Korelasi RDW (Red-Cell Distribution Width) dengan NT-PROBNP (N-TERMINAL PRO-BRAIN Natriuretic Peptide) pada Gagal Jantung Kronik yang Tidak Terkompensasi

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Red Cell Distribution Width (RDW)
RDW merupakan suatu hitungan matematis yang menggambarkan jumlah
anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu menggambarkan
poikilositosis (variasi bentuk sel) sel darah merah pada pemeriksaan darah tepi.
RDW adalah cerminan dari nilai koefisien variasi dari distribusi volume sel darah
merah. Baik MCV dan RDW keduanya dinilai dari histogram eritrosit (RBC).
MCV dihitung dari seluruh luas area dibawah kurva, sedangkan RDW dihitung
hanya dari basis tengah histogram. Ada 2 metode yang dikenal untuk mengukur
nilai RDW, yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard
Deviation).15,16
Nilai RDW-CV dapat diukur dengan formula:16
RDW =

!"#$%#&% %()*#+* ,-. (0!1)
x
3(#$ 3.4

100


Nilai normal berkisar antara 11.5 % - 14.5%. Sedangkan RDW-SD
merupakan nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada
frekwensi 20%. Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fL. Semakin tinggi
nilai RDW maka semakin besar variasi ukuran sel.17
Nilai RDW-CV sangat baik digunakan sebagai indikator anisositosis
ketika nilai MCV adalah rendah atau normal dan anisositosis sulit dideteksi,
namun kurang akurat digunakan pada nilai MCV yang tinggi. Sebaliknya nilai
RDW-SD secara teori lebih akurat untuk menilai anisositosis terhadap berbagai
nilai MCV. Namun tidak semua laboratorium kesehatan mengukur nilai RDWSD pada pemeriksaan hitung darah lengkap nya.16

6


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Histogram distribusi ukuran sel normal. Ukuran sel
lebih kecil dari normal distribusi kekiri; Ukuran sel lebih besar dari
normal distribusi kekanan.16


Gambar 2.2. Histogram penilaian RDW. RDW dinilai dari lebar
histogram pada 1 standard deviasi (1SD) dibagi nilai rerata MCV. Nilai
normal RDW-CV adalah 11,5% sampai 14,5%. RDW-SD adalah nilai
aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekwensi 20%.
Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fL.15
RDW pada awalnya diperkenalkan sebagai alat bantu diagnosa kerja dari
anemia normositik.11 Penyebab umum yang mendasari terjadinya peningkatan
RDW adalah defisiensi zat besi, vitamin B12, atau asam folat, dimana eritrosit
7


Universitas Sumatera Utara

yang normal akan bercampur dengan yang ukurannya lebih kecil atau yang lebih
besar yang terbentuk saat terjadi defisiensi. Kenaikan serupa juga terjadi selama
mendapatkan terapi pengganti besi, B12, dan folat ketika jumlah retikulosit
meningkat. Nilai RDW juga meningkat setelah mendapatkan tranfusi darah,
seperti halnya juga pada penderita anemia hemolitik dan trombotik dimana
eritrosit terfragmentasi dalam sirkulasi. Peningkatan RDW juga berhubungan
dengan penyakit hati, pecandu alkohol, keadaan inflamasi, dan penyakit ginjal,

namun mekanisme dibalik timbulnya variasi eritrosit ini masih sangat
kompleks.18
Tabel 2.1. Hubungan RDW dengan MCV.19
Low MCV

Normal MCV

High MCV

Normal
RDW

Chronic disease
Thalassemia trait

Acute blood loss
Inflamation
Renal disease

Aplastic anemia

Chronic liver disease
Various medication

High
RDW

Iron deficiency
Sicle
βthalassemia

Early iron deficiency
Early B12 deficiency
Early folate deficiency
Sickle cell anemia
SC disease
Chronic liver disease
Myelodiplasia

