Kedudukan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit Dan Kaitannya Dengan Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Pemberian Jaminan Fidusia. (Studi Notaris Di Medan)

(1)

KEDUDUKAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN PERAN NOTARIS DALAM

PEMBUATAN AKTA PEMBERIAN JAMINAN FIDUSIA. (STUDI NOTARIS DI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

JAKA JURIS HASINTONGAN LUMBANRAJA 110200246

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEDUDUKAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN PERAN NOTARIS DALAM

PEMBUATAN AKTA PEMBERIAN JAMINAN FIDUSIA. (STUDI NOTARIS DI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

JAKA JURIS HASINTONGAN LUMBANRAJA 110200246

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. HASIM PURBA, SH., M.Hum NIP.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

SYAMSUL RIZAL, SH., M.Hum SYAIFUL AZAM, SH., M.Hum NIP. 196402161989111001 NIP. 196001061994031001


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus kristus atas segala berkat dan kasih karuniaNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”KEDUDUKAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PEMBERIAN JAMINAN FIDUSIA. (STUDI NOTARIS DI MEDAN)” yang membahas bagaimana kedudukan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dari jaminan fidusia itu sendiri serta peran notaris dalam pembuatan aktanya, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan, dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.,MH.,DFM, selaku Wakil Dekan IIFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH.,M.Hum, selaku Wakil Dekan IIIFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum


(4)

6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan.

7. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan

Hukum Perdata BW sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu, tenaga, dan arahannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Bapak Syaiful Azam, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu, arahan, dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan dedikasinya dan pengabdiannya telah mendidik penulis selama menjadi Mahasiswa, dan Staff Administrasi yang telah membantu dalam pengurusan selama perkuliahan.

10.Bapak Gordon Eliwon Harianja, SH dan segenap kariyawan pada kantor notaris Gordon E. Harianja, SH selaku Narasumber dalam penulisan Skripsi ini, terimakasih atas data dan arahannya dalam penulisan skripsi ini.

11. Teristimewa untuk kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan banggakan yaitu Priyanto, SH, M.Hum. dan Eliani Barus A.md. Terimakasih atas Dukungan dan doa-doa yang ditujukan kepada penulis yang terus menjadi motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Kepada kakak dan adik penulis yang penulis kasihi dan banggakan yaitu Grace Prilia Lumbanraja, Yesaya Erick Suranta Lumbanraja dan Gratia Putri Alisa Lumbanraja yang selama ini memberikan doa dan motivasi kepada Penulis.

13. Kepada Keluarga dan sahabat-sahabatku dalam Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) yang terus mendukung dan membantu penulis dam penyelesaian skripsi


(5)

ini dan terus ada untuk penulis. Terkhusus untuk rekan-rekan Gemar Belajar Stambuk 2011.

14. Kepada teman-teman pelayanan dari KMK UP FH USU (Kegiatan Mahasiswa Kristen) teristimewa kepada kelompok kecil Ekklesia (Kak Esra Stephani S.H, Kak Lusiana Pangaribuan S.H., M.H, Imelda Sinurat, Putri Nadapdap, Intan E. Pasaribu, Samuel Simanjuntak, Pir Silaban) dan kelompok kecil SEIKA (Yoses Efata Meilala dan Yosi Krisman Tarigan), terimakasih untuk doa, saran dan dukungan semangat yang telah diberikan selama ini;

15. Dan segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang dibagikan bersama.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, September 2015

JAKA JURIS H. LUMBANRAJA 110200246


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang ... 1

B. RumusanMasalah ... 6

C. Tujuan Penulisan... 7

D. Manfaat Penulisan... 7

E. MetodePenelitian ... 8

F. KeaslianPenulisan ... 10

G. SistematikaPenulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA... 13

A. Pengertian Jaminan Fidusia ... 13

B. Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia ... 18

C. Objek Jaminan Fidusia... 24

D. Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Fidusia ... 26

BAB III TUGAS DAN WEWENANG NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA ... 31

A. Sejarah dan Pengertian Notaris Di Indonesia ... 31

B. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Autentik... 36

BAB IV KEDUDUKAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JAMNINAN FIDUSIA ... 47

A. Kedudukan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit Yang Dibuat Dan Ditanda Tangani Oleh Pihak Kreditur Dan Pihak Debitur ... 47

B. Proses Pemberian Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit ... 61

C. Kaitan Dan Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Pemberian Jaminan Fidusia Pada Perjanjian Kredit Atas Benda Bergerak Dan Benda Tidak Bergerak Khususnya Bangunan Yang Tidak Dapat Dibebani Hak Tanggungan Sebagaimana Dimaksud Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ... 70


(7)

BAB V PENUTUP ... 74 A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

A. Surat Keterangan Riset Dari Fakultas Hukum USU


(8)

ABSTRAK

Jaka Juris Hasintongan Lumbanraja* Syamsul Rizal**

Syaiful Azam***

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**)

Dosen pembimbing I

***)

Dosen Pembimbing II

Kedudukan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit dan kaitannya dengan peran notaris dalam pembuatan Akta Pemberian Jaminan Fidusia, merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dimana hal ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Sebagaimana kita ketahui sifat dari pemberian Jaminan Fidusia ini adalah bersifat accessoir, dalam arti bahwa timbulnya Jaminan Fidusia adalah disebabkan adanya perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang antara kreditur dengan debitur.

Metode penelitian yang dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan atas permasalahan yang berkaitan dengan obyek penelitian . Deskriptif analitis akan dikaji peraturan-peraturan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaannya yang menyangkut permasalahan yang telah diidentifikasi dan Metode Pendekatan yang dalam penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif, yaitu menekankan pada ilmu hokum dengan menitik beratkan pada data sekunder, yang berupa bahan hokum primer, sekunder dan tertier.

Dan sebagai hasil dari pengamatan dan penelitian mengenai kedudukan Jaminan Fidusia dan kaitannya dengan peran notaris dalam suatu perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang yang menunjukkan bahwa, Pertama peran notaris dalam proses perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang antara pihak kreditur sebagai penerima fidusia dengan pihak debitur sebagai pemberi fidusia. Kedua, bahwa dalam prakteknya yang biasa dijadikan jaminan fidusia dalam fasilitas pengambilan kredit antara kreditur sebagai penerima fidusia dengan debitur sebagai pemberi fidusia adalah bendar bergerak, sedangkan benda-benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan adalah jarang terjadi. Ketiga dalam proses atau tahapan pembebanan Jaminan Fidusia terdiri dari penandatanganan Perjanjian Kredit sebagai perjanjian pokok, kemudian pembuatan Akta Jaminan Fidusia oleh notaries dan yang terakhir adalah proses pendaftaran Jaminan Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman (sekarang Kantor Kementerian Hukum Dan Hak Azasi Manusia dimana obyek Jaminan Fidusia berada.


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam suatu Perjanjian Kredit biasanya terdapat perjanjian accesoir (perjanjian ikutan) yang mengikuti perjanjian kredit tersebut. Fidusia merupakan salah satu perjanjian accsoir yang ada dalam suatu perjanjian kredit.

Penggunaan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit merupakan hal yang sering dilakukan masyarakat. Dimana Fidusia dirasa lebih menguntungkan dibandingkan gadai oleh masyarakat, karena untuk gadai benda jaminan harus diserahkan kepada kreditur pemegang gadai atau pihak ketiga (pasal 1152, pasal 1162, pasal 1163 K.U.H.Perdata). sedangkan untuk jaminan fidusia sendiri, barang yang dijaminkan tidak diserahkan kepada kreditur, sehingga barang yang menjadi jaminan bisa dipakai untuk keperluan usaha si debitur.

Fidusia awalnya berasal dari yurisprudensi dalam keputusan Hooggerechtshof (HgH) tanggal 18 Agustus 1932 yang kemudian dibuatlah undang-undang mengenai jaminan fidusia dalam Undang-undang no. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang didalamnya mengatur tentang ketentuan umum mengenai jaminan fidusia, tentang cara pembebanan, pendaftaran, pengalihan dan hapusnya jaminan fidusia dan ketentuan-ketentuan lainnya.

