Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe

(1)

PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL HYGIENE DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP INFEKSI KECACINGAN PADA

MURID SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BLANG MANGAT KOTA LHOKSEUMAWE

T E S I S

JALALUDDIN 057023007/AKK

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL HYGIENE DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP INFEKSI KECACINGAN PADA

MURID SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BLANG MANGAT KOTA LHOKSEUMAWE

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh JALALUDDIN 057023007/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

Judul Tesis : PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL

HYGIENE DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP

INFEKSI KECACINGAN PADA MURID SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BLANG MANGAT KOTA LHOKSEUMAWE

Nama Mahasiswa : Jalaluddin

Nomor Pokok : 057023007

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Erman Munir, MSc) (Ir. Evi Naria, MKes)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Erman Munir, MSc Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes

2. dr. Surya Dharma, MPH 3. dr. Taufik Ashar, MKM


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL HYGIENE DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP INFEKSI KECACINGAN PADA

MURID SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BLANG MANGAT KOTA LHOKSEUMAWE

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2009

Jalaluddin 057023007/AKK


(6)

ABSTRAK

Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Keadaan sanitasi lingkungan yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing. Penyakit kecacingan di Propinsi NAD khususnya Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di mana tahun 2006 dijumpai pada 65 murid SD yang diperiksa 35 murid (53.8 %) di antaranya positif menderita penyakit kecacingan.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh sanitasi lingkungan, personal hygiene dan karakteristik anak terhadap kejadian infeksi kecacingan pada murid SD di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Propinsi NAD. Jenis penelitian ini adalah desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah murid kelas V dan VI dari 3 (tiga) Sekolah Dasar Negeri sebanyak 240 orang, sampel berjumlah 150 orang, diambil secara proportional sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis menggunakan regresi logistik berganda pada =0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan meliputi sanitasi rumah dan sekolah 50.7% tidak memenuhi syarat. Personal hygiene meliputi; kebersihan kuku (46.7%), penggunaan alas kaki (52.7%) dan kebiasaan cuci tangan (53.3%) kategori tidak baik. Karakteristik individu Anak meliputi; pengetahuan (36.0%), sikap (41.3%) buruk. Jenis kelamin (52,0%) perempuan dan penghasilan orangtua (60.0%) kategori rendah. Infeksi kecacingan positif (52.7%). Variabel yang memengaruhi terjadinya infeksi kecacingan adalah kebersihan kuku, pemakaian alas kaki, kebiasaan cuci tangan, jenis kelamin dan penghasilan orangtua.

Disarankan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe dapat bekerjasama dengan Instansi swasta untuk memperbaiki sanitasi lingkungan di Kecamatan Blang Mangat. Kepada dinas kesehatan dan Puskesmas untuk meningkatkan promosi kesehatan khususnya pada kebersihan diri murid Sekolah Dasar. Petugas Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) agar terus melakukan pembinaan kepada semua Sekolah Dasar terutama untuk ketiga sekolah lokasi penelitian.


(7)

ABSTRACT

Helminthes is still one of the health problems, especially in rural areas in Indonesia. Inadequate environmental condition, low socio-economic condition, and appropriate climate for the growth and development of worm are several of the factors that cause the high prevalence of helminthes. Helminthes still becomes a health problem especially in Blang Mangat Sub-district, Lhokseumawe, the Province of Nanggroe Aceh Darrussalam. In 2006, 35 (53%) out of the 65 elementary school students examined were positively suffering from helminthes.

The purpose of this cross-sectional study is to analyze the influence of environmental sanitation (home and school environment), personal hygiene (the cleanliness of fingger nails, wearing footwear, and the habit of washing hands), and Chlid characteristics (knowledge, attitude, sex, and parent's income) on the incident of in the helminthes in the elementary school students in Blang Mangat Sub-district, Lhokseumawe, the Province of Nanggroe Aceh Darrussalam. The population for this study were 240 elementary school students of grade V and grade VI from 3 Public Elementary school, and 150 of them were selected to be the samples for this study through proportional sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through through multiple logistic regression test at = 0.05.

The result of this study shows that environmental sanitation including home and school sanitation (50.7%) does not meet the requirement, personal hygene including the cleanliness of finger nails (46.7%), weaming footwears (52.7%), and the habit of washing hands (53%) belongs to poor category, and chlid characteristics including knowledge (36.0%), and attitude (41.3%) belongs to poor category, and Parents' income (60.0%) belong to low category. The helminthes rate (52.7%) is positive. The variables that influenced the incident of helminthes were home environmental sanitation, the cleanliness of fingger nails, wearing footwear, the habit of washing hands, sex, and the income of the parents of the elementary school students.

It is suggested that the Government of Lhokseumawe could cooperate with the private agencies or institutions to improve basic sanitation in Blang Mangat sub-distrik. Lhokseumawe Distrik Health Office and Blang Mangat Health Center need to improve the health promotion especially the personal health of the elementary school students. The working staff of School Health Initiative (UKS) is suggested to keep developing of all of the elementary school especially the three elementary schools which are located in research location.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunianya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul " Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe".

Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Kesehatan komunitas/Epedemiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan segala ketulusan hati dan keikhlasan, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, sebagai Ketua dan Ibu Prof. Dr.Dra. Ida Yustina, MSi sebagai Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

Prof. Dr. Erman Munir, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan sejak dari persiapan peenelitian sampai selesainya tesis ini..

Bapak Dr. Surya Dharma,MPH dan bapak dr. Taufik Ashar, MKM sebagai Dosen Penguji Tesis yang telah memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan penelitian ini.

Bapak Bupati Aceh Utara, Ilyas A.Hamid yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bapak Saifuddin Saleh, SH selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin untuk melakukan penelitian ini.

Para dosen dan staf di lingkungan Sekolah Pascasarjana Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan khususnya Komunitas/Epidemiologi.

Keluarga besar jajaran di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, yang telah memberikan motivasi, dukungan moril kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta Istri Cut Nurmalawati, SKM yang senantiasa memberikan motivasi, dukungan waktu dan tenaga serta doa dan ananda tercinta Aulia Amira, Aulia Assyfa, Aulia Raja Aufhar, Aulia Putroe Harifa. harapan tesis ini menjadi pendorong bagi ananda untuk menjadi anak yang lebih baik, lebih bijak dan lebih sukses di masa depan.

Seluruh rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan khususnya Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, khususnya, dr.Irawati, Yusnidaryani,SKM, Salbiah.M.Kes, dr. Susan C.Hutagalung, Hamdani, SKM, Linda K.Bangun,SKM, Safrizal, SKM, Rizkie, SKM.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Mei 2009 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Jalaluddin lahir di Bambi 19 Juli 1969, anak keempat dari enam bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Guci Rumpong lulus pada tahun 1983, melanjutkan ke SMP N. 1 Caleu dan lulus pada tahun 1986, Masuk SMA Negeri 1 Beureunuen lulus pada tahun 1989, kemudian mengikuti pendidikan pada SPAG Depkes RI Banda Aceh lulus pada tahun 1990, pada tahun 1995 tugas belajar pada AKZI Depkes RI Jakarta lulus tahun 1999 kemudian mengikuti tugas belajar pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2000 dan selesai pada tahun 2002.

Pengalaman bekerja penulis dimulai dari pengagkatan jadi CPNS pada tanggal 1 Maret 1993 ditempatkan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara. Tugas belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi mulai tahun 2005 sampai 2009.