B12 deficiency
Folate deficiency

Immune hemolysis
Chronic liver disease
Myelodiplasia

2.2. N-terminal proBrain Natriuretic Peptide (NT-proBNP)
Gauer tahun 1950an menunjukkan adanya hubungan humoral

antara

jantung dan ginjal dimana dilatasi atrium kanan jantung menimbulkan natriuresis
dan diuresis. Hal ini dibuktikan oleh Flynn et al, dimana senyawa aktifnya adalah
Atrial Natriuretic Peptide (ANP). Kemudian pada tahun 1988, Sudoh et al
mendapatkan Brain Natriuretic Peptide (BNP) dari otak babi yang ditemukan
pula pada miosit ventrikel jantung.20
ANP didapatkan pada jaringan ventrikel janin dan neonatus, sedangkan
pada orang dewasa terutama pada atrial. BNP terutama dihasilkan dari miosit
ventrikel tetapi dapat juga dijumpai dari fibroblas jantung. Semua senyawa
8



Universitas Sumatera Utara

peptida natriuretik tersebut mempunyai kesamaan struktur yaitu adanya cincin
residu 17 asamamino yang dibentuk dengan jembatan disulfida antara 2 residu
sistein, disertai 2 rantai cabang masing-masing dengan ujung aminodan
karboksil.20,21,22,23

2.2.1. Sekresi
Dalam keadaan normal, hormon pre-proBNP disimpan dalam jumlah
sedikit di granula atrium. Setelah ada stimulus, terjadi pergeseran produksinya
dari atrium ke ventrikel yang dibentuk dengan cepat dan dikeluarkan sebagai
pancaran (burst). Stimulus utama sintesis dan sekresi hormon pre-proBNP adalah
adanya stres dinding jantung berupa regangan dinding ventrikel (cardiac wall
stretching) dan peningkatan tekanan pengisiannya (filling pressure). Misalnya
seperti pada gagal jantung kronik dimana terjadi regangan kronik miosit ventrikel
terutama ventrikel kiri.2,20,21,24
Semua anggota peptide natriuretik di keluarkan dalam bentuk prohormon.
Adanya stres pada dinding jantung menyebabkan miosit mengeluarkan hormon
pre-proBNP yang mengandung asam amino rantai 134 termasuksinyal rantai
peptida dari 26 asam amino pada ujung terminal NH2. Selanjutnya, pre-proBNP

diubah melalui pemecahan peptida sinyalnya menjadi hormon proBNP yang
mengandung asam amino rantai 108. Di sirkulasi, enzim proteolitik furin
memecah proBNP menjadi hormon aktif BNP yang mempunyai 32 asam amino
(asam amino 77-108), terpisah dari NT-proBNP (fragmen terminal NH dari
proBNP) dengan 76 asam amino (asam amino 1-76) yang merupakan metabolit
tidak aktif.21,24,25
Peningkatan kadar peptida natriuretik khususnya NT-proBNP juga
dijumpai pada pasca infark miokard yang mungkin disebabkan oleh regangan
daerah sekitar infark dan berkaitan dengan aktivasi sistem neurohormonal.
Regangan mekanik dapat mengaktifkan jalur JAK/STAT (Jannus Kinase/Signal
Transducer and Activators of Transcription), menstimulasi sekresi BNP, dan
memperbesar ekspresi gen Interleukin-6 dan cardiotrophin-1. Kemungkinan lain
Cardiotrophin-1 sendiri dapat secara langsung meningkatkan transkripsi gen
miokardial dari BNP.26,27

9


Universitas Sumatera Utara


Peningkatan kadar BNP dan NT-proBNP tidak hanya mencerminkan stres
dinding ventrikel kiri yang meningkat tetapi dapat juga akibat langsung dari
iskemia miokard walaupun mekanismenya masih belum jelas. Diduga iskemia
dapat meningkatkan regangan dinding ventrikel regional.23,28

2.2.2. Degredasi
Mekanisme utama bersihan peptida natriuretik

dari sirkulasi adalah

melalui pengikatan terhadap Natriuretic Peptide Receptors-C (NPR-C) lewat
proses

endositosis.