Dikeluarkannya undang-undang fidusia merupakan pengakuan resmi dari pembuat undang-undang akan lembaga jaminan fidusia, yang selama ini baru memperoleh pengakuannya melalui yurisprudensi. Dengan demikian, maka untuk


(10)

selanjutnya sudah tidak ada kesempatan lagi untuk berpolemik tentang setuju atau tidak setujunya kita terhadap lembaga jaminan fidusia sebagai suatu bentuk lembaga jaminan kebendaan yang berdiri sendiri diluar gadai dan karenanya lain dari gadai.1

Fidusia merupakan perjanjian pengalihan hak penguasaan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan barang yang dijaminkan tetap dalam pengelolaan si pemilik (debitur), akan tetapi hak kepemilikannya diberikan kepada kreditur.2

1. Dengan sendirinya jaminan fidusia menjadi hapus karena hukum, apabila perjanjian pokoknya itu berakhir atau karena sebab lainnya yang menjadikan perjanjian pokoknya menjadi hapus;

Jaminan Fidusia sendiri memiliki sifat perjanjian accessoir, dimana bahwasannya Jaminan Fidusia ini sendiri merupakan perjanjian ikutan dari Perjanjian pokoknya.

Dalam Pasal 4 Undang-undang Jaminan Fidusia (UUJF) dinyatakan bahwa “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”.

Kata “ikutan” dalam ketentuan pasal tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa Fidusia merupakan perjanjian accessoir.

Sifat accessoir dari jaminan fidusia ini membawa akibat hukum, bahwa:

1

J.Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal.179

2


(11)

2. Fidusia yang menjaminnya karena hukum beralih pula kepada penerima fidusia yang baru dengan dialihkannya perjanjian pokoknya kepada pihak lain;

3. Fidusia merupakan bagian tidak terpisahkan dari atau selalu melekat apada perjanjian pokoknya, karena itu hapusnya fidusia tidak menyebabkan hapusnya perjanjian pokoknya.1

Jaminan Fidusia menurut Undang-undang Jaminan Fidusia adalah “ pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut masih dalam penguasaan pemilik benda” dan pengertian Jaminan Fidusia dalam Undang-undang Jaminan Fidusia yaitu, bahwa “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasa pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”

Berdasarkan pengertian diatas mengenai jaminan fidusia, meliputi unsur-unsur berikut ini :

1. Adanya hak jaminan.

1Ibid


(12)

2. Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan.

3. Benda yang menjadi objek bangunan tetap berada dalam penguuasaan pemberi fidusia.

4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur.1

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa maksud dan tujuan sistem pendaftaran Jaminan Fidusia untuk :

1. Memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan, terutama terhadap kreditor lain mengenai benda yang telah dibebani dengan Jaminan Fidusia;

2. Melahirkan ikatan jaminan fidusia bagi kreditor (penerima fidusia)

3. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada kreditor (penerima fidusia) terhadap kreditor lain, berhubung pemberi fidusia tetap menguasai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan; 4. Memenuhi asas publisitas.2

Sejalan dengan prinsip memberikan kepastian hukum, maka Undang-undang Jaminan Fidusia mengambil prinsip pendaftaran jaminan Fidusia. Pendaftaran tersebut diharapkan memberikan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima Fidusia maupun kepada pihak ketiga.

1Ibid

, hal. 36

2


(13)

Pendaftaran merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebagai syarat lahirnya jaminan fidusia dan untuk memenuhi prinsip publisitas. Dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Fidusia disebutkan “Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan”.1

Pendaftaran tersebut menganut asas spesialitas, sebagai yang kita lihat dari syarat-syarat pendaftaran sebagai yang disebutkan dalam pasal 13 sub 2 Undang-undang Fidusia, yang pada asasnya sama dengan yang disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang fidusia, sedang mengenai tanggal, nomor akta dan tempat kedudukan Notaris serta data perjanjian pokoknya sudah dengan sendirinya terekam dan terpenuhi karena di dalam pasal 2 sub 4 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 disyaratkan agar pemohon pendaftaran dilengkapi dengan salinan akta notaris. Pendaftaran dicatat dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran (pasal 14 sub 1 Undang-undang Fidusia) dan tanggal tersebut akan mempunyai dampak hukum yang besar sekali, karena tanggal tersebut menentukan lahirnya jaminan Fidusia (pasal 14 sub 3 Undang-undang Fidusia).2

Dalam hal pendaftara jaminan fidusia sendiri, notaris mempunyai peran penting dalam melakukan pendaftaran fidusia. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) undang-undang no. 42 tahun 1999 mengenai jaminan fidusia, yang dimana dikatakan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia.

1

Supianto, Op.Cit, hal. 45

2


(14)

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa memang peran Notaris sangatlah penting dalam pembuatan Jaminan Fidusia sendiri. Yaitu dalam tahapan pembuatan Akta Jaminan Fidusia untuk didaftarkan pada Kantor Jaminan Fidusia (KPF).

Saat ini pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara elektronik. Hal ini semakin mempererat peranan Notaris sendiri dalam pembuatan akta jaminan fidusia, karena untuk melakukan pendaftaran akta jaminan fidusia melalui elektronik, wewenang untuk mendaftarkan akta jaminan fidusia hanya ada pada notaris, sehingga hanya notarislah yang dapat mendaftarkan akta jaminan fidusia kepada Kantor Jaminan Fidusia.

B. Rumusan Masalah

Adapun dilihat dari latar belakang penulisan skripsi ini maka permasalahan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Kedudukan Suatu jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit?

2. Apa kaitan dan peran notaris dalam pembuatan akta pemberian jaminan fidusia pada perjanjian kredit atas benda bergerak dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan?

3. Bagaimanakah proses pemberian jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit?


(15)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah

1. Untuk mengetahui prosedur pemberian jaminan fidusia dalam suatu

perjanjian kredit

2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit

3. Untuk mengetahui apa-apa saja peran notaris dalam pembuatan akta pemberian jaminan fidusia pada perjanjian kredit atas benda bergerak dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang no 4. Tahun 1996 tentang hak tanggungan

D. Manfaat Penulisan

Adapaun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

a) Secara teoritis yaitu, untuk menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana proses pendaftaran jaminan fidusia dan bagaimana kedudukan jaminan fidusia itu sendirii dalam suatu perjanjian kredit.

b) Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaca untuk tetap memperhatikan proses-proses pendaftaran jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit.


(16)

1. Sifat/Bentuk Penelitian

Untuk penulisan skripsi ini jenis penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yang merupakan prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

Sifat penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis. Bersifat deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Jaminan Fidusia . Deskriptif analitis tidak hanya menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori hukum dan pelaksanaannya, namun menganalisis fakta secara tepat dan cermat kedudukan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit dan kaitannya dengan peranan notaris dalam pembuatan akta jaminan fidusia.

1. Data

Data yang diteliti terdiri dari :

a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan Jaminan Fidusia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata..

b. Bahan/Sumber sekunder berupa bahan acuan lainnya yang mendukung penulisan skripsi ini yang memberikan penjelasan atau ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer antara lain berupa : buku-buku, artikel, jurnal makalah, bahkan dokumen atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.


(17)

a. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara

studi kepustakaan (Library research) yaitu mempelajari dan

menganalisa secara sistematis buku-buku, jurnal, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini dengan tujuan untuk mendapatkan teori-teori, asas-asas, konsep-konsep dan doktrin, pendapat serta pemikiran dari para ahliyang relevan dengan permasalahan yang dikaji.

b. Penelitian lapangan, yaitu meneliti dengan melakukan wawancara secara langsung dengan notaris yang berada di kota medan mengenai beberapa hal menyangkut peran, kewajiban dan tanggung jawab notaris dalam hal pembuatan akta jaminan fidusia.