Menikah Pada tahun 1999 dengan Cut Nurmalawati, SKM dan dikaruniai anak 4 orang, anak pertama Aulia Amira dan anak kedua Aulia Assifa , Anak ketiga Aulia Raja Aufhar dan anak keempat Aulia Putroe Hariva.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Kecacingan ... 7

2.1.1. Faktor Sanitasi Lingkungan ... 7

2.1.2. Faktor Manusia ... 12

2.2. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmited Helminths)... 16

2.2.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 16

2.2.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura ) ... 17

2.2.3. Cacing Tambang Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus)... 18

2.3. Dampak Infeksi Kecacingan Pada Anak... 20

2.4. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia... 21

2.5. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan... 22

2.6. Landasan Teori ... 24

2.7. Kerangka Konsep ... 28

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Jenis Penelitian... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29


(13)

3.3.1. Populasi ... 29

3.3.2. Sampel... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data... 30

3.4.1. Pengumpulan Data ... 31

3.4.2. Metode Pemeriksaan Faeses ... 33

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 34

3.5.1. Variabel ... 34

3.5.2. Definisi Operasional... 34

3.5.3. Aspek Pengukuran ... 35

3.6. Metode Pengukuran Variabel ... 36

3.6.1.Variabel Lingkungan... 36

3.6.2.Variabel Personal Hygiene... 37

3.6.3.Variabel Kararteristik Individu ... 38

3.7 Metode Analisis Data ... 39

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 41

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 41

4.1.1. Kondisi Geografi... 41

4.1.2. Demografi ... 41

4.2. Sanitasi Lingkungan ... 43

4.2.1. Sanitasi Lingkungan Rumah ... 43

4.2.2. Sanitasi Lingkungan Sekolah... 44

4.3. Personal Higiene ... 44

4.3.1. Kebersihan Kuku... 44

4.3.2. Penggunaan Alas Kaki ... 45

4.3.3. Kebiasaan Cuci Tangan ... 45

4.4. Karakteristik anak ... 46

4.4.1. Pengetahuan ... 46

4.4.2. Sikap ... 46

4.4.3. Jenis Kelamin ... 47

4.5. Infeksi Kecacingan ... 48

4.6. Analisis Bivariat ... 49

4.6.1. Analisis Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Infeksi Kecacingan... 50

4.6.2. Analisis Hubungan Pemakaian Alas Kaki dengan Infeksi Kecacingan... 51

4.6.3. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan dengan Infeksi Kecacingan... 51

4.6.4. Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Infeksi Kecacingan. 52 4.6.5. Analisis Hubungan Sikap dengan Infeksi Kecacingan. ... 53

4.6.6. Analisis Hubungan Jenis Kelamin dengan Infeksi Kecacingan... 54


(14)

4.6.7. Analisis Hubungan Penghasilan Orangtua dengan Infeksi

Kecacingan... 54

4.7. Analisis Multivariat (Regresi Logistik)... 55

BAB 5 PEMBAHASAN... 59

5.1. Infeksi Kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe... 59

5.2. Sanitasi Lingkungan... 61

5.2.1. Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Infeksi Kecacingan... 61

5.2.2. Hubungan Sanitasi Lingkungan Sekolah dengan Infeksi Kecacingan... 64

5.3. Personal Higiene ... 65

5.3.1. Kebersihan Kuku dengan Infeksi Kecacingan ... 65

5.3.2. Pemakaian Alas Kaki dengan Infeksi Kecacingan... 66

5.3.3. Kebiasaan Cuci Tangan dengan Infeksi Kecacingan ... 67

5.4. Karakteristik anak ... 68

5.4.1. Pengetahuan dengan Infeksi Kecacingan... 68

5.4.2. Sikap dengan Infeksi Kecacingan ... 68

5.4.3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Infeksi Kecacingan... 69

5.4.4. Penghasilan Orangtua dengan Infeksi Kecacingan ... 69

5.5. Keterbatasan Penelitian... 70

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 72

6.1. Kesimpulan ... 72

6.2. Saran... 73


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Distribusi Sampel pada Setiap Sekolah Menurut Proporsi ... 31 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 36 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

di Kecamatan Blang Mangat tahun 2009 ... 41 4.2 Distribusi Sarana Kesehatan di Kecamatan Blang Mangat Tahun 2009 ... 42 4.3 Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Blang Mangat

Tahun 2009 ... 43 4.4. Distribusi Sanitasi Lingkungan Rumah Siswa SD di Kecamatan Blang

Mangat Kota Lhokseumawe Tahun 2009 ... 43 4.5. Distribusi Kebersihan Kuku Siswa SDN di Kecamatan Blang Mangat

Kota Lhokseumawe Tahun 2009 ... 44 4.6. Distribusi Penggunaan Alas Kaki Siswa SD di Kecamatan Blang Mangat

Kota Lhokseumawe Tahun 2009 ... 45 4.7. Distribusi Kebiasaan Cuci Tangan Siswa SD di Kecamatan

Blang Mangat Kota Lhokseumawe Tahun 2009... 45 4.8. Distribusi Pengetahuan Siswa SD di Kecamatan Blang Mangat Kota

Lhokseumawe Tahun 2009 ... 46 4.9. Distribusi Sikap Siswa SD di Kecamatan Blang Mangat Kota

Lhokseumawe Tahun 2009 ... 47 4.10. Distribusi Jenis Kelamin Siswa SD di Kecamatan Blang Mangat Kota

Lhokseumawe Tahun 2009 ... 47 4.11. Distribusi Penghasilan Orang Tua Siswa SD di Kecamatan Blang Mangat

Kota Lhokseumawe Tahun 2009 ... 48 4.12. Distribusi Infeksi Kecacingan Siswa SDN di Kecamatan Blang Mangat

Kota Lhokseumawe Tahun 2009 ... 48 4.13. Distribusi Infeksi Kecacingan berdasarkan Jenis Cacing Siswa SD di


(16)

4.14. Hasil Uji Chi-square antara Sanitasi Lingkungan Rumah Siswa SD di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi

Kecacingan Tahun 2009... 50 4.15. Hasil Uji Chi-square antara Kebersihan Kuku di Kecamatan Blang

Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi Kecacingan Tahun 2009 50 4.16. Hasil Uji Chi-square antara Pemakaian Alas Kaki Siswa SD di

Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi

Kecacingan Tahun 2009... 51 4.17. Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Cuci Tangan Siswa SD di

Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi

Kecacingan Tahun 2009... 52 4.18. Hasil Uji Chi-square antara Pengetahuan Siswa SD di Kecamatan

Blang Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi Kecacingan

Tahun 2009 ... 51 4.19. Hasil Uji Chi-square antara Sikap Siswa SD di Kecamatan Blang

Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi Kecacingan Tahun 2009 53 4.20. Hasil Uji Chi-square antara Jenis Kelamin Siswa SD di Kecamatan

Blang Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi Kecacingan

Tahun 2009 ... 54 4.21. Hasil Uji Chi-square antara Penghasilan Orangtua Siswa SD di

Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe dengan Infeksi

Kecacingan Tahun 2009... 55 4.22. Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik Metode Backward Stepwise... 57 4.23. Hasil Uji Regresi Multivariat Logistik Metode Backward Stepwise... 57


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides... 16 2.2. Siklus hidup Trichuris trichiura... 17 2.3. Siklus hidup Hookworm Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.. 19 2.4. Memperlihatkan keseimbangan antara agen dan pejamu ditentukan oleh

posisi lingkungan terhadap keduanya ... 25 2.5. Kerangka Konsep Penelitian ... 28


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 79

2. Uji validitas dan reliabilitas ... 84

3. Hasil Tabulasi Silang ... 91

4. Hasil Uji Regresi ... 100

5. Dokumentasi Penelitian ... 102


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia beserta perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Bila ditinjau lebih jauh mengenai Undang-Undang tersebut, maka manusia dengan lingkungan sebenarnya tidak dapat dipisahkan.

Keadaan sanitasi lingkungan yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan di Indonesia (Zit, 2000).

Salah satu penyakit cacingan adalah penyakit cacingan usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut Soil Transmitted Helminths yang sering dijumpai pada anak usia Sekolah Dasar di mana pada usia ini anak masih sering kontak dengan tanah. Ada 3 jenis cacing yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura), (Depkes RI, 2004)

Dari hasil survey tahun 2002 di 10 Propinsi di Indonesia dengan sasaran anak Sekolah Dasar, Prevalensi kecacingan di Indonesia antara 4,8 % sampai dengan


(20)

83,0 %, Prevalensi tertinggi di propinsi Nusa Tenggara Barat diikuti Propinsi Sumatera Barat dan yang terendah di Propinsi Jawa Timur. Hasil survey prevalensi kecacingan tahun 2003 dengan sasaran dan lokasi yang sama pada tahun 2002 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Prevalensi kecacingan keseluruhan 33,1 %, cacing gelang 22, 26 %, cacing cambuk 20,30 % dan cacing tambang 0,75 % (Dirjen P2M & PL, 2004).

