PERBANYAKAN TANAMAN Guichenotia macrantha Turcz. SECARA KULTUR JARINGAN. II. PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP PENGGANDAAN PUCUK DAN PENGAKARAN - Repository Unja

  P ENASIHAT A DVISOR Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jambi

  D EWAN R EDAKSI E DITORIAL B OARD Dari Redaksi

  Editor Ir. Zulkarnain, M.Hort.Sc. Syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas rahmat yang

  Anggota Redaksi telah dilimpahkan, sehingga Buletin Agronomi Associate Editors Universitas Jambi Volume 2 Nomor 2 periode

  Juli - Desember 1998 dapat direalisasikan Ir. Wilma Yunita, M.P. penerbitannya. Ir. Yusmairidal, M.P.

  Pada nomor yang ke-dua ini sebanyak tujuh Ir. Gusniwati, M.P. artikel dari sebelas yang diterbitkan merupakan Ir. Hanibal, M.P. hasil-hasil penelitian, sedangkan sisanya adalah Ir. Efneldy, M.P. berupa ulas balik ilmiah. Dilihat dari komposisi Ir. Rainiyati, M.Si. bidang kajian, tujuh artikel mengkaji budidaya Ir. Rinaldi, M.Si. tanaman, lima artikel mengkaji ilmu tanah, dan satu artikel mengkaji teknologi hasil pertanian

  S TAF T EKNISI (pasca panen).

  T ECHNICIANS Kepada para penulis yang telah

  Drs. Nazri N.Z., M.S. menyumbangkan artikel-artikelnya, redaksi Ir. Yatrofa mengucapkan terima kasih, dan kepada para

  Ir. Buhaira calon penulis lainnya, naskah-naskah Anda Dra. Arzita, M.Si. senantiasa kami nantikan. Ir. Zul Fahri Gani Akhirnya, redaksi mengucapkan selamat

  Elly Indra Swari, S.P. berkarya kepada para penulis yang tengah Lizawati, S.P. mempersiapkan bahan tulisannya, dan semoga media publikasi ilmiah ini dapat menjalankan

  D ITERBITKAN O LEH misi ilmiahnya dengan baik.

  P UBLISHED B Y Fakultas Pertanian

  Universitas Jambi A LAMAT R EDAKSI DAN P ENERBIT

  Telanaipura, Desember 1998 E DITORIAL AND P UBLISHER ' S A DDRESS

  Fakultas Pertanian Universitas Jambi Jl. Prof. DR. Sri Sudewi Masjchun Sjofwan, SH. Telp. (0741) 63118 Fax (0741) 62774

  Telanaipura - Jambi 36122 Indonesia

  ISSN 1410-1939

  

PERBANYAKAN TANAMAN Guichenotia macrantha Turcz. SECARA KULTUR

JARINGAN. II. PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP PENGGANDAAN

PUCUK DAN PENGAKARAN

  

[THE PROPAGATION OF Guichenotia macrantha Turcz. BY TISSUE CULTURE. II. THE

EFFECT OF IAA AND BAP ON SHOOT MULTIPLICATION AND ROOT PROLIFERATION]

Zulkarnain.1

Abstract

  An investigation to study the effect of exogenous growth regulators on Guichenotia macrantha tissue culture had been conducted at the Plant Science Laboratory, Victorian College of Agriculture and Horticulture, Melbourne, from January to October 1994. Two factors were investigated, ie. IAA (0.00, 0.57, 2.85, 5.71µm) and BAP (0.00, 2.22, 4.44, 8.88µm). The results indicated that BAP significantly increased the percentage of transferable explants and the average production of microcuttings. Meanwhile, neither IAA nor its interaction with BAP show a significant effect on these two parameters. Root proliferation occurred only on 10% of explants treated with 2.85µm IAA on the second subculture. At the rooting stage, the percentage of explants forming roots varied from 15.79 to 46.16% on either IAA and/or BAP treatments. The percentage of explants which survived acclimatisation ranged between 80 and 100%. Key words: propagation, tissue culture, Guichenotia macrantha.

