkodilator biasa untuk bronkitis kronik stabil. Selain faal paru, pemeriksaan rutin lain
dilakukan adalah darah rutin dengan melihat leukosit, hemoglobin dan hematokrit. Pemeriksaan
radiologi yakni foto toraks posisi posterior anterior (PA) untuk melihat apakah ada gambaran
restriksi bronkial.

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan faal paru dengan pengukuran

Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF
dan lain-lain. Lalu lainnya adalah uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, uji coba
kortikosteroid, analisis gas darah, sinar Computerized Tomography (CT Scan) resolusi tinggi,
elektrokardiografi, ekokardiografi, bakteriologi dan kadar alfa-1 antitripsin (PDPI 2003).

2.1.6. Penatalaksanaan bronkitis kronik
Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap bronkitis kronik, seorang dokter harus
dapat membedakan keadaan pasien sama ada apakah pasien tersebut mengalami serangan
(eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan dari kedua jenis ini
berbeda. Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru,
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil
dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan
bronkitis kronik yang stabil dan mencegah eksaserbasi. (PDPI, 2003)
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi, nutrisi,
rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru rumah sakit. Dalam penatalaksanaan bronkitis kronik
yang stabil termasuk adalah melanjutkan pengobatan pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter
spesialis paru, baik setelah mengalami serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti
pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah. Obat-obatan diberikan dengan tujuan untuk
mengurangi laju beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai
dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Tujuan utama pengobatan

adalah untuk meredakan gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan toleransi pada
aktiviti seharian, memperbaiki status kesehatan, mengobati komplikasi, dan mencegah
eksaserbasi berikut. Obat-obatan yang digunakan adalah:

Universitas Sumatera Utara

1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan golongan antikolinergik.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuatkan efek bronkodilatasi karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Masing-masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan
berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya aminofilin/teofilin
100-150 mg kombinasi dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.
2. Kortikosteroid (Antiinflamasi)
Diberikan golongan metilprednisolon atau prednison, dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
setiap hari atau selang sehari dengan dosis minimal 250mg.
3. Antibiotik
Diberikan untuk mencegah dan mengobati eksaserbasi serta infeksi. Antibiotik juga diberikan
sekiranya ada peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi purulen dan peningkatan
sesak. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat. Jenis antibiotik yang bisa
diberikan adalah makrolid, sefalosporin generasi II, generasi III, kuinolon dan flurokuinolon.

4. Ekspektoran
Diberikan obat batuk hitam (OBH)
5. Mukolitik
Diberikan pada eksaserbasi kerana akan mempercepatkan perbaikan eksaserbasi dengan
mengencerkan dahak. Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.

Universitas Sumatera Utara

6. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu.
Manfaatkan obat antitusif yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis
yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk
menghindari efek samping obat.
7. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, diberikan N- asetilsistein.

Tabel 2.1 : Terapi berdasarkan stase dari bronkitis kronik

Sumber: Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD)


Universitas Sumatera Utara

Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena keterbatasan obatobatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti keterbatasan tingkat pendidikan
dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi dan sarana kesehatan, edukasi di puskesmas
ditujukan untuk mencegah bertambah beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang
tersedia dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga. Asupan nutrisi
diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan meningkatnya
derajat sesak semasa beraktiviti. Pemberian karbohidrat yang tinggi pula menghasilkan karbon
diosikda yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap rehabilitasi dimana pasien harus
diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips, latihan ekspektorasi dan latihan otot
pernapasan dan ekstremitas (PDPI, 2003).

Universitas Sumatera Utara