Indie Pop Simbol dan Identitas Individu

Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah : Kajian Konsumsi dan Gaya Hidup
Paper:
Konsumsi Simbolik Individu Pada Sebuah Komunitas Indie Pop di
Yogyakarta
“Simbol dan Identitas Individu dalam Komunitas”

Nino Citra Anugrahanto
11/318531/SA/16060
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
1

Daftar Isi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

8.

Daftar Isi
Abstrak
Pendahuluan
Indie Pop
Manifestasi Simbol dalam Tubuh
Identitas dan Ruang Sosial Baru
Kesimpulan
Daftar Pustaka

2
3
4
5
7
9
12
13


Konsumsi Simbolik Individu Pada Sebuah Komunitas Indie Pop di Yogyakarta
Simbol dan Identitas Individu didalam Komunitas
Nino Citra Anugrahanto
2

11/318531/SA/16060
Citra atau image sudah menjadi hal yang umum untuk dikonsumsi masyarakat dewasa ini. Mereka
mengkonsumsinya melalui akun-akun sosial media juga barang-barang di sekitarnya. Brand-brand suatu
produk yang kini dikonsumsi, dalam bentuk apapun, tujuannya untuk menjadikan seseorang memiliki
citra sama dengan barang yang di konsumsinya. Didalam masyarakat terdapat berbagai komunitas, dan
menurut saya konsumsi atas citra akan mudah ditemukan dalam ruang ini. Komunitas merupakan salah
satu ruang sosial yang terbentuk dalam masyarakat diantara ruang-ruang sosial yang lainnya, tentunya
dalam ruang ini juga terbentuk pola-pola konsumsi tertentu. Dalam komunitas indie pop, bentuk dari
konsumsi citra bisa berupa konsumsi musik, gaya berpakaian, ataupun gagasan. Menurut Pasi Falk
(1994), “…the body has been into representational issues, examining the symbolic significance of the
body as a metaphor of social relationships”. Tubuh dijadikan representasi akan isu-isu yang berkembang
pada masyarakat modern. Pola konsumsi yang dilakukan lebih kepada nilai-nilai simbolis akan suatu hal,
seperti yang dituliskan Abdullah (2006) bahwa citra yang dipancarkan suatu produk dan praktik
merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Jadi, hubungan sosial terbentuk karena makna simbolis yang
terdapat pada tubuh sebagai metafor dari hubungan sosial tersebut, dan dijadikan identitas bagi suatu

kelompok. Kemudian yang terjadi adalah ketika seorang individu ingin memasuki suatu komunitas
tertentu yang akan dilakukan adalah mengidentifikasikan dirinya sama dengan komunitas tersebut, dan
disini dapat dilihat bahwa hal ini yang sering terjadi pada sebagian besar masyarakat sekarang. Gregory
Stone (1962) menjelaskan identitas adalah lokasi sosial individu, dimana dia diletakkan sehubungan
dengan orang lain, ditambah dengan Soeprapto (2002) yang menyatakan bahwa identitas seseorang
merupakan apa yang orang lain beritahukan melalui interaksi-interaksi. Tulisan ini selanjutnya akan
membahas mengenai bagaimana konsumsi simbolik berujung pada pindahnya individu ke ruang sosial
yang baru, dan mengkonstruksi konsumsi individu-individu, atas perkara identitas, agar seseorang diakui
keberadaannya dalam suatu kelompok atau komunitas.
Keywords : Konsumsi Citra, Simbol, Indie Pop, Ruang Sosial, Komunitas, Identitas.

Pendahuluan
Secara umum konsumsi selalu dikaitkan dengan kegiatan yang isinya menghabiskan suatu hal,
entah yang dihabiskan itu jumlahnya atau fungsi dari barangnya. Konsumsi sebenarnya merupakan
bentuk pemenuhan kebutuhan, sehingga kegiatan konsumsi ini tidak akan terlepaskan dari kehidupan
manusia, karena kegiatan ini dilakukan demi keberlangsungan hidup dari manusia tersebut. Pada dasarnya
3

kebutuhan konsumsi manusia itu dibagi menjadi tiga yaitu primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan
primer untuk kebutuhan seperti sandang, pangan, dan papan, yang memang harus dipenuhi, karena

apabila salah satunya tidak dipenuhi akan mengganggu keberlangsungan hidup manusia. Lalu, kebutuhan
sekunder dipenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi, karena sifatnya kebutuhan sekunder ini hanya
sebagai pemuas hasrat saja, seperti handphone, televisi, atau jalan-jalan. Selanjutnya, yang terakhir adalah
kebutuhan tersier yang dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi, sebab kebutuhan ini
nilai ekonomisnya tinggi karena sifat dari barangnya yang mewah, seperti motor, mobil, atau rumah
mewah yang harganya tentu saja sangat tinggi.
Namun, pola konsumsi yang seperti itu nampaknya sudah berubah. Fenomena yang terjadi pada
masyarakat sekarang ini adalah konsumsi dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan seperti
sandang, pangan, dan papan, tapi juga nilai apa yang terdapat suatu barang itu. Persepsi orang banyak atas
suatu barang menjadi penting disini, karena konsumsi yang dilakukan oleh individu tidak hanya sebagai
tindakan untuk memenuhi kebutuhan, tapi juga untuk mendapat pengakuan dalam kelompok sosialnya.
Jadi seperti keinginan untuk makan yang sekarang tidak semata-mata untuk mengisi perut saja, namun
juga memperhatikan dimana tempat kita makan dan nilai apa yang terdapat dalam makanan tersebut.
Irwan Abdullah (2006) dalam hal ini memisahkan kegiatan konsumsi itu menjadi dua, yaitu etika dan
estetika. Konsumsi secara etika maksudnya adalah melakukan konsumsi sesuai dengan kebutuhannya
saja, tidak memiliki maksud lain. Sedangkan konsumsi secara estetika dijelaskan disini bahwa kegiatan
konsumsi sudah tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan saja, tapi yang dilakukan juga mengkonsumsi
nilai dari suatu barang juga untuk kepentingan pengakuan dalam kelompok sosial, karena disini nilai-nilai
seni atau keindahan sudah diinternalisasi dalam kegiatan mengkonsumsi suatu produk. Estetisasi dalam
kegiatan konsumsi ini dijelaskan juga terjadi karena munculnya kelas menengah baru yang dinilai lebih

