Wanprestasi Anggota Koperasi Kredit Cu Sondang Nauli Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan angka kejahatan di Indonesia sangat mengkhawatirkan.
Kejahatan yang terjadi tidak hanya pada golongan-golongan menengah kebawah.
Namun virus kriminalitas telah merambat kepada golongan-golongan elit negara.
Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pejabat negara yang menjadi
narapidana. Menurut Busyro Mugodas, setidaknya ada 10 profesor dan 200 doktor
yang terjebak kasus korupsi.1 Kejahatan akan berdampak pada pertumbuhan dan
perkembangan suatu negara. Bahkan dapat mempengaruhi perekonomian pada
suatu negara. Sehingga, seharusnya menjadi keseriusan aparat penegak hukum
untuk memberantas kejahatan.
Dalam dunia kriminologi, dikenal istilah “White Collar Crime”.
Kejahatan ini merupakan klasifikasi kejahatan, yang mana manusia berintelektual
serta memiliki jabatan-jabatan penting dalam suatu instansi sebagai pelaku utama
kejahatan, maupun menjadi aktor di belakang layar dalam kasus kejahatan. H.
Sutherland meyebutkan istilah white collar crime dalam pidatonya di depan
American Sosiological Society pada Tahun 1939, yang kemudian dijabarkan
dalam bukunya Principles of Criminology. Sutherland merumuskan white collar
crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime commited

                                                            
1
Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum
Progresif), Thafa Media : Yogyakarta, 2015. Hal. 3

Universitas Sumatera Utara

by person of respectability and high social status in the course of their
occupation). Salah satu contohnya adalah kasus tindak pidana korupsi dan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Yang menjadi subjek utama dari Tindak Pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana korupsi adalah orang yang memiliki strata
sosial yang tinggi. Menurut Sutherland, teori ini sebenarnya merupakan suatu
usaha untuk merombak teori tentang perilaku kriminal yang secara tradisional
sudah striotip, yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan adalah orang-orang yang
berasal dari strata sosial yang rendah.2
Dalam konteks ke-Indonesiaan, sudah menjadi kesadaran kolektif bahwa
korupsi harus diberantas karena dampak yang ditimbulkan sangat merugikan.3
Korupsi dan pencucian uang sangat membebani masyarakat miskin, dan juga
menciptakan resiko ekonomi makro yang tinggi. Bahkan beresiko terhadap
kestabilan keuangan negara.

Ardila Caesar, salah seorang peneliti dari Indoneian Corruption Watch
(ICW) menyebutkan total kerugian negara sepanjang semester pertama 2015
akibat korupsi adalah Rp 691,772 miliar dari 161 kasus, namun yang diputus
untuk membayar uang pengganti hanya Rp 63,175 miliar.4 Penelitian tersebut
membuktikan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi
                                                            
2

.Strata sosial merupakan tingkatan-tingkatan kehidupan yang ada dan berkembang dalam
masyarakat. Tanpa disadarai, sebenarnya strata sosial mempengaruhi kehidupan dan kepribadian
seseorang dalam bermasyarakat.. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Penerbit Alumi : Bandung, 1992. Hal. 1.
3
Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan,
Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, Lingkar Hukum Progresif, Thafa Media : Yogyakarta, 2009
Hal.1 dalam Yudi Kristiana, Op.Cit Hal. 1.
4
Harian Terbit Nasional, Artikel “ICW : Hanya 9 Persen Kerugian Negara Akibat
Korupsi
Yang

Digantikan”
Tanggal
25
Agustus
2015
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/08/25/39272//25/ICW-Hanya-9-Persen-KerugianNegara-Akibat-Korupsi-yang-Digantikan, Diakses Tanggal 8 Januari 2016 Pukul 12:21 WIB.

Universitas Sumatera Utara

sangat besar. Sedangkan hasil dari upaya untuk mengembalikan kerugian
keuangan negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi sangat minim, dan
tentunya akan berdampak pada stabilitas keuangan negara.
Tindak Pidana Korupsi memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat
erat dengan tindak pidana pencucian uang. Tindak Pidana Pencucian Uang
merupakan salah satu tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan serius
(serious crime). Tindak Pidana Pencucian Uang pada dasarnya merupakan tindak
pidana yang digunakan untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana. Salah satu
tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang adalah Tindak Pidana Korupsi.

Pelaku tindak pidana korupsi kerap kali menyamarkan uang hasil korupsi,
dengan cara melakukan transaksi keuangan seperti yang disebutkan dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Tujuannya agar perbuatan tersebut tidak
terdeteksi oleh aparat penegak hukum yang berwenang dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana tersebut. Permasalahan ini sering terjadi di
Indonesia, dan kerap kali penanganan kasus tersebut tidak maksimal. Karena
dalam undang-undang materil yang mengatur tindak pidana tersebut masih
terdapat banyak hal yang menimbulkan multi tafsir. Selain itu, terdapat ketidak
sinkronan undang-undang yang terkait. Maka dari hal tersebut, perlu penanganan
yang serius pula dalam memberantas kejahatan serius (serious crime) ini.
Sama halnya dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana pencucian uang
juga

memilki dampak yang akan merugikan masyarakat. Secara langsung

Universitas Sumatera Utara

pencucian uang tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Tindak
Pidana Pencucian Uang tidak seperti halnya perampokan, pencurian atau
pembunuhan yang ada korbannya dan yang menimbulkan kerugian bagi