Neutral

Endopeptidases

(NEPs),


suatu

enzim

metallopeptidase yang mengandung zink, juga berpengaruh dalam degradasi
peptida natriuretik yaitu melalui hidrolisis. BNP relatif lebih resisten terhadap
NEPS dibandingkan dengan ANP. Tetapi NT-proBNP secara biologi tidak aktif
dan tidak terikat dengan NPRs dan juga tidak mengalami degradasi oleh NEPs.
Mekanisme bersihan NT-proBNP belum diketahui tetapi diduga sebagian besar
sepertinya melalui ekskresi ginjal yaitu filtrasi glomerulus. Fungsi ginjal
mempengaruhi kadar NT-proBNP pada gagal jantung akut. Peningkatan nyata
NT-proBNP pada pasien gagal ginjal menunjukkan ginjal mungkin berperan
penting untuk bersihan NT-proBNP.22,25 Pasien dengan insufisiensi ginjal sedang
dan berat memerlukan penyesuaian kadar NT-proBNP yaitu 1200 ng/mL.29,30

2.2.3. Fisiologi Dalam Tubuh Manusia
Peptida natriuretik mempunyai reseptor untuk berinteraksi terhadap sel
target yakni Natriuretic Peptide Receptors-A (NPR-A), Natriuretic Peptide
Receptors-B (NPR-B) dan NPR-C yang merupakan keluarga reseptor guanylyl

cyclase. Reseptor ini memediasi aktifitas biologik peptida natriuretik melalui
sintesa dan akumulasi intraseluler dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP).
Efek biologis yang ditimbulkan adalah diuresis dan natriuresis, vasodilatasi,
inhibisi sistem nervus simpatis dan sistem renin-angiotensin- aldosteron, serta
inhibisi pertumbuhan miosit kardiak dan vaskular.21,24,31
Nilai normal NT-proBNP masih belum dapat ditetapkan sepenuhnya
namun konsentrasinya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan penggunaan
obat-obatan seperti diuretik dan penghambat beta. Berbagai kondisi klinis juga

10


Universitas Sumatera Utara

dapat mempengaruhi konsentrasi peptida natriuretik jantung diantaranya miokard
infark akut dan gagal ginjal.24,32
2.3. Gagal Jantung
2.3.1. Defenisi
Gagal jantung adalah satu gejala klinis pada pasien mengalami kelainan
struktur atau fungsi jantung yang disebabkan oleh kelainan bawaan atau acquired

heart disease sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah dalam
jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward
failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian
jantung yang tinggi (backward failure) atau kedua-duanya.33

2.3.2. Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya gagal jantung adalah gangguan/kerusakan
fungsi miokard ventrikel kiri di samping adanya penyakit pada perikardium,
miokardium, endokardium, ataupun pembuluh darah besar. Penurunan fungsi
ventrikel kiri mengakibatkan terjadinya penurunan curah jantung yang
selanjutnya menyebabkan teraktivasinya mekanisme kompensasi neurohormonal
yang bertujuan mengembalikan kinerja jantung dalam memenuhi kebutuhan
jaringan.
Aktivasi sistem simpatis menimbulkan peningkatan denyut jantung dan
vasokontriksi perifer sehingga curah jantung dapat meningkat kembali. Aktivasi
renin-angiotensin-aldosteron

system

(RAAS)

menyebabkan

vasokontriksi

(angiotensin) dan peningkatan volume darah melalui retensi air dan natrium
(aldosteron). Mekanisme kompensasi yang terus berlangsung ini akan
menyebabkan stress pada miokardium sehingga menyebabkan terjadinya
remodeling yang progresif, dan pada akhirnya dengan mekanisme kompensasi
pun jantung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan jaringan (dekompensasi).34