3. Analisis data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penulisan skripsi ini dilakukan secara kualitatif yakni dengan pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma doktrin, dan pasal-pasal di dalam perundang-undangan kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

2. Keaslian Penulisan

Pembahasan skripsi ini difokuskan untuk membahas kedudukan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit dan peran notaris dalam pembuatan akta pemberian jaminan fidusia.


(18)

Berdasarkan penulusuran kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, ternyata belum pernah ada pembahasan skripsi dengan judul Kedudukan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit dan Kaitannya dengan Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Studi Notaris di Medan).

Saya bertanggung jawab apabila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama.

3. Sistematika Penulisan

Agar lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini, penulis akan membuat sistematika penulisan secara teratur, yang dibagi dalam beberapa bab dan semuanya saling berhubungan satu dengan yang lain.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah :

1. Bab I. Pendahuluan

Bab ini merupakan bagian pembukaan yang berisi mengenai alasan pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika dalam penulisan skripsi ini.

2. Bab II. Tinjauan Umum Mengenai Jaminan Fidusia

Bab ini berisi mengenai tinjauan-tinjauan umum mengenai jaminan fidusia, khususnya mengenai pengertian, unsur-unsur pokok, asas-asas hukum dan objek jaminan fidusia.


(19)

3. Bab III. Tugas dan Wewenang Notaris Dalam Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

Bab ini akan menguraikan apa itu pengertian notaris, tugas dan wewenangnya, juga tanggung jawab seorang notaris dalam pembuatan akta jaminan fidusia

4. Bab IV Kedudukan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit dan Kaitannya Dengan Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Jaminan Fidusia Bab ini akan menguraikan rumusan-rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu mengenai proses pemberian jaminan fidusia dan kedudukan jaminan fidusia tersebut dalam perjanjian kredit, juga kaitannya dengan peran notaris dalam pembuatan akta jaminan tersebut.

5. Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup dalam skripsi ini yang berisi mengenai kesimpulan yang penulis dapat dalam pembahasan skripsi ini serta saran-saran yang dapat penulis ambil dalam menghadapi permasalahan dalam rumusan masalah skripsi ini.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

A. Pengertian Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, yang semula berasal dari zaman Romawi.

Istilah Fidusia dalam bahasa Belanda secara lengkap disebut dengan “Fiduciaire Eigendoms Overdracht” (FEO), dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Fiduciary Transfer of Ownership”.1 Dalam hukum Romawi lembaga fidusia ini dikenal dengan nama fiducia cum contracta (artinya janji kepercayaan yang dibuat kreditor). Isi janji yang dibuat oleh debitur dengan kreditornya adalah debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda sebagai jaminan utangnya dengan kesepakatan bahwa debitur tetap akan menguasai secara fisik benda tersebut dan kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya sudah dibayar lunas.2

Fidusia ini berasal dari kata fidusiair atau fides, yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor.3

1

Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hal. 42

2

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 151

3IbId

, hal. 151

Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan antara pemberi fidusia (debitor) dan penerima fidusia (kreditor)


(21)

merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusa percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.1

Menurut Tan Kamelo,2

Dari pengertian-pengertian diatas Fidusia mengandung unsur-unsur pokok sebagai berikut:

Fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda dengan hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Sedangkan pengertian jaminan fidusia adalah “Hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan bangunan/rumah diatas tanah orang lain baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”.

A. Hamzah dan Senjun Manulang mengartikan bahwa fidusia adalah “suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur), berdasarkan adanya perjanjian pokok kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridiselevering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur.

1

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 119

2

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni Bandung, 2006, hal.31


(22)

1. Adanya pengalihan/pengoperan

2. Pengalihan dari pemiliknya kepada kreditur 3. Adanya perjanjian pokok

4. Penyerahan berdasarkan kepercayaan.1

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Jaminan Fidusia telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Dengan demikian, artinya bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar

fiduciair dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikannya tersebut diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia). Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan dari pemiliknya kepada kreditor adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor. Sementara itu hak kepemilikan secara ekonomis atas benda yang dijaminkan tersebut tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya.2

Sedangkan pengertian Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia Pasal 1 butir 2 adalah “hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud

1

Supianto, Op Cit, hal. 35

2


(23)

dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan kepada penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya”.

Dengan demikian, bahwa dari pengertian diatas ada beberapa prinsip utama dari jaminan Fidusia menurut Munir Fuady, antara lain1

1. Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya.

:

2. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitur.

3. Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek Jaminan Fidusia harus

dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.

4. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.

Sehingga berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas, hak jaminan yang dapat dibebani secara Fidusia adalah benda bergerak baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia.

1

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cetakan Kedua , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 4


(24)

Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para ahli diatas adalah karena ketentuan undang-undang yang telah mengatur tentang lembaga gadai mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat memenuhi perkembangan masyarakat. Hambatan itu meliputi:1

1. Adanya asas inbezitstelling

Asas ini mensyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada pemegang gadai, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1152 KUH Perdata. Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berwujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya. Terlebih jika benda tanggungan tersebut kebetulan merupakan alat yang penting untuk mata pencaharian sehari-hari, misalnya bus atau truk-truk bagi perusahaan angkutan, alat-alat rumah makan, sepeda bagi pemilik rekening dan lain-lain. Mereka itu disamping memerlukan kredit juga masih membutuhkan tetap dapat memakai bendanya yang dijaminkan untuk bekerja.

2. Gadai atas surat-surat piutang

Kelemahan gadai atas surat-surat piutang ini karena:

a. Tidak adanya ketentuan tentang carapenarikan dari piutang-piutang oleh si pemegang gadai;

b. Tidak adanya ketentuan menganai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus dilaksanakan, misalnya mengenai cara

1

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.57


(25)

pemberitahuan tentang adanya gadai piutang-piutang tersebut kepada si debitur surat hutang, maka keadaan demikian tidak memuaskan bagi pemegang gadai. Dalam keadaan demikian, berarti finansial si pemberi gadai menyerahkan diri sepenuhnya kepada debitur surat piutang tersebut, hal mana dianggap tidak baik dalam dunia perdagangan.

3. Gadai kurang memuaskan, karena ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukan lebih tinggi dari pemegang gadai.

B. Asas-asas Umum Hukum Jaminan Fidusia

Asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Jaminan Fidusia menurut Tan Kamello adalah1

1

Tan Kamello, Op Cit, hal. 159 :

Pertama, Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 2 UUJF. Lebih lanjut UUJF tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Namun, dibagian lain yakni pasal 27 UUJF dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.


(26)

Kedua, Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan “droit de suite zaaksgevolg”. Pengertian droid de suite dijelaskan sebagai the right of a creditor to pursue debtors property into the hands of third persons for the enforcement of his claim.

Pengakuan asas ini dalam UUJF menunjukkan bahwa jaminan fidusia

merupakan hak kebendaan (zakelijkrecht) dan bukan hak perorangan

(persoonlijkrecht). Dengan demikian, hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut.

Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Karena itu, konsekuensi yuridis adalah pemberlakuan asas droit de suite baru diakui sejak tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Maksud penegasan ini tidak lain adalah kalau jaminan fidusia tidak dicatatkan dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak kebendaan melainkan memiliki karakter hak perorangan. Akibatnya, bagi pihak ketiga adalah tidak dihormatinya hak jaminan fidusia dari kreditur pemegang jaminan fidusia.

Pemberlakuan asas droit de suite tidak berlaku terhadap semua objek jaminan fidusia, tetapi pengecualiannya yakni tidak berlaku bagi objek jaminan fidusia berupa benda persediaan. Pembentuk UJF tidak menjelaskan benda-benda apa saja yang termasuk dalam kategori benda persediaan. Hanya dijelaskan


(27)

dengan memberikan contoh tentang benda-benda yang tidak merupakan benda persediaan, antara lain mesin produksi, mobil pribadi atau rumah pribadi1

Keempat, asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. Dalam UUJF ditentukan bahwa objek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada.

