Blended Librarianship dan Pengguna Multitasking
Blended Librarianship dan Pengguna Multitasking
Jonner Hasugian12
1. Pendahuluan
Blended Librarianship (BL) merupakan terminologi baru yang mucul dalam
kepustakawanan di Perpustakaan Perguruan Tinggi. BL adalah sekaligus sebuah
konsep kepustakawanan yang memadukan layanan tradisional (kovensional) dan
layanan baru (online) di Perpustakaan Perguruan tinggi untuk mendukung kegiatan
akademik yang semakin berkembang. BL sebagai konsep kepustakawanan di
perpustakaan perguruan tinggi pertama sekali dikemukakan oleh John D. Shank dan
Steven Bell pada tahun 2004. Konsep ini dipaparkan dalam atikelnya yang berjulul:
“The blended librarian: A blueprint for redefining the teaching and learning role of academic
librarians”, yang dipublikasikan pada College & Research Libraries News, 65 (7), 372375 tahun 2004.
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi informasi merubah sejumlah kegiatan
akademik di perguruan tinggi. Perubahan yang terjadi dalam berbagai kegiatan
akademik terutama pada kegiatan belajar mengajar dan kegiatan penelitian,
mendorong pustakawan perguruan tinggi berubah mengikuti perubahan yang
terjadi. Di awal tahun 2000-an ada dua hal yang berkembang dalam kegiatan
akademik di perguruan tinggi yaitu pembelajaran online dan penelitian online. Di
sejumlah Perguruan tinggi di negara maju seperti halnya di Eropah dan Amerika
Serikat, untuk matakuliah tertentu komunikasi dosen dengan mahasiswa dilakukan
secara online, materi kuliah disampaikan dengan online, tugas-tugas dikerjakan
dengan online bahkan ujian ada yang dilakukan secara online. Dalam perkembangan
selanjutnya, muncul konsep e-learning, dimana pembelajaran dimungkinkan
berlangsung dilakukan secara daring (dalam jaringan online) menggunakan media
elektronik khususnya internet. Mahasiswa mendaftar secara online, materi kuliah
disampaikan secara online, tutorial dilakukan secara online, ujian dilakukan secara
online, nilai disampaikan secara online dan semua komunikasi mahasiswa dengan
dosen dilakukan secara online. Konsep e-learning menjadikan pembelajaran dapat
dilakukan tanpa melihat jarak dan lokasi mahasiswa dan dosen. Selain itu, kegiatan
penelitian sudah banyak yang dilakukan secara online, kuesioner disebarkan secara
1
2
Dosen pada Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Budaya USU.
Kepala Perpustakaan USU.
1
online, bahkan ada yang langsung diisi secara online dan laporannya dipublikasi
secara online juga. Singkatnya, kegiatan akademik berubah ke arah digital.
Shank dan Bell (2004) menyatakan bahwa BL memimpikan ke depan bahwa
pustakawan selain sebagai pengelola dan pelayan informasi, juga dapat berperan
sebagai pendidik yang mampu mendisain pembelajaran berkaitan dengan pelayanan
informaasi di era informasi digital (the role of librarian as educator in the digital
information age). BL memandang bahwa di masa mendatang pustakawan akan lebih
dominan berhadapan dengan komunitas pengguna online (online community),
sekalipun tetap harus mengelola bahan-bahan tercetak.
Perubahan yang terjadi di era tahun 1960-an, ketika automasi mulai
diaplikasikan di perpustakaan, sangat berbeda dengan perubahan yang terjadi di
awal tahun 1990-an, khususnya ketika internet mulai muncul pada tahun 1994.
Perubahan itu semakin kuat ketika sumber daya informasi semakin tersedia dalam
format digital (e-journal, e-books dsb) di awal tahun 2000-an. Jumlah dan jenis sumber
daya informasi digital terus berkembang biak atau berlipat ganda, sehingga ada
kalanya semakin sulit ditemukan. Pustakawan telah berupaya membantu pengguna
untuk dapat menemukan informasi yang relevan dengan keperluannya melalui
pendidikan literasi informasi. Akan tetapi ada kalanya pendidikan literasi yang
disampaikan kurang dan/ataupun tidak mencapai harapan, karena disain
instruksional (materi, metode penyampaian, media pembelajaran, rumusan tujuan)
yang kurang tepat. Dalam konsep BL, pustakawan perguruan tinggi seharusnya
memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang disain instruksional agar dapat
mendisain berbagai program pembelajaran dan/atuau literasi berkaitan dengan
perubahan yang terjadi.
Perubahan yang terjadi sekarang ini semakin kuat dan bergerak secara linear
ke suatu titik yang tidak dapat diprediksi akhirnya. Perubahan ini terasa lebih
dominan di Perpustakaan Perguruan Tinggi di banding dengan perpustakaan
lainnya, dan perubahan itu mendorong kepustakawanan pada perpustakaan
perguruan tinggi terus berkembang dan berubah dengan kompetensi dan/atau
keterampilan baru yang tidak hanya berasal dari ilmu perpustakaan, akan tetapi
menuntut keterampilan (skill) dari bidang ilmu yang lain. Dalam konsep BL,
diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang dapat mendorong pustakawan agar
juga dapat berperan sebagai pendidik, tanpa harus berganti profesi sebagai dosen
atau tenaga pengajar utamanya sebagai pendidik informasi, atau menjadi mitra
pendidikan yaitu membantu peran instruksional yang diemban oleh dosen.
2
2. Apakah Blended Librarianship?
Shank dan Bell (2004) mendefinisikan blended librarian sebagai berikut: “An
academic librarian who combines the traditional skill set of librarianship with the
information technologist’s hardware/software skills, and the instructional or educational
designer’s ability to apply technology appropriately in the teaching-learning process”. Definisi
di atas setidak-tidaknya menjelaskan bahwa BL adalah pustakawan pada
perpustakaan perguruan tinggi harus mampu mengkobinasikan 3 (tiga) hal yaitu:
(1) Keterampilan (skill) kepustakawan tradisional (the traditional skill set of
librarianship)
(2) Keterampilan teknologi informasi baik hardware/software (the information
technologist’s hardware/software skills)
(3) Kemampuan mendisain instruksinonal atau pembelajaran untuk menerapkan
teknologi yang tepat dalam proses belajar mengajar (the instructional or
educational designer’s ability to apply technology appropriately in the teaching-learning
process)
Pendapat lain menyatakan bahwa BL adalah:
“Tech-intensive reference and instruction librarians are concerned with books,
emerging technologies, e-learning, instructional design and web design, usability,
blogging, library trend spotting, digital media, open access, innovation, social web
tools, participatory librarianship, networked learners, online learning, etc.
(http//:blendedlibrarian.org).
Pendapat ini menjelaskan bawha BL adalah Tech-intensive reference dan
pustakawan pengajar (instruction librarians) yang penuh perhatian dengan bukubuku, teknologi terkini, e-learning, disain instrusional, disain web, pemanfaatan, blog,
library trend spotting, media digital, akses terbuka, inovasi, peralatan media/web
sosial, kepustakawanan partisipatif, peserta didik jaringan, pembelajaran online, dan
sebagainya).
Selanjutnya Carrie A. McDonald (2011) menyatakan bahwa BL adalah
“A blended librarian seamlessly combines 21st century skills, instructional research and
design, and technological skills into their existing library program. Through these skills, the
librarian is able to make more and better connections with faculty, students, and patrons”.