  Pendahuluan

  'Teknik kultur jaringan' adalah teknik budidaya berbagai bagian tanaman, seperti organ, jaringan, sel, kelompok sel dan protoplas, yang dilakukan secara in vitro. Bagian-bagian tanaman tersebut, yang diistilahkan sebagai 'eksplan', dipisahkan dari lingkungan alamiahnya dan dibudidayakan pada medium buatan yang steril agar dapat beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Street, 1973). Istilah yang lebih spesifik, 'perbanyakan mikro', ditujukan terhadap penggunaan teknik kultur jaringan dalam usaha perbanyakan tanaman secara massal di dalam wadah tembus cahaya yang aseptik (Hartmann, Kester dan Davis, 1990). Akan tetapi, di dalam prakteknya sering dijumpai bahwa kedua istilah ini digunakan secara timbal balik terhadap prosedur perbanyakan tanaman yang melibatkan kultur aseptik.

  Penerapan teknik kultur jaringan pada tanaman hias berkayu telah sejak lama menjadi kajian para ahli perbanyakan tanaman maupun bagian dari usaha komersial. Teknik ini telah terbukti berhasil diterapkan pada Rosa sp. (Barve et al., 1984; Burger

  et al. , 1990), Bougainvillea sp. (Steffen, Sachs dan

  Hackett, 1988), Rhododendron sp. (Blazich dan Acedo, 1988; Iapichino, Chen dan Fuchigami, 1991), Mussaenda erythrophylla (Panda, Debata dan Das, 1989), Petunia hybrida (Dash dan Singhsamant, 1990; Dimasi-Theriou, Economou dan Sfakiotakis, 1992) dan Gardenia (Berrios dan Economou, 1991). Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukan kepustakaan mengenai penerapan teknik ini terhadap Guichenotia

  macrantha , yang merupakan tanaman hias berkayu

  asal Australia. Tanaman ini umumnya diperbanyak secara vegetatif menggunakan setek batang. Namun perbanyakan menggunakan setek batang memerlukan waktu yang lama untuk menumbuhkan akar. Untuk itu suatu penelitian telah dilaksanakan di Victorian College of Agriculture and Horticulture, Melbourne, pada bulan Januari hingga Oktober 1994. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh berbagai tingkat konsentrasi

1 Staf Pengajar pada Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi

  Jurnal Agronomi Universitas Jambi (1998) 2(2): 1-9

  Eksplan layak subkultur dicirikan oleh panjang ruas 0.5cm atau lebih. Sidik ragam menunjukkan, bahwa BAP berpengaruh nyata terhadap persentase eksplan layak subkultur. Namun demikian, baik

  Pada subkultur-2, pembentukan akar terjadi pada beberapa eksplan. Hal ini berbeda dengan fase inisiasi kultur dan subkultur-1. Namun demikian, proliferasi akar hanya terjadi pada eksplan yang diperlakukan dengan 2.85µm IAA tanpa BAP. Akar terbentuk pada 10% dari total eksplan yang dikulturkan pada perlakuan ini. Pada subkultur-3, persentase proliferasi perakaran mencapai 96.25% (Tabel 7).

  Pembentukan akar dan aklimatisasi

  Uji perbandingan berganda terhadap rata-rata nilai tengah yang diperoleh disajikan pada Tabel 4, 5 dan 6.

  IAA + BAP tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata.

  Sidik ragam terhadap data produksi rata-rata setek mikro mengungkapkan, bahwa kehadiran BAP di dalam medium kultur memberikan pengaruh yang nyata. Sebaliknya, baik IAA maupun kombinasi

  Produksi rata-rata setek mikro

  Uji perbandingan berganda menggunakan Tukey's Studentisized Range Method terhadap nilai tengah rata-rata dari pengaruh IAA dan BAP pada persentase eksplan layak subkultur berturut-turut disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.

  IAA maupun kombinasi IAA + BAP ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata.

  Hasil Pengamatan Persentase eksplan layak subkultur

  IAA and BAP terhadap perkembangan kultur, laju perbanyakandan mempelajari proses aklimatisasi plantlet di rumah kaca.

  Proses pengakaran ini juga berlangsung selama 8 minggu. Plantlet yang diperoleh selanjutnya diaklimatisasikan di rumah kaca pada medium perlite+moss+kulit pinus dengan komposisi 1:1.5:4.5.