konsumtif.
Lagi, dalam bukunya Reproduksi dan Rekonstruksi Kebudayaan kembali Irwan Abdullah (2006)
menjelaskan pola konsumsi seperti diatas juga disebut dengan konsumsi simbolis karena masyarakat
melakukan konsumsi berdasarkan nilai yang terdapat dalam suatu barang. Nilai tersebut menyimbolkan
suatu ‘citra’, dan ‘citra’ tersebut lah yang sekarang justru dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga nilainilai simbolis atas suatu barang lebih ditekankan daripada kegunaannya secara fungsional. Douglas dan
Isherwood (1980) menyatakan bahwa konsumsi menjadi penanda identitas, sejalan dengan pemikiran Ben
Fine dan Ellen Leopold yang berargumen, “.You are what you eat, where you live, what you drive, what
you drink..”, (1993:3). Imbasnya adalah munculnya berbagai kelompok sosial yang baru, karena proses
konsumsi dilakukan secara selektif dan masing-masing individu melakukan interpretasi yang berbeda
terhadap proses konsumsi, sehingga seolah proses konsumsi seperti ini mengelompokkan masyarakat
dalam berbagai kelas atau kelompok sosial.
Dalam masa sekarang, seiring dengan meningkatnya jumlah kelas menengah baru, rasanya sesuai
dengan meningkatnya jumlah komunitas-komunitas sebagai imbas dari interpretasi individu atas proses
konsumsi, terlebih dalam lingkungan kota yang memang menjadi consumer space, dilihat dari tingkat
konsumsinya yang tinggi. Menemukan komunitas di daerah perkotaan bukanlah suatu hal yang sulit.
Berangkat dari pemikiran Koentjaraningrat yang menyatakan sifat dari komunitas adalah wilayah, cinta
wilayah, dan kepribadian kelompok itu (1980: 155), hal ini sesuai dengan keberadaan komunitaskomunitas di perkotaan yang secara umum terbentuk atas dasar kesukaan atau kecintaan yang sama dari
berbagai individu terhadap suatu hal, contohnya seperti komunitas fotografi, musik, motor, mobil, dan
lain sebagainya. Dalam komunitas diatas materi menjadi penting adanya, karena dalam komunitas
tersebut hubungan antar individu ditentukan oleh materi tersebut, seperti dalam komunitas musik,

gagasan-gagasan tentang suatu genre musik, berita, atau trend pakaian yang sedang beredar akan menjadi
bahan pembicaraan untuk melakukan interaksi antar anggotanya, karena basis dasarnya adalah kesukaan
terhadap suatu genre musik tertentu. Disini tibalah kita pada pemikiran Pasi Falk dalam bukunya The
Consuming Body (1994) yang menyatakan bahwa tubuh adalah representasi atas isu-isu dan dalam buku
4

ini Falk juga menguji bagaimana tubuh itu menjadi metafor-metafor atas hubungan sosial, hal ini sesuai
dengan apa yang terjadi pada komunitas-komunitas diatas. Melalui tubuh beserta segala macam properti
yang terdapat didalamnya komunikasi terjalin.
Komunitas terdiri dari berbagai individu, seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, meskipun
seperti itu, komunitas ini terbentuk atas adanya kesamaan latar belakang atau gagasan dari para
anggotanya. Dalam tulisan ini yang akan bahas adalah mengenai konsumsi simbolik yang dilakukan oleh
salah satu komunitas musik di Yogyakarta yaitu komunitas indie pop. Pola konsumsi disebut simbolik
karena barang-barang yang di konsumsi tidak berdasarkan fungsinya, namun lebih kepada ‘citra’ atas
barang tersebut, yang mengacu pada sebuah negara di Eropa yaitu Inggris sebagai negara asal genre
musik indie pop ini. Identitas individu menjadi penting disini, karena Irwan Abdullah beranggapan bahwa
proses konsumsi simbolik ini juga merupakan bentuk dari eskpresi dari suatu kelompok (2006:33-35).
Kemudian, pertaruhan mengenai identitas menjadi penting disini antara identitas kelompok
dengan individu. Identitas dijelaskan oleh Gregory Stone (1962) merupakan lokasi sosial individu,
dimana dia diletakkan sehubungan dengan orang lain. Sehubungan dengan konsumsi simbolik, identitas

individu disini ditentukan bagaimana dia melakukan pola konsumsi yang simbolis, apakah konsumsinya
sama dengan suatu kelompok atau tidak. Fakta yang banyak terjadi adalah individu-individu semakin
banyak mengkonsumsi hal yang ‘citra’ nya mengacu pada suatu kelompok, untuk kepentingan keberadaan
dirinya dalam kelompok. Pada komunitas indie pop, proses konsumsi simbolik yang dilakukan tidak
hanya terhadap barang seperti makanan, minuman dan pakaian, namun juga gagasan-gagasan yang
tersirat dalam setiap lagu-lagu indie pop, serta gaya hidup dari kelompok pecinta musik indie pop di tanah
Inggris Raya.
Pertanyaan saya disini adalah mengingat dalam konsumsi simbolik ini yang dikonsumsi oleh
komunitas itu adalah simbol, dalam bentuk apakah konsumsi simbolik ini dilakukan? Bagaimana
komunitas ini melakukan konsumsi simbolik tersebut? Lalu, di dalam masyarakat modern individuindividu bebas menentukan identitasnya, salah satunya dengan memasuki komunitas. Apakah bila
individu memasuki sebuah komunitas akan melakukan konsumsi simbolik yang sama dengan yang
dilakukan komunitas tersebut?
Selanjutnya, tulisan ini akan membahas bagaimana konsumsi simbolik dapat menghantarkan
individu pada ruang sosial yang baru dan konsumsi simbolik tersebut dilakukan demi perkara identitas
agar diakuinya keberadaan seseorang dalam kelompok. Untuk membahas hal tersebut tulisan ini akan
dibagi menjadi beberapa bagian yaitu; Indie Pop; Manifestasi Simbol dalam Tubuh; Identitas dan
Perpindahan Ruang Sosial.