.

Ketiga, Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut dengan asas asesoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang yang melahirkan hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia.

Dalam UUJF, asas tersebut secara tegas diutarakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok. Sesuai dengan sifat assesoir ini, berarti hapusnya jaminan fidusia juga ditentukan oleh hapusnya hutang pokok atau karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh kreditur penerima jaminan fidusia. Dengan demikian, perjanjian jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang.

2

Asas tersebut telah tertampung atau telah diakui setelah keluarnya UUJF yang intinya adalah jaminan fidusia dapat dibebankan atas benda yang akan ada.

Kelima, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada.

3

1

Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UUJF

2

Pasal 7 UUJF

3

Pasal 9 UUJF


(28)

sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang tidak terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujudan asas tersebut merupakan perjuangan cita-cita masyarakat dalam bidang hukum jaminan.

Keenam, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horisontal.1

Ketujuh, asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia yang dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan fidusia yang dimaksudkan adalah data perjanjian pokok yang dijaminkan fidusia, uraian mengenai menjadi objek jaminan. Dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan.

Dalam pemberian kredit ban penegasan asas ini dapat menampung pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai hak atas bangunan/rumah. Biasanya hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemilik bangunan adalah perjanjian sewa.

2

Kedelapan, asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia. Asas ini sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia bukanlah orang yang mempunyai wewenang untuk berbuat. Dalam UUJF, asas ini belum dicantumkan secara tegas.

1

Penjelasan Pasal 3 huruf a UUJF

2


(29)

Kesembilan, asas bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publikasi. 1 Dengan dilakukannya pendaftaran akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan perjanjian jaminan fidusa adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi juga melahirkan adaya kepastian hukum dari jaminan fidusia.

Kesepuluh, asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan.2

Kesebelas, asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditur yang mendaftar kemudian.

Dalam ilmu hukum disebut asas pengakuan.

3

Ketigabelas, asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.

Keduabelas, asas bahwa pemberi jaminan fidusia tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik. Asa itikad baik di sini memiliki arti subjektif sebagai kejujuran bukan arti objektif sebagai kepatutan seperti dalam hukum perjanjian. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan menggadaikannya kepada pihak lain.

4

1

Pasal 12 UUJF

2

Pasal 1 ayat (3) dan pasal 33 UUJF

3

Pasal 28 UUJF

4

Pasal 15 UUJF

Kemudahan pelaksanaan eksekuasi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan


(30)

fidusia. Dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sehingga penjualan terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia, selain melalui titel eksekutorial, dapat juga dilakukan dengan cara melelang secara umum dan di bawah tangan.1

C. Objek Jaminan Fidusia

Pada awalnya Objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak saja. Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1950 Nomor 158/1950/Pdt dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 372 K/Sip/1970, yang pada intinya menyatakan bahwa penyerahan hak milik secara fidusia hanya

sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak. 2

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

Namun dalam perkembangannya, objek jaminan fidusia tidak hanya mencakup benda bergerak saja tetapi juga mencakup benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Hal ini terdapat dalam pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa :

1

Pasal 29 UUJF

2

J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.4


(31)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”

Dari pasal diatas dapat kita lihat bahwa objek jaminan fidusia adalah :

1. Benda bergerak yang berwujud; 2. Benda bergerak yang tidak berwujud;

3. Benda bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan

Kemudian menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Jaminan Fidusia yang mengatur mengenai pengertian benda menyatakan bahwa, benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.

Menurut Rachmadi Usman, dari bunyi perumusan benda dalam pasal 1 angka 4 Undang-undang fidusia diatas, objek jaminan fidusia itu meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak tertentu yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotek, dengan syarat bahwa kebendaan tersebut “dapat dimiliki dan dialihkan”, sehingga dengan demikian objek jaminan fidusia meliputi:1

1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum; 2. Dapat atas benda berwujud;

3. Dapat atas benda yang tidak berwujud, termasuk piutang; 4. Dapat atas benda yang terdaftar;

1


(32)

5. Dapat atas benda yang tidak terdaftar; 6. Benda bergerak;

7. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak

tanggungan;

8. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hipotek.

Dengan kata lain, objek jaminan fidusia itu bisa:

1. Benda bergerak yang berwujud; 2. Benda bergerak yang tidak berwujud; 3. Benda bergerak yang terdaftar; 4. Benda bergerak yang tidak terdaftar;

5. Benda tidak bergerak tertentu, yang dapat dibebani dengan hak tanggungan;

6. Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan hipotek;

7. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan.

Objek jaminan Fidusia yang kita simpulkan dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Jaminan Fidusia dan sebagai yang ditentukan dalam pasal 1 sub 4 dan pasal 3 undang-undang jaminan Fidusia, mendapat penjabarannya lebih lanjut dalam pasal 9 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mengatakan, bahwa Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau jenis berbeda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.


(33)

D. Kedudukan Para Pihak Di Dalam Jaminan Fidusia

Di dalam jaminan fidusia dikenal dengan asas pengakuan, dimana benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Jadi dari asas pengakuan tersebut telah diatur tentang kedudukan pihak pemberi fidusia sebagai pihak debitur maupun kedudukan pihak penerima fidusia sebagai kreditur.

Apabila pihak pemberi fidusia sebagai kreditur dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, maka hal tersebut menjadikan fidusia sama seperti dengan jual beli dengan hak membeli kembali, dimana kalau penjual (debitur) tidak membeli kembali barangnya, maka pembeli (kreditur) menjadi pemilik dari barang yang telah dijual.1

Seorang sarjana yaitu Dr. A. Veenhoven2

Apabila pendapat dari pada Dr. A. Veenhoven tersebut, maka si pemberi fidusia sebagai kreditur dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sehingga hal tersebut bertentangan dengan asas pengakuan yang dianut di dalam fidusia serta bertentangan dengan asas yang dianut di dalam sistem hukum menyetujui bentuk dari pada fidusia seperti bentuk di dalam jual beli dengan hak membeli kembali dengan syarat tambahan sebagai berikut :

Hak milik di sini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu. Untuk pemilik fidusia, hak miliknya digantungkan pada syarat putus (ontbindende voorwaarde). Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi).

1

Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Cetakan pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta , 1984, hal. 47.

2Ibid


(34)

jaminan pada umumnya, di mana di dalam hukum jaminan dikatakan bahwa seorang penerima jaminan sebagai kreditur tidak dibolehkan menjadi pemilik barang jaminan, bahkan setelah pemberi jaminan sebagai debitur cedera janji, maka penerima jaminan sebagai kreditur dilarang menjadi pemilik dari barang jaminan. Setelah pemberi jaminan sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan sebagai kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual objek yang menjadi jaminan secara umum (lelang) dan hasil dari lelang tersebut digunakan untuk membayar hutang dari pemberi jaminan sebagai debitur terhadap piutang dari penerima jaminan sebagai kreditur.

Begitu juga di dalam pemberian jaminan fidusia, maka penerima jaminan fidusia sebagai kreditur tidak dibolehkan menjadi pemilik barang jaminan, bahkan setelah pemberi jaminan fidusia sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan fidusia sebagai kreditur dilarang menjadi pemilik dari barang jaminan fidusia. Setelah pemberi jaminan fidusia sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan fidusia sebagai kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual objek yang menjadi jaminan fidusia secara umum (lelang) dan hasil dari lelang tersebut digunakan untuk membayar hutang dari pemberi jaminanfidusia sebagai debitur terhadap piutang dari penerima jaminanfidusia sebagai kreditur. Atau dengan kata lain bahwa tujuan dari para pihak di dalam melakukan pemberian jaminan fidusia adalah bukan untuk menyerahkan hak milik dalam arti yang sesungguhnya, melainkan hanya mengadakan jaminan.