  Induksi perakaran dilakukan pada subkultur-3. Selang waktu antara subkultur-2 dan -3 adalah 8 minggu. Media yang digunakan pada induksi perakaran adalah MS-½ tanpa zat pengatur tumbuh, namun dilengkapi dengan 1.0g/l arang aktif.

  Oleh karena pertumbuhan pucuk aksilar pada subkultur-1 ternyata lebih lambat, maka waktu yang dibutuhkan guna mendapatkan eksplan yang memenuhi syarat untuk dipindahkan pada subkultur- 2 menjadi lebih lama. Untuk itu subkultur-2 dilakukan 8 minggu setelah subkultur-1.

  Subkultur-1 dilakukan 4 minggu setelah inisiasi. Pucuk-pucuk aksilar (tanpa akar) dikeluarkan dari wadahnya, lalu dipotong guna mendapatkan setek mikro (microcutting). Setek mikro tersebut selanjutnya dikulturkan pada medium segar dengan komposisi yang sama seperti sebelumnya.

  Di dalam Laminar Air Flow Cabinet, jaringan di kedua permukaan luka yang rusak akibat proses sterilisasi dibuang, sehingga diperoleh eksplan yang terdiri atas satu nodus dengan ukuran lebih-kurang 1cm. Segera setelah dipotong eksplan tersebut dikulturkan pada medium dasar MS padat yang sudah dilengkapi dengan perlakuan IAA (0.00, 0.57, 2.85, 5.71µm) dan BAP (0.00, 2.22, 4.44, 8.88µm), guna menginduksi pembentukan organ (organogenesis).

  Bahan eksplan yang digunakan adalah nodus tunggal yang diambil dari pucuk-pucuk muda. Potongan pucuk dengan satu nodus dicuci dengan air steril yang dilengkapi dengan 2 tetes/100ml Triton-R. Kemudian dibilas tiga kali dengan air steril masing-masing 5 menit. Selanjutnya pucuk- pucuk tersebut direndam di dalam 0.1% Na- hipoklorit selama 10 menit, lalu dibilas lagi dengan air steril seperti sebelumnya.

  Stok tanaman G. macrantha disiapkan di rumah kaca dan diberi perlakuan 0.5mg/l Benlate setiap minggu selama dua bulan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat pertumbuhan jamur dan meringankan perlakuan sterilisasi permukaan yang akan dilakukan.

  Bahan dan Metoda

  Tanpa memperhatikan proliferasi akar pada fase pengakaran, 10 plantlet dengan pertumbuhan yang baik dari masing-masing perlakuan dipilih untuk proses aklimatisasi. Data yang diambil pada fase aklimatisasi menunjukkan laju survival yang tinggi, bervariasi antara 80 hingga 100 persent (Tabel 8).

  4.11

  5.11 2.22µm BAP

  3.43

  2.66 0.57µm IAA

  ) Perlakuan Nilai tengah Jumlah nilai tengah perlakuan Perbedaan*) 5.71µm IAA

  5.23

  10

  6.66

  9

  3.05 tanpa zat pengatur tumbuh

  6.33

  4.97 2.85µm IAA + 2.22µm BAP

  8

  6.19

  4.81 0.57µm IAA + 2.22µm BAP

  7

  2

  3.46

  4.81 2.85µm IAA

  2

  4

  6.28

  3.70 2.22µm BAP

  3

  5.09

  3.05 4.44µm BAP

  2.52

  3

  0.61 tanpa zat pengatur tumbuh

  ) Perlakuan Nilai tengah Jumlah nilai tengah perlakuan Perbedaan*) 8.88µm BAP

  4.11

  4

  4.55

  3.70 2.85µm IAA

  6.08

  7

  Zulkarnain: Perbanyakan Tanaman Guichenotia macrantha Turcz. Secara Kultur Jaringan II.