Pendapat McDonald di atas menyatakan bahwa BL sebenarnya adalah
kombinasi ketampilan di abad 21, desain dan penelitian instruksional dan
keterampilan teknologi ke dalam program perpustakaan yang sudah ada
sebelumnya. Melalui keterampilan ini, pustakawan mampu membuat lebih banyak
dan lebih baik hubungannya dengan dosen, mahasiswa, dan pelanggan lainnya.
3
Dari pendapat di atas dapat diringkaskan bahwa BL adalah seseorang selalu
bersama
perpustakaan,
teknologi
informasi
dan
keterampilan
mendisain
isstruksional (A blended librarian is some one with library, information technology,
and instructional design skills)
3. BL adalah Pustakawan Akademik
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa BL adalah “professional bidang
akademik” yang memberikan layanan sekaligus memiliki ketrampilan dan/atau
kemampun untuk mendukung lembaganya dalam melaksanakan pendidikan dan
pembelajaran. Berkaitan dengan definisi Shank dan Bell dan McDonald di atas,
setidak-tidaknya ada 6 (enam) kata kunci untuk memahami BL yaitu:
(1) Academic librarian yaitu pustakawan yang tidak terpisahkan dari kegiatan
akademik. Siapakah Academic librarian?. Mereka adalah pustakawan yang bekerja di
Perpustakaan Perguruan Tinggi yang memberikan layanan kepada stakeholders
perguruan tinggi, utamanya kepada mahasiswa, tenaga pendidik (dosen), tenaga
kependidikan, peneliti, pimpinan fakultas/universitas, pengurus yayasan dan
sebagainya. Memiliki pengetahuan dan keterampilan kepustakawanan, mampu
bermitra dengan stakeholder dan mampu mampu berjejaring dan berkolaborasi
dengan pustakawan lain. Untuk perguruan tinggi di Indonesia sekarang ini, Academic
Librarians diharapkan memiliki pemahaman akan sejumlah isu, beberapa diantaranya
adalah seperti berikut:
(a) Isu Kurikulum
Academic Librarians memiliki kemauan yang selalu ingin memahami persoalan
persoalan yang berkembang dalam dunia akademik. Misalnya perubahan
kurikulum yang sedang terjadi sekarang ini dalam dunia pendidikan tinggi dari
kurikulum berbasis kompetensi (KBP) dengan kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI).
(b) Isu Research University
Konsekuensi logis dari visi dari sejumlah perguruan tinggi yang ingin menjadi
research university, maka Perpustakaan harus mengakselerasi dirinya bergerak
dari tahap penyedia informasi yang sering berperan sebagai gudang buku (store
house period) ke tahap pendidikan dan penelitian (educational and research
period). Pada tahap tersebut, peran Perpustakaan tidak hanya sebatas sebagai
tempat simpan pinjam buku saja. Namun perpustakaan berperan sebagai katalis
bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Berbagai kegiatan dapat dilakukan, misalnya
Perpustakaan dapat membentuk forum-forum diskusi yang bermuara pada
4
pemikiran-pemikiran kritis dan membebaskan para penggunanya dari literasi
informasi. Mengacu pada pentahapan tersebut maka Perpustakaan diharapkan
akan bertransformasi menjadi perpustakaan riset. Untuk melangkah ke tahap
pendidikan dan penelitian (perpustakaan riset), maka ada beberapa hal yang
harus dipersiapkan oleh Perpustakaan. Jika merujuk pada definisi di situs Online
Dictionary of Library and Information Science (ODLIS) maka pengertian
perpustakaan riset (research library) adalah sebagai berikut “A library containing
a comprehensive collection of materials in a specific field, academic discipline, or group
of disciplines, including primary and secondary sources, selected to meet the information
needs of serious researchers”, yaitu perpustakaan yang memiliki koleksi yang
komprehensif yang terdiri dari bahan-bahan perpustakaan dalam bidang
tertentu, disiplin akademik, atau kelompok disiplin, termasuk sumber-sumber
primer dan sekunder, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan informasi dari
peneliti yang serius".
(c) Isu Akreditasi Program Studi dan Institusi.
Persoalan akademik lainnya misalnya, Akreditasi Program Studi meminta 400
judul buku teks per program studi (S1) dengan publikasi termutakhir (10 tahun
terkahir), memiliki lebih dari ( ≥ 3) judul jurnal nasional terakreditasi DIKTI,
yang nomornya lengkap per Program Studi, memiliki lebih dari (≥) 2 judul jurnal
internasional, yang nomornya lengkap per program studi, memiliki jumlah
prosiding seminar lebih dari ( ≥) 9 judul, ada beberapa perpustakaan di luar PT
yang dapat diakses dan sangat baik fasilitasnya dan sebagainya.
(d) Isu pemeringkatan perguruan tinggi
Sekarang ini isu pemeringkatan pergruan tinggi sedang hangat dibicarakan.
Pada awlanya pemeringkatan perguruan tinggi yang paling terkenal adalah
webometrics. Bagi beberapa Perguruan Tinggi tertentu pengumuman dari
webometrics (biasanya setiap bulan Agustus) sangat ditunggu-tunggu
kedatangannya karena mungkin telah dituangkan sebagai salah satu capaian
visi/misi Perguruan Tinggi tersebut, adapula Perguruan Tinggi yang
memproklamirkan peringkat Webometrics ini sebagai Brand bahwa kampus
tersebut sudah bertaraf World Class University, pada hal belum tentu. Belakangan
ini pemeringkatan perguruan tinggi ini berkembang menjadi beberapa versi,
ada versi Dikti, dan ada versi dari asosiasi tertentu. Penilaiannya ada yang
melibatkan perpustakaan dan ada yang tidak. Sekarang ini pemeringkatan
perguruan tinggi yang dilakukan oleh Dikti Berdasarkan 4 aspek yaitu kualitas
SDM, kualitas manajemen, kualitas kegiatan mahasiswa, dan kualitas penelitian
dan publikasi.
5
(2) Traditional skill set of librarianship yaitu pustakawan yang memiliki keterampilan
kepustakawanan tradisinonal. Keterampilan kepustakawanan tradisional yang
dimaksud dalam hal ini adalah sejumlah pengetahuan dan keterampilan dasar
perpustakaan yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan. Keterampilan tersebut
mencakup: pengelohan koleksi seperti cataloguing and classification, indexing,
abctracting dan sebagainya. Pelayanan perpustakaan seperti sirkulasi, referensi
dan sebagainya. Pengetahuan dasar tentang teknis teknologi informasi seperti
otomasi, jaringan, internet dan sebagainya. Pemahaman tentang pengguna
misalnya pendidikan pengguna, literasi informasi dan sebagainya. Penelitian
perpustakaan misalnya studi kepusasan pengguna, pengukuran kinerja
perpustakaan seperti Library visid pe Capita, Sirculation per Capita,
Bibliometrika, Informetrika dan penelitian lainnya berkaitan dengan pengelolalan
perpustakaan.
(3) Hardware skills yaitu pustakawan yang memiliki keterampilan tentang perangkat
keras komputer dan jaringan (hardware skills) terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan
sumber
daya
informasi.
Misalnya,
pengetahuan
tentang
perkembangan hardware, mengenal dan memahami berbagai jenis hardware untuk
perpustakaan, mengenal perangkat lain terkait dengan hardware perpustakaan.