korbannya. Di zaman orde baru di Indonesia, yaitu pada saat Soeharto sebagai
Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui
untuk mengkriminalisasi pencucian uang dengan membuat undang-undang
tentang tindak pidana pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan
perbuatan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman
modal asing yang sangat diperlukan bagi pembangunan Indonesia. Dengan kata
lain, kriminalisasi perbuatan pencucian uang justru merugikan masyarakat
Indonesia karena akan menghambat pembangunan.5
Untuk menangani kategori kejahatan luar biasa tersebut, sistem peradilan
pidana menjadi salah satu wadah untuk melakukan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Pada dasarnya, Pelaksanaan perdilan
pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat.6
Sistem peradilan pidana yang baik sangat dibutuhkan dan diharapkan mampu
memberantas setiap bentuk perbuatan yang akan membahayakan orang lain,
maupun membahayakan kondisi negara. Agar terciptanya tujuan dari sistem
peradilan pidana tersebut, tentu diharapkan setiap lembaga dapat menjalankan
tugasnya secara profesional disetiap tingkatan, dan sepatutnya komponen yang
terdapat dalam sistem peradilan pidana memiliki visi dan misi yang sama untuk
                                                            
5


Sutan Remi Sjahdeni, Artikel “Kerugian Negara Akibat Pencucian Uang”, Jakarta, 2
Januari 2013, http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/pencucian-uang/97-kerugiannegara-akibat-pencucian-uang . Diakses pada tanggal 8 Januari 2016 Pukul 01.02 WIB.
6
Abdussalam, DPM SItompul, Sistem Peradilan pidana, Restu Agung : Jakarta, 2007.
Hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

menghindarkan pola fikir instansi sentris yang dapat merusak sistem peradilan
pidana.
Dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), lembaga-lembaga penegak
hukum telah ditentukan tugas dan wewenangnya masing-masing. Misalnya dalam
hal penuntutan. Dalam KUHAP, kewenangan penuntutan tindak pidana diberikan
kepada lembaga Kejaksaan. Namun, dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP, terdapat
pengecualian terhadap tindak pidana bersifat khusus yang diatur lebih lanjut
dalam undang-undang. Secara tidak langsung, KUHAP memberikan kewenangan
kepada instansi lain yang bersifat khusus untuk bertindak sebagai penyelidik,
penyidik maupun penuntut umum, dengan dasar hukum yang bersifat khusus pula.
Salah satu contohnya adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 Tentang Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), yang memberikan
kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyidikan, penyelidikan, dan
penuntutan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Fakta hukum yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah terdapat
beberapa kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai Penuntut Umum. Padahal, dalam Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK
hanya berwenang menuntut tindak pidana korupsi. Logika hukumnya adalah
apabila Undang-undang KPK tidak melegitimasi KPK melakukan penuntutan
Tindak Pidana Pencucian Uang, aturan normatif kembali kepada KUHAP, yang
mana Jaksa yang berwenang melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian
Uang tersebut. Namun, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

Universitas Sumatera Utara

10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Akil Mochtar dengan
KPK sebagai Penuntut Umum menjadi salah satu contoh penyimpangan terhadap
penerapan undang-undang oleh aparat penegak hukum. Dan hal tersebut
menimbulkan ambiguitas terhadap materi dari Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam permasalahan kewenangan KPK melakukan penuntutan Tindak
Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi, maka penulis akan
menuangkannya secara lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang berjudul :
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM
PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK
PIDANA

KORUPSI

10/PID.SUS/TPK/2014/JKT.PST

(STUDI
ATAS

PUTUSAN
NAMA

NOMOR

TERDAKWA


AKIL

MOCHTAR).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka
permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana hubungan antara tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana
Pencucian Uang ?.
2. Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
penuntutan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana
korupsi ?.

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui hubungan antara tindak pidana korupsi dan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
b. Untuk mengetahui apakah komisi pemberantasan korupsi (KPK)

memiliki kewenangan dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian
Uang dengan hasil tindak pidana korupsi.
2. Manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada waktunya nanti dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
pidana dan hukum acara pidana. Khususnya dalam menegaskan kewenangan KPK
dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.
b. Manfaat Praktis
Menjadi masukkan dan pengetahuan bagi masyarakat dan para penegak
hukum serta praktisi hukum, mengenai problematika yang terdapat dalam sistem
hukum dan sistem peradilan yang ada di Indonesia. Serta dapat menjadi bahan
perbandingan bagi penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam.
D. Keaslian Penulisan
Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat tentang
“Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Penuntutan Tindak Pidana

Universitas Sumatera Utara


Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan PN Nomor
10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST)”. Oleh karena itu penulisan skripsi ini
dapat

dikatakan

masih

original,

sehingga

keabsahannya

dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan akademis.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan
bentuk kejahatan yang luar biasa (extra ordiniory crime) dan merupakan
kejahatan yang memiliki pengaruh besar terhadap kestabilan perekonomian pada
suatu negara. Pada umumnya, pelaku tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana
Pencucian Uang adalah orang yang memiliki wawasan intelektual tinggi. Tindak
pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki hubungan yang
sangat

erat.