2.3.3. Gejala Klinis
Sebagai kompensasi dari berkurangnya kekuatan pompa jantung,
ventrikel akan membesar untuk meningkatkan regangan dan kontraksi sehingga
11


Universitas Sumatera Utara

dapat memompa darah lebih banyak. Akibatnya, otot jantung akan menebal
untuk membantu meningkatkan kekuatan pompa. Hal tersebut membutuhkan
semakin banyak suplai darah dari arteri koronaria yang menyebabkan jantung
juga akan berdenyut lebih cepat untuk memompa lebih sering lagi. Pada keadaan
ini, kadar hormon yang menstimulasi jantung akan meningkat.3
Manifestasi klinis yang timbul menunjukkan adanya tanda-tanda gagal
jantung kongestif yaitu dispnu dan fatique yang dapat menghambat toleransi
latihan dan retensi cairan yang dapat menimbulkan kongesti paru dan edema
perifer. Kedua abnormalitas tersebut akan mengurangi kapasitas fungsional dan
kualitas hidup.3

2.3.4. Klasifikasi Gagal Jantung
New York Heart Association (NYHA) pertama kali membuat klasifikasi
gagal jantung yang berdasarkan pada derajat keterbatasan fungsional. Pembagian
fungsional NYHA sering digunakan untuk menentukan progresifitas gagal
jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional yang bergantung pada
gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala muncul pada aktifitas
ringan (kelas II), gejala muncul pada aktifitas berat (kelas III), dan gejala muncul
pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada penderita gagal jantung
cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat terjadi walaupun tanpa
perubahan pengobatan, dan tanpa perubahan pada fungsi ventrikel yang dapat
diukur.3
American

College

of

Cardiology/

American

Heart

Association

(ACC/AHA) membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas gagal
jantung atas 4 stadium yaitu stadium A adalah berisiko tinggi untuk menjadi
gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah
adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya disfungsi
jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan refrakter
terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada keberadaan faktor
resiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya, dan
strategi pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal jantung akan
mengalami perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak dapat

12


Universitas Sumatera Utara

kembali lagi ke stadium A, hal yang mana dapat terjadi bila menggunakan
klasifikasi menurut NYHA.3

2.3.5. Diagnosis
Diagnosis

dibuat

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-doppler, kateterisasi jantung dan
uji latih.1
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung
yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:1
-

Kriteria mayor:
a. Paroksismal nokturnal dispnu
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular

-

Kriteria minor:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardia (> 120 x/menit)

-

Kriteria mayor atau minor:
a. Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.

13


Universitas Sumatera Utara

Gagal jantung dapat disertai spektrum abnormalitas fungsi ventrikel yang
luas, mulai dari ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal sampai
dengan dilatasi berat dan/atau fraksi ejeksi yang sangat rendah.1

2.4. Hubungan RDW dengan Gagal Jantung
Selama satu dekade terakhir, telah terjadi lonjakan jumlah penelitian yang
meneliti tentang biomarker prognostik berbagai penderita gagal jantung.
Beberapa biomarker seperti natriuretik peptida secara langsung mencerminkan
proses patofisiologi dalam prognosis, sedangkan biomarker lainnya masih
kurang baik dalam menggambarkan prognosis.11
Setelah publikasi awal oleh Felker et al12 pada tahun 2007 secara tidak
sengaja menemukan bahwa RDW dapat menjadi prediktor prognosis yang sangat
independen pada penderita gagal jantung (dan yang lebih penting, lebih unggul
dibandingkan parameter anemia yang lain termasuk konsentrasi hemoglobin),
RDW menjadi subjek yang menarik bagi berbagai peneliti klinis di lapangan.
Dengan cakupan yang luas dari penyakit kardiovaskuler, termasuk gagal jantung,
RDW ditemukan dapat menjadi prediktor outcome yang konsisten dan
independen.11
Dalam artikel yang diterbitkan di Revista Espanola de Cardiologia,
Bonaque et al35 menyajikan data yang menunjukkan peran prognostik dari RDW
pada 698 orang penderita gagal jantung kronik. Dalam analisis yang disesuaikan,
RDW dapat memprediksi tingkat mortalitas dan hospitalisasi pada penderita
gagal jantung kronik. Penelitian mereka semakin menegaskan hubungan antara
RDW dengan morbiditas dan mortalitas pada penderita penyakit kardiovaskular
yang sudah ada sebelumnya.11
Van Kimmenade et al36 melaporkan hubungan RDW pada penderita
gagal jantung akut. Mereka menyimpulkan bahwa RDW dapat memprediksi
jumlah angka kematian dalam satu tahun pada penderita gagal jantung akut baik
sebagai marker independen maupun sebagai tambahan bagi biomarker lainnya
seperti N-terminal pro-brain natriuretic peptide (NT-proBNP). Bersamaan
dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Al-Najjar et al14 juga menyimpulkan
14