(4) Software skills and knowledge yaitu pustakawan yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam bidang software khususnya untuk mengoperasikan program
aplikasi berkaitan dengan pengelolaan informasi di perpustakaan. Pengetahuan
maksudnya adalah mengetahui atau mengenal berbagai software perpustakaan,
berbagai aplikasi-aplikasi untuk perpustakaan dan pengetahuan tentang media.
Ketrampilan adalah mampu menggunakan aplikasi perpustakaan yang ada, atau
menggunakan media social. Software untuk penulisan misalnya MS-Word, Excel,
dan sebagainya. Software untuk penelitian, misalnya: SPSS, NVIVO, ATLAS.ti,
SEM, Lisrel dan sebagainya.
(5) Kemampuan untuk disain instruksional (instructional design) yaitu keseluruhan
proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik
mengajar dan materi pembelajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket pembelajaran, kegiatan
mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar. Misalnya,
mendisain literasi informasi untuk akses e-journal atau e-books, dan sebagainya.
(6) Mengetahui berbagai teknologi untuk pengajaran dan proses pembelajaran
(technologies for teaching and learning process), misalnya penggunaan teknologi
media untuk proses pembelajaran. Termasuk media akses ke sumber-sumber
informasi, media pembelajaran. Media teknologi yang umum digunakan untuk
6
pengajaran atau penyampaian bahan ajar, misalnya PowerPoint, Prezi (the
presentation software that uses motion, zoom, and spatial relationships to bring your ideas
to life and make you a great presenter), dan lainnya.
Teknologi lain yang sekarang ini digunakan untuk pendidikan khususnya belajar
berbasis internet adalah Moodle. Moodle adalah singkatan dari Modular ObjectOriented Dynamic Learning Environment yaitu adalah paket perangkat lunak yang
diproduksi untuk kegiatan belajar berbasis internet dan situs web yang
menggunakan prinsip social constructionist pedagogy. Moodle merupakan salah
satu aplikasi dari konsep dan mekanisme belajar mengajar yang memanfaatkan
teknologi informasi, yang dikenal dengan konsep pembelajaran elektronik atau elearning. Moodle dapat digunakan secara bebas sebagai produk sumber terbuka
(open source) di bawah lisensi GNU. Moodle dapat diinstal di komputer dan
sistem operasi apapun yang bisa menjalankan PHP dan mendukung database
SQL.
Contoh lain yang sering digunakan dalam pembelajaran adalah Blackboard.
Dahulu teknologi pemebelajaran Blackboard adalah belajar menggunakan papan
tulis berwarna hitam dengan kapur tulis, kemudian menggunakan papan tulis
berwarna putih (whiteboard) dengan memaki spidol warna sebagai alat tulis.
Media ini digunakan pengajar untuk menulis, menggambar atau mengoret-oret
matari ajarnya. Sekarang ini Blackboard merupakan teknologi pembelajaran
dengan mengunakan alat-alat online seperti blog, kolaborasi online, yang
memungkinkan komunikasi yang mudah antara dosen dengan mahasiswa atau
sesama mahasiswa dan sebagainya. Blackboard (sebelumnya Sistem Manajemen
Pembelajaran Blackboard), adalah sistem manajeman lingkungan belajar berupa
kursus virtual yang dikembangkan oleh perusahaan Blackboard (Blackboard Inc).
Sistem ini menggunakan program aplikasi (software) berbasis web server. Sistem
ini mempunyai sejumlah fitur manajemen yang arsitekturnya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan. Tujuan utamanya adalah untuk menambahkan elemen online
untuk mengurangi tatap muka. Misalnya, dosen menyediakan bahan kuliah
dalam format pdf, kemudian mahasiswa dapat mendowload, atau mahasiswa
mengumpulkan tugas secara online dan dosen mengoreksi atau menilai tugas
secara online juga.
Butir (5) dan (6) termasuk kompetensi yang tidak dan/atau kurang diakomdasi
dalam pendidikan ilmu perpustakaan, sehingga untuk memahaminya perlu
kolaborasi dengan disainer instruksional dan pakar teknologi media pendidikan.
7
Pustakawan memerlukan kerjama baik dalam bentuk perorangan maupun dalam
bentuk tim. Kolaborasi dapat dilakukan dengan terlibat langsung dalam
implementasi atau terlibat dalam dialog dengan pada desiner instructional dan/atau
technolog untuk pengembangan program layanan sumber-sumber informasi yang
dibutuhkan untuk misi instruksional perpustakaan Perpustakaan Perguruan Tinggi.
4. Prinsip dalam BL
Ada beberpa prinsip dalam BL diantaranya adalah:
(1) Memimpin di kampus sebagai inovator dan agen perubahan.
Pustakawan harus dapat mengambil posisi kepemimpinan sebagai inovator
dan agen perubahan di kampus melalui layanan informasi. Hal ini sangat
penting untuk keberhasilan layanan perpustakaan dalam melahirkan
masyarakat informasi di perguruan tinggi. Membangun perpustakaan yang
memuaskan pengguna dengan menyediakan layanan prima (service excellent).
(2) Berkomitmen mengembangkan inisiasi literasi informasi seluruh kampus.
Literasi informasi bukan sekedar sosialisasi atau pengenalan dan orientasi
perpustakaan. Literasi informasi adalah pendidikan yang menuntut disain
instruksional yang setidak-tidaknya mempunyai tujuan, saran dan/atau
kompetensi yang mau dicapai, metode dan media pembelajaran, bahan atau
materi
ajar,
evaluasi
dan
sbagainya.
Singkatnya,
Literasi
informasi
mengharuskan adanya disain instruksional (syllabus).
(3) Mendisain program pendidikan/pelatihan membantu staf dan pengguna
memanfaatkan perpustakaan secara penuh.
Selain literasi informasi, pustakawan harus memapu mendisasi programprogram pendidikan/pelatihan singkat baik kepada pustakawan (ToT),
terutama kepada pengguna dalam agar dapat memanfaatkan perpustakaan
secara penuh.
(4) Bekerjasama dengan ahli Teknologi Informasi dan pembelajaran.
Tidak mungkin pustakawan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
segala hal, untuk itu ia perlu bekerja sama dengan ahli lain. Seperti telah disebut
di atas bahwa pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi pembelajaran
tidak atau kurang diberikan pada pendidikan ilmu perpustakaan, maka
dipastikan kompetensi pustakawan dalam hal ini dipastikan kurang, maka
untuk memenuhi hal itu perlu bekerjasama dengan ahlinya.
(5) Implementasi perubahan inovatif, kreatif, dan adaptif dalam layanan
perpustakaan dan pendidikan pemakai.
8
Proaktif dalam membuat perubahan inovatis, kreatif dan adaptif dalam layanan
perpustakaan menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perubahan suasana di perpustakaan dapat memotivasi pengguna untuk lebih
memanfaatkan layanan perpustakaan.
(6) Transformasi hubungan dengan dosen (Transform our relationships with
faculty)
Menjalin hubungan yang baik dengan dosen menjadi faktor penting dalam
layanan perpustakaan. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak pustakawan
yang gamang berhubungan dengan dosen program studi, dekan dan/atau
petinggi perguruan tinggi. Komunikasi perlu menjadi perhatian semua
pustakawan. Pada prinsipnya setidaknya ada dua bentuk komunikasi yang
perlu dibangun oleh pustakawan dengan dosen yaitu hal-hal yang bersifat
koordinasi, misalnya dalam pengadaan bahan-bahan perpustakaan, dalam
pengawasan palgiarisme dan/atau masalah terkait hk cipta dan sebagainya.