Sehingga,

perlu

diadakan

deregulasi

yang

tepat

dengan

memperhatikan perkembangan hukum yang terjadi.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang memiliki dampak
langsung terhadap perekonomian negara. Hal tersebut terdapat dalam beberapa
Pasal, misalnya Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyebutkan :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000
(satu milyar rupiah)”.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diketahui
agar dapat menjangkau berbagai modus operendi penyimpangan keuangan negara
atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit maka tindak pidana
korupsi ini dirumuskan sedemikian rupa. Sehingga meliputi perbuatan-perbubatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum
dalam pengertian formil maupun materil.7 Menurut Komariah Emong Sapardjaya
melawan hukum formil adalah tindak pidana yang telah mencocoki semua unsur
yang disebutkan dalam undang-undang. Sedangkan melawan hukum materil
adalah perbuatan yang telah dianggap tercela menurut masyarakat.8
Dalam tindak pidana korupsi terdapat empat tipe fenomena, yaitu
penyuapan, pemerasan, penggelapan, dan nepotisme. Semua fenomena tersebut
pada dasarnya tidaklah sama. Namun, keempat fenomena tersebut memiliki
benang merah, yaitu menempatkan kepentingan publik diatas kepentingan privat
dengan melanggar norma-norma tugas dan kesejahteraan yang dibarengi dengan
keserba rahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas
setiap konsekuensi yang diderita oleh publik.9
Menurut Robert O. Tilman, pengertian korupsi yang sesungguhnya
tergantung dari cara dan sudut mana orang memandangnya. Penggunaan
persepektif tertentu tidak akan sama memandang arti korupsi dengan penggunaan
perspektif lain. korupsi apabila dipandang dari sudut pandang ekonomi, tidak akan
                                                            
7
. Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Piidana Korporasi (Berikut Studi
Kasus), Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005. Hal. 37-38
8
Komariah Emong Sapardjaya, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum
Pidana Indonesia, Alumni : Bandung, 2002. Hal. 24-25 dalam Edi Yunara, Ibid. Hal. 38
9
Elwi Daniel, Koruppsi (Konsep, Tindak Pudana, dan Pemberantasannya), PT. Raja
Grafindo Persada : Jakarta, 2012. Hal. 7

Universitas Sumatera Utara

sama maksud ataupun definisinya pada saat melihat tindak pidana korupsi dari
sudut pandang sosiologi.10
Sehingga pengertian tindak pidana korupsi memiliki cakupan yang sangat
luas, dan multidisipliner. Akan tetapi, multidisipliner terhadap definisi tindak
pidana korupsi berdampak positif bagi kalangan hukum, yang dapat
mendefinisikan tindak pidana korupsi secara komprehensif. Sehingga dalam
memaknai tindak pidana korupsi tersebut dapat dilakukan dengan memiliki
konseptual yang baik.
Istilah korupsi berasal dari kata “corruptio” dalam bahasa latin memiliki
arti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjukan suatu
keadaan atau perbuatan yang busuk. Menurut Henry Campbell Black, korupsi
adalah suatu perbuatan untuk memberikan sesuatu kuntungan yang tidal sesuai
dengan kewajiban resmi dan hak-hak pihak lain.11
Dalam perspektif sosiologi, Syed Hussein Alatas mengungkapkan
beberapa ciri dari korupsi sebagai berikut :12
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah
begitu merajalela, dan begitu mandalam berurat berakar, sehingga
individu-individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam
                                                            
10
Persepektif yang digunakan dalam mengartikan korupsi antara satu dan yang lainnya
berbeda. Perspektif yang dimaksud adalah menggunakan suatu pendekatan baik dengan
pendekatan sosiologi, kriminoligi, dan pendekatan politis. Perbedaaan persepektif tersebut
sebenarnya bukanlah Hal yang negatif. Mengartikan korupsi dari berbagai sudut pandang akan
mampu memunculkan definisi korupsi secara komprehensif. Muhtar Lubis dan James C, Scoot
(ed.), Bunga Rampai Korupsi, LP3ES : Jakarta, 1988. Hal. 59 dalam Elwi Daniel, Ibid. Hal. 2
11
Ibid. Hal.3
12
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data
Kontemporer, LP3ES : Jakarta, 1983. Hal. 12-14 dalam Elwi Daniel, Ibid. Hal. 7

Universitas Sumatera Utara

lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan
mereka.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan.
g. Setiap korupsi merupakan suatu pengkhianatan.
h. Setiap korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka
yang melakukan tindakan itu.
i. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
Begitu luas cakupan korupsi ini. Syed Hussen berpendapat apabila suatu
tidakan telah memiliki dan mendekati ciri-ciri sebagaimana yang disebutkan di
atas, maka akan diklasifikan sebagai tindak pidana korupsi.13
Tindak pidana korupsi memiliki kaitan yang erat dengan kekuasaan.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt terdapat empat tipe korupsi, yaitu
:14
                                                            
13

Ibid Hal. 8
Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika :
Jakarta, 2010 Hal. 18-20 dalam Elwie Daniel Ibid. Hal. 9
14

Universitas Sumatera Utara

a. Kekuasaan di bidang legislatif (Political Bribery)
b. Korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak borongan (Political
Kickbacks)
c. Korupsi yang berkaitan dengan kecurangan dalam pemilihan umum
(Election Fraud)
d. Korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye (Corrupt Compaign
Practices).
Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek dan mengatakan
korupsi memiliki empat jenis yaitu :15
a. Discretion corruption, yaitu korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun tampaknya
bersifat sah. Bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi.
b. Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan
regulasi tertentu.
c. Mercenary corruption, yaitu tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan
wewenang.
d. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksud untuk
mengejar tujuan kelompok.

