Hubungan Personal Hygiene Dan Tingkat Kecukupan Makanan Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasardi Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecacingan
Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik yang diakibatkan oleh
cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti
kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan
masyarakat (Zulkoni, 2010). Infeksi kecacingan disebabkan oleh nematoda usus yang
ditularkan melalui tanah atau disebut “soil transmitted helminths” (Gandahusada,
2004).

2.2. Infeksi Kecacingan pada Manusia
Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus yang dapat
mengakibatkan masalah kesehatan. Di antara nematoda usus terdapat sejumlah
spesies yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helmints), di antaranya yang
terpenting

adalah

cacing


gelang

(Ascaris

lumbricoides),

cacing

tambang

(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris
trichiura) yang banyak ditemukan pada daerah tropis seperti Indonesia yang kondisi
tanahnya lembab merupakan tempat ideal untuk telur cacing (Depkes, 2007).
Laporan WHO tahun 2009 mengatakan bahwa infeksi Ascaris lumbricoides mencapai
1 milyar orang, Trichuris trichiura 795 juta orang dan cacing tambang (Ancylostama
duodenale dan Necator americanus) 740 juta orang. Penelitian Mardiana (2008),

bahwa prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar di DKI Jakarta paling tinggi
dijumpai di Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
2.2.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Diperkirakan sebanyak 807-1.221 juta orang di dunia terinfeksi Ascaris
lumbricoides, cacing ini sering dijumpai pada negara tropis dan subtropis karena
kondisinya

yang

hangat

dan

lembab

memungkinkan

perkembangan

dan

bertahannyatelur-telur Ascaris lumbricoides. Infeksi terbesar terjadi di Asia (>73%),
Afrika (12%) dan Amerika Latin (8%) (CDCP, 2010).

Ascaris lumbricoides hidup dalam usus dan telurnya terdapat pada feses orang
yang terinfeksi. Jika orang yang terinfeksi melakukan buang air besar sembarangan
maka telur akan berada di tanah, lalu telur akan dibuahi dan tumbuh menjadi bentuk
infektif. Telur yang tertelan menimbulkan penyakit ascariasis, hal ini dapat terjadi
apabila jari atau tangan yang mengandung telur dimasukkan ke dalam mulut, akibat
konsumsi sayuran atau buah yang tidak dicuci/tidak dibuang kulitnya dan makanan
yang tidak dimasak dengan cara yang benar (CDCP, 2010).
Semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat maka akan semakin
berpeluang untuk mengalami infeksi kecacingan. Hal ini dikaitkan dengan
kemampuan dalam menjaga personal hygiene dan sanitasi lingkungan tempat
tinggal(Hotez, 2008).
2.2.1.1. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing gelang dewasa berbentuk silindris memanjang, berwarna krem/merah
muda keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-35

cm berdiameter 3-6 mm dan cacing jantan 15-31 cm berdiameter 2,4 mm. Pada mulut
cacing gelang terdapat tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga dan bagian tengahnya
terdapat rongga mulut (Ideham dkk, 2007). Seekor cacing gelang betina dapat
bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir perhari pada suhu 25-300°C dan tumbuh
menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu

(Gandahusada, 2004).
Telur cacing ini ditemukan dalam dua bentuk, dibuahi (fertilized) dan tidak
dibuahi (unfertilized). Telur yang dibuahi berbentuk bulat lonjong, ukuran panjang
45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron sedangkan telur yang tidak dibuahi
mempunyai ukuran panjang 88-94 mikron dan lebarnya 44 mikron. Telur unfertile
dikeluarkan oleh cacing betina yang belum mengalami fertilisasi (Ideham dkk, 2007).
Siklus hidup Ascaris lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh
cacing betina dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Dengan kondisi yang
menguntungkan, embrio akan berubah di dalam telur menjadi larva yang
infektif(Soedarmo, 2008). Larva menetas di usus halus kemudian menembus dinding
usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung lalu
mengikuti aliran darah ke paru-paru dan menembus dinding alveolus untuk masuk ke
rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus (Depkes,
2007). Dari trachea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
pada faring. Penderita akan batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke
dalam esophagus, lalu menuju usus halus dan berubah manjadi cacing dewasa. Sejak

telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2
(dua) bulan (Gandahusada, 2004).
2.2.1.2. Patologi, Gejala Klinis dan Diagnosis

Gangguan yang disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru berupa
perdarahan pada dinding alveolus yang disebut sindroma Loeffler, sedangkan
gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat dapat terjadi gangguan
penyerapan (malabsorbtion) dan penyumbatan usus yang disebabkan oleh
penggumpalan cacing (ileus obstructive) (Depkes, 2007).
Gejala penyakit kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan
dengan penyakit-penyakit lain. Anak yang menderita kecacingan biasanya lesu, tidak
bergairah dan konsentrasi belajarnya berkurang. Perubahan fisik anak dapat dilihat
pada perutnya yang tampak buncit (karena jumlah cacing dan perut kembung) dan
mata yang pucat dan kotor seperti sakit mata (Depkes, 2007).
Perdarahan yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofelia pada foto
toraks akan tampak infiltrat sehingga sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip
dengan gambaran penyakit Tuberculosis (TBC), namun infiltrat ini akan menghilang
dalam waktu 3 (tiga) minggu setelah diberikan obat cacing (Gandahusada, 2004).
Hasil penelitian Siregar (2008) pada murid sekolah dasar di Kabupaten
Bengkalis,terdapat 53% Ascaris lumbricoides yang menginfeksi anak sekolah dasar
tersebut.