Komunikasi yang bersifat kolaboratif misalnya dalam melakukan lokakarya
(workshop), melakukan kegiatan literasi informasi kepada mahasiswa,
penyusunan materi pelatihan dan/atau menyususn disain instruksional.
Untuk komunikasi tersebut BL harus mampu menggunakan peralatan Web 2.0
(misalnya, Facebook, Twitter, Flickr, YouTube, dll...) sebagai media.
5. Pengguna Multitasking
Istilah multitasking pada awalnya berkaitan dengan dunia teknologi informasi
(IT). Terminologi multitasking yang sering diterjemahkan sebagai tugas ganda adalah
istilah dalam bidang teknologi informasi yang mengacu kepada sebuah metode di
mana banyak pekerjaan, atau dikenal juga sebagai proses yang diolah dengan
menggunakan sumberdaya CPU yang sama. Multitasking dalam dunia komputer
berarti melakukan pekerjaan yang berbeda secara realtime dan bersamaan dalam satu
perangkat. Sistem multitasking merupakan sistem yang mampu mengerjakan
beberapa pekerjaan sekaligus pada saat yang bersamaan
Selanjutnya terminology multitasking, digunakan untuk berbagai keperluan
termasuk untuk menyatakan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
Sejumlah hasil penelitian menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi
berpengaruh terhadap perilaku manusia termasuk pengguna perpustakaan. Dzubak
(2015) menyatakan, “Multitasking is a term frequently used to describe the activity of
performing multiple tasks during a specified time period”. Pendapat ini menjelaskan bahwa
multitasking adalah beberapa aktivistas yang dapat dilakukan seseorang dalam waktu
tertentu. Pendapat lain yang lebih lugas menyatakan bahwa, “Human multitasking is
9
the performance by an individual of appearing to handle more than one task at the same time
(https://realbalance.com). Pendapat ini menyatakan bahwa manusia atau orang
multitasking adalah kinerja seseorang yang mampu menghandel atau melakukan lebih
dari satu tugas atau perkerjaan dalam waktu yang sama. Pendapat yang hampir sama
menjelaskan bahwa, “Human multitasking is an apparent human ability to perform more
than one task, or activity, over a short period” (https://en.wikipedia.org). Pendapat ini
menjelaskan bahwa human multitasking adalah manusia yang dapat atau mampu
melakukan lebih dari satu tugas atau aktivitas dalam waktu yang singkat. Contoh,
seseorang berbicara lewat phonsel, sambil mengetik/menulis di e-mail dan sedang
membaca buku juga. Seseorang membaca di perpustakaan sambil mendengar musik
dengan headset dari handphone di kepalanya.
Studi tentang multitasking pengguna perpustakaan menjadi wilayah penelitian
yang penting dalam kepustakawanan. Penelitian Spink, et al tahun 2002 tentang
perilaku multitasking pada perpustakaan perguruan tinggi menunjukkan bahwa 13
(13, 6%) dari 95 mahasiswa pengguna perpustakaan yang diwawancarai/diinterview
menyatakan bahwa mereka melakukan lebih dari satu tugas secara bersamaan ketika
melakukan pencarian informasi di perpustakaan. Sembilan dari 13 pengguna
melakukan dua tugas pencarian informasi dalam waktu yang bersamaan dan empat
dari 13 pengguna melakukan tiga tugas dalam waktu yang bersamaan. Lima
pengguna perpustakaan multitasking mencari informasi tentang tugas informasi yang
terkait atau saling berhubungan, sedangkan delapan pengguna multitasking
perpustakaan mencari informasi tentang tugas informasi yang tidak terkait atau tidak
berhubungan.
Observasi yang pernah dilakukan oleh sekelompok mahasiswa (tugas
kelompok) Semester V Program Studi Ilmu Perpustakaan USU di ruanga baca Lantai3 dan 4 Perpustakaan selama 1 (satu) hari menyatakan dari sekitar 332 orang
mahasiswa yang sedang membaca, ada 189 orang yang menggunakan gadget
(utamanya handphone) pada saat membaca. Dari sekitar 32 pengguna layanan digital
di lantai-1 Gedung Perpustakaan USU, seluruhnya melakukan lebih dari satu
pencarian informasi dalam waktu yang sama pada satu terminal komputer yang
sama.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengguna perpustakaan perguruan tinggi
sekarang ini dan di masa mendakang cenderung adalah pengguna multitasking. Jika
keadaan ini dikaitkan dengan pendapat Prensky (2001) yang menyatakan bahwa
sivitas akademika di perguruan tinggi di masa mendatang terdiri dari Digital Natives
dan Digital Immigrants. Digital Natives adalah generasi manusia yang lahir di era
digital yang diasumsikan lahir pada tahu 1994 ke atas (saat internet mulai beroperasi)
10
dan generasi ini dipandang lebih familiar dengan teknologi informasi dan bahanbahan digital. Generasi yang lahi di bawah tahun 1994 disebut Digital Immigrants yaitu
generasi manusi yang migrasi ke era digital, bahkan ada yang menyebut mereka
dipaksa harus menggunakan teknologi informasi dan sumber-sumber digital.
Mahasiswa sebagai core bisnis layanan perpustakaan perguruan tinggi,
sekarang ini dominan adalah generasi digital natives yang tentu akrap dengan
peralatan teknologi informasi. Mereka yang akrap dengan peralatan teknologi
informasi cenderung menjadi manusia multitasking. Pustakawan yang akan melayani
mereka tentu juga adalah pustakawan yang multitasking. Pustakawan multitasking
adalah pustakawan yang memiliki berbagai kemampuan dan keterampilan untuk
menjalankan perannya. Untuk itu, konsep Blended Librarianship sangat penting
dihayati dan dipraktikkan di perpustakaan perguruan tinggi.
Daftar Bacaan:
Dzubak, Cora M. 2015. Multitasking: The good, the bad, and the unknown.
https://www.myatp.org/wp-content/uploads/2015/04/Synergy-Vol-2Dzubak2.pdf. Diakses 10 Ferbuari 2017.
Corrall, Sheila. 2010. "Educating the academic librarian as a blended professional: a
review and case study", Library Management, Vol. 31 Iss 8/9 pp. 567 - 593
Junco, Reynol and Shelia R. Cotton. 2012. “The relationship between multitasking
and academic performance”. Computers & Education 59 (2012) 505
McDonald, Carrie A. 2011. The Library Transformed into a Learning Commons:
a Look at the Library of the Future. Master of Science in Library Science and
Information Services in the Department of Educational Leadership and
Human Development University of Central Missouri.
http://centralspace.ucmo.edu/bitstream/handle/10768/42/CMcDonald_Lib
raryScience.pdf?sequence= . Diakses 10 Februari 2017.
Prensky, Marc. 2001. Digital Natives, Digital Immigrants. From On the Horizon M
CB University Press, Vol. 9 No. 5, October 2001.
http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20%20Digital%20Natives,%20Digital%20Immigrants%20-%20Part1.pdf. Diakses
22 November 2007
Shank, John D. and Steven Bell. 2004. “The blended librarian: A blueprint for
redefining the teaching and learning role of academic librarians”, College &
Research Libraries News, 65 (7), 372-375, 2004.
Spink, Amanda. 2004,"Multitasking information behavior and information task
switching: an exploratorystudy", Journal of Documentation, Vol. 60 Iss 4 pp.