Pendapat tersebut di atas juga dianut oleh Mahkamah Agung RI dalam Putusannya Nomor 1500 K/Sip/1978 yang pertimbangannya menyatakan1

1Ibid

, hal. 47.


(35)

Menimbang, ……. Maka sekarang inikarena jelas penggugat asal sebagai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka tergugat asal dapat menggunakan ketentuan dalam ayat (9) Pasal VII PMK yang bersangkutan, dan seperti halnya dalam gadaian ia dapat melakukan penjualan-penjualan umum atas barang yang diikat dengan fiduciaire eigendoms overdracht

tersebut untuk kemudian memperhitungkan dengan sisa penggugat asal.

Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut di atas, apabila pemberi fidusia sebagai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya atau lalai untuk memenuhi kewajibannya terhadap penerima fidusia sebagai kreditur, maka penerima fidusia sebagai kreditur tidak dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, penerima fidusia hanya dapat melakukan penjualan-penjualan umum (lelang) terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut sebagaimana penjualan-penjualan umum yang dilakukan di dalam gadai yang diatur di dalam Pasal 1155 KUH Perdata dan Pasal 1156 KUH Perdata. Akan tetapi jika selama pemberi fidusia sebagai debitur belum melakukan kelalaian memenuhi kewajibannya terhadap penerima fidusia sebagai kreditur, maka kedudukan penerima fidusia sebagai kreditur adalah hanya sebagai penerima jaminan fidusia saja dan belum dapat melakukan penjualan-penjualan umum (lelang) terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.

Sehingga berdasarkan pembahasan di atas, kedudukan penerima fidusia sebagai kreditur adalah sebagai pemegang jaminan fidusia dan kewenangannya adalah sebagai pemilik yang terbatas terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut, karena apabila pemberi fidusia tidak melakukan kelalaian terhadap kewajibannya, maka penerima fidusia tidak dapat melakukan penjualan umum terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.


(36)

Selanjutnya mengenai kedudukan pemberi fidusia sebagai debitur di dalam jaminan fidusia, maka melalui penyerahan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia secara constitutum possessorium pemberi fidusia berkedudukan sebagai orang yang tetap menguasai benda yang dijadikan objek fidusia atas dasar penitipan yang diberikan oleh penerima fidusia kepada pemberi fidusia, karena pemberi fidusia hanya dapat menguasai benda yang dijadikan objek fidusia dan tidak boleh menjual atau mengalihkan benda yang dijadikan objek fidusia tersebut.

Kalaupun pemberi fidusia akan menjual atau mengalihkan benda yang dijadikan objek fidusia, maka pemberi fidusia harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari penerima fidusia dengan ketentuan bahwa hasil penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut harus digunakan untuk membayar hutang-hutang pemberi fidusia terhadap piutang penerima fidusia.

Dengan demikian penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia yang dilakukan oleh pemberi fidusia kepada pihak ketiga dengan ijin dari penerima fidusia dengan ketentuan bahwa hasil penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut harus digunakan untuk membayar hutang-hutang pemberi fidusia terhadap piutang penerima fidusia adalah sah, karena hak kepemilikan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut berada di tangan penerima fidusia. Dengan keadaan seperti tersebut di atas, kreditur sebagai penerima jaminan menganggap bahwa debitur sebagai pemberi jaminan telah melakukan wanprestasi, sehingga kreditur dapat membatalkan perjanjian pemberian kredit dan mewajibkan kepada debitur melunasi semua hutangnya serta bunga yang telah diperjanjikan kepada kreditur.


(37)

BAB III

TUGAS DAN WEWENANG NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA A. Sejarah dan Pengertian Notaris di Indonesia

Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius, yang merupakan nama pada zaman Romawi kuno, yang diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Dan fungsi dari Notarius (Notarii) ini masih sangat berbeda dengan fungsi notaris pada saat ini. Nama Notarius ini lambat laun mempunyai arti yang berbeda dengan semula, sehingga kira-kira abad ke-dua , pengertiannya berubah menjadi mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat, jadi seperti stenograaf sekarang. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Notarius berasal dari perkataan “nota literaria”, yaitu tanda (letter mark atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan. Kemudian dalam abad ke-lima dan ke-enam sebutan Notarius (Notarii) itu diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan administratif.1

Pejabat-pejabat yang dinamakan Notarii ini merupakan pejabat-pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik (umum); adapun yang melayani publik dinamakan Tabbelliones. Mereka ini menjalankan pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya. Sesungguhnya fungsi mereka sudah mirip dengan Notaris pada zaman sekarang, tetapitidak mempunyai sifat “ambtelijk”, sifat jabatan Negeri, sehingga surat-surat

1

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 13


(38)

yang dibuatnya ridak mempunyai sifat autentik. Mereka membuat akte-akte, rekes-rekes dan lain sebgainya tetapi semuanya ini merupakan surat-surat biasa yang sifat autentiknya tidak ada dalam tahun 537 kaisar Justinianus telah mengatur pekerjaan dan kedudukan Tabellines ini kedalam suatu constitutie, tetapi kedudukan mereka tetap tidak mempunyai sifat “ambtelijk”. Karena eratnya hubungan pekerjaan dengan hukum, maka mereka itu ditaruh dibawah pengawasan kehakiman.1

Seiring berjalannya waktu, lambat laun masyarakat dapat mempergunakan jasa notarii, karena menggunakan jasa notarii dipandang lebih terhormat daripada menggunakan jasa tabularii. Akhirnya pada masa Karel de Grote , tabularii dan notarii menggabungkan diri menjadi satu badan yang dinamakan Collegium. Mereka akhirnya dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya membuat akta-akta baik di dalam maupun diluar pengadilan walaupun jenis-jenis akta ini Disamping tabelliones terdapat juga apa yang dinamakan tabularii.

Mereka ini sesungguhnya adalah pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk memegang dan mengerjakan buku-buku dari keuangan kota-kota serta mengadakan pengawasan terhadap administrasi dari magistrat kota. Kemudian mereka ditugaskan juga untuk menyimpan surat-surat bahkan diberi wewenang untuk membuat akte-akte. Dengan demikian maka publik lalu lebih banyak menggunakan jasa tabularii daripada tabelliones, karena tabularii ini mempunyai sifat “ambtelijk” dan berhak menyatakan secara tertulis terjadinya tidakan-tindakan hukum.

1 I b I d,


(39)

selanjutnya dapat berupa akta otentik ataupun akta dibawah tangan. 1

1

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cetakan ketiga, penerbit erlangga, jakarta, 1983, hal. 3

Notaris di indonesia sendiri sudah ada dari abad ke 17, pada saat itu diangkatlah Melechior Kerchem, Sekretaris dari College van schepenen sebagai notaris pertama pada tanggal 27 Agustus 1620 sesudah didirikannya kota jakarta pada tanggal 4 maret 1621 sebagai ibukota dari Oost Indische Compagnie. Intruksi mengenai tugas dan wewenangnya dicantumkan dalam surat pengangkatannya. Dengan singkat disebutkan bahwa ia ditugaskan menjabat jabatan “Notarius publicus” dalam wilayah kota Jecantra dan untuk kepentingan publik di wilayah itu ia membuat akte-akte, surat-surat dan lain-lainnya sera mengeluarkan salinan-salinannya. Selanjutnya sesuai dengan sumpah kesetiaan, dengan kewajiban serta jujur dan tidak ada penyelewengan membuat semua alat-alat bukti dan akte-akte notaris, serta mencatatkannya dalam buku tertentu, selanjutnya berbuat segala sesuatu yang baik yang patut diharapkan dari seorang notaris. Lima tahun kemudian sesudah jabatan notaris publicus dip[isahkan dari sekretaris pengadilan, maka pada tanggal 16 juni 1625 ditetapkanlah Instruksi untuk para notaris yang pertama di Indonesia (Hindia Belanda). Instruksi ini yang hanya terdiri dari sepuluh pasal , antara lain menetapkan bahwa notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akte-akte kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. Sesudah pengangkatan notaris pertama, maka kemudian jumlah Notaris dalam kota jakarta ditambah berhubung dirasakannya kebutuhan akan pejabat ini. Sementara itu diluar kota Jakarta timbul juga kebutuhan akan notaris, maka diangkatlah notaris-notaris di pos-pos luar oleh penguasa-penguasa


(40)

setempat. Dengan demikian maka mulailah notariat berkembang di wilayah Hindia-Belanda.1

Dalam pasal 1 angka 1 undang no 2 tahun 2014 jo. Undang-undang No. 30 tahun 2004 disebutkan bahwasannya pengertian Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini maupun undang-undang lainnya.