2.2.1.3. Epidemiologi dan Pengobatan

Infeksi cacing gelang terjadi apabila telur yang infektif masuk melalui mulut
bersama makanan atau minuman juga melalui tangan yang kotor (tercemar tanah
dengan telur cacing).Pengobatan cacing gelang dapat dilakukan secara massal atau
individu dengan menggunakan bermacam-macam obat seperti Preparat piperasin,
Pyrantel pamoat, Albendazol atau Mebendazole.
2.2.2.Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Trichuris trichiura termasuk nematoda usus yang biasanya dinamakan cacing
cemeti atau cambuk, karena tubuhnya menyerupai cemeti dengan bagian depan yang
tipis dan bagian belakangnya yang jauh lebih tebal. Cacing ini pada umumnya hidup
di sekum manusia sebagai penyebab Trichuriasis dan tersebar secara kosmopilitan
(Irianto, 2009).
2.2.2.1. Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides, cacing betina
panjangnya 35-50 mm dan jantan panjangnya 30-45 mm (Muslim, 2009). Telur
cacing ini berukuran 50-55 mikron x 22-24 mikron, berbentuk seperti tempayan
dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub, kulit telur bagian luar
berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Gandahusada, 2004). Satu
ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir.
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja sampai telur menjadi
matang (infektif dan berisi larva) dalam waktu 3-6 minggu (Depkes, 2007).


Manusia mendapat infeksi dengan menelan telur yang matang. Di usus dua belas jari
(duodenum) larva akan keluar dari telur, masuk dan berkembang di mukosa usus
halus dan menjadi dewasa di usus besar (colon ascendens)dan usus buntu/sekum
(caecus). Siklus ini berlangsung sekitar 3 bulan (Soedarmo, 2008).
2.2.2.2. Patologi, Gejala Klinis dan Diagnosis
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di usus buntu, akan tetapi
dapat juga ditemukan di usus besar. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing ini
tersebar di seluruh kolon dan rektum dan kadang-kadang terlihat di mukosa rektum
yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat
terjadi perdarahan dan cacing ini mengisap darah hospesnya sehingga dapat
menyebabkan anemia (Gandahusada, 2004).
Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinik yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala, gejala klinik hanya timbul jika terdapat infeksi
yang berat dan menahun. Penderita akan mengalami anemia yang berat dengan
hemoglobin < 3%, diare disertai oleh tinja yang berdarah, nyeri perut dan muntahmuntah serta mual, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus
rektum. Infeksi cacing cambuk berat juga sering disertai dengan infeksi cacing
lainnya atau protozoa. Diagnosa dapat dilakukan dengan menemukan telur di dalam

tinja (Depkes, 2007).

2.2.2.3. Epidemiologi dan Pengobatan
Penyebaran infeksi cacing cambuk terjadi melalui tanah yang terkontaminasi
dengan tinja yang mengandung telur cacing cambuk. Infeksi terjadi apabila telur yang
infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar melalui
tangan yang kotor.Pengobatan infeksi cacing cambuk dapat dilakukan dengan
memberikan Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate.
2.2.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting dalam bidang medik,
namun yang sering menginfeksi manusia ialah Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale. Hospes dari kedua cacing ini adalah manusia dan di Indonesia infeksi oleh
Necator americanus lebih sering dijumpai (Depkes, 2007).
2.2.3.1. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing tambang dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat
pada mukosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari.
Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm,
cacing dewasa berbentuk seperti S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.
Telur-telur cacing ini tidak dapat dibedakan dan telurnya berbentuk ovoid dengan
kulit yang jernih dan berukuran 74-76 x 36-40 mikron, ketika telur baru dikeluarkan

di dalam usus telurnya mengandung satu sel, tetapi bila dikeluarkan bersama tinja,
sering sudah mengandung 4-8 sel.
Daur hidup cacing tambang diawali dengan telur cacing yang keluar bersama
tinja, setelah 1-1,5 hari di dalam tanah, telur akan menetas menjadi larva rabditiform

dan setelah 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit
dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Larva yang menembus kulit mengikuti
aliran darah ke jantung dan paru-paru kemudian menembus pembuluh darah masuk
ke bronchus lalu ke trachea dan laring, dari laring larva tertelan dan masuk ke dalam
usus halus menjadi cacing dewasa (Depkes, 2007).
2.2.3.2. Patologi, Gejala Klinis dan Diagnosis
Cacing tambang melekat dengan giginya pada usus halus dan menghisap
darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan
sehingga menyebabkan penderita kekurangan darah (anemia) yang mengakibatkan
menurunnya gairah kerja serta produktifitas.
Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah,
kurang konsentrasi, pucat, rentan terhadap penyakit, anemia serta sering terdapat
eosinofilia. Anemia yang ditimbulkan sering dianggap bukan akibat dari kecacingan
karena kekurangan darah sering terjadi oleh banyak hal sehingga harus dilakukan
diagnosa dengan pemeriksaan tinja (Depkes, 2007). Penelitian Rahmawati (2014),

analisa pemeriksaan tinja pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena anemia
gravis, sesak napas, melena selama 1 minggu menunjukkan ada banyak infestasi
cacing Necator americanus pada duodenum.
2.2.3.3. Epidemiologi dan Pengobatan
Infeksi kecacingan cacing tambang sering ditemukan pada masyarakat
pedesaan khususnya perkebunan atau pertambangan. Kebiasaan buang air besar di
tanah dan penggunaan tinja sebagai pupuk sangat berpengaruh dalam penyebaran

penyakit ini. Cacing ini menghisap darah sedikit namun menimbulkan luka gigitan
berdarah yang cukup lama sehingga menyebabkan anemia yang lebih berat.
Pengobatan infeksi cacing tambang dapat diberikan Pyrantel pamoate, Mebendazole
dan Albendazole. Untuk menghindari infeksi cacing ini dapat dicegah dengan
memakai sendal atau sepatu bila ke luar rumah (Depkes, 2007).

2.3. Pemeriksaan Telur Cacing
Pemeriksaan

terhadap

seseorang


yang

terdiagnosis

klinik

terinfeksi

kecacingan oleh nematoda usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminths), dapat ditegakkan dengan pemeriksaan telur dalam feses di laboratorium
secara mikroskopis. Adapun cara pengumpulan dan pemeriksaan feses adalah sebagai
berikut (Pinardi, 1990):
2.3.1. Pengumpulan Bahan Spesimen/Feses
Spesimen yang akan diperiksa adalah feses segar, padat dan harus
dikumpulkan dalam wadah bersih. Pada umumnya untuk pemeriksaan feses rutin
jumlah feses yang dibutuhkan adalah 2-5 gram, yang penting feses harus padat dan
bebas minyak dan atau bahan kimia lain seperti barium. Feses yang diperiksa
sebaiknya feses yang dikeluarkan secara biasa, bukan feses yang diperoleh dari hasil
pemberian obat pencahar atau enema.
2.3.2. Metode Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses secara mikroskopis terdiri dari beberapa tehnik dan
metode, di antaranya:

1.