Indie Pop
Indie Pop merupakan genre musik alternative rock yang berasal dari Inggris pada pertengahan

1980-an. Berakar dari band post-punk Skotlandia melalui sebuah label yang bernama “Postcard Records”
pada awal 80-an yaitu “Josef K” dan “Orange Juice”, dan dominasi oleh band independen dari Inggris
yaitu “The Smiths” pada pertengahan 80-an aliran musik ini berkembang menjadi salah satu aliran musik
yang cukup diperhitungkan di dunia musik.
Indie Pop berasal dari dua kata, yaitu “indie” dan “pop”, yang keduanya berasal dari bahasa
Inggris. Secara etimologis “indie”, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary 8 th Edition (2010)
berarti, “ not belonging to, working for or produced by a large organization; independent; a small
independent company or something produced by such a company,” dari sini bisa diperoleh makna bahwa
kata indie sebenarnya digunakan untuk menyatakan kebebasan seseorang, karena berasal dari kata
5

independent yang artinya adalah merdeka atau bebas. Sedangkan, “pop” berasal dari bahasa Latin yaitu
Polaris yang dalam bahasa Inggris adalah populous yang merupakan bentuk jamak dari people atau
orang, dan menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary 8 th Edition (2010), populous diartikan “ where
a large number of people live. Disini pop bisa disimpulkan sebagai masyarakat melalui artinya yaitu
sejumlah besar orang yang tinggal di suatu tempat. Maka, indie pop sebagai sebuah susunan kata yang
memiliki artian masyarakat yang bebas. Dewasa ini, ilmu yang mengkaji tentang hal ini lebih dikenal
dengan kajian budaya populer.
Di Inggris, indie pop tidak hanya menjadi sebuah genre musik, tapi menjadi sebuah subkultur,
karena sekelompok anak-anak muda di Inggris yang memiliki kesamaan gagasan mengenai indie pop

seperti membentuk sebuah komunitas. Ideologi indie pop sendiri terinspirasi dari subkultur yang lain
yaitu punk yang memiliki gagasan tentang DIY ethics, yang kemudian berkembang dengan menghasilkan
fanzine, label rekaman, dan rangkaian gigs dan dimulai sejak munculnya kaset kompilasi rekaman C86.
DIY ethics ini sebenarnya adalah singkatan dari “Do It by Yourself” yang secara harafiah memiliki artian
mengerjakan suatu hal itu sendiri. Seperti yang dituliskan oleh Alex Petridis pada sebuah surat kabar
harian online Inggris yang memaparkan tentang ideologi indie pop, “If there was any kind of coherence, it
was the fact that the bands were so independent from the music industry and from the mainstream media.
People were doing everything themselves: making their own records, doing the artwork, gluing the
sleeves together, releasing them and sending them out, writing fanzines because the music press lost
interest really quickly.” (www.guardian.co.uk, 25 Oktober 2006). Yang menarik dari subkultur indie pop
ini menurut saya justru adalah ideologi DIY –nya tersebut. Dalam hal musik prinsip ini terlihat pada
bagaimana bebasnya mereka karena tidak mengikuti arus industri musik. Mereka melakukan perekaman
sendiri, mengemas dan merilis albumnya sendiri, dan menyebarluaskan secara sendiri pula.
Dalam perkembangannya kejadian seperti itu ternyata tidak terjadi di Inggris saja. Akibat
pengaruh globalisasi, ideologi dari indie pop sampai ke Indonesia. Akses telekomunikasi yang semakin
mudah menyebabkan band-band yang membawa semangat indie pop pun dapat diperdengarkan di
Indonesia. Imbasnya adalah munculnya komunitas pecinta musik indie pop yang berangkat dari
kesukaannya terhadap musik-musik indie pop ataupun britpop. Salah satu komunitas dari komunitas
tersebut dapat kita temukan di Yogyakarta dengan nama Common People yang terbentuk sejak tahun
2001. Komunitas merupakan sebuah subkultur, sehingga semangat yang dimiliki oleh komunitas ini juga

sama dengan semangat indie pop yang terdapat di Inggris, karena ideologi-ideologi indie pop perlahanlahan terinternalisasi dalam struktur pemikiran mereka melalui gagasan-gagasan yang tersirat dalam lagu
atau perilaku band-band yang mereka sukai.
Mereka juga seperti mengasosiasikan diri dengan salah satu skena musik yang berdiri di tanah
Inggris tersebut. Buktinya adalah komunitas ini melakukan pengorganisasian program edukasi musik
independen dalam format acara seperti festival dan gigs, penyiaran melalui radio, dan media cetak
(fanzine). Indiepop Rising Club adalah hasilnya dalam bentuk EO (Event Organizer) yang pada tahun
2011 mencapai umur 1 dekade, dan mengadakan gigs berupa festival untuk memperingati lahirnya
komunitas ini yang bertajuk Poparade #1. Acara lainnya yang berupa gigs adalah Japanese Whisper yang
sejauh ini telah diadakan dua kali dan mengundang band dari Jepang yaitu Texas Pandaa dan Mitsume.
Dalam bentuk penyiaran radio, komunitas ini memiliki program Outerbeat on Air yang muncul karena
wafatnya John Peel sebagai salah satu idola mereka pada tahun 2004. Sedangkan fanzine-nya beredar
dengan judul Lightning Sheets. Tidak hanya dalam ideologi dan praktik bermusik, atas acuannya pada
satu skena musik di Inggris, komunitas ini juga mengidentifikasikan diri dengan genre musik indiepop
dengan cara berpakaian yang meniru gaya berpakaian musisi dan gaya hidup musisi yang diasosiasikan
dengan genre tersebut. Sehingga Common People dalam perkembangannya tidak lagi menjadi sebuah
komunitas saja tapi pergerakan propaganda indiepop, karena mengalami pengorganisasian yang cukup
baik.