Penyakit cacingan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Dari hasil penelitian ternyata prevalensi penyakit cacingan masih tinggi, yaitu 60-70%. Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara tinggi di Indonesia, yang merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing, serta kondisi sanitasi dan higyene yang buruk. (Depkes, 2004)

Penyakit cacing ditularkan melalui tangan yang kotor, kuku panjang dan kotor menyebabkan telur cacing terselip. Penyebaran penyakit cacing salah satu penyebabnya adalah kebersihan perorangan yang masih buruk. Penyakit cacing dapat menular di antara murid sekolah yang sering berpegang tangan sewaktu bermain dengan murid lain yang kukunya tercemar telur cacing (Hendrawan, 1997).

Infeksi cacing menyebabkan kehilangan darah murid sekolah dasar di Indonesia sebanyak 16.863.000 liter darah per tahun. Infeksi cacing tambang misalnya dapat mengakibatkan terjadinya anemia. Infeksi ini dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,0005 cc – 0,34 cc/hari. Pada infeksi berat, kadar hemoglobin dapat mencapai angka 4 gr % dari kadar hemoglobin normal (11 gr % ) (FKUI, 2002)


(21)

Sampai saat ini penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pendesaan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang belum memadai, kebersihan pribadi (Personal Hygiene), tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah dan perilaku hidup sehat yang belum memadai (Rampengan, 1997).

Pencegahan infeksi berulang sangat penting dengan membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti menghindari kontak dengan tanah yang kemungkinan terkontaminasi feses manusia, cuci tangan dengan sabun dan air sebelum memegang makanan, lindungi makanan dari tanah dan cuci atau panaskan makanan yang jatuh ke lantai (Lilisari, 2007)

Wisnungsih (2004) penelitian pada siswa SDN Keburuhan Kecamatan Ngombol Kabupaten Purwerejo menemukan bahwa ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian infeksi cacing. Selanjutnya Widyaningsih (2004) menemukan bahwa perbedaan kejadian infeksi cacing usus pada anak sekolah dasar di Desa Tertinggal dan non Tertinggal Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar dengan hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara mencuci tangan sebelum makan, kebiasan memakai sandal, keadaan kuku dan frekuensi potong kuku terhadap kejadian infeksi cacing. Sejalan dengan Sutanto (1992) di SD jarakan dan SD Ngoto Kecamatan sewon Bantul Yogyakarta tentang infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah menunjukan bahwa intensitas infeksi Ascaris dan trichuris berpengaruh status gizi anak. Wachidanijah (2002) melanjutkan bahwa pengetahuan ada hubungan dengan kejadian infeksi cacing pada murid sekolah dasar.


(22)

Masih tingginya angka kesakitan penyakit menular di Indonesia seperti cacingan, antara lain dipengaruhi oleh tidak tersedianya air bersih, tidak adanya sarana pembuangan air limbah dan kurangnya kebersihan lingkungan perumahan (Meriyati, 1994)

Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa yang akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun intelektualnya, dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa peneliti ternyata menunjukan bahwa usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004)

Hasil kegiatan survei yang dilakukan dari beberapa kabupaten di Provinsi NAD tahun 2006 didapatkan persentase kecacingan yang tertinggi di Kabupaten Aceh Barat (56,60 %), Aceh Besar (50.75 %), Pidie (45,65 %) Bireun ( 43.53 % ) dan Kota Lhokseumawe (41.75 % )(World Food Programe, 2006)

Pada tahun 2006 survei yang dilakukan oleh Wold Food Programe (WFP) bekerjasama dengan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa kejadian infeksi kecacingan di Kecamatan Blang Mangat pada 65 murid SD yang diperiksa 35 murid (53.8 %) positif cacing. Jika dibandingkan dengan angka Nasional adalah 30,35 % (Dirjen P2M & PL, 2004) angka ini masih sangat tinggi hal ini menunjukkan bahwa penyakit infeksi kecacingan masih sangat tinggi di kota Lhokseumawe.


(23)

Kota Lhokseumawe mempunyai 4 Kecamatan salah satu diantaranya adalah Kecamatan Blang Mangat terdapat 11 sekolah dasar dan 1 Madrasah Ibtidaiyah Swasta, dimana masih banyak dijumpai murid-murid sekolah dasar yang tidak memakai alas kaki pergi ke sekolah. Daerah tersebut masih banyak dijumpai pemukiman penduduk sanitasi lingkungannya belum memadai (BPS, Kota Lhokseumawe, 2008).

Berdasarkan Uraian diatas maka penulis ingin menganalisa pengaruh sanitasi lingkungan, Personal Hygiene dan karakteristik anak dengan infeksi kecacingan anak SD di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah tingginya angka prevalensi kecacingan anak SD dan belum diketahui apakah sanitasi lingkungan, personal hygiene dan karakteristik anak berpengaruh terhadap Infeksi kecacingan pada murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat.

1.3. Tujuan Penelitian.

Untuk menganalisis pengaruh sanitasi lingkungan (lingkungan rumah, lingkungan sekolah), personal hygiene (kebersihan kuku, pemakaian alas kaki dan kebiasaan cuci tangan) serta karakteristik anak (pengetahuan, sikap, jenis kelamin dan penghasilan orang tua) terhadap kejadian infeksi kecacingan pada murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat.


(24)

1.4. Hipotesis

1. Ada pengaruh sanitasi lingkungan terhadap infeksi kecacingan pada murid SD negeri di Kecamatan Blang Mangat.

2. Ada pengaruh personal hygiene terhadap infeksi kecacingan pada murid SD negeri di Kecamatan Blang Mangat.

3. Ada pengaruh karakteristik anak terhadap infeksi kecacingan pada murid SD negeri di Kecamatan Blang Mangat.

1.5.Manfaat Penelitian.

1. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan Puskesmas Blang Mangat.

2. Dari hasil penelitian ini sebagai acuan dalam melakukan kegiatan promosi kesehatan bagi siswa SD Negeri di Kecamatan Blang Mangat.

3. Sebagai pengembangan konsep-konsep dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan.

Secara epidemiologik, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan, yaitu faktor sanitasi lingkungan dan faktor manusia (Soedarto, 1991) dijelaskan sebagai berikut :

2.1.1. Faktor Sanitasi Lingkungan

Mawardi dalam Riyadi (1994) menyatakan bahwa lingkungan adalah sesuatu yang berada disekitar manusia secara lebih teperinci dapat dikatagorikan dalam beberapa kelompok :

a. Lingkungan Fisik, yang ternasuk dalam kelompok ini adalah tanah dan udara serta interaksi satu sama lainnya diantara faktor-faktor tersebut.

b. Lingkungan biologis, yang termasuk dalam hal ini adalah semua organisme hidup baik binatang, tumbuhan maupun mikroorganisme kecuali manusia sendiri.

c. Lingkungan sosial yaitu termasuk semua interaksi antara manusia dari makhluk sesamanya yang meliputi faktor sosial, ekonomi, kebudayaan dan psikososial. Berdasarkan kategori diatas diartikan pula bahwa lingkungan adalah kumpulan dari semua kondisi atau kekuatan dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari suatu organisme hidup (manusia)


(26)

Kesehatan lingkungan merupakan salah satu displin ilmu kesehatan masyarakat dan merupakan perluasan dari prinsip-prinsip hygiene dan sanitasi. Kesehatan lingkungan adalah hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya yang berakibat atau mempengaruhi derajat kesehatannya, WHO mendefinisikan bahwa kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia, keadaan sehat mencakup manusia seutuhnya dan tidak hanya sehat fisik saja tetapi juga sehat mental dan hubungan sosial yang optimal di dalam lingkungannya (Mawardi, 1992)

Dalam penanggulangan cacingan, pengawasan sanitasi air dan makanan sangat penting, karena penularan cacing terjadi melalui air dan makanan yang terkontaminasi oleh telur dan larva cacing (Riyadi, 1994).

Paragdima Blum tentang kesehatan dari lima faktor dimana lingkungan mempunyai pengaruh dominan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan sosial, linkungan rekreasi, lingkungan kerja.