Pemeriksaan feses dengan cara sedimentasi (Metode Faust dan Russel, 1964)

adalah metoda pemeriksaan feses yang menggunakan sedimentasi (pengendapan)
feses yang didapat dari penyaringan suspensi sebagai bahan untuk memeriksaan
keberadaan telur cacing.
2.

Pemeriksaan feses dengan cara flotasi dengan larutan NaCl jenuh (Metode

Willis, 1921) adalah metoda pemeriksaan feses yang menggunakan flotasi
(pengapungan) feses untuk diperiksa dengan mikroskop.
3.

Pemeriksaan feses dengan tehnik Kato (Metode Kato dan Miura, 1954) adalah

metoda pemeriksaan feses yang menggunakan selembar selofan (cellopane tape)
sebagai pengganti kaca tutup sehingga lebih banyak telur cacing yang didapat karena
tinja yang dipakai lebih banyak.
4.

Pemeriksaan feses dengan tehnik modifikasi Kato Katz (Metode Katz dkk, 1972)

adalah metode pemeriksaan feses hasil modifikasi tehnik Kato yaitu dengan
menggunakan saringan kasa yang bertujuan agar keberadaan telur cacing pada feses
yang diperiksa lebih akurat.
5.

Pemeriksaan feses dengan tehnik formalin-eter (Metode Ritchie, 1960) adalah

pemeriksaan feses dengan menggunakan sedimentasi feses dan cairan formalin-eter
sebagai fiksasi.
6.

Pemeriksaan feses dengan tehnik AMS III/acid – sodium sulfate – tritone - ether

concentration (Metode Hunter dkk, 1948) adalah pemeriksaan feses dengan larutan
HCl dan Na2SO4 sebagai media pemeriksaan.

7.

Pemeriksaan feses dengan tehnik hitung telur (Metode Stoll, 1923) adalah

pemeriksaan feses padat dengan larutan NaOH 0,1 N sampai didapat jumlah telur per
gram feses.
8.

Pemeriksaan feses dengan tehnik sediaan tinja langsung (Metode Beaver, 1950)

adalah pemeriksaan feses dengan menggunakan alat pengukur cahaya foto-elektrik
(meter galvano) serta larutan Na2SO4 dan larutan BaCl2 sebagai media pemeriksaan.

2.4.Personal Hygiene
Kebersihan perorangan atau personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan, baik fisik
maupun psikisnya (Isro’in dkk, 2012).Kunci pemberantasan kecacingan adalah
memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan, misalnya: tidak jajan di sembarang
tempat apalagi jajanan yang terbuka serta membiasakan mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, dengan begitu rantai penularan kecacingan dapat diputus (Sasongko,
2007). Menurut Rusmanto dkk (2012) bahwa masih ditemukan personal hygiene
yang kurang pada siswa sekolah dasar dan ada hubungan antara personal hygiene
siswa dengan kejadian kecacingan. Personal hygiene meliputi di antaranya:
2.4.1. Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku
Kebersihan tangan, kaki dan kuku harus diperlihara karena ini tidak terlepas
dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari-hari. Selain indah
dipandang, tangan, kaki dan kuku yang bersih juga akan menghindarkan kita dari
berbagai penyakit, misalnya kecacingan (Potter, 2005). Kita menggunakan tangan

untuk menjamah makanan setiap hari. Selain itu, sehabis memegang sesuatu yang
kotor atau mengandung kuman penyakit, tangan selalu langsung menyentuh mata,
hidung, mulut, makanan serta minuman. Hal ini dapat menyebabkan pemindahan
sesuatu yang dapat berupa penyebab terganggunya kesehatan karena tangan
merupakan perantara penularan kuman (Irianto, 2007).
Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai
kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme, di antaranya bakteri
dan telur cacing. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut: membersihkan tangan sebelum makan dengan menggunakan sabun,
memotong kuku secara teratur dan mencuci kaki sebelum tidur dengan sabun (Potter,
2005). Hasil penelitian Tumanggor (2008), menunjukkan bahwa kebersihan kuku
siswa sekolah dasar (64,9%) masih kategori kotor. Pencegahan kecacingan juga dapat
dicapaisebagai berikut: mencuci tangan setelah dari kamar mandi dengan benar
(meliputi area antara jari tangan, kuku dan punggung tangan) dengan menggunakan
sabun serta menghindarkan penggunaan kaos kaki yang kotor karena bisa
menimbulkan bau, alergi serta infeksi pada kulit kaki (Isro’in dkk, 2012).
Penelitan WHO dalam National Campaign for Handwashing with Soap (2007) telah
menunjukkan mencuci tangan pakai sabun dengan benar pada 5 waktu penting yaitu
sebelum makan, sesudah buang air besar, sebelum memegang bayi, sesudah
menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan dapat mengurangi angka
kejadian diare sampai 40%. Dengan mempedomani 11 langkah cuci tangan pakai