  2

  2

  0.61

  3.05 5.71µm IAA

  2

  0.61

  3.05 2.85µm IAA + 8.88µm BAP

  0.61

  0.61

  3.05 0.57µm IAA + 8.88µm BAP

  2

  0.61

  0.61 8.88µm BAP

  Perlakuan Nilai tengah Jumlah nilai tengah perlakuan Perbedaan*) tanpa zat pengatur tumbuh

  Tabel 1. Pengaruh kombinasi tingkat konsentrasi IAA + BAP terhadap persentase eksplan layak subkultur (data ditransformasi )

  3.05 5.71µm IAA + 8.88µm BAP

  2

  5.97

  4.11 5.71µm IAA + 4.44µm BAP

  4.63 4.44µm BAP

  6

  5.97

  4.39 5.71µm IAA + 2.22µm BAP

  5

  5.24

  4

  3.05 0.57µm IAA

  5.20

  3.70 2.85µm IAA + 4.44µm BAP

  3

  3.95

  3.05 0.57µm IAA + 4.44µm BAP

  2

  2.96

  • ) 5% taraf uji Tabel 2. Pengaruh tingkat konsentrasi IAA terhadap persentase eksplan layak subkultur (data ditransformasi
  • ) 5% taraf uji Tabel 3. Pengaruh tingkat konsentrasi BAP terhadap persentase eksplan layak subkultur (data ditransformasi
  • ) 5% taraf uji

  0.91

  1.58

  2.21

  11

  1.16 0.57µm IAA + 2.22µm BAP

  2.23

  12

  1.18 2.22µm BAP

  2.25

  12

  1.18 0.57µm IAA

  2.25

  13

  1.19

  ) Perlakuan Nilai tengah Jumlah nilai tengah perlakuan Perbedaan*) 5.71µm IAA

  1.52 tanpa zat pengatur tumbuh

  2

  10

  0.68 2.85µm IAA

  1.84

  3

  0.82 0.57µm IAA

  1.87

  4

  0.91

  ) Perlakuan Nilai tengah Jumlah nilai tengah perlakuan Perbedaan*) 8.88µm BAP

  0.87 4.44µm BAP

  2.10

  3

  0.82 2.22µm BAP

  2.22

  4

  1.13 2.85µm IAA + 2.22µm BAP

  2.21

  Jurnal Agronomi Universitas Jambi (1998) 2(2): 1-9

  1.03

  Tabel 4. Pengaruh kombinasi tingkat konsentrasi IAA dan BAP terhadap produksi rata-rata setek mikro (data ditransformasi ) Perlakuan Nilai tengah Jumlah nilai tengah perlakuan Perbedaan*) 5.71µm IAA + 8.88µm BAP

  0.80 2.85µm IAA + 8.88µm BAP

  0.87

  2

  0.68 8.88µm BAP

  0.91

  3

  0.82 0.57µm IAA + 8.88µm BAP

  0.91

  3

  0.82 tanpa zat pengatur tumbuh

  1.02

  4

  0.91 5.71µm IAA

  4

  1.11 5.71µm IAA + 2.22µm BAP

  7

  9

  2.16

  1.08 2.85µm IAA + 4.44µm BAP

  8

  2.14

  1.05 2.85µm IAA

  2.12

  0.91 5.71µm IAA + 4.44µm BAP

  1.01 4.44µm BAP

  6

  2.08

  0.96 0.57µm IAA + 4.44µm BAP

  5

  2.04

  • ) 5% taraf uji Tabel 5. Pengaruh tingkat konsentrasi IAA terhadap produksi rata-rata setek mikro (data ditransformasi
  • ) 5% taraf uji Tabel 6. Pengaruh tingkat konsentrasi BAP terhadap produksi rata-rata setek mikro (data ditransformasi
  • ) 5% taraf uji

  Zulkarnain: Perbanyakan Tanaman Guichenotia macrantha Turcz. Secara Kultur Jaringan II.

  10

  10

  3)

  10

  3) 2)

  10

  39 4.44 transplantasi

  10

  30 hidup

  10

  9

  40 hidup

  3)

  10

  3)

  10

  4)

  10

  10

  80 hidup

  96.25

  77 persentase

  20

  28

  10

  19

  20

  10

  30

  10

  20

  hidup Total transplantasi

  1) 1) 1) 1)

  30 8.88 transplantasi

  10

  4)

  3)

  Tabel 7. Persentase eksplan yang membetuk akar pada fase induksi perakaran akibat pengaruh 0.1% arang aktif dan penurunan konsentrasi garam makro dan mikro. Kons. BAP Kons. IAA (µm) Total (µm)

  26

  27 17 103 membentuk akar

  9

  50

  72 4.44 dikulturkan

  32

  14

  89 69 375 membentuk akar

  5

  88

  72 membentuk akar 2.22 dikulturkan 129

  5 67 01)