6


Manifestasi Simbol dalam Tubuh
Common People sebagai sebuah komunitas indie pop tampak mengasosiasikan dirinya dengan
sebuah aliran musik yang berasal dari Inggris yaitu indiepop. Mereka seolah mengidentifikasikan diri
sama dengan hal-hal yang identik dengan aliran musik itu, baik dari gaya berpakaian hingga keseharian
dari para ikon pop yang mereka idolakan. Caranya adalah dengan meniru gaya hidup dari para ikon pop
tersebut, yang sebenarnya memiliki potensi untuk melahirkan ikon pop yang baru, karena secara tidak
langsung mereka membentuk replika-replika dari ikon pop tersebut, baik secara gaya berpakaian maupun
gagasan. Berangkat dari pemikiran Rusbiantoro, peniruan yang dilakukan oleh anggota komunitas
tersebut untuk menunjukkan identitas kelompoknya dan mengkomunikasikannya kepada orang lain
(2008:104). Jadi peniruan gaya berpakaian dilakukan sebagai bentuk eksistensi komunitas tersebut dalam
masyarakat yang berimbas pada diakuinya komunitas ini dalam sebuah masyarakat sebagai sebuah
subkultur yang dapat dilihat dengan jelas oleh masyarakat melalui kesamaan tema antar anggota
komunitas ini dalam hal-hal tertentu yang menjadikan hal tersebut ciri dari komunitas. Hal yang paling
sederhana dapat dilihat dari kesamaan gaya berpakaian masing-masing anggotanya, sedangkan yang
lainnya adalah kesamaan selera terhadap suatu aliran musik tertentu atau konsumsi terhadap suatu produk
tertentu.
Dalam hal gaya berpakaian, seperti yang sudah dipaparkan diatas bahwa terdapat kesamaan tema
yang mengacu pada ikon-ikon pop di Inggris. Mengingat komunitas ini berdiri atas dasar kecintaannya
terhadap musik-musik dari tanah Inggris tersebut. Berawal dari kecintaan terhadap musik itu lalu
terbentuk semacam hegemoni gaya berpakaian dalam komunitas ini untuk menandakan identitas mereka
berasal dari mana, karena mereka menyukai musik indiepop yang berasal dari Inggris, maka yang mereka
tiru adalah gaya berpakaian band-band indiepop dari Inggris seperti Oasis, Blur, Joy Division, dan lain
sebagainya.
Jack Solomon (1988) berargumen,“Ada sesuatu yang hampir totemik di dalam cara kita
mengenakan pakaian untuk mengkomunikasikan identitas kelompok kita. Dengan cara memakai totem
tertentu, kita dapat mengumumkan siapa diri kita, dan dengan siapa kita mengidentifikasikan diri.”
Seperti yang dilakukan masyarakat aborigin di Australia, menggunakan totem untuk menyatakan mereka
dari kelompok yang mana. Saya melihat disini terjadi pengkultusan terhadap ikon-ikon pop tersebut,
karena ikon-ikon pop tidak lagi semata-mata dipandang sebagai musisi namun juga telah dijadikan totem
oleh anggota komunitas ini. Ikon-ikon pop ini merupakan totem modern bagi anggota komunitas yang
kebanyakan memang masih muda. Melalui pengkultuskan para ikon pop ini, komunitas membedakan
dirinya dengan komunitas lainnya.
Bentuk pembedaan diri dari komunitas lain tersebut dapat dilihat dari gagasan yang dibawa dalam
gaya berpakaian, karena berangkat dari pemikiran Rusbiantoro, pakaian tidak hanya menunjukkan totem
tapi ada ideologi yang dibawa dibalik pakaian tersebut, ideologi disini dijelaskan sebagai sistem
pemikiran, sistem kepercayaan, atau sistem simbolik yang menyinggung mengenai aksi sosial atau politk
praktis (2008: 105). Seperti yang dilakukan sebagian anggota komunitas ini yang memiliki
kecenderungan untuk membeli pakaian di tempat penjualan pakaian bekas impor (awul-awul). Pembelian
pakaian bekas menjadi simbol perlawanan terhadap ideologi kapitalisme, karena semangat sosialis yang
dibawa oleh komunitas ini diadopsi dari semangat perlawanan subkultur punk yang juga melakukan
perlawanan terhadap ideologi kapitalisme. Sedangkan pakaian impor untuk menunjukkan bagaimana
proses pengidentifikasian yang mereka lakukan dengan orang-orang Inggris melalui gaya berpakaiannya,
karena dengan membeli pakaian impor mereka seperti mendapatkan gaya berpakaian yang sama dengan
orang-orang Inggris. Kemudian hal yang lain lagi adalah pemakaian kaos bergambar band-band indie pop
yang juga merupakan salah satu bentuk pengidentifikasian komunitas ini terhadap aliran musik tersebut,
sebab dengan mengenakan kaos bergambarkan band-band indie pop yang notabene merupakan ikon pop
mereka menghadirkan para ikon pop tersebut dalam keseharian mereka. Meskipun hanya dalam bentuk
gambar dalam kaos, gambar tersebut menjadi simbol atas identitas mereka sebagai anggota dari
7

komunitas indie pop, karena gambar yang terdapat dalam kaos adalah ikon pop yang menjadi representasi
ideologi indiepop dalam komunitas ini.
Selera musik yang sama antar sesama anggotanya juga menjadi ciri pembeda antara komunitas ini
dengan yang lain. Sebab dengan adanya kesamaan selera musik tersebut, komunitas ini seolah
mengeksklusikan diri dari masyarakat dengan mengacu terhadap suatu aliran musik tertentu yang secara
tidak langsung menjadi salah satu ciri khusus dan menandakan mereka berasal dari kelompok mana. Lalu,
sama halnya dengan gaya berpakaian, dibalik lagu-lagu yang dibawa oleh aliran musik indiepop ini
tersirat juga tentang ideologi tertentu yang biasanya menyiratkan tentang perlawanan terhadap
kapitalisme, sesuai dengan semangat DIY yang dimiliki oleh komunitas ini. Lagu disini tidak hanya
menjadi sebuah lagu saja, karena dalam lirik maupun komposisi musiknya membawa makna tertentu
yang biasanya menjadi cermin dari komunitas ini.
Kemudian, konsumsi atas suatu produk juga dapat menjadi ciri khusus dari komunitas ini. Seperti
konsumsi beer yang dilakukan komunitas ini pada saat mengadakan acara atau sedang berkumpul. Beer
seperti yang kita ketahui berasal dari negara-negara Barat. Inggris sebagai salah satu negara barat
merupakan konsumen beer yang cukup besar. Kita dapat menemukan dengan mudah bar-bar yang
menyediakan beer disana, dan kegiatan minum beer seperti menjadi budaya bagi orang-orang Inggris.
Mengacu pada hal tersebut, dalam komunitas ini kegiatan minum beer juga sudah menjadi hal yang
biasa. Hal ini terjadi karena menurut saya komunitas ini tidak hanya mengadopsi ideologi-ideologi yang
dibawa oleh aliran musik, tapi juga gaya hidup para musisinya, dilihat dari kegiatan minum beer yang
sebenarnya bukan kultur orang-orang Indonesia. Mengingat bahwa beer berasal dari barat yang dianggap
modern oleh orang Indonesia, ada simbol modernitas pula yang dibawa oleh minuman beer ini. Jadi
minum beer tidak hanya digunakan untuk menghangatkan badan seperti yang dilakukan orang-orang
Barat, tapi juga digunakan untuk menunjukkan sisi modern dari orang-orang Indonesia yang
mengkonsumsi produk dari barat tersebut.
Seperti yang terjadi pada komunitas ini, dalam acara-acara yang mereka adakan atau saat mereka
berkumpul, kadang-kadang beberapa orang ada yang mengkonsumsi beer. Alasan awalnya untuk
mencairkan suasana, tapi secara tidak langsung terjadi konsumsi simbol modernitas dari beer yang juga
menjadi representasi dari budaya barat. Mengingat komunitas ini sebenarnya mengadopsi salah satu
subkultur di Inggris yaitu indie pop. Namun, selain itu minum beer juga menjadi bentuk adaptasi
komunitas ini dengan orang-orang asing. Hal ini menjadi bentuk adaptasi karena hubungan komunitas ini
sudah tidak hanya dengan orang-orang Indonesia saja, dalam suatu acara mereka pernah mengundang
band dari Selandia Baru dan Jepang. Beer dinilai sudah menjadi produk global yang bisa dikonsumsi
banyak orang, maka dengan minum beer mereka berusaha menyamakan diri mereka dengan orang-orang
asing tersebut untuk mendudukkan mereka dalam ruang sosial yang baru, yaitu ruang global atau dunia
yang komunikasinya sudah tidak dengan masyarakat dalam satu negara melainkan antar negara, sehingga
komunikasi terjalin melalui simbol-simbol yang dipahami bersama oleh masyarakat dunia, contohnya
dengan beer ini.
Sejauh ini yang sudah saya paparkan adalah bahwa terjadi konsumsi simbolik dalam komunitas
ini, yang terjadi dalam bentuk konsumsi pakaian, musik, dan produk tertentu yang saya contohkan
melalui konsumsi atas beer. Ketiganya merupakan bentuk konsumsi simbolik, karena dari ketiga bentuk
proses konsumsi tadi, menurut saya ada kecenderungan untuk mengkonsumsi simbol-simbol yang
terdapat pada suatu barang atau produk tertentu. Berangkat dari pemikiran Pasi Falk (1994) “ …the body
has been into representational issues, examining the symbolic significance of the body as a metaphor of
social relationships”, saya melihat hal tersebut dalam komunitas ini. Dalam pemikirannya Falk
menjelaskan bahwa representasi simbolik ini dimanifestasikan dalam tubuh, saya setuju dengan hal ini,
karena tubuh adalah bagian dari diri manusia yang dapat dilihat dengan kasat mata dan melalui tubuh
komunikasi paling mungkin dilakukan. Apa yang dikomunikasikan? Tentu saja identitas dari komunitas
tersebut yang dalam komunitas mewujud dengan cara konsumsi simbolik.
Mereka
8