Baru pada tahun 1842 berlakulah undang-undang baru di Belanda mengenai Notariat, maka pemerintahHindia-Belanda menganggap perlu mengadakan perubahan perundang-undangan baru mengenai notariat di Indonesia yang disesuaikan dengan undang-undang notariat di Belanda. Maka pada tahun 1860 ditetapkanlah Reglement op het Notarisambt in Nederlands Indie (Stb. 1860 No. 3) dan peraturan inilah yang berlaku sebagai perundang-undangan notariat di Indonesia pada saat itu. Dam setelah sekian lama keluarlah Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, kemudian setelah itu keluarlah Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang-Undang-undang no. 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris.

2

Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang. Dalam Pasal 1

1

R. Soegondo Notodisoerjo, Op Cit, hal. 22

2


(41)

huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar. Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJabatan Notaris yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJabatan Notaris. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJabatan Notaris harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJabatan Notaris dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJabatan Notaris dan untuk melayani kepentingan masyarakat, Profesi Notaris adalah menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang berkaitan dengan keperdataan, yang dilindungi oleh UU.

Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan tidak dikecualikan1

B. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Autentik .

1

http://www.jimlyschool.com/read/analisis/384/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/


(42)

Kewenangan notaris sendiri telah ada dalam pasal 15 undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang no. 30 tahun 2004, yaitu notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk diutarakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang1

a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

.

Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJabatan Notaris dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :

b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya maka akta

1


(43)

tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UU Jabatan Notaris, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya.

Sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994 di atas, maka Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg dan Pasal 1868 KUH Perdata mengatakan :

Pasal 165 HIR :

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, yang bagi pihak-pihak dan para ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya merupakan suatu bukti mutlak


(44)

mengenai hal-hal yang tercantum di dalamnya malahan tentang segala sesuatu yang dinyatakan dengan gamblang di dalamnya, asal saja yang dinyatakan itu mempunyai hubungan langsung dengan masalah pokok tersebut dalam akta itu.

Pasal 285 RBg :

Akta otentik adalah akta yang sedemikian rupa dibuat dalam bentuk yang ditetapkan dalam perundang-undangan oleh atau dihadapan pejabat-pejabat umum yang berwenang di tempat pembuatan surat itu, menghasilkan pembuktian yang lengkap tentang segala sesuatu yang tercantum di dalamnya dan bahkan mengenai segala sesuatu yang secara gamblang dipaparkan di dalamnya bagi pihak-pihak dan para ahli waris serta mereka yang mendapat hak dari padanya, sepanjang apa yang dipaparkan itu mempunyai hubungan yang langsung dengan masalah pokok yang diatur dalam akta tersebut.

Pasal 1868 KUH Perdata :

Akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapam pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

Sehingga berdasarkan bunyi Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg dan Pasal 1868 KUH Perdata diatas, akta yang dibuat oleh notaris adalah merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Dan apabila para pihak yang memberikan data-data yang tidak benar di dalam pembuatan akta tersebut, maka notaris tidak dapat dihukum karena notaris adalah pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang untuk membuat suatu akta. Hal tersebut sesuai


(45)

dengan bunyi Pasal 50 KUHP berbunyi : Tidaklah dapat dihukum, barang siapa melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan.

Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.

Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat bukti, bila terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pihak yang bersengketa. Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatar belakangi oleh Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :

1. bukti tulisan;

2. bukti dengan saksi-saksi; 3. persangkaan-persangkaan; 4. pengakuan;

5. sumpah

Jika dilihat dari pada susunan maupun urut-urutan alat-alat bukti yang diatur di dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 KUH Perdata diatas, maka pembuktian tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang dapat membuat akta otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara menyediakan lembaga


(46)

yang bisa membuat akta otentik. Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tertera pada Pasal 1868 KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu pejabat yang diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta otentik. Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang digunakan sebagai cap para Notaris adalah lambang negara. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini dapat juga dilihat di dalam pasal 1 angka 1 UUJabatan Notaris. Notaris Dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi1

Selain kewenangan tersebut, notaris juga berwenang untuk mengesahkan tanda tangan dan menerapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau membuat akta risalah lelang dan juga kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

.

2

Dalam hal kewenangan utama notaris adalah untuk membuat akta otentik, maka otentitas dari akta notaris tersebut bersumber dari Pasal 1 UU Jabatan Notaris, dimana notaris dijadikan sebagai Pejabat Umum sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh

.

1

http://www.jimlyschool.com/read/analisis/384/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/

2


(47)

sifat akta otentik ialah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk ditempat dimana akta itu dibuatnya.

Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang notaris hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatannya didalam seluruh daerah yang ditentukan baginya dan hanya di dalam daerah hukum itu berwenang.

Untuk itu, wewenang notaris meliputi 4 hal, yaitu :

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu, seperti telah dikemukakan di atas, tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu yaitu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk

kepentingan siapa akta itu dibuat notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Misalnya ditentukan bahwa notaris tidak diperbolehkan membuat akta di dalam mana notaris sendiri, isterinya, keluarga sedarah atau keluarga semenda dari notaris itu dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, baik secara pribadi maupun melalui kuasa, menjadi pihak. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan.


(48)

dibuat; bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentik. Akta yang dibuatnya di luar daerah jabatannya adalah tidak sah.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta. Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya (sebelum diambil sumpahnya)1

Apabila salah satu dari persyaratan di atas tidak dipenuhi, maka akta yang dibuatnya menjadi tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta ini ditandatangani oleh para penghadap, kecuali dalam keadaan darurat, seperti pembuatan akta wasiat di atas kapal dan jika seseorang dalam keadaan sekarat.

.

Demikian juga halnya, apabila oleh undang-undang disebutkan untuk suatu perbuatan atau perjanjian atau ketetapan diharuskan dengan adanya akta otentik, danjika salah satu dari persyaratan di atas tidak dipenuhi, maka akta untuk perbuatan atau perjanjian atau ketetapan itu menjadi tidak sah.

Adakalanya notaris dapat menolak pembuatan akta dalam hal :

1. Apabila diminta kepada notaris dibuatkan berita acara untuk keperluan atau maksud reklame.

2. Apabila notaris mengetahui bahwa akta yang dikehendaki oleh para pihak itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

1

G.H.S.LumbanTobing,PeraturanJabatanNotaris,CetakanKetiga,PenerbitErlangga, Jakarta, 1983, hal. 43 - 50


(49)

kenyataan yang sebenarnya1

Pada pokoknya akta-akta notaris itu diperbuat dalam lapangan hubungan hukum privat, khususnya bila dikaitkan dengan pengurusan piutang negara tidak lepas dari lapangan hubungan hukum perjanjian, yang bila dikaji maka akan terdapat 2 golongan besar akta yang bisa dibuat oleh notaris, yaitu :

.