  5.71 0.00 dikulturkan 01)

  2.85

  0.57

  0.00

  18

  23 8.88 dikulturkan 01) 01) 01) 01) membentuk akar Total dikulturkan 179 102 183 86 550 membentuk akar

  10

  2.85

  8 2.22 transplantasi

  8

  10 hidup

  4) 1)

  10

  1) 2)

  5.71 0.00 transplantasi

  0.57

  44

  0.00

  Tabel 8. Persentase plantlet hidup pada fase aklimatisasi (22 hari setelah transplantasi). Kons. BAP Kons. IAA (µm) Total (µm)

  1) data tidak tersedia karena seluruh kultur pada perlakuan ini tidak layak untuk ditransplantasikan pada subkultur-2 atau -3 (fase pengakaran).

  17.27

  95 persentase

  32

  19

  1) data tidak tersedia karena seluruh kultur pada perlakuan ini tidak layak untuk ditransplantasikan pada 2) data tidak tersedia karena pertumbuhan plantlet tidak memuaskan selama subkultur-3 (fase pengakaran) 3) beberapa plantlet diaklimatisasikan tanpa akar 4) semua plantlet diaklimatisasikan tanpa akar

  Jurnal Agronomi Universitas Jambi (1998) 2(2): 1-9 Pembahasan

  Peningkatan proliferasi pucuk sebagai akibat hadirnya BAP di dalam medium kultur dinyatakan oleh Dodds dan Roberts (1985) sebagai konsekuensi dari meningkatnya pembelahan sel pada jaringan yang dikulturkan. Meningkatnya pembelahan sel mengakibatkan jumlah sel meningkat pula yang pada akhirnya menambah ukuran jaringan atau organ.

  Malus x domestica. Kombinasi zat pengatur

  pucuk bervariasi tergantung genotipe. BAP pada konsentrasi 4.44µm bersama-sama dengan 13.95µm kinetin dilaporkan oleh Sriskandarajah et al. (1990) efektif untuk menginduksi proliferasi pucuk pada

  Fragaria , di mana kebutuhan BAP untuk proliferasi

  Kehadiran BAP di dalam medium kultur sangat penting bagi proliferasi pucuk dan produksi setek mikro pada kultur jaringan G. macrantha. Pentingnya kehadiran BAP juga dilaporkan oleh Simpson dan Bell (1989) pada kultur jaringan

  Tabel 6 menunjukkan produksi rata-rata setek mikro yang tinggi diperoleh pada perlakuan 2.22 dan 4.44µm BAP (berturut-turut 2.22 dan 2.10 setek per eksplan). Hasil ini berbeda nyata dengan jumlah setek mikro pada pemberian 8.88µm BAP dan perlakuan medium tanpa zat pengatur tumbuh (kontrol) , yang menghasilkan berturut-turut 0.87 dan 1.61 setek per eksplan. Kombinasi 2.22µm BAP plus semua takaran IAA menghasilkan produksi rata-rata setek mikro 2.21 - 2.23 setek per eksplan (Tabel 4).

  IAA di dalam medium kultur memperlihatkan pengaruh yang nyata pada produksi rata-rata setek mikro.

  Walaupun sidik ragam tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, baik pada perlakuan IAA maupun interaksi IAA + BAP, kehadiran BAP tanpa

  Produksi setek mikro

  Helianthus annuus dan Aegle marmelos (Msikita et al., 1990; Delpiere dan Boccon-Gibod, 1992; Islam et al., 1993; Pugliesi et al., 1993).

  Persentase eksplan layak subkultur

  Meskipun BAP pada konsentrasi melebihi 4.44µm didapati menghambat proliferasi pucuk pada kultur jaringan G. macrantha, beberapa peneliti terdahulu melaporkan bahwa BAP pada konsentrasi di atas 4.44µm meningkatkan pertumbuhan pucuk pada Cucumis sativus, Brassica oleracea,

  pucuk yang serupa dengan yang diperoleh pada penelitian ini juga diamati pada Cydonia oblonga (Vinterhalter dan Neskovic, 1992), di mana BAP dengan konsentrasi tinggi menghasilkan laju proliferasi yang baik, tetapi tunas-tunas yang dihasilkan mengalami vitrifikasi.