mengkomunikasikannya dengan merepresentasikan isu-isu perlawanan terhadap kapitalisme yang
menjadi ideologi dari komunitas ini melalui tubuh dengan gaya berpakaian, aliran musik (baik dari lirik
maupun komposisi musiknya), dan konsumsi terhadap suatu produk, kepentingannya untuk eksistensi
komunitas dengan ciri khusus yang telah direpresentasikan melalui tubuh masing-masing anggotanya.
Berarti disini tubuh melakukan konsumsi simbolik, sehingga ornamen-ornamen simbol menghiasi tubuh
dari anggota komunitas dan berkombinasi membentuk suatu identitas khusus, karena dalam komunitas ini
simbol-simbol yang dibawa adalah simbol-simbol tentang indie pop, maka identitas dari kelompok ini
pun adalah indiepop. Kemudian, rangkaian simbol yang menghiasi tubuh ini tidak hanya untuk
menandakan mereka dari kelompok mana, namun juga menjadi metafor dalam menjalin hubungan sosial.
Hubungan sosial seperti ditentukan dengan adanya simbol-simbol tentang indie pop tersebut ketika
mereka berada di dalam komunitas, karena komunikasi terjalin melalui berbagai ornament simbol yang
melekat di tubuh masing-masing anggota komunitas. Tubuh yang melakukan konsumsi simbolik ini
menjadi representasi atas isu-isu tertentu yang menjadi fokus dari komunitas ini.

Identitas dan Ruang Sosial Baru
Dalam bagian sebelumnya dibahas mengenai bagaimana konsumsi simbolik dapat menjadi
penanda identitas individu berasal dari kelompok mana. Dengan simbol-simbol tertentu yang dikonsumsi
oleh para anggotanya komunitas ini membedakan dirinya dengan komunitas lain. Seperti yang sudah
dijelaskan, konsumsi simbolik yang dilakukan oleh suatu komunitas memberikan ciri khusus dalam
komunitas tersebut, karena konsumsi simbolik memiliki sifat ekspresif yang menunjukkan ekspresi
kelompok dan berimbas pada diasosiasikannya simbol tersebut terhadap suatu komunitas, pada bab
sebelumnya dijelaskan melalui kesamaan tema yang dimiliki komunitas ini dalam gaya berpakaian, aliran
musik, dan konsumsi suatu produk tertentu. Komunitas dapat terbentuk karena terdiri dari beberapa
individu, sedangkan individu berasal dari masyarakat yang latar belakangnya berbeda-beda. Individuindividu tersebut masuk ke dalam komunitas karena memiliki rasa keterikatan dengan komunitas tertentu.
Koentjaraningrat menjelaskan hal tersebut dengan pernyataannya bahwa komunitas itu memiliki
sifat wilayah, cinta wilayah, dan kepribadian kelompok itu dan hal ini menjadi pangkal munculnya
perasaan yang kuat terhadap komunitas tersebut (1980:155). Dari pernyataan tersebut saya dapat
mengatakan bahwa berdirinya komunitas atas dasar kecintaan individu terhadap hal tertentu yang juga
menjadi kepribadian komunitas itu. Hal tersebut menurut saya dapat mengikat rasa persatuan antar
individu di dalam komunitas. Kejadian seperti inilah yang terjadi pada masa sekarang, komunitas tidak
hanya didasarkan pada rasa cinta wilayah tapi rasa cinta akan suatu hal, mengingat batas wilayah kini
semakin kabur seperti konsep komunitas terbayang milik Benedict Anderson (2001). Kecintaan terhadap
suatu simbol yang kini menyatukan antar anggota komunitas. Hal ini terbukti dalam komunitas indiepop
yang ada di Yogyakarta, karena dilihat dari asal musik indiepop yang dari Inggris, namun komunitas
pecinta aliran musik tersebut tersebut juga terdapat di Yogyakarta. Komunitas indiepop yang ada di
Yogyakarta ini awal berdirinya juga didasari rasa suka atas musik indiepop yang memang tujuannya
hanya untuk saling berkumpul saja antar sesama pecinta musik indiepop, lalu rasa cinta dengan musik
indiepop inilah yang kemudian menyatukan perasaan antar anggotanya.
Komunitas seperti yang sudah dipaparkan terbentuk atas kecintaan anggotanya terhadap hal
tertentu yang menjadi kepribadian komunitas. Hal-hal yang mereka cintai menjadi simbol untuk
mengekspresikan keberadaan komunitas ini, imbasnya adalah terbentuk suatu citra yang dapat dijadikan
identitas oleh komunitas ini sendiri. Individu-individu dalam masyarakat tentu memiliki identitas, dan
identitas ini pada masyarakat modern dapat ditentukan oleh indivdu itu sendiri. Masuk ke dalam sebuah
komunitas dan mengidentikkan dirinya dengan citra yang terdapat dalam komunitas tersebut juga
merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk memperoleh identitas. Dengan menjadi anggota dari
sebuah komunitas, seseorang akan mendapatkan citra yang melekat pada komunitas yang diikutinya.
9