Universitas Sumatera Utara

bahwa RDW merupakan pemeriksaan “gratis” yang memiliki nilai prognostik
yang baik pada penderita gagal jantung meski dibandingkan dengan pemeriksaan
lain yang relatif lebih mahal seperti NT-proBNP.
Förhécz et al37 pada tahun 2009 melakukan pengamatan terhadap
mekanisme yang mendasari timbulnya peningkatan nilai RDW pada penderita
gagal jantung kronik yang sudah diteliti sebelumnya. Dari hasil pengamatan
disimpulkan bahwa adanya hubungan antara peningkatan RDW dengan marker
inflamasi, eritropoiesis yang tidak efektif, nutrisi yang kurang, dan gangguan
fungsi ginjal. Penelitian ini sejalan dengan temuan oleh Allen et al38 tahun 2010.
Allen juga menemukan adanya hubungan antara peningkatan RDW pada
penderita gagal jantung dengan marker defisiensi besi, inflamasi, dan gangguan
fungsi ginjal.
Ada beberapa teori yang menjelaskan mengapa timbul gangguan
metabolisme besi pada penderita gagal jantung, salah satunya disebabkan karena
adanya aktifasi hormon hepsidin yang dapat menghambat penyerapan zat besi
dari tubuh.39 Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan oleh
hepatosit yang dapat dideteksi pada urin dan serum yang berfungsi untuk
mengatur metabolisme zat besi. Hepsidin mencegah tubuh menyerap zat besi
dari yang diperlukan baik yang berasal dari makanan atau suplemen dan
menahan pengambilan zat besi dari sel. Keseimbangan zat besi dalam tubuh
diatur oleh interaksi antara hepsidin dan reseptor feroportin yang mengangkut zat
besi. Hepsidin mengikat feroportin sehingga mengurangi pengeluaran zat besi
dari sel dan menghambat penyerapan zat besi dari usus. Kelebihan hepsidin
dalam darah dapat menyebabkan anemia, sedangkan defisiensi hormon ini dapat
menyebabkan pembentukan zat besi berlebihan yang dapat merusak organ dalam
tubuh. Hepsidin ini diyakini sebagai regulator kunci dari homeostasis besi
dengan cara meregulasi absorbsi besi di usus, mendaur ulang besi dari makrofag
dan mengontrol persediaan besi di dalam hati, serta untuk meregulasi transport
besi melalui plasenta selama kehamilan.16

15


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Jalur pertukaran besi.16
Pada penelitian yang dilakukan oleh Okonko et al40 yang melakukan studi
pada 157 pasien gagal jantung sistolik (left ventricular ejection fraction < 45%)
baik dengan anemia maupun non anemia, kemudian pada pasien tersebut
dilakukan pemeriksaan profil status zat besi (feritin, saturasi transferin, TIBC)
lalu dihubungkan dengan tingkat keparahan gagal jantung dinilai dari New York
Heart Association (NYHA) functional class. Penelitian ini dilakukan di Wexham
Part Hospital (Slough United Kingdom) dan Royal Brompton Hospital (London,
United Kingdom). Diagnosa gagal jantung kronik ditegakan berdasarkan adanya
tanda dan gejala yang dialami lebih dari 6 bulan dan nilai Left Ventricular
Ejection Fraction (LVEF) ≤ 45%. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan
adanya gangguan metabolisme besi yang berhubungan dengan tingkat keparahan
dari NYHA functional class pada penderita gagal jantung kronik.