336 – 351.
11
Jonner Hasugian12
1. Pendahuluan
Blended Librarianship (BL) merupakan terminologi baru yang mucul dalam
kepustakawanan di Perpustakaan Perguruan Tinggi. BL adalah sekaligus sebuah
konsep kepustakawanan yang memadukan layanan tradisional (kovensional) dan
layanan baru (online) di Perpustakaan Perguruan tinggi untuk mendukung kegiatan
akademik yang semakin berkembang. BL sebagai konsep kepustakawanan di
perpustakaan perguruan tinggi pertama sekali dikemukakan oleh John D. Shank dan
Steven Bell pada tahun 2004. Konsep ini dipaparkan dalam atikelnya yang berjulul:
“The blended librarian: A blueprint for redefining the teaching and learning role of academic
librarians”, yang dipublikasikan pada College & Research Libraries News, 65 (7), 372375 tahun 2004.
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi informasi merubah sejumlah kegiatan
akademik di perguruan tinggi. Perubahan yang terjadi dalam berbagai kegiatan
akademik terutama pada kegiatan belajar mengajar dan kegiatan penelitian,
mendorong pustakawan perguruan tinggi berubah mengikuti perubahan yang
terjadi. Di awal tahun 2000-an ada dua hal yang berkembang dalam kegiatan
akademik di perguruan tinggi yaitu pembelajaran online dan penelitian online. Di
sejumlah Perguruan tinggi di negara maju seperti halnya di Eropah dan Amerika
Serikat, untuk matakuliah tertentu komunikasi dosen dengan mahasiswa dilakukan
secara online, materi kuliah disampaikan dengan online, tugas-tugas dikerjakan
dengan online bahkan ujian ada yang dilakukan secara online. Dalam perkembangan
selanjutnya, muncul konsep e-learning, dimana pembelajaran dimungkinkan
berlangsung dilakukan secara daring (dalam jaringan online) menggunakan media
elektronik khususnya internet. Mahasiswa mendaftar secara online, materi kuliah
disampaikan secara online, tutorial dilakukan secara online, ujian dilakukan secara
online, nilai disampaikan secara online dan semua komunikasi mahasiswa dengan
dosen dilakukan secara online. Konsep e-learning menjadikan pembelajaran dapat
dilakukan tanpa melihat jarak dan lokasi mahasiswa dan dosen. Selain itu, kegiatan
penelitian sudah banyak yang dilakukan secara online, kuesioner disebarkan secara
1
2
Dosen pada Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Budaya USU.
Kepala Perpustakaan USU.
1
online, bahkan ada yang langsung diisi secara online dan laporannya dipublikasi
secara online juga. Singkatnya, kegiatan akademik berubah ke arah digital.
Shank dan Bell (2004) menyatakan bahwa BL memimpikan ke depan bahwa
pustakawan selain sebagai pengelola dan pelayan informasi, juga dapat berperan
sebagai pendidik yang mampu mendisain pembelajaran berkaitan dengan pelayanan
informaasi di era informasi digital (the role of librarian as educator in the digital
information age). BL memandang bahwa di masa mendatang pustakawan akan lebih
dominan berhadapan dengan komunitas pengguna online (online community),
sekalipun tetap harus mengelola bahan-bahan tercetak.
Perubahan yang terjadi di era tahun 1960-an, ketika automasi mulai
diaplikasikan di perpustakaan, sangat berbeda dengan perubahan yang terjadi di
awal tahun 1990-an, khususnya ketika internet mulai muncul pada tahun 1994.
Perubahan itu semakin kuat ketika sumber daya informasi semakin tersedia dalam
format digital (e-journal, e-books dsb) di awal tahun 2000-an. Jumlah dan jenis sumber
daya informasi digital terus berkembang biak atau berlipat ganda, sehingga ada
kalanya semakin sulit ditemukan. Pustakawan telah berupaya membantu pengguna
untuk dapat menemukan informasi yang relevan dengan keperluannya melalui
pendidikan literasi informasi. Akan tetapi ada kalanya pendidikan literasi yang
disampaikan kurang dan/ataupun tidak mencapai harapan, karena disain
instruksional (materi, metode penyampaian, media pembelajaran, rumusan tujuan)
yang kurang tepat. Dalam konsep BL, pustakawan perguruan tinggi seharusnya
memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang disain instruksional agar dapat
mendisain berbagai program pembelajaran dan/atuau literasi berkaitan dengan
perubahan yang terjadi.
Perubahan yang terjadi sekarang ini semakin kuat dan bergerak secara linear
ke suatu titik yang tidak dapat diprediksi akhirnya. Perubahan ini terasa lebih
dominan di Perpustakaan Perguruan Tinggi di banding dengan perpustakaan
lainnya, dan perubahan itu mendorong kepustakawanan pada perpustakaan
perguruan tinggi terus berkembang dan berubah dengan kompetensi dan/atau
keterampilan baru yang tidak hanya berasal dari ilmu perpustakaan, akan tetapi
menuntut keterampilan (skill) dari bidang ilmu yang lain. Dalam konsep BL,
diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang dapat mendorong pustakawan agar
juga dapat berperan sebagai pendidik, tanpa harus berganti profesi sebagai dosen
atau tenaga pengajar utamanya sebagai pendidik informasi, atau menjadi mitra
pendidikan yaitu membantu peran instruksional yang diemban oleh dosen.
2
2. Apakah Blended Librarianship?
Shank dan Bell (2004) mendefinisikan blended librarian sebagai berikut: “An
academic librarian who combines the traditional skill set of librarianship with the
information technologist’s hardware/software skills, and the instructional or educational
designer’s ability to apply technology appropriately in the teaching-learning process”. Definisi
di atas setidak-tidaknya menjelaskan bahwa BL adalah pustakawan pada
perpustakaan perguruan tinggi harus mampu mengkobinasikan 3 (tiga) hal yaitu:
(1) Keterampilan (skill) kepustakawan tradisional (the traditional skill set of
librarianship)
(2) Keterampilan teknologi informasi baik hardware/software (the information
technologist’s hardware/software skills)
(3) Kemampuan mendisain instruksinonal atau pembelajaran untuk menerapkan
teknologi yang tepat dalam proses belajar mengajar (the instructional or
educational designer’s ability to apply technology appropriately in the teaching-learning
process)
Pendapat lain menyatakan bahwa BL adalah:
“Tech-intensive reference and instruction librarians are concerned with books,
emerging technologies, e-learning, instructional design and web design, usability,
blogging, library trend spotting, digital media, open access, innovation, social web
tools, participatory librarianship, networked learners, online learning, etc.
(http//:blendedlibrarian.org).
Pendapat ini menjelaskan bawha BL adalah Tech-intensive reference dan
pustakawan pengajar (instruction librarians) yang penuh perhatian dengan bukubuku, teknologi terkini, e-learning, disain instrusional, disain web, pemanfaatan, blog,
library trend spotting, media digital, akses terbuka, inovasi, peralatan media/web
sosial, kepustakawanan partisipatif, peserta didik jaringan, pembelajaran online, dan
sebagainya).
Selanjutnya Carrie A. McDonald (2011) menyatakan bahwa BL adalah
“A blended librarian seamlessly combines 21st century skills, instructional research and
design, and technological skills into their existing library program. Through these skills, the
librarian is able to make more and better connections with faculty, students, and patrons”.