sabun dan air mengalir yang benar juga dapat mencegah penyakit menular lainnya
seperti tifus dan flu burung (lampiran 13).
2.4.2. Kebiasaan Mandi
Mandi merupakan bagian yang penting dalam menjaga kebersihan diri. Mandi
dapat menghilangkan bau, menghilangkan kotoran, merangsang peredaran darah dan
memberikan kesegaran pada tubuh. Sebaiknya mandi dua kali sehari agar tubuh sehat
dan segar bugar. Mandi membuat tubuh kita segar dengan membersihkan seluruh
tubuh kita (Stassi, 2005). Hasil penelitian Tumanggor (2008), bahwa siswa sekolah
dasar di desa Juma Teguh (68,9%) tidak mandi minimal 2 kali sehari.
Menurut Irianto (2007), urutan mandi yang benar adalah seluruh tubuh dicuci
dengan sabun mandi. Oleh buih sabun, semua kotoran dan kuman yang melekat
mengotori kulit lepas dari permukaan kulit dan seluruh tubuh. Keluarkan daki dari
wajah, kaki dan lipatan-lipatan. Gosok terus dengan tangan, kemudian seluruh tubuh
disiram sampai bersih sampai kaki.
Kebersihan kulit, rambut dan gigi harus senantiasa dipelihara karena hal ini berkaitan
dengan kebersihan lingkungan, makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup seharihari. Dengan kulit, rambut dan gigi yang bersih diharapkan mampu menghindarkan
kita dari bahaya penyakit, misalnya kecacingan (Potter, 2005). Kulit dibersihkan
dengan cara mandi, namun dalam memilih dan memakai sabun, shampoo dan pasta
gigiuntuk anak-anak hendaknya pilih produk yang tidak menimbulkan rasa
perih/iritasi karena kulit anak-anak cenderung lebih rentan terhadap trauma dan

infeksi dan kita harus rutin membersihkannya karena anak sering sekali buang air
besar dan senang bermain dengan kotoran (Mubarak dkk, 2007).
Umumnya untuk menjaga kebersihan kulit, rambut dan gigi perlu diperhatikan halhal sebagai berikut: mandi minimal 2 kali sehari dengan menggunakan sabun,
menjaga kebersihan pakaian, mencuci rambut sekurang-kurangnya 2 kali seminggu
dengan menggunakan shampoo, menggosok gigi minimal 2 kali sehari atau sehabis
makan dengan menggunakan pasta gigi, memakai peralatan mandi dan pakaian
pribadi serta memakan makanan bergizi dan yang tidak merusak gigi (Potter, 2005).
2.4.3. Penggunaan Alas Kaki
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pada anak yang tidak
menggunakan alas kaki secara teratur ketika keluar dari rumah akan memiliki
kecenderungan terkena infeksi cacing tambang, dikarenakan penularan cacing
tambang ini melalui penembusan kulit yang terjadi ketika anak-anak berjalan tanpa
alas kaki/kaki telanjang (Tanner, 2011). Hasil penelitian Sumanto (2010) tentang
faktor resiko infeksi cacing tambang pada siswa sekolah di Demak diketahui terdapat
beberapa kebiasaan atau perilaku yang berpengaruh terhadap terjadinya infeksi cacing
pada siswa sekolah, dimana kebiasan tersebut antara lain tidak memakai alas kaki
pada rentang waktu bervariasi mulai dari 6-12 jam. Siswa yang memiliki kebiasaan
tidak memakai alas kaki berisiko terinfeksi cacing tambang 3,29 kali lebih besar
dibanding siswa yang memiliki kebiasaan memakai alas kaki dalam aktivitas seharihari. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan sebanyak 65,9% siswa sekolah yang

memiliki kebiasaan memakai alas kaki sedangkan 34,1% yang tidak biasa memakai
alas kaki.
2.4.4. Tujuan dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Personal Hygiene
Tujuan perawatan kebersihan diri yaitu memelihara kebersihan diri, menciptakan
keindahan, serta meningkatkan derajat kesehatan individu sehingga dapat mencegah
timbulnya penyakit pada diri sendiri maupun orang lain (Mubarak, 2007). Menurut
Potter (2005), faktor yang memengaruhi kebersihan diri, yaitu:
1. Praktek sosial
Kebersihan diri seseorang sangat memengaruhi praktek sosial seseorang. Selama
masa anak-anak, kebiasaan keluarga memengaruhi praktik hygiene, misalnya:
frekuensi mandi, waktu mandi dan hygiene mulut.
2. Citra tubuh
Citra tubuh adalah cara pandang seseorang terhadap bentuk tubuhnya, citra tubuh
sangat memengaruhi dalam praktik kebersihan seseorang. Ketika seorang petugas
kesehatan dihadapkan pada seseorang (terutama anak) yang tampak berantakan, tidak
rapi atau tidak peduli dengan hygiene dirinya, maka dibutuhkan edukasi tentang
pentingnya hygiene untuk kesehatan.
3. Status sosial ekonomi
Status ekonomi seseorang memengaruhi jenis dan tingkat praktek kebersihan
perorangan. Sosial ekonomi yang rendah memungkinkan personal hygiene yang
rendah pula.

4. Pengetahuan dan motivasi
Pengetahuan tentang hygiene akan memengaruhi praktek hygiene seseorang.Namun
pengetahuan saja tidak cukup, karena motivasi merupakan kunci penting dalam
pelaksanaan hygiene tersebut. Permasalahan yang sering terjadi adalah ketiadaan
motivasi karena kurangnya pengetahuan.
5. Budaya
Kepercayaan budaya akan memengaruhi perawatan hygiene seseorang. Di Asia
kebersihan dipandang penting bagi kesehatan sehingga mandi bisa dilakukan 2-3 kali
dalam sehari, sedangkan di Eropa memungkinkan hanya mandi sekali dalam
seminggu. Beberapa budaya juga menganggap bahwa kesehatan dan kebersihan
tidaklah penting.
6. Pilihan pribadi
Setiap orang memiliki keinginan individu dan pilihan tentang kapan untuk mandi,
bercukur dan melakukan perawatan rambut. Seseorang memilih produk yang berbeda
(misalnya, sabun, shampoo dan pasta gigi) menurut pilihan dan kebutuhan pribadi
dalam hal ini adalah orang tua.
7. Kondisi fisik
Pada keadaan sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan
untuk melakukannya.