2.5. Hubungan NT-proBNP dengan Gagal Jantung
NT-proBNP sebagai biomarker neurohormonal jantung telah diketahui
sebagai penanda untuk prognostik pasien dengan gagal jantung. Secara biologis,
neurohormon ini mempengaruhi homeostasis cairan tubuh (natriuresis, diuresis)
dan tonus vaskular (penurunan angiotensin II, sintesis norepinefrin). Keduanya
merupakan komponen yang penting pada patofisiologi gagal jantung.41

16


Universitas Sumatera Utara

NT-proBNP diindikasikan sebagai alat bantu menegakkan diagnosis
gagal jantung atau bentuk ringan disfungsi jantung, membantu dalam menilai
keparahan gagal jantung yang ditandai dengan kelas NYHA dan juga menilai
keberhasilan terapi pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. NT-proBNP juga
bermanfaat dalam menyingkirkan gejala dengan penyebab kardiak atau non
kardiak pada sesak nafas. Kadar NT-proBNP akan meningkat sebanding dengan
peningkatan kelas NYHA dan menggambarkan tingkat keparahan dari gangguan
jantung. Sensitifitas yang tinggi dari NT-proBNP juga memungkinkan untuk
mendeteksi bentuk ringan dari disfungsi jantung pada pasien asimptomatis.42,43
Sebuah penelitian mendapatkan bahwa median konsentrasi NT-proBNP
pada gambaran klinis menurut kelas NYHA II, III dan IV berturut-turut adalah
3512 pg/mL, 5610 pg/mL, dan 6196 pg/mL. Sedangkan median konsentrasi NTproBNP pada eksaserbasi gagal jantung akut adalah 4639 pg/mL dibandingkan
108 pg/mL tanpa gagal jantung akut.42
Sebuah penelitian melaporkan bahwa kadar NT-proBNP 5 kali di atas
normal mempunyai sensitifitas dan nilai prediksi negatif > 90% untuk
mendeteksi LVEF < 40%. Selain itu juga ditetapkan batasan normal NT-proBNP
untuk mendeteksi gagal jantung adalah 68-112 pg/mL (8,2-13,3 pmol/L).44
Konsentrasi cut point NT-proBNP yang direkomendasikan di Eropa untuk
mendeteksi gagal jantung adalah 100 pg/mL untuk laki-laki dan 150 pg/mL
untuk perempuan. Sementara di Amerika Serikat untuk kedua jenis kelamin
ditetapkan 125 pg/mL.45
Studi COPERNICUS9 (Carvedilol Prospective Randomized Cumulative
Survival) 2004, menyatakan penderita gagal jantung kronik dengan kadar NTproBNP >1767 pg/mL memiliki tingkat hospitalisasi dan kematian dalam 1 tahun
dua kali lipat lebih besar daripada pendeita dengan nilai NT-proBNP yang lebih
rendah. Demikian halnya data dari ADHERE10 studi 2007 (Acute Decompensated
Heart Failure National Registry) dengan jumlah sampel yang lebih besar lagi
(48.629 orang), semakin menguatkan hasil studi yang sudah ada sebelumnya,
dimana peningkatan kadar NT-proBNP sejalan dengan meningkatnya resiko
hospitalisasi dan kematian pada penderita gagal jantung.