Pendapat McDonald di atas menyatakan bahwa BL sebenarnya adalah
kombinasi ketampilan di abad 21, desain dan penelitian instruksional dan
keterampilan teknologi ke dalam program perpustakaan yang sudah ada
sebelumnya. Melalui keterampilan ini, pustakawan mampu membuat lebih banyak
dan lebih baik hubungannya dengan dosen, mahasiswa, dan pelanggan lainnya.
3
Dari pendapat di atas dapat diringkaskan bahwa BL adalah seseorang selalu
bersama
perpustakaan,
teknologi
informasi
dan
keterampilan
mendisain
isstruksional (A blended librarian is some one with library, information technology,
and instructional design skills)
3. BL adalah Pustakawan Akademik
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa BL adalah “professional bidang
akademik” yang memberikan layanan sekaligus memiliki ketrampilan dan/atau
kemampun untuk mendukung lembaganya dalam melaksanakan pendidikan dan
pembelajaran. Berkaitan dengan definisi Shank dan Bell dan McDonald di atas,
setidak-tidaknya ada 6 (enam) kata kunci untuk memahami BL yaitu:
(1) Academic librarian yaitu pustakawan yang tidak terpisahkan dari kegiatan
akademik. Siapakah Academic librarian?. Mereka adalah pustakawan yang bekerja di
Perpustakaan Perguruan Tinggi yang memberikan layanan kepada stakeholders
perguruan tinggi, utamanya kepada mahasiswa, tenaga pendidik (dosen), tenaga
kependidikan, peneliti, pimpinan fakultas/universitas, pengurus yayasan dan
sebagainya. Memiliki pengetahuan dan keterampilan kepustakawanan, mampu
bermitra dengan stakeholder dan mampu mampu berjejaring dan berkolaborasi
dengan pustakawan lain. Untuk perguruan tinggi di Indonesia sekarang ini, Academic
Librarians diharapkan memiliki pemahaman akan sejumlah isu, beberapa diantaranya
adalah seperti berikut:
(a) Isu Kurikulum
Academic Librarians memiliki kemauan yang selalu ingin memahami persoalan
persoalan yang berkembang dalam dunia akademik. Misalnya perubahan
kurikulum yang sedang terjadi sekarang ini dalam dunia pendidikan tinggi dari
kurikulum berbasis kompetensi (KBP) dengan kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI).
(b) Isu Research University
Konsekuensi logis dari visi dari sejumlah perguruan tinggi yang ingin menjadi
research university, maka Perpustakaan harus mengakselerasi dirinya bergerak
dari tahap penyedia informasi yang sering berperan sebagai gudang buku (store
house period) ke tahap pendidikan dan penelitian (educational and research
period). Pada tahap tersebut, peran Perpustakaan tidak hanya sebatas sebagai
tempat simpan pinjam buku saja. Namun perpustakaan berperan sebagai katalis
bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Berbagai kegiatan dapat dilakukan, misalnya
Perpustakaan dapat membentuk forum-forum diskusi yang bermuara pada
4
pemikiran-pemikiran kritis dan membebaskan para penggunanya dari literasi
informasi. Mengacu pada pentahapan tersebut maka Perpustakaan diharapkan
akan bertransformasi menjadi perpustakaan riset. Untuk melangkah ke tahap
pendidikan dan penelitian (perpustakaan riset), maka ada beberapa hal yang
harus dipersiapkan oleh Perpustakaan. Jika merujuk pada definisi di situs Online
Dictionary of Library and Information Science (ODLIS) maka pengertian
perpustakaan riset (research library) adalah sebagai berikut “A library containing
a comprehensive collection of materials in a specific field, academic discipline, or group
of disciplines, including primary and secondary sources, selected to meet the information
needs of serious researchers”, yaitu perpustakaan yang memiliki koleksi yang
komprehensif yang terdiri dari bahan-bahan perpustakaan dalam bidang
tertentu, disiplin akademik, atau kelompok disiplin, termasuk sumber-sumber
primer dan sekunder, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan informasi dari
peneliti yang serius".
(c) Isu Akreditasi Program Studi dan Institusi.
Persoalan akademik lainnya misalnya, Akreditasi Program Studi meminta 400
judul buku teks per program studi (S1) dengan publikasi termutakhir (10 tahun
terkahir), memiliki lebih dari ( ≥ 3) judul jurnal nasional terakreditasi DIKTI,
yang nomornya lengkap per Program Studi, memiliki lebih dari (≥) 2 judul jurnal
internasional, yang nomornya lengkap per program studi, memiliki jumlah
prosiding seminar lebih dari ( ≥) 9 judul, ada beberapa perpustakaan di luar PT
yang dapat diakses dan sangat baik fasilitasnya dan sebagainya.
(d) Isu pemeringkatan perguruan tinggi
Sekarang ini isu pemeringkatan pergruan tinggi sedang hangat dibicarakan.
Pada awlanya pemeringkatan perguruan tinggi yang paling terkenal adalah
webometrics. Bagi beberapa Perguruan Tinggi tertentu pengumuman dari
webometrics (biasanya setiap bulan Agustus) sangat ditunggu-tunggu
kedatangannya karena mungkin telah dituangkan sebagai salah satu capaian
visi/misi Perguruan Tinggi tersebut, adapula Perguruan Tinggi yang
memproklamirkan peringkat Webometrics ini sebagai Brand bahwa kampus
tersebut sudah bertaraf World Class University, pada hal belum tentu. Belakangan
ini pemeringkatan perguruan tinggi ini berkembang menjadi beberapa versi,
ada versi Dikti, dan ada versi dari asosiasi tertentu. Penilaiannya ada yang
melibatkan perpustakaan dan ada yang tidak. Sekarang ini pemeringkatan
perguruan tinggi yang dilakukan oleh Dikti Berdasarkan 4 aspek yaitu kualitas
SDM, kualitas manajemen, kualitas kegiatan mahasiswa, dan kualitas penelitian
dan publikasi.
5
(2) Traditional skill set of librarianship yaitu pustakawan yang memiliki keterampilan
kepustakawanan tradisinonal. Keterampilan kepustakawanan tradisional yang
dimaksud dalam hal ini adalah sejumlah pengetahuan dan keterampilan dasar
perpustakaan yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan. Keterampilan tersebut
mencakup: pengelohan koleksi seperti cataloguing and classification, indexing,
abctracting dan sebagainya. Pelayanan perpustakaan seperti sirkulasi, referensi
dan sebagainya. Pengetahuan dasar tentang teknis teknologi informasi seperti
otomasi, jaringan, internet dan sebagainya. Pemahaman tentang pengguna
misalnya pendidikan pengguna, literasi informasi dan sebagainya. Penelitian
perpustakaan misalnya studi kepusasan pengguna, pengukuran kinerja
perpustakaan seperti Library visid pe Capita, Sirculation per Capita,
Bibliometrika, Informetrika dan penelitian lainnya berkaitan dengan pengelolalan
perpustakaan.
(3) Hardware skills yaitu pustakawan yang memiliki keterampilan tentang perangkat
keras komputer dan jaringan (hardware skills) terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan
sumber
daya
informasi.
Misalnya,
pengetahuan
tentang
perkembangan hardware, mengenal dan memahami berbagai jenis hardware untuk
perpustakaan, mengenal perangkat lain terkait dengan hardware perpustakaan.