                                                            
15

Ibid., Hal. 10

Universitas Sumatera Utara

Dari pengertian tindak pidana korupsi diatas, maka dapat disimpulkan
tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan
“kekuasaan” dan “uang”. Sama hal nya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang
yang juga berkaitan dengan uang dan sistem keuangan (financial system).
Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan kejahatan di bidang ekonomi.
Menurut Peter Liley, sebagian besar tindak pidana di bidang ekonomi dilakukan
untuk memperoleh suatu hal yaitu uang.16 Secara kasat mata, tindak pidana
korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan suatu upaya untuk
mendapatkan uang dengan cara yang illegal dan bagaimana uang tersebut tidak
terdeteksi oleh aparat penegak hukum.
Definisi

Money

Laundering

menurut

The

American

President’s

Commission om Organized Crime : “money laundering is the process by which
one conceals the existence, illegal source, or illegal application on income, and
then disguises that income to make it appear legitimate”. Yang artinya :
“pencucian uang adalah proses dimana satu menyembunyikan keberadaan, sumber
ilegal, atau aplikasi ilegal pada pendapatan, dan kemudian menyamar bahwa
pendapatan untuk membuatnya tampak sah”.17
M. Giovanoli berpendapat bahwa money laundering merupakan suatu
proses, yang dengan cara itu aset, terutama aset tunai yang diperoleh dari tindak
pidana dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga aset tersebut seolah-olah berasal
                                                            
16
M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundring . Bayu Media
Publishing: Malang, 2004. Hal 3.
17
Guy Stessens, Money Laundering A New International Law Enforcement Model,
Cambridge University Press, The Edinburg Building, Cambridge CB2 8 RU : UK, 2000. Page 8284 dalam dalam Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di
Era Globalisasi, Total Media : Jakarta, 2013.. Hal. 17

Universitas Sumatera Utara

dari sumber yang sah.18 J.Koers, Penuntut Umum dari Netherland berpendapat
bahwa money laundering merupakan suatu cara untuk mengedarkan hasil
kejahatan ke dalam suatu peredaran uang yang sah dan menutupi asal usul
tersebut.19
Secara umum, dapat dijelaskan bahwa aktivitas pencucian merupakan
suatu perbuatan yang memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan
lainnya atas hasil dari tindak pidana lainnya, yang kerap dilakukan oleh criminal
organization, maupun indvidu yang melakukan tindak pidana.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan bentuk partisipasi
Indonesia dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
merupakan pelaksanaan dari amanat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam
United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotics, Drugs, and
Psychotropic Substances of 1988.20
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi
“pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.
Unsur-unsur yang dimaksud Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 termuat dalam beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
2010. Unsur yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010
adalah kegiatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
                                                            
18

Ibid. Hal. 11
Biro Hukum Urusan Hukum dan Sekretariat Bank Indonesia, Makalah “Money
Laundering”, Jakarta, 2010 Hal. 1
20
Yunus Husein, Makalah “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia”, Jakarta, 2004 Hal. 3
19

Universitas Sumatera Utara

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak
pidana.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 adalah menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas
kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun
2010 adalah menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undangundang Nomor 8 Tahun 2010, merupakan tindak pidana yang disebutkan dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.

Korupsi
Penyuapan
Narkotika
Psikotropika
Penyelundupan tenaga kerja
Penyelundupan migran
Di bidang perbankan
Di bidang pasar modal
Di bidang perasuransian
Kepabeanan
Cukai
Perdagangan orang
Perdagangan senjata gelap
Terorisme
Penculikan
Pencurian

Universitas Sumatera Utara

q.
r.
s.
t.
u.
v.
w.
x.
y.
z.

Penggelapan
Penipuan
Pemalsuan uang
Perjudian
Prostitusi
Di bidang perpajakan
Di bidang kehutanan
Di bidang lingkungan hidup
Di bidang kelautan dan perikanan; atau
Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih.

Uang hasil tindak pidana tersebut, biasanya tidak langsung digunakan oleh
para pelaku tindak pidana. Harta kekayaan tersebut diupayakan terlebih dahulu
untuk masuk kedalam sistem keuangan (financial system), dengan tujuan agar
aparat penegak hukum sulit melacak asal-usul harta kekayaan tersebut. Hal ini
merupakan suatu upaya yang selalu dilakukan oleh pelaku Tindak Pidana
Pencucian Uang, dan merupakan efek dari globalisasi. Maka dari itu, haruslah
dilakukan deregulasi terhadap peraturan-petaruan yang mengatur mengenai
Tindak Pidana Pencucian Uang ini.
Dinamika perubahan arus globalisasi di bidang ekonomi yang bersifat
akselerasif, berimplikasi pada sistem sosial, dan dengan sendirinya akan
memasuki wilayah hukum. Dengan demikian, hukum sebagai subsistem sosial,
tidak dapat terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
termasuk di dalamnya globalisasi ekonomi.
Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, terdapat beberapa tahapan yang
biasanya dilakukan oleh pelaku tindak pidana, yaitu :
a. Tahap penempatan (placement)

Universitas Sumatera Utara

Pada tahapan ini, pelaku tindak pidana melakukan penempatan dana hasil
perbuatan

kriminal,

kedalam

sistem

keuangan.