17


Universitas Sumatera Utara

2.6. Hubungan RDW dengan NT-ProBNP pada Gagal Jantung
Studi yang dilakukan oleh Al Najjar et al14 pada tahun 2009 mencoba
mengidentifikasi hubungan antara nilai RDW dan nilai NT-proBNP pada
penderita gagal jantung kronik. Peneliti mendapati bahwa RDW memiliki
korelasi positif yang signifikan dengan tingkat kekuatan korelasi moderat
terhadap angka NT-proBNP dengan p value < 0,01. Nilai RDW dan NT-proBNP
keduanya sama sama meningkat secara signifikan pada pasien yang meninggal
dalam satu tahun pertama sejak diagnosis ditegakkan dengan tingkat signifikansi
p < 0,001 kemaknaan 95%.
Studi yang dilakukan oleh Celik et al46 pada tahun 2012 mencoba
menjelaskan keterkaitan RDW dengan NT-proBNP pada penderita gagal jantung
tidak terkompensasi. Mereka menyimpulkan bahwa RDW akan meningkat
seiring dengan peningkatan NT-proBNP dan seiring dengan peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri. Terdapat beberapa hipotesis yang mencoba menjelaskan
mengapa RDW dapat mencerminkan peranan NT-proBNP sebagai petanda
biologis keadaan gagal jantung kronik. Kebanyakan hipotesis tersebut
mengaitkan RDW dengan keadaan inflamasi kronis, gangguan fungsi ginjal,
ketidakefektifan

proses

eritropoiesis,

malnutrisi,

dan

gangguan

jalur

neurohormonal yang terjadi pada penderita gagal jantung kronik.46
Akan tetapi, studi yang dilakukan oleh Van Kimmenade et al36
menunjukkan bahwa peningkatan RDW pada penderita gagal jantung kronik
yang tidak terkompensasi ternyata tidaklah dipengaruhi oleh status nutrisi pasien,
riwayat transfusi darah ataupun oleh inflamasi. Hal ini dibuktikan dengan tidak
cukup signifikannya korelasi angtara RDW dengan CRP (C-Reactive Protein)
yang merupakan marker inflamasi. Temuan ini semakin mempertegas bahwa
kemungkinan kaitan antar RDW dengan NT-proBNP terletak pada aktivasi jalur
neurohormonal tertentu.46

18


Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Korelasi Spearman antara RDW dengan NT-proBNP.13

Hasil yang berbeda dikemukakan oleh studi terkini dari Allen et al38 yang
menyebutkan bahwa terjadi gangguan proses mobilisasi simpanan besi di hati
pada pasien gagal jantung kronik yang tidak terkompensasi, dan hal inilah yang
kemungkinan menyebabkan terjadinya peningkatan nilai RDW pada pasienpasien tersebut. Diduga hal ini pula yang menjelaskan mengapa terjkadi
peningkatan hepsidin pada penderita gagal jantung kronik. Hepsidin mencegah
tubuh menyerap zat besi dari yang diperlukan baik yang berasal dari makanan
atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel, yang pada akhirnya
berakibat pada gangguan pembentukan sel darah merah sehingga menyebabkan
ukuran sel darah merah yang beredar menjadi sangat beragam dan pada akhirnya
meningkatkan nilai RDW.38
Sungguhpun begitu, tidak dapat serta merta disimpulkan bahwa
peningkatan RDW pada pasien gagal jantung kronik ini murni dikarenakan oleh
gangguan mobilisasi besi saja. Karena hal yang sedikit berbeda dikemukakan
oleh penelitian Patel et al47 pada tahun 2009 yang menemukan bahwa pada
pasein gagal jantung kronik terjadi pula peningkatan berbagai sitokin-sitokin
proinflamatorik. Hal ini mungkin semakin memperkuat alasan mengapa RDW
dapat mencerminkan peranaan NT-proBNP sebagai indikator prognosis pasien
gagal jantung kronik yang tidak terkompensasi.47
19


Universitas Sumatera Utara