Politik Agama dan Agama Politik

Politik Agama dan Agama Politik
FAJAR KURNIANTO
Muncul dan maraknya kembali partai-partai politik berlabel agama (baca: Islam), atau
paling tidak menjadikan agama sebagai ideologi (asas) partai, di negeri ini, menjelang pemilu
2009 nanti menyeruakkan kembali pertanyaan klasik tetapi masih relevan: apakah keberadaan
partai-partai itu menggambarkan kembali kebangkitan politik agama atau sebaliknya, agama
politik?
Agama dan politik
‘Ali Abd al-Raziq (1886-1966), seorang Syaikh di Universitas al-Azhar Kairo Mesir,
memicu kontroversi ketika pada tahun 1952 menerbitkan bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukm.
Dalam bukunya itu, ia menyebutkan bahwa kekuasaan agama dan administratif nabi (politik)
adalah terpisah. Pemerintah Muhammad atas komunitas muslim Madinah bukanlah bagian dari
misi kenabian. Dan, para penerusnya, yakni para khalifah, hanya meneruskan kekuasaan
temporalnya.
Qamaruddin Khan, pemikir dan penulis Pakistan, dalam bukunya, Political Concepts in
The Quran (1982) menyebutkan bahwa teori politik Islam sebetulnya tidak muncul dari AlQuran, tetapi dari suatu keadaan tertentu dan bahwa negara bukanlah merupakan suatu hal yang
harus dipaksakan secara ilahiah, ataupun yang sangat dibutuhkan sebagai institusi sosial.
Konstituti muslim bersifat fleksibel dan tidak seharusnya menjadi institusi yang kaku dan tidak
dapat dipertahankan secara intelektual sebagaimana yang telah terjadi. Ia telah menjadi alat
untuk mempertahankan status quo politik dalam masyarakat muslim.
Kaum muslim, lanjut Khan, perlu memahami bahwa tidak ada satu pun yang telah

tertetapkan mengenai percampuran agama dan politik. Klaim bahwa Islam merupakan sebuah
panduan agama dan politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern yang sejatinya tidak
dapat ditemukan dalam sejarah masa lalu Islam. Istilah “negara Islam” tidak pernah digunakan
dalam teori atau praktik ilmu politik muslim sebelum abad ke-20. Seandainya, 30 tahun pertama
Islam dikecualikan, perilaku negara-negara muslim dalam sejarah hampir tidak dapat dibedakan
dari perilaku negara-negara lainnya dalam sejarah dunia.

Pemikir Pakistan lainnya, Fazlur Rahman, dalam bukunya, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (1982), meyakini bahwa injeksi politik ke dalam
lingkungan agama telah bersifat merusak. Ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik, tetapi apa
yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi dan konsep Islam oleh kelompok dan elite
politik. Hasilnya adalah politik-politik hasutan omong kosong (sheer demagoguery), bukan
politik yang terilhami oleh moral. Slogan “agama dan politik dalam Islam adalah tak
terpisahkan” digunakan untuk menipu orang-orang awam agar menerima bahwa alih-alih politik
atas negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru yang harus melayani tujuantujuan sesaat partai-partai politik.
Politisasi atau agamaisasi?
Agama politik tampak menyiratkan suatu tujuan hendak menjadikan agama sebagai
sarana jangka pendek untuk memuaskan “nafsu” politik kepentingan pragmatis yang bisa
berujung pada suatu kondisi riil yang bertolak belakang dengan ide-ide dasar atau pesan-pesan
agama sesungguhnya. Agama politik sekaligus pula menyiratkan terjadinya “pemerkosaan”

terhadap teks-teks agama untuk menjustifikasi perilaku politik yang sesungguhnya bobrok dan
amoral. Akibat yang lebih parah, agama tidak hanya “diperkosa” teks-teks “lain”, tetapi juga
“dibunuh” dengan tragis bila tidak sesuai dengan kepentingan politik pragmatisnya.
Sementara itu, politik agama, atau agama yang diperjuangkan melalui jalur politik, adalah
absah, dan kalau betul terwujud seperti yang diidealkan akan melahirkan budaya politik religius.
Tetapi, tetap saja timbul kekhawatiran akan munculnya suatu bentuk negara otoriter-teokratis.
Kekhawatiran ini beralasan, karena dalam konteks negara-bangsa seperti Indonesia ini —yang
pluralitas masyarakat dari segi agama, budaya, suku, kultur, dan sebagainya, menjadi fakta tak
terbantah—, semua elemen masyarakat bangsa mesti dilindungi oleh konstitusi yang netral dari
ideologi-ideologi selain ideologi yang telah disepakati bersama, yakni ideologi Pancasila yang
bervisi kebangsaan bukan keagamaan.
Menjadi seorang Islam atau selainnya, tidak akan terganggu oleh adanya ideologi bangsa
yang telah disepakati bersama. Yang mengganggu justru adalah adanya upaya-upaya tertentu
yang memaksakan kehendak sesaat dan menyangka persoalan akan selesai hanya melalui dan
dengan itu. Lebih mengganggu lagi, jika agama, yang sejatinya lebih tinggi daripada suatu
ideologi (meski agama pada suatu titik menjadi inspirasi orang dalam membangun suatu

ideologi), dipolitisasi menjadi pembenar sekaligus melindungi kebobrokan dan amoralitas politik
yang terjadi.
Keterpurukan kondisi bangsa, di berbagai segmen kehidupannya, mutlak membutuhkan

energi lain yang betul-betul “oposan” dari sistem politik yang hingga saat ini belum bisa
membuat rakyat keluar dari ketepurukan. Energi lain itu tidak muncul dari wacana agama politik
atau politik agama, tetapi praksis nyata yang dibangun di basis-basis kultural yang bersumber
pada pesan-pesan moral etis agama yang universal. Agama politik, atau politik agama, selama
tidak mampu secara nyata mencipta perubahan sosial ke arah yang lebih baik, hanya akan
menjadi bahan tertawaan, sekaligus menjadi sebab apatisme terhadap apa pun. Wallahu a’lam.
*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Jumat 18 Mei 2007