(4) Software skills and knowledge yaitu pustakawan yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam bidang software khususnya untuk mengoperasikan program
aplikasi berkaitan dengan pengelolaan informasi di perpustakaan. Pengetahuan
maksudnya adalah mengetahui atau mengenal berbagai software perpustakaan,
berbagai aplikasi-aplikasi untuk perpustakaan dan pengetahuan tentang media.
Ketrampilan adalah mampu menggunakan aplikasi perpustakaan yang ada, atau
menggunakan media social. Software untuk penulisan misalnya MS-Word, Excel,
dan sebagainya. Software untuk penelitian, misalnya: SPSS, NVIVO, ATLAS.ti,
SEM, Lisrel dan sebagainya.
(5) Kemampuan untuk disain instruksional (instructional design) yaitu keseluruhan
proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik
mengajar dan materi pembelajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket pembelajaran, kegiatan
mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar. Misalnya,
mendisain literasi informasi untuk akses e-journal atau e-books, dan sebagainya.
(6) Mengetahui berbagai teknologi untuk pengajaran dan proses pembelajaran
(technologies for teaching and learning process), misalnya penggunaan teknologi
media untuk proses pembelajaran. Termasuk media akses ke sumber-sumber
informasi, media pembelajaran. Media teknologi yang umum digunakan untuk
6
pengajaran atau penyampaian bahan ajar, misalnya PowerPoint, Prezi (the
presentation software that uses motion, zoom, and spatial relationships to bring your ideas
to life and make you a great presenter), dan lainnya.
Teknologi lain yang sekarang ini digunakan untuk pendidikan khususnya belajar
berbasis internet adalah Moodle. Moodle adalah singkatan dari Modular ObjectOriented Dynamic Learning Environment yaitu adalah paket perangkat lunak yang
diproduksi untuk kegiatan belajar berbasis internet dan situs web yang
menggunakan prinsip social constructionist pedagogy. Moodle merupakan salah
satu aplikasi dari konsep dan mekanisme belajar mengajar yang memanfaatkan
teknologi informasi, yang dikenal dengan konsep pembelajaran elektronik atau elearning. Moodle dapat digunakan secara bebas sebagai produk sumber terbuka
(open source) di bawah lisensi GNU. Moodle dapat diinstal di komputer dan
sistem operasi apapun yang bisa menjalankan PHP dan mendukung database
SQL.
Contoh lain yang sering digunakan dalam pembelajaran adalah Blackboard.
Dahulu teknologi pemebelajaran Blackboard adalah belajar menggunakan papan
tulis berwarna hitam dengan kapur tulis, kemudian menggunakan papan tulis
berwarna putih (whiteboard) dengan memaki spidol warna sebagai alat tulis.
Media ini digunakan pengajar untuk menulis, menggambar atau mengoret-oret
matari ajarnya. Sekarang ini Blackboard merupakan teknologi pembelajaran
dengan mengunakan alat-alat online seperti blog, kolaborasi online, yang
memungkinkan komunikasi yang mudah antara dosen dengan mahasiswa atau
sesama mahasiswa dan sebagainya. Blackboard (sebelumnya Sistem Manajemen
Pembelajaran Blackboard), adalah sistem manajeman lingkungan belajar berupa
kursus virtual yang dikembangkan oleh perusahaan Blackboard (Blackboard Inc).
Sistem ini menggunakan program aplikasi (software) berbasis web server. Sistem
ini mempunyai sejumlah fitur manajemen yang arsitekturnya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan. Tujuan utamanya adalah untuk menambahkan elemen online
untuk mengurangi tatap muka. Misalnya, dosen menyediakan bahan kuliah
dalam format pdf, kemudian mahasiswa dapat mendowload, atau mahasiswa
mengumpulkan tugas secara online dan dosen mengoreksi atau menilai tugas
secara online juga.
Butir (5) dan (6) termasuk kompetensi yang tidak dan/atau kurang diakomdasi
dalam pendidikan ilmu perpustakaan, sehingga untuk memahaminya perlu
kolaborasi dengan disainer instruksional dan pakar teknologi media pendidikan.
7
Pustakawan memerlukan kerjama baik dalam bentuk perorangan maupun dalam
bentuk tim. Kolaborasi dapat dilakukan dengan terlibat langsung dalam
implementasi atau terlibat dalam dialog dengan pada desiner instructional dan/atau
technolog untuk pengembangan program layanan sumber-sumber informasi yang
dibutuhkan untuk misi instruksional perpustakaan Perpustakaan Perguruan Tinggi.
4. Prinsip dalam BL
Ada beberpa prinsip dalam BL diantaranya adalah:
(1) Memimpin di kampus sebagai inovator dan agen perubahan.
Pustakawan harus dapat mengambil posisi kepemimpinan sebagai inovator
dan agen perubahan di kampus melalui layanan informasi. Hal ini sangat
penting untuk keberhasilan layanan perpustakaan dalam melahirkan
masyarakat informasi di perguruan tinggi. Membangun perpustakaan yang
memuaskan pengguna dengan menyediakan layanan prima (service excellent).
(2) Berkomitmen mengembangkan inisiasi literasi informasi seluruh kampus.
Literasi informasi bukan sekedar sosialisasi atau pengenalan dan orientasi
perpustakaan. Literasi informasi adalah pendidikan yang menuntut disain
instruksional yang setidak-tidaknya mempunyai tujuan, saran dan/atau
kompetensi yang mau dicapai, metode dan media pembelajaran, bahan atau
materi
ajar,
evaluasi
dan
sbagainya.
Singkatnya,
Literasi
informasi
mengharuskan adanya disain instruksional (syllabus).
(3) Mendisain program pendidikan/pelatihan membantu staf dan pengguna
memanfaatkan perpustakaan secara penuh.
Selain literasi informasi, pustakawan harus memapu mendisasi programprogram pendidikan/pelatihan singkat baik kepada pustakawan (ToT),
terutama kepada pengguna dalam agar dapat memanfaatkan perpustakaan
secara penuh.
(4) Bekerjasama dengan ahli Teknologi Informasi dan pembelajaran.
Tidak mungkin pustakawan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
segala hal, untuk itu ia perlu bekerja sama dengan ahli lain. Seperti telah disebut
di atas bahwa pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi pembelajaran
tidak atau kurang diberikan pada pendidikan ilmu perpustakaan, maka
dipastikan kompetensi pustakawan dalam hal ini dipastikan kurang, maka
untuk memenuhi hal itu perlu bekerjasama dengan ahlinya.
(5) Implementasi perubahan inovatif, kreatif, dan adaptif dalam layanan
perpustakaan dan pendidikan pemakai.
8
Proaktif dalam membuat perubahan inovatis, kreatif dan adaptif dalam layanan
perpustakaan menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perubahan suasana di perpustakaan dapat memotivasi pengguna untuk lebih
memanfaatkan layanan perpustakaan.
(6) Transformasi hubungan dengan dosen (Transform our relationships with
faculty)
Menjalin hubungan yang baik dengan dosen menjadi faktor penting dalam
layanan perpustakaan. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak pustakawan
yang gamang berhubungan dengan dosen program studi, dekan dan/atau
petinggi perguruan tinggi. Komunikasi perlu menjadi perhatian semua
pustakawan. Pada prinsipnya setidaknya ada dua bentuk komunikasi yang
perlu dibangun oleh pustakawan dengan dosen yaitu hal-hal yang bersifat
koordinasi, misalnya dalam pengadaan bahan-bahan perpustakaan, dalam
pengawasan palgiarisme dan/atau masalah terkait hk cipta dan sebagainya.