2.1.1.1. Lingkungan Rumah.

Sanitasi lingkungan merupakan salah satu usaha untuk mencapai lingkungan sehat melalui pengendalian faktor lingkungan fisik khususnya hal-hal yang mempunyai dampak merusak perkembangan fisik kesehatan dan kelangsungan hidup manusia. Usaha sanitasi lingkungan menurut Kusnoputranto (1986) adalah usaha kesehatan yang menitikberatkan pada usaha pengendalian faktor lingkungan fisik yang mungkin menimbulkan dan menyebabkan kerugian dalam perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.


(27)

Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Disamping lingkungan rumah tempat tinggal, anak Sekolah Dasar juga membutuhkan lingkungan sekolah tempat belajar yang sehat baik untuk perkembangan fisik, mental dan spiritualnya. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain baik di rumah maupun di sekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensi untuk terjangkit penyakit infeksi kecacingan (Poespoprodjo dan Sadjimin, 2002).

Sanitasi lingkungan merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Oleh karena itu untuk mencapai kemampuan hidup sehat di masyarakat, maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

a. Penyediaan Air Bersih

Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan (Slamet, 1996). Untuk itu penyediaan air bersih harus memenuhi persyaratan dari seperti :

Syarat kualitas air secara fisik adalah tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan jernih. Secara kimia air yang baik tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia ataupun mineral terutama zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Dan syarat bakteriologis semua air minum hendaknya dapat terhindar dari kemungkinan terkontaminasi bakteri terutama bakteri pathogen. Mengingat bahwa tidak mungkin air yang dikonsumsi seratus persen sesuai dengan persyaratan kesehatan, namun air


(28)

yang ada diusahakan sedemikian rupa mendekati syarat-syarat yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990.

b. Toilet dan Kamar Mandi

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran/najis yang lazim disebut WC, sehingga kotoran atau najis tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Dirjen P2M & PLP, 1998).

Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam penyakit seperti : Diare, Cholera, Dysentri, Poliomyelitis, Ascariasis dan sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain menimbulkan bau, mengotori lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada masyarakat.

Perjalanan agent penyebab penyakit melalui cara transmisi seperti dari tangan, maupun melalui peralatan yang terkontaminasi ataupun melalui mata rantai lainnya. Dimana memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab infeksi masuk melalui saluran pencernaan.

Untuk itu persyaratan toilet dan kamar mandi harus memenuhi persyaratan : i. Toilet selalu dalam keadaan bersih

ii. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, tidak licin, berwarna terang dan mudah dibersihkan

iii. Ada pembuangan air limbah dari toilet dan kamar mandi, dilengkapi dengan penahan bau


(29)

iv. Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan tempat pengelolaan makanan (dapur, ruang makan)

v. Lubang penghawaan harus berhubungan langsung dengan udara luar vi. Harus dilengkapi dengan slogan untuk memelihara kebersihan

vii. Tidak terdapat penampungan atau genangan air yang dapat menjadi tempat perindukan binatang pengerat dan serangga.

c. Pengelolaan Air Limbah

Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit. (Notoatmodjo, 2003).

Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks (Notoatmodjo, 2003).

Darmayanti, dalam Hidayat (2002) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara faktor lingkungan tempat tinggal dengan prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tinggi angka prevalensi A.lumbricoides pada anak sekolah dasar di desa dibandingkan dengan di kota menunjukan adanya perbedaan higiene dan sanitasi lingkungan. Penelitian tersebut juga menggambrakan bahwa adanya infeksi ganda A.lumbricoides di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hal ini menunjukan bahwa


(30)

lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di desa.

2.1.1.2. Lingkungan Sekolah

Di samping lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan sekolah secara tidak langsung mempunyai sumbangan terhadap terjadinya penularan penyakit infeksi cacingan. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain baik dirumah maupun di sekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensial untuk terjangkit penyakit infeksi kecacingan (Poespoprodjo dan Sadjimin, 2002)

2.1.2. Faktor Manusia

2.1.2.1. Hygiene Perorangan

Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Azwar, 1993).

Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Hygiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri meliputi

a. Memelihara kebersihan b. Makanan yang sehat c. Cara hidup yang teratur

d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani e. Menghindari terjadinya penyakit


(31)

g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat h. Pemeriksaan kesehatan

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta penddikan kesehatan (Soedarto, 1991)

Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau penjepit dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang.

Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan.

Hygiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan hygiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.


(32)

2.1.2.2. Perilaku

Notoatmodjo (1993) menyatakan perilaku manusia dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan sosial yang secara rinci merupakan refleksi dari gejolak kejiwaan seperti : pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagian yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisk dan sosial budaya masyarakat.

Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur perilaku dimana salah satu adalah pengetahuan, dengan cara memperoleh data atau informasi tentang indikator–indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan tingkat

pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Menurut Azwar (1993) perilaku sehat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti :

- Latar belakang seseorang yang meliputi norma-norma yang ada, kebiasaan, nilai budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku dimasyarakat.

- Kepercayaan meliputi manfaat yang didapat, hambatan yang ada, kerugian dan kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit.

- Sarana merupakan tersedia atau tidaknya fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.


(33)

Depkes RI (1998), salah satu aspek yang penting dalam penanggulangan infeksi kecacingan adalah dengan cara meningkatkan pengetahuan dan perilaku keluarga tentang hygiene perorangan serta sanitasi lingkungan dan makanan meliputi :

- Mandi pakai sabun 2 kali sehari - Memotong dan membersihkan kuku.

- Cuci tangan sebelum makan dan sehabis buang air besar. - Memasak makanan dan minuman

- Buang air besar di jamban yang memenuhi syarat. - Menjaga kebersihan lingkungan rumah

- Menggunakan air bersih

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi kecacingan adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi kecacingan. Wachidanijah (2002) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan seseorang semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi disekitar rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tinggi infeksi oleh ”Soil-Transmited Helminths” pada masyarakat.


(34)

2.2. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmited Helminths)

2.2.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus. Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides

Keterangan :

1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama feses.

2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah 18 hari sampai beberpa minggu di tanah.


(35)

3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat, tempat teduh)

4. Telur infective tertelan

5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru

6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10 –14), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh (Bruckner , 2006)

2.2.2. Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk )

Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio tertelan manusia, larva yang menjadi aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar hospes. Telur yang infektif bila tertelan manusia menetes menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usuu halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru (Onggowaluyo, 2002). Siklus hidup cacing Trichuris trichiura digambarkan sebagai berikut (Albert, 2006):

Gambar 2.2. Siklus hidup Trichuris trichiura


(36)

Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun (Onggowaluyo, 2002).

Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90 %. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak–anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo, 2002).

Di Daerah hiperentemik, laju infeksi dapat dicegah dengan pengobatan, pembuatan MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan, pendidikan tentang hygienis dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002).

2.2.3.Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)

Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, Cacing melekat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariorm yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam


(37)

waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Gandahusada dkk, 2004). Gambaran umum siklus hidup cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.3. Siklus hidup Hookworm Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

Keterangan :

Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap ahir, larva-larva ini akan naik ke permukaan tanah. Dengan bentuk tubuh yang runcing di bagian atas, larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran darah sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini akan terbawa ke paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju usus halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama dengan feses ke alam dan akan menyebar kemana-mana (Albert, 2006).


(38)

Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan tekhnik pembiakan larva (Onggowaluyo, 2002).

2.3. Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak

Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi (Soedarto, 1999).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A (Hidayat, 2002).


(39)

Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing (Gandahusada dkk, 2004).

Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Gandahusada dkk, 2004).

Gejala kecacingan jika penderita yang ditumpangi cacing sudah kekurangan gizi terjadi karena sebagian makanan dimakan oleh cacing, tanda-tandanya : berat badan turun, wajah pucat, kulit dan rambut jering, keadaan tubuh lemah, lesu dan mudah sakit. Selera makan berkurang , kulit telapak tangan tidak merah, kurang darah dan mungkin jantung berdebar-debar, sesak nafas dan sering pening (Hendrawan, 2007)

2.4. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia

Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin, 1994).


(40)

Agustina (2000) mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di Kecamatan Paseh Jawa Barat.

Selain melalui tangan, transmisi telur cacing ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut (Helmy, 2000).

Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi (Brown, 1979).