Misalnya

dengan

cara

mendepositokan uang hasil tindak pidana tersebut ke dalam suatu bank, dan
kemudian, uang tersebut masuk kedalam sistem keuangan yang bersangkutan.
Contoh lainnya adalah dengan cara mengkonversi ke dalam mata uang asing.
b. Tahap pelapisan (layering)
Setelah melakukan tahap penempatan uang hasil tindak pidana, maka
pelaku tindak pidana melakukan pelapisan terhadap uang hasil tindak pidana.
Tujuan dari pelapisan ini adalah untuk menghilangkan jejak dari uang hasil tindak
pidana tersebut, baik asal-usul uang tersebut, maupun ciri-ciri dari uang tersebut.
Misalnya mentransfer dana dari berbagai rekening ke lokasi lainya atau dari suatu
negara ke negara lainnya dan juga melakukannya dengan berkali-kali. Cara
lainnya adalah dengan memecah-mecah jumlah dana di bank, dengan tujuan
mengaburkan asal-usul dari uang tersebut, mentransfer dalam bentuk valuta asing,
membeli saham, dan melakukan transaksi lainnya. Fakta yang paling sering terjadi
di lapangan adalah melakukan pendanaan kegaitan-kegiatan dengan menggunakan
uang hasil tindak pidana tersebut. seolah-olah uang yang digunakan tersebut
merupakan uang yang halal.
c. Tahap menyatukan (integration)
Tahap penyatuan ini merupakan tahap akhir setelah tahapan placement dan
layering. Pada tahapan ini, pelaku tindak pidana melakukan penyatuan uang hasil
tindak pidana tersebut. sehingga, seolah-olah uang tersebut telah tercuci dan uang
tersebut seolah-olah menjadi uang yang diperoleh dengan cara yang legal.

Universitas Sumatera Utara

Tahapan pencucian uang tersebut, merupakan salah satu dampak negatif
dari globalisasi, baik di bidang ekonomi maupun di bidang teknologi. Hal tersebut
dapat dilihat dengan adanya transaksi keuangan (financial system)yang dilakukan
oleh pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Financial system menjadi sarana
utama bagi pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang dalam menjalankan aktivitas
kriminalnya. Era globalisasi dan kemajuan teknologi yang canggih menyebabkan
hubungan antar wilayah bahkan hubungan antar negara menjadi semakin mudah
dalam hal komunikasi, informasi dan transportasi. Hal ini akan menjadi potensi
meningkatnya tingkat kejahatan di bidang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Karena, pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki kemudahan dalam
melakukan transaksi keuangan baik dalam maupun ke luar negri.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah apa yang menjadi latar
belakang pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang melakukan pencucian uang.
Yang menjadi latar belakangnya adalah dengan maksud memindahkan atau
menjauhkan para pelaku dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime,
memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil
kejahatan tanpa adanya kecurigaan dari aparat yang berwenang kepada pelakunya,
serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk mengembangkan aksi kejahatan
selanjutnya atau mencampur ke dalam bisnis yang sah.
Pencucian uang merupakan suatu upaya bagi pelaku tindak pidana korupsi
dalam hal mengaburkan atau menyamarkan uang hasil tindak pidana korupsi
tersebut. sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi dapat dikatakan
sebagai predicate crime Tindak Pidana Pencucian Uang.

Universitas Sumatera Utara

2. Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana termasuk klasifikasi hukum pidana formil. Tujuan
dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya
kebenaran materil. Hukum pidana formil ini menunjukan cara bagaimana
peraturan-peraturan hukum pidana materil dipertahankan. Lemaire berpendapat
bahwa hukum acara pidana bertugas mengabdi pada hukum pidana materil. Cara
menjalankan tugas tersebut adalah apakah ukuran hukum acara pidana baik atau
tidak baik. Suatu hukum acara baik adalah apabila hukum acara pidana menjadi
sebab berjalannya hukum acara materil.21
Sistem peradilan pidana (criminal justice system), kini telah menjadi suatu
istilah dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.
Sistem peradilan pidana menurut Remington dan Ohlin adalah penggunaan
pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan
peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Menurut Reminghton dan Ohlin sistem merupakan suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu
dengan segala keterbatasannya.22

                                                            
21
Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materil. Kata “setidak-tidaknya mendekati” bermaknakan bahwa kebenaran tidak akan
mampu tercapai secara mutlak. Kebenaran memiliki korelasi dengan keadilan. Aristoteles
menyebutkan bahwa keadilan bersifat absolut. Keadilan bagi seseorang akan berbeda dengan
keadilan bagi orang lain. Hukum acara dapat memenuhi syarat-syarat hukum acara yang baik
apabila hukum materil dijalankan dengan baik. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT.
Ichtiar Baru : Jakarta, 1983 Hal. 418.
22
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group. :
Jakarta, 2010 Hal. 2