1. Golongan akta perjanjian yang dibuat berdasarkan aturan yang terdapat di dalam KUHPerdata, seperti :

a. Jual beli

b. Sewa menyewa

c. Tukar menukar

d. Pinjam meminjam barang/uang e. Perjanjian kerja

f. Kongsi

g. Pemberian kuasa h. Hibah

i. Dan lain sebagainya

2. Golongan akta perjanjian yang dibuat berdasarkan aturan yang terdapat di luar atau tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi dikenal dalam praktek, seperti :

a. Leasing b. Beli Sewa c. Kontrak rahim d. Franchise

e. Dan lain sebagainya.2

Selanjutnya dalam pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, disebutkan bahwa Notaris berwenang untuk membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan

1

Chairari Bustami, Tesis Aspek-aspek Hukum yang Terkait Dalam Akta Perikatan JualBeliyang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Medan, 2002, hal91.

2


(50)

kutipan Akta, semuanya itu sepanjangan pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Berkaitan dengan peranannya sebagai pejabat umum tersebut maka selanjutnya notaris dalam kapasitas tugasnya yang terjabar dalam Pasal 15 ayat (2) berwenang untuk :

c. Menyerahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

d. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

e. Membuat kopi asli dari surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

f. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

g. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

Akta;

h. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan ; atau i. Membuat Akta risalah lelang.

Pada Prinsipnya untuk pembuatan akta pada perjanjian kredit, biasanya perjanjian kredit tersebut ada yang dibuat oleh pihak bank berdasarkan kebijakan/management bank tersebut berupa akte dibawah tangan, akan tetapi umumnya adalah menggunakan akta otentik yang dibuat oleh dan atau ditandatangani oleh notaris.


(51)

Dalam hal perjanjian kredit dengan memakai jaminan yang dibuat oleh pihak bank berdasarkan kebijakan/management bank tersebut, dan setelah perjanjian kredit tersebut selesai dibuat oleh pihak Bank, maka biasanya perjanjian kredit tersebut oleh pihak Bank dibawa kepada notaris untuk dibuatkan akta jaminan, sehingga perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris tersebut menjadi suatu akta autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

Jadi semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh notaris terhadap semua peristiwa hukum yang dikehendaki oleh para pihak adalah bertujuan untuk menghasilkan alat bukti yang bersifat formal dan benar-benar autentik yang dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis dalam konteks mempertahankan suatu hak di dalam hukum.

Di dalam proses pembuatan akta-akta jaminan oleh notaris yang ditanda tangani antara pihak kreditur dan pihak debitur harus tidak terpisahkan antara perbuatan para pihak dan sekaligus menghasilkan alat bukti yang bersifat formal menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan oleh para pihak yang berkepentingan.


(52)

BAB IV

KEDUDUKAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN PERAN NOTARIS DALAM

PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA

A. Kedudukan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit Yang Dibuat Dan Ditandatangani Oleh Pihak Kreditur Dan Pihak Debitur.

Timbulnya Fidusia disebabkan kebutuhan masyarakat akan suatu jaminan di dalam suatu perjanjian kredit. Fidusia sebagai Jaminan dalam suatu Perjanjian Kredit memiliki kedudukan yang sangat penting, yaitu mengenai jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menanggung hutang si debitur kepada kreditur, dimana barang yang dijaminkan oleh debitur menjadi milik si debitur, akan tetapi barang yang dijaminkan oleh si debitur tersebut tetap dalam penguasaan si debitur. Dewasa ini dalam hal perkreditan, Jaminan Fidusia merupakan suatu lembaga jaminan untuk pelunasan hutang tertentu yang dibuat antara debitur dengan pihak kreditur yang diwujudkan dalam suatu perjanjian. Di lain pihak, “pengaturan lembaga Jaminan Fidusia dalam rangka sistematik hukum perdata termasuk dalam bidang hukum benda”.1

1. Aspek Hukum Perjanjian

Dari hal yang telah penulis uraikan di atas, maka kedudukan Jaminan Fidusia dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dikatakan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan atau dengan katan lain bahwa

1

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Pengaturan Hukum Tentang Hipotek, Kreditverban Dan Fidusia, Seminar Hukum Jaminan, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1981, hal. 54


(53)

Jaminan Fidusia adalah merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, dimana perjanjian tentang Jaminan Fidusia tersebut mengikuti perjanjian pokoknya yang biasanya merupakan suatu perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang antara kreditur dengan debitur.

Di samping itu Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatakan sebagai berikut :

Pasal 1 angka 1

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pasal 1 angka 2

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Pasal 1 angka 5

Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.


(54)

Pasal 1 angka 6

Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.

Dari bunyi Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 di atas diketahui bahwa di dalam perjanjian Jaminan Fidusia debitur disebut dengan “Pemberi Fidusia” dan kreditur disebut dengan “Penerima Fidusia”, sehingga dengan adanya kata “Pemberi Fidusia” dan kata “Penerima Fidusia” diketahui bahwa telah timbul perikatan antara antara 2 (dua) pihak yaitu pihak si Pemberi Fidusia dan pihak si Penerima Fidusia.

Selanjutnya berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 di atas dikaitkan dengan bunyiPasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, maka di dalam perikatan antara pihak si Pemberi Fidusia dan pihak si Penerima Fidusia tersebut, kedudukan pihak si Pemberi Fidusia adalah sebagai pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dan orang yang mempunyai hutang terhadap pihak si Penerima Fidusia, sedangkan kedudukan pihak si Penerima Fidusia adalah pihak yang mempunyai piutang terhadap pihak si Pemberi Fidusia yang pembayarannya dijamin dengan obyek Jaminan Fidusia milik dari pihak si Pemberi Fidusia, atau dengan kata lain antara pihak si Pemberi Fidusia dengan pihak si Penerima Fidusia telah terjadi perjanjian pemberian kredit dengan Jaminan Fidusia, dan Fidusia sebagai jaminan, diberikan dalam bentuk perjanjian.1

1


(55)

Dalam hal dilaksanakannya perjanjian pemberian kredit dengan Jaminan Fidusia haruslah sesuai dan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur di dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan bahwa :

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

maka perjanjian tersebut dikatakan adalah suatu perjanjian yang sah menurut hukum dan akibatnya perjanjian tersebut mengikat sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak yang membuatnya.

Ke empat syarat tersebut dapat bedakan menjadi dua golongan, dimana syarat angka 1 dan angka 2 merupakan syarat subyektif yang orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat angka 3 dan angka 4 merupakan syarat obyektif yang mengatur tentang perbuatan yang dilakukan oleh orang yang membuat perjanjian tersebut.

Dalam perjanjian pemberian Jaminan Fidusia juga harus memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana yang dirumuskan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata di atas.


(56)

Syarat subyektif yang pertama, yaitu kesepakatan dari ke dua belah pihak (pemberi fidusia dan penerima fidusia) dalam suatu perjanjianpemberian Jaminan Fidusia haruslah merupakan perwujudan dari kehendak ke dua belah pihak (pemberi fidusia dan penerima fidusia) dalam perjanjian tersebut, misalnya dalam hal apa saja yang dikehendaki oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia untuk melaksanakannya, mengenai saat pelaksanaannya dan mengenai pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang disepakati tersebut.

Begitu pula halnya dengan syarat subyektif yang ke dua yaitu kecakapan para pihak (pemberi fidusia dan penerima fidusia) dalam membuat suatu perikatan Jaminan Fidusia yang dalam hal ini kecakapan yang menyangkut tentang kecakapan untuk bertindak dalam hukum.

Pasal 1330 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu :

1. Orang-orang yang belum dewasa.

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (Curatele).

Jadi berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut di atas, pemberi fidusia dan penerima fidusia haruslah orang yang cakap bertindak dalam hukum, yaitu orang yang sudah dewasa serta bukan orang yang ditaruh di bawah pengampuan (Curatele).

Sementara itu syarat obyektif dari sahnya suatu perjanjian tertuang di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian dan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.