  Malus (Sriskandarajah et al., 1990). Proliferasi

  dicapai pada perlakuan 4.44µm BAP; dan pucuk terpanjang diperoleh pada perlakuan 2.22µm BAP pada medium MS. Penggunaan 4.44µm BAP juga menghasilkan pucuk-pucuk yang panjang dan proliferasi yang memuaskan pada kultur jaringan

  calleryana , di mana laju proliferasi pucuk tertinggi

  IAA + BAP tidak berpengaruh nyata, kehadiran hanya BAP di dalam medium sangat mendorong pertumbuhan kultur, dan karenanya meningkatkan jumlah eksplan layak subkultur. Namun demikian, takaran BAP tersebut harus benar-benar diperhatikan karena pada konsentrasi 8.88µm zat pengatur tumbuh ini cenderung menghambat produksi eksplan layak subkultur (Tabel 3). Data yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan, bahwa perlakuan 2.22 dan 4.44µm BAP memberikan 6.28% dan 5.09% rata-rata eksplan layak subkultur. Kombinasi 2.85µm IAA + 2.22µm BAP menghasilkan persentase eksplan layak subkultur tertinggi (6.33%), diikuti oleh 0.57µm IAA + 2.22µm BAP (6.19%) (Tabel 4). Hasil ini konsisten dengan penelitian Berardi, Infante dan Neri (1993) pada kultur jaringan Pyrus

  Walaupun interaksi

  Hasil penelitian ini mengungkapkan, bahwa zat pengatur tumbuh merupakan suatu faktor penentu pada laju produksi eksplan layak subkultur. Beberapa peneliti terdahulu telah membuktikan peranan IAA dan BAP dalam meningkatkan dan/atau menghambat pertumbuhan eksplan pada kultur jaringan spesies tanaman lain (San-Jose dan Vietez, 1992; Lopez-Aranda et al., 1994; Pawlicki dan Welander, 1994).

  tumbuh ini menghasilkan pucuk-pucuk dengan lebih banyak daun, yang karenanya meningkatkan laju produksi setek mikro. Pada penelitian G. macrantha ini, takaran BAP yang optimum untuk produksi setek mikro berkisar antara 2.22 dan 4.44µm. BAP dengan konsentrasi di atas 4.44µm cenderung menghambat pemanjangan pucuk, yang menghasilkan jumlah setek mikro per eksplan yang terbatas.

  Zulkarnain: Perbanyakan Tanaman Guichenotia macrantha Turcz. Secara Kultur Jaringan II. Pembentukan akar dan aklimatisasi

  1:1.5:4.5 dapat meningkatkan keberhasilan aklimatisasi, yakni 96.25 persen (Tabel 8). Hal ini dikarenakan campuran ini memiliki kelebihan dapat menjaga kestabilan kelembaban, suhu dan aerasi.

  In: Proceedings of the Conference on Nursery Production of Fruit Plants through Tissue Culture - Application and Feasibility. April 21- 22, 1980, Beltsville, Maryland.

  Anderson, C.W. 1980. Mass propagation by tissue culture: principles and techniques, pp. 1 - 10.

  Daftar Pustaka

  Penulis mengucapkan terima kasih kepada Australian International Development Assistance Bureau (AIDAB) atas beasiswa yang diberikan dan kepada Dr. James Will dari Victorian College of Agriculture and Horticulture (VCAH), Burnley Campus, Melbourne atas dukungan laboratorium dan sarana penelitian yang disediakan.

  Ucapan Terima Kasih

  3. Pemberian 1.0g/l arang aktif pada medium MS½ tidak efektif untuk mendorong pembentukan akar pada setek mikro G. macrantha yang diperoleh secara in vitro.

  2. Kehadiran zat pengatur tumbuh di dalam medium kultur, terutama BAP pada konsentrasi 2.22µm, sangat meningkatkan laju perbanyakan, sedangkan IAA tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kombinasi terbaik dari kedua zat pengatur tumbuh ini yang menghasilkan pertumbuhan yang memuaskan pada kultur jaringan G. macrantha adalah 0.57µm IAA + 2.22µm BAP.