Contohnya; seseorang yang masuk dalam komunitas indiepop akan mendapat anggapan dari masyarakat
sebagai orang yang sering datang ke acara-acara pertunjukkan musik khususnya band, karena kegiatan
dari komunitas indiepop ini sendiri mengadakan pertunjukkan musik dengan menghadirkan band-band
yang tentunya beraliran indiepop.
Gregory Stone (1962) menganggap identitas individu berasal dari lokasi sosial individu, dimana
dia diletakkan sehubungan dengan orang lain. Melihat dari hal tersebut, identitas individu dipandang
sebagai identitas kolektif, karena seorang individu identitasnya dikaitkan dengan keberadaan suatu
kelompok. Peter Berger dan Thomas Luckmann menyutujui hal tersebut dalam The Social Construction
of Reality (1966) dengan memahami masyarakat sebagai suatu proses dialektis yang berjalan secara terus
menerus melalui tiga proses yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi yang akhirnya
menghasilkan sebuah realitas sosial. Dalam konsep Berger dan Luckmann, identitas diperoleh setelah
mengalami dialektisasi dalam masyarakat yang melalui ketiga proses tersebut, karena menurut mereka
individu tidak lahir sebagai bagian dari masyarakat, tapi dia menjadi bagian masyarakat setelah
berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat dan mengalami proses sosial yang dialektis (1966:129). Jadi,
ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh identitasnya dan identitas
tersebut dibentuk oleh lingkungan hidup yang dipilih oleh individu itu sendiri.
Proses sosial yang dialektis ini terjadi didalam sebuah ruang sosial. Komunitas sebagai bagian
dari masyarakat menjadi ruang dimana proses tersebut terjadi, karena komunitas sendiri juga dijadikan
sarana oleh individu untuk mendapatkan identitasnya. Di masyarakat terdapat banyak ruang sosial,
individu sebelum masuk ke dalam sebuah komunitas pun sudah mempunyai identitas sebelumnya,
contohnya dalam sebuah keluarga seorang anak memiliki identitas sebagai seorang anak, tapi bila dia
sudah keluar dari rumah lalu berkumpul bersama komunitasnya, identitas anak tersebut berubah menjadi
anggota dari komunitas yang diikutinya, karena ada nilai-nilai tertentu didalam komunitas yang
membedakannya dari keluarga.
Stone (1962), Berger dan Luckmann (1966) memiliki pandangan yang sama dalam melihat
permasalahan identitas ini. Ketiganya memandang identitas sebagai sesuatu yang diberikan oleh
kelompok atas hasil interaksi antar anggota dalam kelompok sosial, sehingga interaksi yang terbentuk
dalam sebuah kelompok itu menjadi penting adanya. Berangkat dari pemikiran Herbert Mead mengenai
interaksionisme simbolik, Soeprapto (2002) memiliki pandangan bahwa identitas seseorang merupakan
apa yang orang lain beritahukan melalui interaksi-interaksi. Disini yang saya pahami, identitas seseorang
dapat terbentuk karena konstruksi dari orang lain atau lingkungan sosialnya. Dalam komunitas indiepop
ini, konsep tentang interaksionisme simbolik ini berlaku, karena melalui interaksi yang dilakukan dengan
anggota yang lain dari komunitas ini, seorang individu mendapatkan identitasnya yaitu sebagai anggota
dari komunitas indiepop. Interaksi yang terjadi pun sifatnya simbolis, karena dalam melakukan interaksi
antar anggota komunitas, simbol tentang indiepop menjadi pengatur terjadinya hubungan. Seperti yang
dikatakan oleh Pasi Falk (1994) bahwa simbol yang diwujudkan dalam tubuh menjadi metafor dalam
hubungan sosial. Melalui interaksi yang berlangsung secara terus menerus, individu-individu tersebut
menerima nilai-nilai tertentu yang dimiliki oleh suatu komunitas. Internalisasi yang dilakukan oleh
komunitas ini dikatakan berhasil apabila individu-individu baru yang baru masuk bisa meniru gaya
berpakaian, jenis musik yang didengarkan, dan konsumsi terhadap suatu produk tertentu.
Dalam menjelaskan permasalahan tersebut saya akan menggunakan contoh kasus dari dua orang
anggota komunitas yang mengalami proses serupa ketika dirinya masuk dalam komunitas ini, sebut saja
dengan Koen dan Nick (identitas disamarkan untuk menjaga privasi). Keduanya adalah seorang anak
biasa sebelum memasuki komunitas ini hanya menyukai musik indiepop. Melalui sebuah acara radio
yaitu Outerbeat on Air, Koen masuk dalam komunitas ini dengan memenangkan sebuah kuis yang
diadakan. Lalu, pada hari yang ditentukan Koen datang untuk mengambil hadiah, disini dia diajak oleh
anggota komunitas yang kebetulan sedang menjadi penyiar untuk datang di acara-acara yang dibuat oleh
komunitas ini. Atas ajakan tersebut, Koen pun datang ke acara-acara yang dibuat oleh komunitas tersebut.
10