Universitas Sumatera Utara

Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses dalam
penegakan hukum pidana. Sistem peradilan pidana adalah suatu sistem yang
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Dalam pengertian luas, sistem
peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang Tersangka
yang melakukan tindak pidana diperiksa, dituntut, diadili, dan selanjutnya dijatuhi
hukuman. Dengan demikian sistem peradilan pidana merupakan langkah konkret
dalam penegakan hukum pidana in abstracto.23
Dalam suatu proses penegakan hukum, selain dibutuhkan perangkat
peraturan-perundang-undangan dibutuhkan juga instrumen penggeraknya, yaitu
institusi penegak hukum dan diimplementasikan melalui mekanisme kerja dalam
sebuah sistem.24
Hagan mengemukakan criminal justice system merupakan interkoneksi
antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.25
Sistem peradilan pidana dan proses peradilan pidana memiliki kemiripan, namun
antara satu dan yang lainnya berbeda. Hagan membedakan antara sistem peradilan
pidana (criminal justice system) dan proses peradilan pidana (criminal justice
process). Menurut Hagan, proses peradilan pidana adalah setiap tahap dari suatu
putusan yang menghadapkan seorang Tersangka ke dalam proses yang
membawanya kepada penentuan pidana baginya. Dalam sistem peradilan pidana,
terdepat beberapa komponen yang terdiri dari :26
a. Kepolisian
                                                            
23

Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum TIndak Pidana Korupsi,
Refika Afitama : Bandung,2008 Hal. 115
24
Ibid
25
Ibid.
26
Ibid. Hal. 115

Universitas Sumatera Utara

b. Kejaksaan
c. Lembaga Peradilan
d. Lembaga Pemasyarakatan.
Setiap instrumen hukum, seharusnya melihat apa fundamental norm dari
suatu negara. Dan seharusnya untuk menciptakan efektifitas dalam sistem
peradilan pidana, seharusnya setiap instansi harus mampu memiliki koneksi yang
kuat dalam penegakan hukum. Romli Atmasasmita berpendapat sistem peradilan
pidana yang bercirikan kebersamaan dan semangat kerja sama yang tulus dan
ikhlas, merupakan sistem peradilan pidana yang sejalan dengan Pancasila sebagai
fundamental norm Indonesia.27
Setiap instansi atau komponen-komponen tersebut memiliki kewenangan
yang berbeda sebagai bentuk atribusi, namun memiliki tujuan yang sama.
Misalnya lembaga Kepolisian yang diberikan wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Lembaga Kejaksaan memiliki
kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan.
Globalisasi

hukum

memaksa

undang-undang

untuk

memperluas

komponen-komponen yang berada dalam sistem peradilan pidana. Contohnya
dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki
kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
kasus tindak pidana korupsi. Namun, KPK tetap harus membangun koneksi yang
baik dengan komponen-komponen lainnya, agar tercipta sistem peradilan pidana
yang baik, serta apa yang menjadi tujuan hukum pidana formil tercapai.
                                                            
27

Ibid. Hal. 19-20

Universitas Sumatera Utara

Penyelesaian perkara pidana dilakukan dengan melalui beberapa tingkat.
Dimulai dengan pemeriiksaan permulaan (vooronder zoek). Dalam pemeriksaan
permulaan ini dikumpulkan bahan-bahan yang mungkin dapat menjadi bukti.
Jumlah dan sifat bahan ini menentukan apakah yang dituduh akan dituntut atau
tidak. Maka pemeriksaan permulaan diakhiri dengan penuntutan pidana
(strafvervolging). Hal ini merupakan tingkatan pertama dalam penyelesaian
perkara pidana. Tahap yang selanjutnya yaitu pelaksanaan putusan Hakim, yaitu
proses penjatuhan hukuman pidana bagi Terdakwa atau diambil tindakan
(maatregel).28
Dalam hal penuntutan, menurut KUHAP jaksalah yang memiliki
kewenangan dalam melakukan penuntutan. Dalam hukum acara pidana,
penuntutan dalam arti luas terdapat 2 tahap, yaitu prapenuntutan dan penuntutan.
Hanya saja, dalam KUHAP, tidak membedakan secara spesifik antara
prapenuntutan dan penuntutan.
Prapenuntutan merupakan tindakan Penuntut Umum untuk meberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Hal ini dalam
aturan lama (HIR), termasuk dalam penyelidikan lanjutan. Prapenuntutan muncul
untuk menghindari kesan seakan-akan jaksa atau Penuntut Umum mempunyai
wewenang penyidikan lanjutan, sehingga anggota legislatif menyebutnya dengan
istilah prapenuntutan. Menurut Andi Hamzah, petunjuk untuk menyempurnakan

                                                            
28

E.Utrecht,Op.Cit Hal. 419

Universitas Sumatera Utara

penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian dari penyidikan lanjutan. Sehingga
penyidikan dan penyelidikan tidak dapat dipisahkan secara tajam29.
Prapenuntutan adalah pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum
kepada penyidik karena Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tersebut kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya.
Tingkat prapenuntutan yaitu antara dimulainya penuntutan dalam arti
sempit (perkara telah dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik. Dalam sebuah pelaksanaan prapenuntutan, proses prapenuntutan selain
dapat menghindari terjadinya arus bolak balik perkara. Prapenuntutan dilakukan
baik oleh penyidik maupun Penuntut Umum, sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 110 ayat 2 j.o Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Penuntutan dalam arti sempit Adalah tindakan Penuntut Umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
Hakim di sidang pengadilan.
Menurut KUHAP, penuntutan merupakan tugas dan wewenang dari jaksa.
Hal tersebut telah disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, yang
menyatakan “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Sedangkan Penuntut Umum
menurut Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP adalah jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan
                                                            
29

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1996 Hal.