2.5. Tingkat Kecukupan Makanan
Kecukupan makanan adalah perbandingan asupan nutrisi dengan nutrisi yang
dibutuhkan tubuh berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan.
Kecukupan makanan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah kebiasaan,
kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam.
Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi kecukupan makanan adalah
faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio budaya dan religi seperti yang dijelaskan
berikut:
1. Faktor ekonomi dan harga
Keadaan ekonomi keluarga relatif mudah di ukur dan berpengaruh besar pada
konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Hal ini disebabkan karena
penduduk golongan miskin sebagian besar pendapatannya memenuhi kebutuhan
makanan. Perubahan pendapatan secara langsung dapat memengaruhi perubahan
konsumsi pangan keluarga. Meningkatkan pendapatan berarti memperbesar peluang
untuk membeli pangan keluarga. Meningkatkan pendapatan berarti memperbesar
peluang membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dan
sebaliknya.
2. Faktor Sosio Budaya dan Religi
Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap
pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan juga
menentukan kapan seseorang boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan. Oleh

karena itu kebudayaan memengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang
menyangkut pemilihan jenis pangan serta persiapan serta penyajiannya.
Sejak zaman dahulu, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi
rasa lapar dan selera, juga sebagai lambang, yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan,
ketentraman dan persahabatan. Semua faktor bercampur membentuk suatu ramuan
yang kompak yang disebut dengan pola konsumsi pangan (Santosodkk, 2004).Dalam
hal

pola

konsumsi,

permasalahan

yang

dihadapi

tidak

hanya

mencakup

ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi, tetapi juga masalah masih
belum terpenuhinya kecukupan gizi. Penganekaragaman konsumsi pangan selama ini
sering diartikan terlalu sederhana, berupa penganekaragaman konsumsi pangan
pokok, terutama pangan non-beras. Penganekaragaman konsumsi pangan seharusnya
mengkonsumsi aneka ragam pangan dari berbagai kelompok pangan baik pangan
pokok, lauk-pauk, sayuran maupun buah dalam jumlah yang cukup. Tujuan utama
penganekaragaman konsumsi pangan adalah untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi
dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau
kelompok pangan (Baliwati dkk, 2004).
Pola konsumsi pangan sebagai metode ukur tingkat kecukupan makanan yang
berbentuk susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau
kelompok orang pada waktu tertentu untuk mencapai angka kecukupan gizi (AKG)
yang dianjurkan (Baliwati dkk, 2004). Pola konsumsi pangan merupakan gambaran
mengenai jumlah, jenis dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang
sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu

(Aritonang, 2004). Pola konsumsi juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau
kelompok orang (keluarga) memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh
fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo, 1990).
2.5.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Angka kecukupan gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA)
adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus dipenuhi dari makanan untuk
mencukupi hampir semua orang sehat. Tujuan penyusunan AKG ini adalah untuk
acuan

perencanaan

makanan

dan

menilai

tingkat

konsumsi

makanan

individu/masyarakat (Almatsier, 2009).
Kebutuhan gizi untuk bayi dan anak merupakan kebutuhan zat gizi yang
memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan. Anak yang tidak mendapat asupan
gizi yang baik akan mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan
terjadinya sel otak dengan konsekuensi sel yang lebih sedikit. Sebaliknya anak yang
mendapat gizi lebih tinggi akan memperoleh kalori yang lebih tinggi juga. Dengan
kata lain konsumsi yang melebihi kebutuhan akan menyebabkan gizi lebih,
sebaliknya konsumsi gizi yang kurang menyebabkan kondisi kurang atau defisiensi.
Kebutuhan kalori untuk anak sekolah dasar (umur 10-12 tahun) yang
dianjurkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (10-12 Tahun)
Berat
Badan
(kg)

Tinggi
Badan
(cm)

Energi
(kkal)

Protein
(gr)

Vit A
(RE)

Besi
(mg)

Zn
(mg)

Pria (10-12 tahun)

34

142

2100

56

600

13

14

Wanita (10-12 tahun)

36

145

2000

60

600

20

13

Golongan Umur

Sumber: Depkes RI, 2013
2.5.2. Kecukupan MakananUsia Anak Sekolah Dasar
Anak sekolah dasar biasanya telah mempunyai pilihan sendiri terhadap
makanan yang disukainya. Pada usia anak sekolah dasar, pengaruh lingkungan
termasuk di dalamnya para guru, teman sebayadan keberadaan tempat jajan sangat
memengaruhi terbentuknya pola makan (Sulistyoningsih dkk, 2011). Pada masa ini
telah terbentuk kebiasaan makan yang tidak sehat, yaitu seringnya anak jajan di luar
rumah. Golongan umur ini masih rawan terhadap infeksi dan penyakit kurang gizi,
karena itu nutrisinya diutamakan terhadap kalori dan protein, ditambah dengan
perlunya perhatian terhadap masukan vitamin A dan mineral besi. Jenis makanan
keras dapat diberikan seperti pada orang dewasa. Menu yang dihidangkan hendaknya
bervariasi dengan bahan makanan hewani dan nabati yang selalu bergantian
(Markum, 2002).
Makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah makanan seimbang yang terdiri
atas (Santoso dkk, 2004):
1. Sumber zat tenaga, misalnya: roti, nasi, mie, bihun, jagung, ubi, singkong, tepungtepungan, gula dan sebagainya.

2. Sumber zat pembangun, misalnya: ikan telur, ayam, daging, susu, kacangkacangan, tahu, tempe.
3. Sumber zat pengatur, misalnya: sayur-sayuran dan buah-buahan terutama yang
berwarna hijau dan kuning.
Untuk mencapai prinsip gizi seimbang hendaknya susunan makanan sehari terdiri
dari campuran ketiga kelompok bahan makanan tersebut yang terdiri dari:
1. Energi
Manusia

membutuhkan

energi

untuk

mempertahankan

hidup,

menunjang

pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak
dan protein yang ada dalam bahan makanan. Karbohidrat dikenal sebagai zat gizi
makro sumber energi utama tubuh karena sebagian energi berasaldari karbohidrat
maka digolongkan sebagai makanan pokok (Kurniasih, 2010).
Kebutuhan energi seseorang menurut FAO adalah konsumsi energi berasal dari
makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila
mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan
kesehatan jangka panjang dan yang memungkinkan pemeliharaan aktifitas fisik
dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Pada anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui
kebutuhan energi termasuk kebutuhan untuk pembentukan jaringan-jaringan atau
untuk sekresi ASI yang sesuai dengan kesehatan (Almatsier, 2009).
Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi
yang dikeluarkan, akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya. Bila
terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada keadaan