2.5. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan Infeksi Kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena pada periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak (Dirjen P2M & PL, 1998).

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan


(41)

massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegah dari penyakit kecacingan adalah sebagai berikut (Nadesul, 1997).

- Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.

- Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

- Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol. - Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.

- Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang kotoran di jamban.

- Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban

- Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan. - Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke

puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan. - Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas

- Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.

- Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang mentah atau setengah matang.

- Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.

- Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit kecacingan


(42)

- Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir. Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan dengan masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan massal, penyuluhan kesehatan, peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta partisipasi masyarakat (Hadidjaja, 1994).

Menurut Sasongko (2007) kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus.Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu bertahun-tahun. Negara maju sepenti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu saat Perang Dunia II, Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin, mereka menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya, penularan cacing menjadi tak terkendali, sampai menyerang 80% penduduk. Butuh waktu 10 tahun untuk menurunkan angka kecacingan hingga di bawah 10%. Pada kasus cacingan ringan sampai sedang, gejalanya sulit dikenali.


(43)

Untuk memastikan, anak-anak harus diperiksa tinjanya dengan mikroskop. Jika terbukti mengandung telur cacing, ia harus segera diobati.

2.6. Landasan teori

Kejadian kecacingan pada anak usia Sekolah Dasar selain disebabkan oleh perilaku si anak itu sendiri, juga bisa disebabkan oleh perilaku orangtuanya yang tidak sehat serta kondisi lingkungan yang tidak sehat. Dengan demikian kejadian kecacingan pada anak di duga berkaitan pula dengan pendidikan dan pengetahuan orangtuanya, terutama pendidikan dan pengetahuan ibu dan lingkungan.

Proses terjadinya penyakit menurut John Gordon atau lebih dikenal dengan Model Gordon menggambarkan terjadinya penyakit sebagai adanya sebatang pengungkit, yang mempunyai titik tumpu ditengah-tengahnya. Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni A (Agent), H (Host), dan tumpuannya adalah L (Lingkungan). A,H dan L dianggap sebagai tiga elemen utama yang berperan dalam interaksi ini, sehingga terjadi keadaan sehat ataupun sakit (Soemirat, 2005).

A = Agent/penyebab penyakit

H = Host/pejamu/populasi beresiko tinggi L = Lingkungan


(44)

Gambar 2.4. Memperlihatkan keseimbangan antara agen dan pejamu ditentukan oleh posisi lingkungan terhadap keduanya

Gambar diatas menunjukkan bahwa apabila pengungkit tadi berada dalam keseimbangan, maka dikatakan bahwa masyarakat berada dalam keadaan sehat. Apabila interaksi ketiga unsur tadi menghasilkan keadaan tidak seimbang, maka didapat keadaan yang tidak sehat atau keadaan sakit.

Keadaan ke-1 Keadaan ke-2

Interaksi antar faktor-faktor penyebab penyakit, serta serangkaian prosesnya merupakan lingkaran keseimbangan dari ke tiga unsur / faktor. Faktor lingkungan

L H

A

L

A

H Fisika

Kimia Biologi

Sosial Lingkungan

Host Agen


(45)

sangat berperan dalam keseimbangan tersebut. Pengeseran faktor lingkngan ke arah yang menguntungkan agen pada keadaan tertentu akan menyebabkan pejamu agen berkembang biak (bahan penyubur) pada genangan air yang tidak dibersihkan, maka pejamu rentan dalam lingkungan tersebut akan terserang agen. Sebaiknya bila keadaan lingkungan bergeser ke arah yang menurunkan kerentanan pejamu, misalnya tidak mengalami penurunan berat badan dan sebagainya, maka pengeseran lingkungan tersebut meningkatkan daya tahan pejamu terhadap serangan agen (model2). Keseimbangan antara agen-pejamu-lingkungan akan dapat dicapai apabila lingkungan sedemikian rupa, sehingga tidak memberikan peluang bagi agen untuk menjadi ganas, dan sebaliknya pejamu memilki daya tahan terhadap serangan agen, apabila terjadi keseimbangan yang menguntungkan sifat khusus agen, maka pejamu yang rentan akan lebih mudah dipengaruhi agen, dan akhirnya penjamu menjadi sakit/terganggu kesehatannya.

Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik (temperatur, cahaya, pertukaran udara, perumahan, pakaian, air, tanah dan sebagainya), lingkungan biologis (setiap flora dan fauna), Lingkungan sosial (penduduk, kebudayaan, adat istiadat, agama, pendidikan, kepercayaan, pendapatan dan sebagainya)

Dari segi lingkungan, misalnya lingkungan mungkin berperan sebagai bahan penyubur agen atau pada keadaan tertentu, membuat pejamu menjadi rentan terhadap serangan serta keganasan agen yang bersangkutan. Seseorang yang berada dalam lingkungan dengan suhu dan kelembaban tertentu, yang memungkinkan perkembangbiakan atau pertumbuhan dengan cepat agen di dalam penjamu.


(46)

Usaha-usaha kesehatan ditujukan untuk mengendalikan ketiga faktor yang mempengaruhi kesehatan tersebut sehingga manusia dapat tetap hidup sehat, yaitu : a. Terhadap faktor penyebab penyakit.

1. Memberantas sumber penularan penyakit. 2. Mencegah terjadinya kecelakaan

3. Menigkatkan taraf hidup rakyat b. Terhadap faktor manusia

Mempertinggi daya tahan tubuh manusia dan meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam prinsip- prinsip kesehatan perorangan.

c. Terhadap faktor lingkungan

Mengubah atau mempengaruhi lingkungan hidup, sehingga faktor-faktor yang tidak baik dapat diawasi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kesehatan manusia.

Infeksi kecacingan pada anak SD sering terjadi karena perilaku sehari-hari yang kurang sehat. Perilaku bermain, tidak memakai alas kaki, menggunakan tangan ketika bermain dan tidak mencuci tangan setelah bermain, tidak mencuci tangan waktu akan makan dan setelah buang air besar dan perilaku buang air besar sembarang tempat adalah contoh perilaku yang kurang sehat.


(47)

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan pada landasan teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Kejadian Infeksi Kecacingan

Sanitasi Lingkungan

- Lingkungan Rumah - Lingkungan Sekolah

Personal Hygiene

- Kebersihan Kuku - Pemakaian Alas Kaki - Kebiasaan Cuci Tangan

Karakteristik Anak

- Pengetahuan - Sikap

- Jenis Kelamin

- Penghasilan Orangtua

Pemeriksaan Laboratorium


(48)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan rancangan cross secsional yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu saat tertentu terhadap objek yang berubah, berkembang atau tumbuh menurut waktu (Budiarto, 2003). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory research (penjelasan) yaitu mencari seberapa besar pengaruh faktor sanitasi lingkungan, personal hygiene dan karakteristik anak terhadap infeksi kecacingan pada murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokeumawe.

Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan pendekatan deskriftip yaitu melakukan observasi terhadap lingkungan sekolah.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokeumawem, bulan Pebruari sampai dengan Maret 2009.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah murid kelas V dan VI dari 3 (tiga) Sekolah Dasar Negeri terpilih dengan pertimbangan sebagai berikut :


(49)

a. Sekolah Dasar tersebut berada di wilayah pesisir pantai yang merupakan daerah pasang surut sehingga sering digenangi air.

b. Sekolah Dasar tersebut bekas bencana gempa bumi dan gelombang tsunami.

c. Dari survei awal ditemukan banyak murid memiliki sanitasi lingkungan dan hygiene personal yang buruk.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Notoatmodjo (1997) sebagai berikut :

( )

2

1 N d

N n

+ =

Keterangan:

N = Besar Populasi. n = Besar Sampel.

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0.05)

{ }

(

)

2

05 , 0 ( 240 1 240 + = n

{ }

6 . 0 1 240 + = n 6 . 1 240 = n 150 = n


(50)

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dari 250 murid (total populasi) , maka diperoleh 150 murid untuk dijadikan sampel.