161

Universitas Sumatera Utara

Hakim”. Dapat disimpulkan bahwa, penuntutan yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 6 huruf a dan b KUHAP merupakan penuntutan dalam arti sempit.
Dalam bab ketentuan peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP berbunyi :
“Dalam waktu dua Tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka
terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini,
dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada
perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Pasal 284 ayat (2) tersebut tidak berlaku lagi apabila telah diatur oleh
undang-undang yang menyatakan undang-undang ini tidak berlaku lagi. Hal
tersebut merupakan implementasi dari asas lex specialis derogate legi generalis.
Dan Pasal ini menjadi salah satu landasan hukum terbentuknnya undang-undang
KPK.
Tugas dan wewenang dari KPK berdasarkan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, menjadi lex spesialis dari kewenangan melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang diatur oleh KUHAP, yang
semulanya jaksa yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK)

dan

Latar

Belakang

Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Isu pembentukan instansi khusus dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi sudah lama didengar. Namun pembentukan instansi khusus dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi yang memiliki wewenang luas menjadi
suatu instrumen baru dalam sejarah sistem peradilan pidana di Indonesia.
Di dalam KUHAP, kewenangan dalam penyidikan merupakan tugas dan
wewenang dari Kepolisian. Sehingga dikenal dengan istilah “penyidik tunggal”.

Universitas Sumatera Utara

Dan tentulah hanya Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi. Selain itu, lembaga Kejaksaan memiliki
kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap semua kasus tindak pidana
termasuk tindak pidana korupsi. Perkembagan hukum positif di Indonesia telah
memperluas kewenangan Kejaksaan. Hal tersebut didasari dengan Pasal 284 (2)
KUHAP yang memberikan peluang bahwa Kejaksaan juga memiliki kewenangan
dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Sehingga terjadi tarik
menarik kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian dalam melakukan
penyidikan kasus tindak pidana korupsi.
Dengan adanya tarik menarik kewenangan antara Kejaksaan dan
Kepolisian, banyak fenomena tersebut menimbulkan permasalahan. Tarik menarik
kewenangan tersebut menggambarkan, antara Kejaksaan dan Kepolisian
menjalankan tugas dan wewenangnya menggunakan pola pikir instansi sentris.
Pola pemikiran tersebut dapat berdampak negatif terhadap sistem peradilan
pidana. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan interkoneksi
antar lembaga yang termasuk komponen-komponen sistem peradilan pidana.
Sehingga untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana, maka diperlukan
koneksi yang baik dari seluruh komponen. Dapat disimpulkan dengan adanya
tarik menarik kewenangan yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian akan
merusak sistem peradilan pidana.
Putusan pengadilan Sungai Penuh Nomor 45/Pid/B/1989/PN.SPN atas
nama Terdakwa Nasrul Yazid, menjadi salah satu contoh akibat terjadinya
interkoneksi yang kurang baik pada lembaga Kejaksaan maupun Kepolisian.

Universitas Sumatera Utara

Menurut pertimbangan Hakim dalam putusan tersebut bahwa berita acara
pemeriksaan Kepolisian menyebutkan tindak pidana tersebut merupakan tindak
pidana khusus. Menurut Hakim yang menangani kasus tersebut, polisi tidak
memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi yang bersifat khusus. Hakim berpendapat kewenangan tersebut terdapat
pada lembaga Kejaksaan. Sehingga Hakim memvonis bebas Terdakwa hanya
karena adanya persepsi yang berbeda siapa yang berwenang melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi tersebut.30
Kedua lembaga tersebut memiliki landasan normatif untuk membuktikan
siapa yang berwenang dalam melakukan penyidikan kasus tindak pidana korupsi.
Kedua lembaga tersebut hanya menjalankan perintah undang-undang. Fenomena
tarik menarik kewenangan ini tidak sepatutnya terjadi. Hal tersebut terjadi karena
tidak adanya visi dan misi yang sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lembaga Kejaksaan dan Kepolisian memiliki bentuk administratif yang berbeda,
yang mengakibatkan munculnya pola pemikiran instansi sentris. Maka
kemungkinan besar tarik menarik kewenangan akan terjadi.
Disamping itu, intensitas kepercayaan masyarakat kepada instansi penegak
hukum yang ada sudah mulai berkurang. Sedangkan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, baik dari angka tindak pidana korupsi
yang semakin meningkat, maupun jumlah perekonomian negara yang semakin
berkurang. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak hanya pada perekonomian nasional. Tetapi juga terhadap
                                                            
30

Elwi Danil, Op.Cit Hal. 222

Universitas Sumatera Utara

kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
sistematis dan semakin meluas juga merupakan pelanggaran hak sosial dan hak
perekonomian.31
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mempertemukan
antara lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian untuk mendapatkan jalan
tengah atas permasalahan tersebut. Sehingga dibentuklah tim gabungan antara
Kepolisian dan Kejaksaan dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
yang berbunyi ”Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi jaksa
agung”.
Untuk menindak lanjuti Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000
tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 5
April Tahun 2000.
Namun, tim gabungan yang dibentuk belum efektif. Ketika kita mengamati
Pasal 27 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tim gabungan menangani kasus
korupsi hanya pada tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Lantas,
bagaimana dengan tindak pidana korupsi yang dapat dibuktikan dengan cara yang
sederhana ?. Tentu tim gabungan ini tidak akan menjalankan tugasnya terhadap
kasus tindak pidana korupsi yang mudah untuk dibuktikan. Mengingat bentuk
tindak pidana korupsi sangat luas. Menurut penjelasan Pasal 27 Undang-undang
                                                            