  1. Perbanyakan massal tanaman G. macrantha melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan nodus tunggal.

  Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  Kesimpulan

  menganjurkan penggunaan vermikulit pada aklimatisasi plantlet Ribes nigrum. Hasil pada penelitian ini mengungkapkan, bahwa campuran perlite + moss + kulit pinus dengan komposisi

  Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap pengakaran in vitro pada G. macrantha hanya terlihat pada 10% dari eksplan yang diperlakukan dengan 2.85µm IAA pada subkultur-2. Proliferasi akar juga diamati pada beberapa eksplan yang dikulturkan pada medium yang dilengkapi dengan 1.0g/l arang aktif tanpa zat pengatur tumbuh pada fase pengakaran. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perkembangan tunas yang aktif tumbuh sehingga menekan proliferasi akar. Penemuan ini mengungkapkan, bahwa pembentukan akar padakultur jaringan G. macrantha nampaknya tergantung pada pertumbuhan pucuk terminal. Penelitian ini konsisten dengan kultur in vitro Acer

  sansaqua . Selanjutnya Ma et al. (1992)

  Pada fase aklimatisasi, Samartin (1991) menemukan, bahwa campuran pasir halus dan gambut sebagai substrat memberikan hasil yang memuaskan pada transplantasi plantlet Camelia

  ditransplantasikan tanpa sistem perakaran mampu bertahan hidup pada fase aklimatisasi.

  G. macrantha , di mana 80 - 100 persen plantlet yang

  medium kultur tidak secara nyata mempengaruhi pembentukan akar pada tanaman ini. Akan tetapi, selama fase aklimatisasi jumlah setek mikro yang berakar mengalami peningkatan. Hasil ini juga serupa dengan yang diperoleh pada kultur jaringan

  calleryana , di mana kehadiran arang aktif di dalam

  mempengaruhi pembentukan akar pada kultur jaringan G. macrantha. Tabel 7 memperlihatkan, bahwa sebagian besar eksplan yang berasal dari masing-masing perlakuan zat pengatur tumbuh tidak membentuk akar ketika disubkulturkan pada medium MS½ yang dilengkapi dengan 1.0g/l arang aktif. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Berardi, Infante dan Neri (1993) pada kultur jaringan Pyrus

  corymbosum. Namun arang aktif tidak secara nyata

  Anderson (1980) menemukan, bahwa penambahan adsorbent seperti arang aktif ke dalam medium terbukti bermanfaat pada induksi perakaran pada Rubus occidentalis dan Vaccinium

  kultur pucuk aksilar yang telah membentuk tunas terminal terbukti sulit berakar.

  saccharinum (Marks dan Simpson, 1994), di mana

  Barve, D.M., Iyer, R.S., Kendurkar, S. and Mascarenhas, A.F. 1984. An effective method

  Jurnal Agronomi Universitas Jambi (1998) 2(2): 1-9

  Journal of Horticultural Science, 69, 687-696.

  Acer cultivars in vitro. Journal of Horticultural Science, 69, 543-551.

  Msikita, W., Skirvin, R.M., Juvik, J.A., Splittstoesser, W.E. and Ali, N. 1990.

  Regeneration and flowering in vitro of 'Burpless Hybrid' cucumber cultured from excised seed.

  HortScience, 25, 474-477.

  Panda, N., Debata, B.K. and Das, P. 1989. In vitro regeneration of Mussaenda erythrophylla cvs.

  'Queen Sirikit' and 'Rosea' from callus cultures.

  Orissa Journal of Horticulture 17, 18-22.

  Pawlicki, N. and Welander, M. 1994. Adventitious shoot regeneration from leaf segments of in vitro cultured shoots of the apple rootstock Jork 9.

  Pugliesi, C., Megale, P., Cecconi, F. and Baroncelli, S. 1993. Organogenesis and embryogenesis in

  Ribes nigrum in vitro. Journal of Horticultural Science, 67, 751-759.

  Helianthus tuberosus and in the interspecific

  hybrid Helianthus annuus x Helianthus

  tuberosus

  . Plant Cell Tissue Organ Culture, 33, 187-193. Samartin, A. 1991. Potential for large scale in vitro propagation of Camellia sansaqua Thunb.

  Journal of Horticultural Science, 67, 211-217.

  San-Jose, M.C. and Vieitez, A.M. 1992.

  Adventitious shoot regeneration from in vitro leaves of adult Camelia reticulata. Journal of

  Horticultural Science, 67, 677-683.