Pengambilan sampel menggunakan cara proportional sampling (Arikunto,S, 2002)

Tabel 3.1. Distribusi Sampel pada Setiap Sekolah Menurut Proporsi

No. Sekolah Jumlah Murid (%) Jumlah Sampel

1. SDN. 3 75 30,9 46

2. SDN 7 80 34,2 51

3. SDN 9 85 34.9 53

Jumlah 240 100,0 150

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara : a. Pengisian Kuesioner.

b. Observasi terhadap sanitasi lingkungan sekolah. c. Pemeriksaan Faeces

d. Data Sekunder yang meliputi :

Data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan Puskesmas Blang Mangat yang berhubungan dengan penelitian.

Data primer yang dikumpulkan dilakukan ujicoba kuesioner diketahui bahwa item-item pertanyaan pada variabel lingkungan rumah, kebiasaan cuci tangan, penggunaan alas kaki, kebersihan kuku, pengetahuan dan sikap valid dan reliabel untuk digunakan dalam penelitian ini dengan hasil sebagai berikut:


(51)

a. Variabel lingkungan rumah dengan 4 item pertanyaan, diperoleh nilai koefisien korelasi >0,3 dan nilai alpha cronbach 0,8223 > 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan). (lampiran. 2)

b. Variabel Kebiasaan Cuci Tangan dengan 6 item pertanyaan, diperoleh nilai koefisien korelasi >0,3 dan nilai alpha cronbach 0,8188 > 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan) (lampiran. 2)

c. Variabel Penggunaan alas kaki dengan 3 item pertanyaan, diperoleh nilai koefisien korelasi >0,3 dan nilai alpha cronbach 0,6724 > 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan) (lampiran. 2).

d. Variabel kebersihan kuku dengan 3 item pertanyaan, diperoleh nilai koefisien korelasi >0,3 dan nilai alpha cronbach 0,7854 > 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan) (lampiran. 2).

e. Variabel pengetahuan dengan 10 item pertanyaan, diperoleh nilai koefisien korelasi >0,3 dan nilai alpha cronbach 0,8620 > 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan) (lampiran. 2).

f. Variabel sikap dengan 10 item pertanyaan, diperoleh nilai koefisien korelasi >0,3 dan nilai alpha cronbach 0,8532 > 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan) (lampiran. 2).


(52)

3.4.2. Metode Pemeriksaan Faeses

Sebelum pemeriksaan faeces dilakukan terlebih dahulu pot faeces dibagikan kepada responden sehari sebelum dilakukan pemeriksaan kemudian pagi harinya dikumpulkan kembali lalu faeses di bawa ke laboratorium. Metode yang digunakan memeriksa faeces untuk menentukan seseorang terinfeksi kecacingan atau tidak digunakan metode Tebal Kato Katz, prosedurnya adalah sebagai berikut :

1. Gelas Objek yang biasa

2. Kertas cellophane yang hydropilik,ukuran 22 x 40 mm direndam dalam larutan kato untuk waktu paling sedikit 24 jam lamanya sebelum dapat dipakai.

3. Larutan kato (50 ml glycerin, 50 ml phenol 6%, 0.6 ml larutan malchite green dalam air 3%).

2. Cara Kerja :

- Letakkan tinja sebesar biji kacang kedelai (100 mg) di atas objek yang bersih. - Tutup tinja dengan sepotong kertas Cellophone yang telah disiapkan.

- Ratakan dengan cara menekan tinja dengan benda yang tumpul sampai tersebar rata dibawah kertas Cellophone tersebut, jagalah jangan sampai ada tinja yang keluar dari tepi kertas Cellophone tersebut.

- Biarkan preparat tersebut selama 15 menit dalam suhu kamar (28 – 32 C) kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali atau 400 kali.


(53)

3. Hasil.

a. Faeces : Positif (+) ditemukan telur cacing b. Faeces : Negatif (-) tidak ditemukan telur cacing.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel

Variabel independen dalam penelitian ini adalah sanitasi lingkungan (rumah, dan sekolah), personal hygiene (kebersihan kuku, kebiasaan cuci tangan, penggunaan alas kaki) karakteristik anak (pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin dan penghasilan orang tua) dan Variabel dependen adalah Infeksi Kecacingan.

3.5.2. Definisi Operasional

a. Sanitasi lingkungan rumah adalah kondisi kesehatan rumah yang berhubungan dengan penularan infeksi cacingan dengan indikator ketersedian air bersih, ketersedian jamban, adanya sarana pembuang sampah dan adanya SPAL.

b. Sanitasi lingkungan sekolah adalah fisik sekolah dengan indikator halaman sekolah, sumber air bersih, kepemilikan jamban, sarana pembuang sampah dan SPAL.

c. Kebersihan kuku adalah upaya yang dilakukan oleh murid dalam memelihara kebersihan kuku.

d. Penggunaan alas kaki adalah sering atau jarang murid menggunakan alas kaki pada saat keluar dari rumah.


(54)

e. Kebiasaan cuci tangan adalah cara yang dilakukan oleh murid untuk membersihkan tangan sebelum makan, setelah buang air besar dan setelah bermain tanah, yang akan dilihat apakah anak mencuci tangan atau tidak dan apakah anak yang mencuci tangan memakai sabun atau tidak.

f. Pengetahuan murid sekolah dasar tentang infeksi cacingan adalah kemampuan murid sekolah dasar menjawab pertanyaan tentang penyakit cacingan.

g. Sikap adalah tanggapan atau persepsi murid sekolah dasar terhadap infeksi cacingan.

h. Jenis kelamin dibedakan atas laki-laki dan perempuan.

i. Penghasilan orang tua murid adalah pendapatan yang diperoleh orang tua murid dalam satu bulan.

j. Infeksi kecacingan adalah ditemukannya satu atau lebih telur cacing usus pada murid sekolah dasar melalui pemeriksaan feses

3.5.3. Aspek Pengukuran

1. Aspek Pengukuran Variabel Independen

Pengukuran variabel bebas adalah Sanitasi lingkungan, Personal hygiene dan karakteristik anak secara rinci dapat dilihat pada tabel Tabel 3.2 :


(55)

Tabel 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen

No Nama Variabel Alat ukur Hasil Ukur Skala

1. Lingkungan rumah Kuesioner a. Memenuhi syarat. b. Tidak Memenuhi syarat

Ordinal 2. Lingkungan Sekolah Kuesioner a. Memenuhi syarat.

b. Tidak Memenuhi syarat

Ordinal 3. Penggunaan alas kaki Kuesioner Sering

Jarang

Ordinal 4. Kebersihan kuku Kuesioner Baik

Tidak Baik

Ordinal Ordinal Penggunaan alas kaki Kuesioner Sering

Jarang

Ordinal 5 Kebiasaan cuci

tangan

Kuesioner Tidak cuci tangan Cuci tangan dengan air Cuci tangan pakai air dan sabun

Ordinal

6 Pengetahuan Kuesioner a. baik b. Sedang c. Kurang

Ordinal 7 Sikap Kuesioner a. baik

b. Sedang c. Kurang

Ordinal 8 Jenis Kelamin 1. Laki-laki

2. perempuan

Nominal 9 Pengahsilan orang tua Kuesioner a. Rendah

b. Tinggi

Ordinal 10 Infeksi Cacing Pemeriksaan

Laboratorium

a. Positif telur cacing b. Negatif telur cacing

Nominal

3.6. Metode Pengukuran Variabel 3.6.1.Variabel Lingkungan

3.6.1.1Variabel Lingkungan Rumah

Kriteria rumah sehat diambil dari Pedoman Penanggulangan Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penilaian kategori dibagi menjadi 2 :


(56)

- Memenuhi syarat kesehatan: Jika semua indikator terpenuhi.

- Tidak Memenuhi syarat kesehatan: Jika satu atau lebih indikator tidak terpenuhi

3.6.1.2.Variabel Lingkungan Sekolah.

Lingkungan sekolah meliputi halaman bersih, ketersedian air bersih, kebersihan jamban, adanya sarana pembuang sampah dan adanya SPAL, penilaian kategori dibagi menjadi 2:

- Memenuhi syarat kesehatan: Jika semua indikator terpenuhi.