Dengan selalu datang ke acara tersebut, intensitas pertemuan Koen dengan anggota komunitas ini menjadi
lebih sering, bahkan dia sering diajak pergi keluar hanya untuk sekedar nongkrong saja. Tingginya
intensitas pertemuan tersebut menyebabkan Koen memasuki sebuah ruang sosial yang baru, karena Koen
adalah seorang individu biasa yang identitasnya sebagai pelajar atau seorang anak saja, namun karena
seringnya dia bermain bersama dengan anggota komunitas, Koen masuk ke dalam struktur pemikiran
yang baru yaitu struktur pemikiran komunitas. Maka, agar komunikasi terjalin pun Koen mengikuti
struktur pemikiran tersebut yang secara tidak sadar menjadikan musik indiepop sebagai simbol terjalinnya
hubungan sosial.
Menurut pengakuan Koen dalam melakukan penyesuaian dirinya mengakui adanya
pengidentifikasian dengan kelompok tersebut dengan sedikit-sedikit mengikuti gaya berpakaian dan
mendengarkan musik yang sama dengan komunitas ini. Sebelumnya Koen termasuk orang yang biasabiasa saja dalam berpakaian, namun setelah mengenal komunitas ini dan merasa dirinya memiliki
ketertarikan yang dibawa oleh komunitas ini, Koen mulai mengenakan pakaian-pakaian yang bertemakan
tentang Inggris seperti menggunakan celana berbahan wol atau sweater-sweater berwarna cerah yang
identik dengan band-band indiepop. Koen yang dulunya hanya sedikit-sedikit mengerti tentang indiepop,
kini setelah masuk dalam komunitas, referensinya tentang musik indiepop menjadi sangat luas, dia jadi
seperti mendalami aliran musik ini. Kesukaannya tersebut justru semakin mengidentikan dirinya dengan
komunitas.
Sama halnya dengan Koen, Nick ketika masuk dalam komunitas ini pun juga melakukan berbagai
penyesuaian berbentuk pengidentifikasian agar dirinya dianggap sama dalam komunitas ini. Nick
bergabung dengan komunitas ini karena ajakan bermain dari Koen. Nick terlibat karena Koen saat itu
sering bermain bersama dengan komunitas ini, sehingga intensitas pertemuan Nick dengan anggota
komunitas yang lain juga menjadi lebih sering. Nick pun mengakui adanya penyesuaian yang dilakukan
dirinya untuk masuk dalam komunitas ini. Agar dapat diterima didalam komunitas penyesuaian yang
dilakukan oleh Nick adalah mengajak ngobrol tentang hal-hal yang ringan dan hal-hal yang mereka sukai,
karena komunitas ini merupakan pecinta musik indiepop, hal-hal mengenai musik indiepop sering
menjadi bahan perbincangan Nick untuk menyesuaikan diri dengan komunitas ini. Nick pun tidak
langsung mengenal seluruhnya, dia berkenalan dengan anggotanya satu per satu. Proses penyesuaian
yang dilakukan oleh Nick ini juga mengakibatkan dirinya mengalami internalisasi akan nilai-nilai yang
ada dalam indiepop, karena yang dilakukannya adalah berbincang-bincang tentang hal-hal yang disukai
oleh komunitas ini. Hingga pada suatu saat Nick dan Koen dilibatkan pada sebuah pembuatan gigs yang
dinamakan dengan Japanese Whispers. Disini mulailah terbentuk anggapan bahwa Nick dan Koen
merupakan bagian dari komunitas ini, mengingat acara tersebut merupakan acara komunitas yang
diadakan dengan tujuan mempropagandakan indiepop melalui acara-acara musik.
Interaksi yang berlangsung secara terus menerus ini yang dilakukan oleh Nick dan KOen
mengakibatkan keduanya melakukan konsumsi simbolik yang menghantarkan mereka kedalam ruang
sosial yang baru dan menempatkan mereka dalam status sosial yang baru yaitu anggota dari komunitas
ini. Dalam ruang tersebut individu akan melakukan adaptasi-adaptasi dengan cara tertentu yang nantinya
akan menentukan identitasnya di ruang sosial yang baru tersebut, agar dapat diterima dalam
komunitasnya. Mereka melakukan penyesuaian dengan menyamakan diri dengan komunitas tersebut,
caranya melalui konsumsi simbolik yang berujung pada identitas baru yang mereka peroleh sebagai
bagian dari komunitas tersebut. Dalam ruang yang baru, posisi sosial individu masih liminal, karena
individu belum sepenuhnya masuk dalam ruang sosial yang baru, namun juga sudah tidak lagi berada
pada ruang sosial yang lama. Berangkat dari pemikiran Kaplan dan Manners (1999) melalui buku Teori
Budaya yang menjelaskan strukturalisme itu selalu mempermasalahkan struktur, dan struktur ini dapat
bekerja dengan serangkaian sistem, saya menganggap disini komunitas merupakan sebuah struktur sosial
yang bekerja dengan serangkaian sistem yang ada didalamnya, dan apabila ada sesuatu yang baru masuk
(individu), maka yang dilakukannya adalah menyesuaikan sistem yang sudah bekerja agar sistem tersebut
11

dapat terus berjalan. Berarti disini yang dilakukan oleh individu adalah menyamakan sistem berpikir dari
komunitas ini agar dirinya dapat diterima dan terlibat dalam struktur yang bekerja dalam komunitas yang
selanjutnya berimbas pada diakuinya individu sebagai bagian dari kelompok. Mengingat kerja prinsip
strukturalisme ini seperti mesin yang apabila ada sistem yang tidak sesuai harus diganti dengan sistem
yang baru, maka individu agar dapat masuk dalam komunitas harus mengganti sistem pemikirannya sama
dengan sistem pemikiran komunitas.
Upaya dari penyamaan sistem berpikir melakukan konsumsi simbolik yang sama dilakukan
dengan komunitas. Indiepop menjadi simbol yang dikonsumsi oleh komunitas baik dalam gaya
berpakaian, ideologi, musik, dan gaya hidupnya. Maka, individu-individu yang ada didalamnya
melakukan konsumsi atas hal-hal tersebut. Kepentingannya adalah agar individu diterima dalam
komunitas ini, karena simbol tentang indiepop menjadi pengikat terbentuknya komunitas. Interaksi yang
terjalin adalah secara simbolis, karena simbol menjadi metafor atas berlangsungnya hubungan sosial.
Selanjutnya, bagi individu-individu yang baru masuk ke dalam komunitas konsumsi simbolik ini
dilakukan untuk memperoleh pengakuan dari lingkungan sosialnya yang baru, karena konsumsi atas
simbol atas suatu hal merupakan ekspresi yang merujuk pada identitas kolektif dari individu. Seperti
dalam komunitas ini, indiepop menjadi suatu simbol yang dikonsumsi sekaligus menjadi bentuk
eksistensi atas sebuah kelompok sosial.