  Simpson, D.W. and Bell, J.A. 1989. The response of different genotypes of Fragaria x ananasa and their seedling progenies to in vitro micropropagation and the effects of varying the concentration of 6-benzylaminopurine in the proliferation medium. Plant Cell Tissue Organ

  Marks, T.R. and Simpson, S.E. 1994. Factors affecting shoot development in apically dormant

  L. and Hsiao, A.I. 1992. Shoot tip culture of

  for rapid propagation of some budded rose varieties. Indian Journal of Horticulture, 41, 1-

  Delpiere, N. and Boccon-Gibod. 1992. An extensive hairy root production precede shoot regeneration in protoplast derived calli of cauliflower (Brassica oleracea var. botrytis).

  7. Berardi, G., Infante, R. and Neri, D. 1993. Micropropagation of Pyrus calleryana Dcn. from seedlings. Scientia Horticulturae, 56, 157- 165. Berrios, J.G. and Economou, A.S. 1991. Study of the efficiency of Gardenia shoot formation in

  vitro . Acta Horticulturae, 300, 51-57.

  Blazich, F.A. and Acedo, J.R. 1988.

  Micropropagation of flame azalea. Journal of Environmental Horticulture, 6, 45-47. Burger, D.W., Liu, L., Zary, K.W. and Lee, C.I.

  Organogenesis and plant regeneration from immature embryos of Rosa hybrida L. Plant

  Cell, Tissue and Organ Culture, 21, 147-152.

  Dash, S.N. and Singhsamant, P.K. 1990 Induction of plantlets and callus from shoot-tips of Petunia

  hybrida cultured in vitro. Orissa Journal of Horticulture, 18, 65-69.

  Plant Cell Reports, 11, 351-354.

  benzyladenine levels and number of subcultures on the in vitro and field behaviour of the obtained microplants and the fruiting capacity of their progeny. Journal of Horticultural Science, 69, 625-637. Ma, F., Zhu, X., Guo, C., Zhang, Q., Song, W., Mei,

  Dimasi-Theriou, K., Economou, A.S. and Sfakiotakis, E.M. 1992. Promotion of Petunia (Petunia hybrida L.) regeneration in vitro by ethylene. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 32, 219-225. Dodds, J.H. and Roberts, L.W. 1985. Experiments in plant tissue culture (2

  nd

  edition). Cambridge University Press, New York. Hartmann, H.T., Kester, D.E. and Davis Jr., F.T.

  1990. Plant propagation: principles and practices. Prentice-Hall International, Inc., Englewood Clifts, New Jersey. Iapichino, G., Chen, T.H.H. and Fuchigami, L.H.

  1991. Adventitious shoot production from a Vireya hybrid of Rhododendron. HortScience, 26, 94-596.

  Islam, R., Hossain, M., Joader, O.I. and Karim, M.R. 1993. Adventitious shoot formation on excised leaf explants of in vitro grown seedlings of Aegle marmelos Corr. Journal of Horticultural Science, 68, 495-498.

  Lopez-Aranda, J.M., Pliego-Alfaro, F., Lopez- Navidad, I. and Barcelo-Munoz, M. 1994.

  Micropropagation of strawberry (Fragaria x

  ananasa Duch.). Effect of mineral salts,

  Culture, 17, 225-234.

  Zulkarnain: Perbanyakan Tanaman Guichenotia macrantha Turcz. Secara Kultur Jaringan II.

  Sriskandarajah, S., Skirvin, R.M., Abu-Qaoud, H. and Korban, S.S. 1990. Factors involved in shoot elongation and growth of adventitious and axil- lary shoots of three apple scion cultivars in vitro.

  Journal of Horticultural Science, 65, 113-121.

  Steffen, J.D., Sachs, R.M. and Hackett, W.P. 1988.

  Bougainvillea inflorescence meristem

  development: comparative action of GA3 in

  vivo and in vitro. American Journal of Botany, 75, 1225-1227.

  Street, H.E. 1973. Plant tissue and cell culture.

  Blackwell Science, Oxford, London. Vinterhalter, B. and Neskovic, M. 1992. Factors affecting in vitro propagation of quince (Cydonia

  oblonga Mill.). Journal of Horticultural Science, 67, 39-43.