- Tidak Memenuhi syarat kesehatan: Jika satu atau lebih indikator tidak terpenuhi

3.6.2.Variabel Personal Hygiene

Pengukuran variabel kebiasaan cuci tangan yaitu tidak cuci tangan, cuci tangan dengan air saja atau cuci tangan pakai air dan sabun. penggunaan alas kaki, kebersihan kuku dikategorikan menjadi dua yaitu :

1. Baik jika jawaban Ya ≥ 75% atau apabila responden menjawab pertanyaan 2 – 3 benar

4. Buruk, jika jawaban Tidak < 75 % atau apabila responden menjawab pertanyaan 1 benar


(57)

3.6.3.Variabel Kararteristik Anak 3.6.3.1. Pengetahuan

Pengetahuan ini diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah diberi nilai (skor). Tiap pertanyaan mempunyai nilai 0 sampai nilai 1 dengan kriteria :

- Jawaban benar = 1 - Jawaban salah = 0

Berdasarkan jumlah tersebut, pengetahuan diklasifikasikan dalam 3 kategori :

a. Baik, Jika jawaban benar responden ≥ 75% atau apabila responden menjawab pertanyaan benar 8 – 10.

b. Sedang, Jika jawaban benar responden 40 – 75% atau apabila responden menjawab pertanyaan benar 4– 7.

c. Buruk , jika jawaban tidak ≤ 40% atau apabila responden menjawab pertanyaan <4

3.6.3.2. Sikap

Sikap diukur dengan memberikan jawaban dari kuesioner yang telah diberi nilai (skor), tiap pertanyaan mempunyai nilai 0 sampai nilai 1 dengan kriteria :

- Jawaban setuju = 1 - Jawaban tidak setuju = 0

Berdasarkan jumlah tersebut, sikap diklasifikasikan dalam 3 kategori :

a. Baik, Jika jawaban setuju oleh responden ≥ 75% atau apabila responden menjawab pertanyaan setuju 8 – 10


(58)

b. Sedang, Jika jawaban setuju oleh responden 40 – 75% atau apabila responden menjawab pertanyaan setuju 4 - 7

c. Buruk Jika jawaban setuju oleh responden ≤ 40% atau apabila responden menjawab pertanyaan setuju < 4

3.6.3.3. Jenis kelamin

Jenis kelamin di kategorikan : - Laki-laki = 1

- Perempuan = 2 3.6.3.4. Penghasilan orang tua

Pengukuran tingkat penghasilan orang tua diukur berdasarkan upah minimum Kabupaten/Provinsi NAD. Pengkategorian penghasilan orang tua adalah (peraturan Gebernur Provinsi Nanggroe Aceh darussalam No. 67 Tahun 2007)

1. Rendah, jika penghasilan ≤ Rp.1.000.000,-/bulan 2. Tinggi, jika penghasilan > Rp.1.000.000,-/bulan.

3.7. Metode Analisa Data

Analisa univariat dilakukan untuk mendapat gambaran tentang distribusi frekuensi responden untuk masing-masing variabel meliputi, faktor lingkungan (lingkungan rumah, lingkungan sekolah) Personl hygiene (kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, kebersihan cuci tangan) dan karakteristik anak (pengetahuan, sikap, jenis kelamin dan penghasilan orang tua) serta infeksi kecacingan.


(59)

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan variabel dependen yaitu : faktor lingkungan (lingkungan rumah, lingkungan sekolah) Personal hygiene (kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, kebiasaan cuci tangan) dan karakteristik anak (pengetahuan, sikap, jenis kelamin dan penghasilan orang tua) terhadap infeksi kecacingan.

Analisis multivariat untuk melihat pengaruh antara faktor lingkungan, pesonal hygiene dan karakteristik anak terhadap infeksi cacing dengan melakukan uji statistik (analisis regresi logistik) yang dapat dijadikan variabel yang terpengaruh terhadap infeksi cacing. Dari uji multivariat ini akan diketahui variabel mana yang paling dominan pengaruhnya terhadap infeksi kecacingan, dengan persamaan regresi ebagai berikut:

Y = g + IX1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5X5 + 6X6 + 7X7 + µ Keterangan:

Y = Variabel Dependen (Kejadian Infeksi Kecacingan) = Konstanta Regresi

X1 = Sanitasi Lingkungan Rumah X2 = Kebersihan Kuku X3 = Pemakaian Alas Kaki X4 = Kebiasaan Cuci Tangan X5 = Sikap

X6 = Jenis Kelamin

X7 = Penghasilan Orangtua β1-β7 = Koefisien Regresi μ = Error term


(60)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Kondisi Geografi

Kecamatan Blang Mangat berada di Wilayah Pemerintah Kota Lhokseumawe, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas Wilayah Kecamatan Blang Mangat 5.612 Km², dengan ketinggian 30 m dari permukaan laut. Terdiri dari dataran tinggi dan daratan rendah (BPS Kota Lhokseumawe, 2008). Adapun batas-batas Wilayah Kecamatan Blang Mangat adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan.Geureudong Pasee - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Muara Dua

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Syamtalira bayu

4.1.2. Demografi

a. Jumlah Penduduk

Berdasarkan data BPS Kecamatan Blang Mangat 2008 distribusi penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin sebagai berikut :

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Blang Mangat tahun 2009

Jenis Kelamin

No. Golongan Umur

(Tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. 6. 0-4 5-14 15-29 30-49 50-74 > 74 915 2.187 2.654 2.524 824 28 709 1.882 3.254 2.605 773 49 1.624 4.069 5.908 5.129 1.597 77 8,8 21,1 32,1 27,9 8,7 0,4

Jumlah 9.279 9.273 18.552 100,0


(61)

Jumlah penduduk di Kecamatan Blang Mangat 18.552 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 9.279 jiwa dan perempuan 9.273 jiwa, dan paling banyak adalah golongan umur 15-29 tahun.

b. Sarana Kesehatan

Berdasarkan data Profil Puskesmas Blang Mangat 2008 distribusi sarana kesehatan dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 4.2. Distribusi Sarana Kesehatan di Kecamatan Blang Mangat Tahun 2009

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Puskesmas Puskesmas Pembantu Posyandu Balai Pengobatan

Praktek Dokter Spesialis Praktek Dokter Umum Praktek Dokter Gigi Bidan Praktek Apotik Toko Obat 1 1 28 3 1 2 1 3 1 6

Jumlah 47

Sumber : Profil Puskesmas Blang Mangat, 2008

Sarana pelayanan kesehatan yang paling banyak di Kecamatan Blang Mangat adalah Posyandu.

Berdasarkan data Profil Puskesmas Blang Mangat 2008 Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas dapat dilihat sebagai berikut :


(62)

Tabel 4.3. Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Blang Mangat Tahun 2009

No. Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Dokter Umum Dokter Gigi Akademi Bidan Akademi Perawat Akademi Analis

Akademi Penilik Kesehatan Bidan Perawat Perawat Gigi Asisten Apoteker Gizi Pekarya Kesehatan 3 1 2 5 2 5 11 1 2 1 1

Jumlah 35

Sumber : Puskesmas Kecamatan Blang Mangat , 2008

Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang paling banyak di Kecamatan Blang Mangat adalah Perawat dan yang paling sedikit adalah Pekarya kesehatan

4.2. Sanitasi Lingkungan

4.2.1. Sanitasi Lingkungan Rumah

Sanitasi lingkungan rumah responden di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe yang tidak memenuhi syarat sebesar 50,7%, Jamban tidak berfungsi dengan baik, tidak adanya sumber air bersih dan tida adanya saluran pembuangan air limbah.

Tabel 4.4. Distribusi Sanitasi Lingkungan Rumah Murid SD di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Tahun 2009.

Lingkungan Rumah Jumlah Persentase (%)

Memenuhi Syarat 74 49.3

Tidak Memenuhi Syarat 76 50.7


(63)

4.2.2. Sanitasi Lingkungan Sekolah

Hasil pengamatan atau observasi terhadap lingkungan sekolah menunjukkan lingkungan sekolah cenderung tidak memenuhi syarat sanitasi lingkungan yang ditetapkan. Hal ini terlihat dari :

a. Halaman sekolah yang bersih di SDN 9 sedangkan SDN 3 dan SDN 7 tidak bersih b. Air bersih tersedia di SDN 9 sedangkan SDN 3 dan SDN 7 tidak tersedia

c. Tempat pembuangan sampah tarsedia di SDN 9 sedangkan SDN 3 dan SDN 7 tidak tersedia

c. SPAL tidak tarsedia di SDN 9, SDN 3 maupun SDN 7

4.3. Personal Hygiene 4.3.1. Kebersihan Kuku

Pada penelitian ini kebersihan kuku murid Sekolah Dasar dapat dilihat pada uraian berikut:

Tabel 4.5. Distribusi Kebersihan Kuku Murid SDN di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Tahun 2009.