31

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika: Jakarta, 2008. Hal. 69

Universitas Sumatera Utara

Nomor 31 Tahun 1999, tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara
lain tindak pidana korupsi dibidang perbankan, perpajakan, pasar modal,
perdagangan dan industri, komoditi berjangka panjang, atau di bidang moneter
dan keuangan, dengan kategori :
a. Bersifat lintas sektoral
b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih
c. Dilakukan

oleh

Tersangka

atau

Terdakwa

yang

merupakan

penyelenggara negara.
Dalam PP Nomor 19 Tahun 2000, tim gabungan memiliki kewenangan
yang luas dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Jaksa agung
memiliki peranan penting dalam pembentukan tim gabungan. Tim gabugan baru
akan dibentuk apabila jaksa agung menetapkan kasus tersebut merupakan tindak
pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Tim gabungan tersebut berisikan
berbagai elemen, yaitu pemerintah, Kejaksaan, Kepolisian dan masyarakat. Dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak menyebutkan secara eksplisit
apakah pemerintah berhak untuk memasukan unsur masyarakat dalam tim
gabungan tersebut. sehingga banyak timbul persoalan yang serius dalam
pelaksanaan kewenangan tim gabungan ini.
Keberadaan tim gabungan tersebut semakin terancam pada saat
sekelompok masyarakat yang mengajukan judicial review terhadap Peraturan
Pemerintah tersebut. Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000
menyebutkan sifat dari tim gabungan tersebut adalah permanen. Akan tetapi,
Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 terdapat klausul “…dapat

Universitas Sumatera Utara

dibentuk tim gabungan”, yang ditafsirkan bahwa tim gabungan tersebut bersifat
sementara. Dalam ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Peraturan Pemerintah
memiliki hirarki dibawah undang-undang.32 Sehingga Peraturan Pemerintah tidak
boleh bertentangan dengan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 yang memiliki
hirarki lebih tinggi (asas lex superior derogate lex inferiori). Mahkamah Agung
dengan putusan Nomor 03P/HUM/2000 mengabulkan permohonan pemohon dan
memerintahkan agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah tersebut. Yang
perlu diperhatikan adalah tim gabungan yang menangani kasus tindak pidana
korupsi

yang

sulit pembuktiannya merupakan embrio lahirnya Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK).
Akibat interkoneksi yang kurang baik dan tidak adanya kesepemahaman
antara Kejaksaan dan Kepolisian, maka budaya hukum Indonesia membentuk
suatu lembaga yang independen dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.
Hal tersebut dilegitimasi oleh Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
yang berbunyi :
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) Tahun sejak undang-undang ini mulai
berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
unsur pemerintah dan unsur masyarakat
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaan Komisi
                                                            
32

Hirarki peraturan perundang-undangan dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 telah
diubah, dan pada saat ini dasar hukum mengenai hirarki peraturan perundang-undangan diatur
dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 TAP MPR memiliki hirarki yang lebih
tinggi dari Peraturan Pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan
undang-undang.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini bukan merupakan hal
yang baru. Pada awal Orde Baru, dengan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun
1967 dibentuk sebuah tim pemberantasan korupsi yang diketuai oleh Sugih Arto
yang pada saat itu menjabat sebagai Jaksa Agung. Kemudian pada Tahun 1970
dibentuk komisi empat yang juga melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi yang diketuai oleh Wilopo. Pada Tahun 1977, berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1977 dibentuk Operasi Tertib, yang juga bertujuan
untuk memberantas tindak pidana korupsi. Selanjutnya dibentuk tim gabungan
yang didasarkan pada Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 yang mana jaksa agung sebagai
koordinator.
Selanjutnya, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi pada Tahun 2005 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tim ini dibentuk dengan harapan dapat meningkatkan upaya percepatan
pemberantasan korupsi dan dapat meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar
lembaga-lembaga penegak hukum. Oleh karenanya, tim ini melibatkan

Dokumen yang terkait

Penyelesaian Kredit Macet Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Pada Bank Tabungan Negara Cabang Medan

4 84 114

Kedudukan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit Dan Kaitannya Dengan Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Pemberian Jaminan Fidusia. (Studi Notaris Di Medan)

7 87 82

Wanprestasi Anggota Koperasi Kredit Cu Sondang Nauli Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)

0 12 146

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia.

0 4 13

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi kasus di PT. Mandiri Tunas Finance).

0 2 10

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi kasus di PT. Mandiri Tunas Finance).

1 11 30

Wanprestasi Anggota Koperasi Kredit Cu Sondang Nauli Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)

0 0 9

Wanprestasi Anggota Koperasi Kredit Cu Sondang Nauli Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)

0 0 1

Wanprestasi Anggota Koperasi Kredit Cu Sondang Nauli Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)

0 1 40

Wanprestasi Anggota Koperasi Kredit Cu Sondang Nauli Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)

0 1 5