Kesimpulan
Indiepop sebagai suatu aliran musik yang berasal dari Inggris, selain menjadi sebuah subkultur juga
menjadi pergerakan sosial bagi anak-anak muda dengan membawa ideologi DIY (Do It by Yourself) yang
melawan kapitalisme. Dari pergerakan musiknya yang melakukan semuanya secara sendiri baik dari
perekaman lagu, pengemasan, hingga pemasarannya, serta lagu-lagu yang menyuarakan kesetaraan hal ini
merupakan bentuk perlawanan terhadap kapitalisme yang membentuk suatu hegemoni konsumsi atas
masyarakat. Ideologi tersebut ternyata menyebar hingga ke Indonesia dengan ditemukannya komunitas
pecinta indiepop di Yogyakarta yang awalnya hanya berangkat dari kecintaannya terhadap musik indiepop
hingga berkembang menjadi pergerakan anak muda. Indiepop ini juga membawa nilai-nilai modernitas,
mengingat asal genre musik ini dari negara yang maju, yang secara tidak langsung juga menjadi daya
tarik bagi masyarakat, imbasnya adalah komunitas pecinta indiepop ini.
Indiepop kemudian tidak hanya menjadi sebuah aliran musik saja, namun juga menjadi suatu hal yang
dikonsumsi secara simbolis oleh Common People sebagai salah satu komunitas di Yogyakarta. Simbol
dikonsumsi secara kolektif karena kepentingannya sebagai ekspresi identitas kolektif bagi individu untuk
menandakan identitas dari para anggotanya. Konsumsi kolektif yang dilakukan secara simbolik ini secara
dimanifestasikan oleh para anggotanya dalam tubuh, karena tubuh menjadi representasi yang dapat dilihat
secara jelas dengan kasat mata oleh masyarakat. Anggota komunitas merepresentasikan dirinya sebagai
bagian dari komunitas melalui gaya berpakaian, musik-musik yang didengarkan, dan konsumsi atas suatu
produk tertentu, karena terdapat kesamaan tema dari anggota komunitas dalam hal-hal tersebut. Gaya
berpakaian anggotanya biasanya mengacu pada band-band yang mengusung aliran musik indiepop juga
penggunaan kaos-kaos bertuliskan nama band dan nama komunitas ini, sebab dengan seperti itu
seseorang merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari komunitas dengan serangkaian simbol dari
komunitas yang terdapat dalam tubuhnya. Aliran musik yang didengarkan pun memiliki kesamaan tema,
yaitu mengacu pada jenis-jenis musik indiepop yang biasanya berasal dari Inggris. Kesamaan selera
musik juga menjadi wujud representasi kelompok ini dalam masyarakat, karena musik—yang menjadi
simbol atas suatu kelompok—dikonsumsi secara simbolik dan menjadi ekspresi individu atas keberadaan
suatu kolektif. Gaya hidup juga turut diadopsi oleh komunitas ini dengan kegiatan minum Beer yang
dilakukan komunitas ini ketika sedang berkumpul atau mengadakan sebuah acara. Beer yang secara
kultural bukan yang berasal dari Indonesia, hadir dalam komunitas sebagai simbol modernitas yang
12

dibawa dari barat dan bentuk adaptasi komunitas ini terhadap ruang global, mengingat komunitas ini
pernah menghadirkan musisi dari luar negeri, Beer dijadikan sarana untuk melakukan komunikasi secara
simbolik karena sifat minuman tersebut sebagai produk yang global.
Dalam masyarakat modern identitas dapat ditentukan secara bebas oleh masing-masing individu yang
mereka temukan dalam ruang-ruang sosial. Komunitas dijadikan sarana oleh individu untuk memperoleh
identitasnya secara kolektif, karena komunitas memiliki pola konsumsi yang simbolis atas suatu hal yang
menjadi ekspresi bagi kolektif. Maka, yang dilakukan oleh individu-individu adalah turut mengkonsumsi
simbol yang sama dengan simbol yang dikonsumsi oleh komunitas. Imbasnya adalah identitas yang
diperoleh individu sebagai bagian dari komunitas tertentu, karena kesamaan konsumsi simbolik tersebut
citra yang melekat dalam diri individu pun sama dengan kolektifnya. Pola kesamaan konsumsi yang
dilakukan secara simbolis tersebut diperoleh individu dengan cara interaksi yang berlangsung secara terus
menerus dengan komunitas, sehingga individu terkonstruksi untuk mengkonsumsi hal-hal yang sama
dengan yang dikonsumsi oleh komunitasnya. Kepentingan dari konsumsi simbolis ini adalah agar
diidentifikasikannya individu secara sama sebagai bagian dari komunitas, dan agar individu memperoleh
pengakuan dari lingkungannya sebagai bagian dari komunitas.

Daftar Pustaka
Buku
Abdullah, Irwan. 2006. Rekonstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Anderson, Benedict. 2001. Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta : Insist Press
Appadurai, Arjun. 1986. The Social Life of Things. New York : Cambridge Press University.
Berger, Peter and Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality. London: Penguin Books.
Falk, Pasi. 1994. The Consuming Body. London: Sage Publication.
Fine, Ben and Ellen Leopold. 1993. The World of Consumption. London and New York: Routledge.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Jakarta: Jalasutra.
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Ilmu Antropologi Sosial. Jakarta: P.T. Dian Rakyat.
Rusbiantoro, Dadang. 2008. Generasi MTV. Yogyakarta : Jalasutra.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif: Antropologi Sosialbudaya. Jakarta : Institut
Antropologi Indonesia.
Soeprapto M.S, Dr. H. R. Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Jakarta : Averroes Press.
Solomon, Jack. 1988. The Sign of Our Time. Los Angeles: Jeremy P. Tarcher, Inc.
Stone, Gregory and H. Fraberman. 1970. Social Psychology Through Symbolic Interaction. Mass: Ginn
Blaisdell
13

Jurnal
Cerulo, Karen A. Identity Construction: New Issues, New Directions. Annual Review of Sociology. 23:
385-409.
Gartman, David. 2002. Bordieu’s Theory of Cultural Change: Explication, Application, Critique.
American Sociological Association. 2: 255-277.
Stokes, Martin. 2004. Music and the Global Order. Annual Review of Anthropology. 33: 47-72
Hallet, Tim. 2003. Symbolic Power and Organizational Culture. Sociological Theory, Vol 21, 2: 128-149.
Sumber Dalam Jaringan
www.jstor.org (diakses pada 8 Juni 2013)
http://www.guardian.co.uk/music/2006/oct/25/popandrock (The Birth of Uncool oleh Alex Petridis,
diakses pada 10 Juni 2013)
http://pitchfork.com/features/articles/6176-twee-as-fuck/ (Twee as Fuck oleh Nitsuh Abebe 24 Oktober
2005, diakses pada 11 Juni 2013)
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, diakses
pada 11 Juni 2013)
http://commonpeopleyk.wordpress.com/2013/02/22/how-an-nme-cassette-launched-indie-music-samplepost/ (Blog resmi Komunitas, diakses pada 11 Juni 2013)
http://jogjanews.com/indiepop-raising-club-common-people-gelar-event-poparade-1 (Indiepop Raising
Club Common People Gelar Event Poparade #1 oleh Nilu, 10 September 2011, diakses pada 11
Juni 2013)
http://musicsemarang.com/satu-dekade-common-people-konsistensi-sebuah-komunitas/67 (Satu Dekade
Common People: Konsistensi Sebuah Komunitas oleh Music Semarang, 27 Oktober 2011,
diakses pada 11 Juni 2013)
http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/02/27/-indie-ekspresi-perlawanan-terhadap-budayamainstream-532764.html (Indie Ekspresi Perlawanan Terhadap Budaya Mainstream oleh Erda
Kurniawan, diakses pada 11 Juni 2013)

14