kronis akan mengakibatkan penyakit gizi yang disebut dengan marasmus dan bila
disertai kekurangan protein menyebabkan kwashiorkor.
2. Protein
Protein adalah molekul makro dan bagian dari semua sel hidup yang merupakan
bagian terbesar tubuh sesudah air. Nilai gizi protein ditentukan oleh kadar asam
amino esensial. Sumber protein dapat berasal dari protein nabati dan hewani. Protein
hewani biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
protein nabati. Protein memiliki fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi
lain yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Disamping itu
protein berfungsi sebagai pertumbuhan dan pemeliharaan, mengatur keseimbangan
air, sumber energi, pembentukan antibodi dan mengangkut zat-zat gizi.
Fungsi protein sebagai zat pembangun sangat diperlukan untuk membuat sel-sel baru
dan merupakan unsur pembentuk berbagai struktur organ tubuh, selain itu juga
berperan dalam pembentukan enzim dan hormon yang dapat mengatur proses
metabolisme tubuh dan sebagai mekanisme pertahanan tubuh melawan berbagai
macam penyakit dan infeksi (Asydhad dkk, 2006).
3. Vitamin A
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang esensial untuk pemeliharaan kesehatan
dan kelangsungan hidup. Vitamin A dapat meningkatkan risiko anak terhadap
penyakit infeksi seperti penyakit saluran pernafasan dan diare, meningkatkan angka
kematian karena campak serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Almatsier,
2009). Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani seperti hati, kuning telur, susu

dan mentega. Sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Vitamin A
berperan dalam berbagai fungsi faal tubuh, antara lain fungsi penglihatan, kekebalan,
pertumbuhan dan perkembangan. Vitamin adalah zat gizi makro yang memperlancar
proses pembuatan energi dan proses biologis lainnya untuk mempertahankan
kesehatan, oleh sebab itu di dalam makanan seimbang, sayuran dan buah dianjurkan
dikonsumsi sesering mungkin setiap hari (Kurniasih, 2010).
4. Besi (Fe)
Besi merupakan mineral makro yang fungsinya paling banyak di dalam tubuh
diantaranya sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, alat angkut
elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu bebagai reaksi enzim dalam jaringan
tubuh. Secara luas defisiensi besi berpengaruh terhadap kualitas SDM, yaitu terhadap
kemampuan belajar dan produktifitas. Sumber zat besi yang baik adalah makanan
hewani seperti daging, ayam dan ikan. Sumber zat besi yang baik lainnya adalah
telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayur-sayuran hijau dan beberapa jenis
buah.
5. Seng (Zn)
Seng merupakan mineral mikro yang esensial bagi tubuh, sebagian seng berada di
dalam tubuh. Sebagian seng berada di dalam hati, pankreas, ginjal, otot dan tulang.
Sumber paling baik seng adalah sumber protein hewani terutama daging, hati, kerang,
telur, serealia tumbuk dan kacang-kacangan. Dalam fungsi tubuh, seng berperan
dalam fungsi kekebalan tubuh, pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan
penyembuhan luka. Apabila kekurangan seng dapat mengakibatkan gangguan

pertumbuhan dan kematangan sel. Disamping itu fungsi pencernaan juga terganggu
dan dapat menimbulkan diare dan gangguan fungsi kekebalan (Almatsier, 2009).
Menurut Uripi (2004), kebutuhan zat gizi pada anak harus cukup dan seimbang
karena anak sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Kebutuhan
energi dan protein harus dipenuhi dengan tepat, karena jika kekurangan energi dan
protein dapat mengakibatkan keadaan kekurangan energi dan protein, namun jika
kelebihan energi dan protein dapat menyebabkan obesitas.
2.5.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi Usia Siswa Sekolah Dasar
Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya.
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga karena
penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang
penyakit, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak
cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah
diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi
kurang sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan
infeksi merupakan dua hal yang saling memengaruhi (Almatsier, 2009). Penelitian
Simarmata (2012), bahwa ada perbedaan status gizi antara siswa dengan dan tanpa
infeksi soil transmitted helmints.
Anak dengan asupan makanan yang kurang akan menyebabkan daya tahan
tubuhnya kurang hingga anak lebih rentan terhadap penyakit, kurang nafsu makan
hingga akhirnya akan kekurangan gizi (Narendra, 2010). Anak dengan penyakit

infeksi seperti infeksi Ascaris lumbricoides akan kekurangan gizi karena
terganggunya penyerapan karbohidrat dan protein yang dibutuhkan untuk tumbuh
kembang anak. Akibatnya anak akan mengalami kekurangan gizi dan tumbuh
kembang anak terganggu. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan
keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan.
Penelitian Arifin (2011), prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides sebesar 76,6%
dengan derajat infeksi ringan paling banyak dan terdapat hubungan antara infeksi
Ascaris lumbricoides dengan status gizi.
Beberapa penyakit infeksi kronis dapat menyebabkan anemia dan parasit seperti
cacing di usus dapat menyebabkan anemia. Penyakit infeksi disebabkan kurangnya
sanitasi, pelayanan kesehatan dan pola asuh yang tidak memadai (Schaible dkk,
2007).

2.6. Siswa Usia Sekolah Dasar
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Pertumbuhan dan perkembangan terbagi dalam
beberapa tahap di antaranya: tahap pranatal (dari konsepsi sampai lahir); tahap
neonatus dan bayi (neonatus: dari lahir sampai berusia 28 hari; masa bayi: dari 29
hari-12 bulan); tahap masa kanak-kanak awal (usia 1-3 tahun dan usia pra-sekolah:
usia 3-6 tahun); tahap masa kanak-kanak pertengahan (usia sekolah dasar/usia 6-12
tahun dan tahap masa remaja adalah usia 12-18 tahun (Mary, 2005).