Komunikasi yang bersifat kolaboratif misalnya dalam melakukan lokakarya
(workshop), melakukan kegiatan literasi informasi kepada mahasiswa,
penyusunan materi pelatihan dan/atau menyususn disain instruksional.
Untuk komunikasi tersebut BL harus mampu menggunakan peralatan Web 2.0
(misalnya, Facebook, Twitter, Flickr, YouTube, dll...) sebagai media.
5. Pengguna Multitasking
Istilah multitasking pada awalnya berkaitan dengan dunia teknologi informasi
(IT). Terminologi multitasking yang sering diterjemahkan sebagai tugas ganda adalah
istilah dalam bidang teknologi informasi yang mengacu kepada sebuah metode di
mana banyak pekerjaan, atau dikenal juga sebagai proses yang diolah dengan
menggunakan sumberdaya CPU yang sama. Multitasking dalam dunia komputer
berarti melakukan pekerjaan yang berbeda secara realtime dan bersamaan dalam satu
perangkat. Sistem multitasking merupakan sistem yang mampu mengerjakan
beberapa pekerjaan sekaligus pada saat yang bersamaan
Selanjutnya terminology multitasking, digunakan untuk berbagai keperluan
termasuk untuk menyatakan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
Sejumlah hasil penelitian menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi
berpengaruh terhadap perilaku manusia termasuk pengguna perpustakaan. Dzubak
(2015) menyatakan, “Multitasking is a term frequently used to describe the activity of
performing multiple tasks during a specified time period”. Pendapat ini menjelaskan bahwa
multitasking adalah beberapa aktivistas yang dapat dilakukan seseorang dalam waktu
tertentu. Pendapat lain yang lebih lugas menyatakan bahwa, “Human multitasking is
9
the performance by an individual of appearing to handle more than one task at the same time
(https://realbalance.com). Pendapat ini menyatakan bahwa manusia atau orang
multitasking adalah kinerja seseorang yang mampu menghandel atau melakukan lebih
dari satu tugas atau perkerjaan dalam waktu yang sama. Pendapat yang hampir sama
menjelaskan bahwa, “Human multitasking is an apparent human ability to perform more
than one task, or activity, over a short period” (https://en.wikipedia.org). Pendapat ini
menjelaskan bahwa human multitasking adalah manusia yang dapat atau mampu
melakukan lebih dari satu tugas atau aktivitas dalam waktu yang singkat. Contoh,
seseorang berbicara lewat phonsel, sambil mengetik/menulis di e-mail dan sedang
membaca buku juga. Seseorang membaca di perpustakaan sambil mendengar musik
dengan headset dari handphone di kepalanya.
Studi tentang multitasking pengguna perpustakaan menjadi wilayah penelitian
yang penting dalam kepustakawanan. Penelitian Spink, et al tahun 2002 tentang
perilaku multitasking pada perpustakaan perguruan tinggi menunjukkan bahwa 13
(13, 6%) dari 95 mahasiswa pengguna perpustakaan yang diwawancarai/diinterview
menyatakan bahwa mereka melakukan lebih dari satu tugas secara bersamaan ketika
melakukan pencarian informasi di perpustakaan. Sembilan dari 13 pengguna
melakukan dua tugas pencarian informasi dalam waktu yang bersamaan dan empat
dari 13 pengguna melakukan tiga tugas dalam waktu yang bersamaan. Lima
pengguna perpustakaan multitasking mencari informasi tentang tugas informasi yang
terkait atau saling berhubungan, sedangkan delapan pengguna multitasking
perpustakaan mencari informasi tentang tugas informasi yang tidak terkait atau tidak
berhubungan.
Observasi yang pernah dilakukan oleh sekelompok mahasiswa (tugas
kelompok) Semester V Program Studi Ilmu Perpustakaan USU di ruanga baca Lantai3 dan 4 Perpustakaan selama 1 (satu) hari menyatakan dari sekitar 332 orang
mahasiswa yang sedang membaca, ada 189 orang yang menggunakan gadget
(utamanya handphone) pada saat membaca. Dari sekitar 32 pengguna layanan digital
di lantai-1 Gedung Perpustakaan USU, seluruhnya melakukan lebih dari satu
pencarian informasi dalam waktu yang sama pada satu terminal komputer yang
sama.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengguna perpustakaan perguruan tinggi
sekarang ini dan di masa mendakang cenderung adalah pengguna multitasking. Jika
keadaan ini dikaitkan dengan pendapat Prensky (2001) yang menyatakan bahwa
sivitas akademika di perguruan tinggi di masa mendatang terdiri dari Digital Natives
dan Digital Immigrants. Digital Natives adalah generasi manusia yang lahir di era
digital yang diasumsikan lahir pada tahu 1994 ke atas (saat internet mulai beroperasi)
10
dan generasi ini dipandang lebih familiar dengan teknologi informasi dan bahanbahan digital. Generasi yang lahi di bawah tahun 1994 disebut Digital Immigrants yaitu
generasi manusi yang migrasi ke era digital, bahkan ada yang menyebut mereka
dipaksa harus menggunakan teknologi informasi dan sumber-sumber digital.
Mahasiswa sebagai core bisnis layanan perpustakaan perguruan tinggi,
sekarang ini dominan adalah generasi digital natives yang tentu akrap dengan
peralatan teknologi informasi. Mereka yang akrap dengan peralatan teknologi
informasi cenderung menjadi manusia multitasking. Pustakawan yang akan melayani
mereka tentu juga adalah pustakawan yang multitasking. Pustakawan multitasking
adalah pustakawan yang memiliki berbagai kemampuan dan keterampilan untuk
menjalankan perannya. Untuk itu, konsep Blended Librarianship sangat penting
dihayati dan dipraktikkan di perpustakaan perguruan tinggi.
Daftar Bacaan:
Dzubak, Cora M. 2015. Multitasking: The good, the bad, and the unknown.
https://www.myatp.org/wp-content/uploads/2015/04/Synergy-Vol-2Dzubak2.pdf. Diakses 10 Ferbuari 2017.
Corrall, Sheila. 2010. "Educating the academic librarian as a blended professional: a
review and case study", Library Management, Vol. 31 Iss 8/9 pp. 567 - 593
Junco, Reynol and Shelia R. Cotton. 2012. “The relationship between multitasking
and academic performance”. Computers & Education 59 (2012) 505
McDonald, Carrie A. 2011. The Library Transformed into a Learning Commons:
a Look at the Library of the Future. Master of Science in Library Science and
Information Services in the Department of Educational Leadership and
Human Development University of Central Missouri.
http://centralspace.ucmo.edu/bitstream/handle/10768/42/CMcDonald_Lib
raryScience.pdf?sequence= . Diakses 10 Februari 2017.
Prensky, Marc. 2001. Digital Natives, Digital Immigrants. From On the Horizon M
CB University Press, Vol. 9 No. 5, October 2001.
http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20%20Digital%20Natives,%20Digital%20Immigrants%20-%20Part1.pdf. Diakses
22 November 2007
Shank, John D. and Steven Bell. 2004. “The blended librarian: A blueprint for
redefining the teaching and learning role of academic librarians”, College &
Research Libraries News, 65 (7), 372-375, 2004.
Spink, Amanda. 2004,"Multitasking information behavior and information task
switching: an exploratorystudy", Journal of Documentation, Vol. 60 Iss 4 pp.
336 – 351.
11