Kebersihan Kuku Jumlah Persentase (%)

Baik 80 53.3

Tidak baik 70 46.7

Jumlah 150 100,0

Persentase kebersihan kuku murid Sekolah Dasar yang baik 53,3% lebih banyak daripada kebersihan kuku yang tidak baik.


(64)

4.3.2. Penggunaan Alas Kaki

Penggunaan alas kaki oleh murid Sekolah Dasar dan kategorinya dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.6. Distribusi Penggunaan Alas Kaki Murid SD di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Tahun 2009.

Penggunaan Alas Kaki Jumlah Persentase (%)

Baik 71 47.3

Tidak baik 79 52.7

Jumlah 150 100,0

Persentase murid SD menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal) saat keluar rumah, saat sekolah lebih besar pada kategori tidak baik yaitu 52,7%.

4.3.3. Kebiasaan Cuci Tangan

Kebiasaan cuci tangan oleh murid Sekolah Dasar dan kategorinya dapat dilihat pada uraian berikut:

Tabel 4.7. Distribusi Kebiasaan Cuci Tangan Murid SD di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Tahun 2009.

Kebiasaan Cuci Tangan Jumlah Persentase (%)

Baik 70 46.7

Tidak baik 80 53.3

Jumlah 150 100,0

Persentase murid yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan kategori tidak baik sebesar 53,3%, yaitu saat mau makan, setelah buang air besar, cuci tangan pakai air dan sabun dan setelah bermain dengan tanah.


(65)

4.4. Karakteristik Individu

Pada penelitian ini, karakteristik individu yang dilihat meliputi: Pengetahuan, Sikap, Jenis kelamin, Penghasilan orangtua. Jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada uraian berikut :

4.4.1. Pengetahuan

Pengetahuan Murid tentang penyakit infeksi kecacingan meliputi : tertular apabila bermain dengan tanah, cacing masuk ketubuh melalui tangan, memotong kuku untuk terhindar dari penyakit kecacingan, gejala penyakit kecacingan adalah malas, kurus, perut buncit dan kurang darah, apabila bermain dengan dengan tanah harus pakai sandal, setelah bermain harus cuci tangan, minum obat cacing enam bulan sekali, harus mencuci tangan dengan air bersih dan tidak boleh buang air besar sembarangan.

Tabel 4.8. Distribusi Pengetahuan Murid SD di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe Tahun 2009.

Pengetahuan Jumlah Persentase (%)

Baik 45 30.0

Sedang 51 34.0

Buruk 54 36.0

Jumlah 150 100,0

Hasil penelitian tentang pengetahuan menunjukkan sebagian besar Murid mempunyai pengetahuan yang buruk, yaitu 36,0%.

4.4.2. Sikap

Sikap Murid tentang penyakit infeksi kecacingan meliputi : anak-anak mudah tertular karena perilaku mereka belum bersih dan sehat, memcuci tangan setelah BAB supaya tidak terkena penyakit kecacingan, BAB di WC dapat mencegah kecacingan,


(1)

penghasilan orang tua * kejadian infeksi kecacingan

penghasilan orang tua * kejadian infeksi kecacingan Crosstabulation

59 31 90

47.4 42.6 90.0

74.7% 43.7% 60.0%

39.3% 20.7% 60.0%

20 40 60

31.6 28.4 60.0

25.3% 56.3% 40.0%

13.3% 26.7% 40.0%

79 71 150

79.0 71.0 150.0

100.0% 100.0% 100.0% 52.7% 47.3% 100.0% Count

Expected Count % within kejadian infeksi kecacingan % of Total Count

Expected Count % within kejadian infeksi kecacingan % of Total Count

Expected Count % within kejadian infeksi kecacingan % of Total Rendah Tinggi penghasilan orang tua Total Positif Negatif kejadian infeksi kecacingan Total Chi-Square Tests

14.994b 1 .000

13.729 1 .000

15.226 1 .000

.000 .000

14.894 1 .000

150 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28.40.

b.

Risk Estimate

3.806 1.908 7.595

1.967 1.334 2.899

.517 .369 .723 Odds Ratio for

penghasilan orang tua (Rendah / Tinggi) For cohort kejadian infeksi kecacingan = Positif

For cohort kejadian infeksi kecacingan = Negatif

Value Lower Upper 95% Confidence


(2)

Logistic Regression

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

114.544

8

.000

114.544

8

.000

114.544

8

.000

Step

Block

Model

Step 1

Chi-square

df

Sig.

Model Summary

92.973

.534

.713

Step

1

-2 Log

likelihood

Cox & Snell

R Square

Nagelkerke

R Square

Classification Table

a

59

12

83.1

12

67

84.8

84.0

Observed

Negatif

Positif

kejadian infeksi

kecacingan

Overall Percentage

Step 1

Negatif

Positif

kejadian infeksi

kecacingan

Percentage

Correct

Predicted

The cut value is .500

a.

Variables in the Equation

2.916

.650

20.129

1

.000

18.471

1.306

.580

5.075

1

.024

3.691

1.190

.583

4.173

1

.041

3.287

1.158

.572

4.097

1

.043

3.185

1.042

.565

3.399

1

.065

2.836

1.098

.548

4.014

1

.045

2.999

1.149

.570

4.061

1

.044

3.155

1.499

.566

7.005

1

.008

4.476

-5.801

1.030

31.711

1

.000

.003

LINGRMH

KEBKUKU

ALASKAKI

KEBCUTA

TAHU

SIKAP

GENDER

PNGHSLN

Constant

Step

1

a

B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: LINGRMH, KEBKUKU, ALASKAKI, KEBCUTA, TAHU, SIKAP,

GENDER, PNGHSLN.

a.

Lampiran-4


(3)

Logistic Regression

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

111.187

7

.000

111.187

7

.000

111.187

7

.000

Step

Block

Model

Step 1

Chi-square

df

Sig.

Model Summary

96.331

.523

.699

Step

1

-2 Log

likelihood

Cox & Snell

R Square

Nagelkerke

R Square

Classification Table

a

58

13

81.7

9

70

88.6

85.3

Observed

Negatif

Positif

kejadian infeksi

kecacingan

Overall Percentage

Step 1

Negatif

Positif

kejadian infeksi

kecacingan

Percentage

Correct

Predicted

The cut value is .500

a.

Variables in the Equation

3.330

.636

27.374

1

.000

27.929

1.337

.573

5.440

1

.020

3.809

1.244

.570

4.761

1

.029

3.471

1.220

.560

4.751

1

.029

3.386

1.161

.537

4.684

1

.030

3.194

1.353

.546

6.149

1

.013

3.870

1.471

.552

7.113

1

.008

4.355

-5.713

1.028

30.897

1

.000

.003

LINGRMH

KEBKUKU

ALASKAKI

KEBCUTA

SIKAP

GENDER

PNGHSLN

Constant

Step

1

a

B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: LINGRMH, KEBKUKU, ALASKAKI, KEBCUTA, SIKAP,

GENDER, PNGHSLN.


(4)

Lampiran- 5 Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Kondisi Ruang Belajar Murid SD Blang Mangat


(5)

Gambar 3. Kondisi Murid SD Blang Mangat waktu istirahat


(6)

TELUR CACING GELANG

Ascaris Lumbricuides

Gambar 5. Telur Cacing Gelang


Dokumen yang terkait

Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015

15 135 159

Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

10 99 155

Pengaruh Perilaku Ibu Tentang Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Terhadap Kecacingan Anak Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008

2 70 120

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 17

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 10

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 24

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 3

Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Kecacingan pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan Tahun 2015

0 0 48

Gambaran Hygiene Perorangan, Sanitasi Lingkungan Sekolah, dan Infeksi Kecacingan pada Murid SD Inpers Cambaya Sungguminasa Gowa - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 109