Pada masa kanak-kanak pertengahan/usia sekolah dasar, ada beberapa label
tahap usia yang digunakan oleh orangtua, pendidikan dan psikologi, antara lain: tahap
rajin dan rendah diri, tahap yang menyulitkan, tahap yang tidak rapih, tahap
bertengkar, tahap kritis, tahap berkelompok, tahap kreatif dan tahap bermain. Di
tahap berkelompok anak lebih berminat dalam kegiatan teman-teman dan ingin
menjadi bagian dari kelompok yang mengharapakan anak untuk menyesuaikan diri
dengan pola-pola perilaku, nilai-nilai dan minat anggota-anggotanya sehingga anak
sering menolak standar orang tua, mengembangkan sikap menentang lawan jenis dan
berprasangka kepada semua yang bukan anggota kelompoknya dan masalah yang
umum terjadi pada usia ini adalah bahaya fisik, seperti: penyakit (infeksi),
kegemukan/bentuk tubuh yang tidak sesuai, kecelakaan, kecanggungan dan
ketidakmampuan fisik (Hurlock, 2004).
Siswa sekolah dasar adalah bagian dari masyarakat yang masuk ke dalam
bagian masyarakat yang beresiko tinggi terhadap infeksi cacing (Depkes, 2007).
Penelitian Hairani dkk (2012), bahwa prevalensi kecacingan pada sekelompok umur
6-9 tahun lebih tinggi dibandingkan anak kelompok umur 10-15 tahun, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Iqbal (2004) menyatakan bahwa infeksi cacing pada
siswa sekolah dasar di Kelurahan Pannampu Kecamatan Tallo Kotamadya Makassar
sebanyak 84,7%. Prevalensi tertinggi oleh cacing Ascaris Lumbricoides yaitu 76,6%,
TrichurisTrichiura 45,2% dan infeksi ganda (Ascaris dan Trichuris)37,1%. Hasil
pemeriksaan sampel tanah dari 34 lokasi yang diperiksa, diperoleh 58,8% positif
tanahnya mengandung telur cacing. Telur cacing yang ditemukan adalah

Ascarislumbricodes yaitu 41,2%, telur cacing Trichuris Trichiura yaitu 32,3% dan
telur cacing ganda (Ascaris dan Trichuris)yaitu 14,7%.
Siswa yang terinfeksi oleh Ascaris lumbricoides dapat menimbulkan gangguan
gizi dengan gambaran klinik yang nyata seperti: nyeri perut berupa kolik di daerah
pusat atau epiguastrium, perut buncit, rasa mual dan kadang-kadang muntah,
cengeng, anoreksia, susah tidur dan sering diare. Siswa yang terinfeksi oleh Trichuris
trichiura terdapat keluhan nyeri di daerah abdomen atau epigastrium yang disertai
muntah-muntah, konstipasi perut kembung dan ileus, diare dengan tinja yang terlihat
bergaris-garis merah darah dan berat badan menurun. Pada siswa yang terinfeksi
Ancylistoma duodenale umumnya mengalami anemia umumnya berupa anemia
defisiensi besi dan anemia akan semakin berat pada siswa yang kurang protein.
Gejala yang dapat dijumpai adalah lemah, lesu, pusing dan nafsu makan yang kurang.
Apabila cacing dewasa yang terdapat pada anak-anak jumlahnya banyak maka dapat
mengakibatkan gejala hebat dan dapat menyebabkan kematian (Ngastiyah, 2005).

2.7. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep teori simpuldan
bagan model interaksi tumbuh kembang anak. Adapun teori simpul yang
menggambarkan bahwa adanya telur cacing pada fesessiswa sekolah dasardisebabkan
oleh lima simpul yang mencakup di antaranya (Achmadi, 2012):

1. Simpul 1, yaitu Sumber/AgentPenyakit yang merupakan komponen lingkungan
yang dapat menimbulkan gangguan melalui kontak langsung, terhirup atau melalui
perantara seperti: virus, bakteri, jamur, parasit.
2. Simpul 2, yaitu Media Transmisi Penyakit berupa komponen lingkungan yaitu
udara, air, makanan yang mengandung agent penyakit.
3. Simpul 3, yaitu Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure). Agent penyakit
masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang disebut hubungan interaktif.
Adanya hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk
berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep yang disebut perilaku pemajanan
(behavioural exposure). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia
dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit. Agent
penyakit masuk ke dalam tubuh melalui jalur pernafasan, pencernaan dan kulit,
apabila kesulitan mengukur besaran agent penyakit maka di ukur dengan cara
tidak langsung (biomarker).
4. Simpul 4, yaitu Kejadian Penyakit adalah bukti nyata atau outcome hubungan
interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya
gangguan kesehatan.
5. Simpul 5, yaitu Variabel Suprasistem adalah kelompok variabel seperti topografi,
iklim, keputusan politik, kebijakan dan institusi pemerintah dan paradigma
kesehatan lingkungan lain yang memengaruhi semua simpul.

Manajemen Penyakit Cacingan

Simpul 1
“Sumber
(Agents)
Penyakit”
Parasit

Simpul 2
“Media
Transmisi”
a. Tanah
b. Makanan

Simpul 3
“Perilaku
Pemajanan”
a. Pencernaan
b. Permukaan
kulit

Simpul 4
“Kejadian
Penyakit”
a. Diare
b. Anemia
c. Malnutrisi

Simpul 5
“Topografi ; Iklim ; Institusi terkait”
Gambar 2.1. Dinamika Penularan Penyakit Cacingan
Mengacu pada gambaran skematik di atas, maka patogenesis penyakit
cacingan pada siswa sekolah dasar dapat diuraikan ke dalam 5 simpul, yakni dimulai
dari simpul 1 di mana telur-telur cacing sebagai sumber penyakit berserakan di
halaman/tanah. Siswa-siswi yang bermain di tanah, tanpa mencuci tangan
memasukkan telur-telur cacing ke dalam perutnya ketika makan dan yang tanpa alas
kaki dapat memasukkan telur cacing melalui kulitnya. Siswa yang terinfeksi
kecacingan akan mengalami penyakit seperti diare, anemia dan malnutrisi. Institusi
kesehatan seperti Dinas Kesehatan secara teoritis berperan dalam pemutusan rantai
penularan penyakit cacingan dengan mengeluarkan kebijakan dan program kesehatan
untuk siswa sekolah dasar (Achmadi, 2012).
Siswa sekolah dasar merupakan kelompok anak yang sudah banyak
beraktivitas di luar rumah. Perkembangan yang berkenaan dengan keseluruhan