(57)

Mengenai syarat suatu hal tertentu tertuang di dalam Pasal 1333 KUH Perdata yang berbunyi :

Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Jadi dapat kita lihat bahwa KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang, dan jika diperhatikan lebih lanjut rumusan tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, dalam KUH Perdata semua jenis perikatan pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu dan kebendaan tersebut haruslah sesuatu yang dapat ditentukan atau dihitung secara pasti.

Sejalan dengan syarat obyektif yang pertama, yaitu suatu hal tertentu tersebut, dikaitkan dengan perjanjian Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia, maka di dalam perjanjian antara si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia isinya adalah bahwa si pemberi fidusia berhutang kepada si penerima fidusia, dimana si pemberi fidusia akan membayar hutangnya kepada si penerima fidusia yang dijamin dengan obyek yang menjadi jaminan Fidusia yang merupakan milik dari si pemberi fidusia, dan si penerima fidusiamempunyai piutang terhadap si pemberi fidusia yang pembayarannya dijamin dengan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia milik


(58)

si pemberi fidusia, dan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tersebut tetap dalam penguasaan si pemberi fidusia.

Sehingga yang merupakan suatu hal tertentu di dalam perjanjian pemberian jaminan fidusia adalah hutang piutang antara si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia, dimana si pemberi fidusia akan membayar hutangnya kepada si penerima fidusia yang dijamin dengan obyek yang menjadi jaminan Fidusia yang merupakan milik dari si pemberi fidusia, dan si penerima fidusiamempunyai piutang terhadap si pemberi fidusia yang pembayarannya dijamin dengan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia milik si pemberi fidusia, dan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia tersebut tetap dalam penguasaan si pemberi fidusia.

Adapun syarat obyektif yang kedua, yaitu suatu sebab yang halal yang diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1337 KUH Perdata mengatakan :

Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Berdasarkan bunyi Pasal 1337 KUH Perdata tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan suatu sebab yang halal di dalam perjanjian Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia adalah bahwa apa yang diperjanjikan antara si pemberi fidusia dengan si penerima fidusia tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, atau tidak berlawanan dengan kesusilaan maupun dengan ketertiban umum.

Kita mengetahui bahwa Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang Hukum Perikatan menganut sistem terbuka dan sifat dari Buku III KUH Perdata


(1)

terhadap benda yang dibebani jaminan fidusia, maka segala kepentingan hukum khususnya bagi kepentingan kreditur (penerima fidusia) akan terlindungi.

Hal ini dilakukan adalah bertujuan apabila dalam proses selanjutnya atas pemberian fasilitas pinjaman dari kreditur atau penerima fidusia terhadap debitur atau pemberi fidusia mengalami kemacetan sehingga debitur atau pemberi fidusia cidera janji atau tidak sanggup/tidak mampu membayar pelunasan hutangnya, maka demi hukum terhadap seluruh benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia yang telah didaftarkan tersebut, dapat dilakukan eksekusi melalui pelelangan dimuka umum, melalui pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia maupun melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia untuk memenuhi segala kewajiban dari debitur atau pemberi fidusia untuk pelunasan hutang debitur atau pemberi fidusia kepada kreditur atau penerima fidusia, tanpa menunggu adanya putusan Hakim.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan pembahasan terhadap seluruh permasalahan yang diajukan di dalam skripsi ini, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kedudukan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit adalah sangat penting, karena Jaminan Fidusia sebagai suatu bentuk jaminan pelunasan hutang dimana kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak yang didahulukan dari pada kreditur lainnya (hak preferent) terhadap pelunasan hutang debitur sebagai pemberi fidusia. Perjanjian Jaminan Fidusia diberikan oleh debitur sebagai pemberi fidusia kepada kreditur sebagai penerima fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, dimana timbulnya perjanjian jaminan fidusia disebabkan oleh adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit antara kreditur sebagai penerima fidusia dengan debitur sebagai pemberi fidusia.

2. Kaitan dan peran notaris dalam pembuatan Akta Pemberian Jaminan Fidusia antara debitur sebagai pemberi fidusia dengan kreditur sebagai penerima fidusia adalah untuk membuat akta otentik terhadap perbuatan hukum yang berkaitan dengan objek yang menjadi jaminan fidusia dan memberikan keabsahan terjadinya Jaminan Fidusia.

3. Proses pemberian jaminan fidusia dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap yang terdiri dari tahap pertama adalah pembuatan perjanjian kredit antara


(3)

kreditur dengan debitur, tahap kedua adalah pembuatan akta Akta jaminan Fidusia oleh notaris dan tahap ketiga adalah pendaftaran jaminan fidusia tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia yang dalam hal ini adalah Departemen Kehakiman Republik Indonesia yang sekarang adalah Kantor Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui media elektronik untuk dikeluarkannya Sertifikat Fidusia dengan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

B. Saran

1. Dalam membuat jaminan Fidusia hendaknya pemohon memperhatikan syarat dan prosedur-prosedur yang ada, agar pendaftaran jaminan fidusia tersebut dapat berjalan secara lancar, apalagi dikarenakan saat ini pendaftaran jaminan fidusia sudah dapat dilakukan secara elektronik sehingga lebih memudahkan pemohon untuk mendaftarkan jaminan fidusia melalui notaris.

2. Jaminan fidusia merupakan jaminan yang didasari atas kepercayaan dan merupakan jaminan accesoir atau perjanjian ikutan, baik pemohon fidusia maupun pemberi fidusia harapannya tidak menyalahi aturan yang telah dibuat dalam perjanjian kredit/ perjanjian pokok dari jaminan fidusia itu sendiri maupun yang terdapat dalam undang-undang, karena akan mempersulit proses dalam pendaftaran maupun mempersulit perjanjian kedua belah pihak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Fuady, Munir. 2003,Jaminan Fidusia, Cetakan Kedua , PT. Citra Aditya Bakti: Bandung

HS, Salim. 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Kamelo, Tan. 2006,Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni: Bandung

Mahkamah Agung RI .2009, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat LingkunganPeradilan Buku II, Edisi 2007, Jakarta: Mahkamah Agung RI

Muljadi, Kartini Dan Widjaja,Gunawan. 2005,Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, Kencana: Jakarta

Notodisoerjo, R. Soegondo. 1993,Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada: Jakarta

Satrio,J. 1996, Hukum Jaminan,Hak-hak Jaminan Kebendaan, PT Citra Aditya Bakti: Bandung

_______. 2007,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT Citra Aditya Bakti: Bandung

Supianto. 2015,Hukum Jaminan Fidusia, Garudhawac: Jember

Sofwan,Sri Soedewi Masjchun. 1980,Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, , Liberty: Yoyakarta


(5)

_____________. 1981, Pengaturan Hukum Tentang Hipotek, Kreditverban Dan Fidusia, Seminar Hukum Jaminan, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman, Bina Cipta, Bandung,

Subekti dan Tjitrosudibio. 2008,Kamus Hukum, Pradnya Paramita: Jakarta

Tiong, Oey Hoey.1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Penerbit Ghalia Indonesia: Jakarta

Tobing,G.H.S.Lumban. 1983,Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta Usman, Rachmadi. 2009,Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika: Jakarta Widjaja, GunawandanYani, Ahmad. 2000, Jaminan Fidusia, Rajagrafindo

Persada: Jakarta

2. Tesis

Bustami, Chairani “Aspek-aspek Hukum yang Terkait Dalam Akta Perikatan JualBeliyang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan”: Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan, 2002

3. PeraturanPerundang-undangan

KitabUndang-UndangHukumPerdata, terjemahan R. Subektidan R. Tjitrosudibio, PradnyaParamita, 2001, Jakarta.

Republik Indonesia. Undang-Undang No 24 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

_______________. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

_______________. Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris


(6)

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

4. Internet

http://www.jimlyschool.com/read/analisis/384/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/ (diakses pada 22 Agustus 2015)