kepribadian individu siswa membuat pengaruh teman dan aktivitas yang tinggi
menjadi penyebab keterpaparan terhadap sumber penyakit infeksi semakin tinggi.
Tawaran makanan dan ajakan bermain dari teman menjadi salah satu faktor yang
harus diperhatikan dalam penyebaran penyakit infeksi cacingan.
Selain perkembangan mental dan kepribadian, pertumbuhan siswa sekolah
dasar sebagai perubahan dalam aspek jasmaniah seperti berubahnya struktur tulang,
tinggi dan berat badan, proporsi badan, semakin sempurnanya jaringan syaraf dan
sejenisnya, pada sebagian siswa sekolah dasar juga sudah mulai memasuki masa
pertumbuhan cepat pra-pubertas, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi mulai
meningkat.
Perkembangan dan pertumbuhan siswa sekolah dasar membutuhkan pola asuh
yang baik dalam memenuhi kebutuhan zat gizi dan pemantauan personal hygiene
anak oleh orang tua. Dalam upaya untuk mengetahui hubungan dari asupan zat gizi,
penyakit infeksi dan pola asuh anak, maka diperlukan suatu identifikasi
(Soetjiningsih, 2007) di antaranya:

Manifestasi

TumbuhKembang Anak

Penyebab
Langsung

Kecukupan MakananPenyakit Infeksi

Ketahanan
Pangan
Keluarga

Asuhan Bagi Ibu
dan Anak

Pemanfaatan
Pelayanan
Kesehatan
dan Sanitasi
Lingkungan

Penyebab
Tidak
Langsung

Pendidikan Keluarga

Keadaan dan Kontrol
Sumber Daya (Manusia,
Ekonomi dan Keluarga)

Pokok Masalah
di Masyarakat

Struktur Politik dan Keluarga
Akar Dasar
Struktur Ekonomi
Potensi Sumber
Daya

Gambar 2.2. Bagan Model Interaksi Tumbuh Kembang Anak
Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kecukupan makanan (zat gizi) dan
penyakit infeksi yang diderita. Menurunnya status gizi anak secara langsung
disebabkan oleh karenaketidakseimbangan zat gizi dan adanya penyakit infeksi. Zat
gizi yang tidak seimbang akan menyebabkan daya tahan tubuh (imunitas) terhadap
penyakit infeksi kecacingan menurun dan sebaliknya penyakit infeksi kecacingan
akan menyebabkan peningkatan kebutuhan zat gizi (hubungan timbal balik).

Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi buruk.
Anak yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga
anak rentan terhadap penyakit infeksi. Disisi lain anak yang menderita sakit infeksi
akan cenderung menderita gizi buruk (Depkes, 2005).
Menurut Supariasa dkk (2004), adanya interaksi yang sinergis antara malnutrisi
dengan penyakit infeksi, di mana infeksi akan memengaruhi status gizi dan
mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik
secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu:
1.

Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi
dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.

2.

Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit, mual/muntah dan
perdarahan yang terus menerus.

3.

Meningkatkan kebutuhan, baik dari peningkatan akibat sakit (human host) dan
parasit yang terdapat dalam tubuh
Menurut Gandahusada (2004), apabila kecukupan makanan semakin baik juga

personal hygiene dan sanitasi lingkungan menuju ke arah yang lebih baik, maka
sejalan dengan bertambahnya umur anak dalam jangka 16 bulan tanpa pengobatan
infestasi cacing usus akan hilang dengan sendirinya, sedangkan dengan pengobatan
kesembuhan diperoleh antara 80-90%.

2.8.Kerangka Konsep
Berdasarkan pada landasan teori tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan
kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Variabel Independen

Variabel Dependen

I. Personal Hygiene
1. Kebiasaan cuci tangan
2. Kebiasaan mandi
3. Kebiasaan gunting kuku
4. Penggunaan alas kaki
Infeksi Kecacingan
II. Tingkat Kecukupan
Makanan
1.Tingkat Kecukupan Energi
2. Tingkat Kecukupan Protein

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Dokumen yang terkait

Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

15 135 159

Gambaran Persepsi Pemenuhan Dasar Personal Hygiene Pada Anak-Anak Jalanan Usia 6-12 Tahun Di Kecamatan Medan Helvetia Daerah Kampung Lalang Medan

11 161 51

Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe

6 48 123

HUBUNGAN ANTARA PERSONAL HYGIENE DAN KEJADIAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR Hubungan Antara Personal Hygiene dan Kejadian Infeksi Enterobiasis Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Mojorejo 01 Bendosari Sukoharjo.

0 5 15

HUBUNGAN ANTARA PERSONAL HYGIENE DAN KEJADIA N INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR Hubungan Antara Personal Hygiene dan Kejadian Infeksi Enterobiasis Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Mojorejo 01 Bendosari Sukoharjo.

0 6 15

Hubungan Personal Hygiene Dan Tingkat Kecukupan Makanan Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasardi Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014

1 1 20

Hubungan Personal Hygiene Dan Tingkat Kecukupan Makanan Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasardi Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014

0 0 2

Hubungan Personal Hygiene Dan Tingkat Kecukupan Makanan Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasardi Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014

0 1 8

Hubungan Personal Hygiene Dan Tingkat Kecukupan Makanan Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasardi Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014

0 1 10

Hubungan Personal Hygiene Dan Tingkat Kecukupan Makanan Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasardi Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014

0 0 34