PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP PROLIFERASI KALUS SERTA VITRIFIKASI DAN NEKROSIS PUCUK PADA KULTUR JARINGAN Guichenotia macrantha TURCZ. - Repository Unja

  ISSN 1410-1939

PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP PROLIFERASI KALUS SERTA

  

VITRIFIKASI DAN NEKROSIS PUCUK PADA KULTUR JARINGAN

Guichenotia macrantha TURCZ.

  

[THE EFFECT OF IAA AND BAP ON CALLUS PROLIFERATION AND SHOOT

VITRIFICATION AND NECROSIS IN Guichenotia macrantha TURCZ.

TISSUE CULTURE]

  1 Zulkarnain

Abstrak

  An experiment to study the effect of IAA and BAP on the callus proliferation and on the incidence of vitrification and necrosis of Guichenotia macrantha shoots had been carried out at the Plant Science Laboratory, Victorian College of Agriculture and Horticulture, Melbourne, from January to October 1994.

  M M

  Four levels of IAA (0.00, 0.57, 2.85 and 5.71µ ) and four levels of BAP (0.00, 2.22, 4.44 and 8.88µ ) were tested in this experiment. The results indicated that either the callus proliferation or the incidence of shoot vitrification and necrosis were significantly affected by the presence of BAP in the culture medium. Callus

  M

  proliferation was enhanced by BAP at concentration 2.22 and 4.44µ , but was inhibited and concentration

  M M 8.88µ . The frequency of shoot vitrification and necrosis increased at BAP concentration 4.44µ or more.

  Pendahuluan muda juga seringkali menyertai upaya perbanyakan

  tanaman melalui teknik ini (Rice et al., 1992). Kedua

  Guichenotia macrantha Turcz. adalah salah satu fenomena ini, terbentuknya kalus serta terjadinya

  tanaman hias berkayu asli Australia yang umumnya vitrifikasi dan nekrosis pucuk, merupakan diperbanyak secara vegetatif konvensional melalui konsekuensi dari penggunaan zat pengatur tumbuh penyetekan (Eliot dan Jones, 1990). Penerapan terutama auksin dan sitokinin. Seperti halnya pada teknik kultur jaringan pada perbanyakan massal tanaman berkayu lain, fenomena ini juga timbul pada tanaman ini baru sampai pada tahap penelitian dan tanaman G. macrantha yang dikulturkan secara in belum dilakukan secara komersial (Zulkarnain, vitro. 1995). Oleh karenanya teknik yang diterapkan masih Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memerlukan perbaikan-perbaikan guna mengatasi mempelajari pengaruh auksin (IAA) dan sitokinin kendala yang timbul akibat faktor-faktor seperti (BAP) terhadap proliferasi kalus serta timbulnya pemilihan eksplan, kondisi lingkungan kultur dan vitrifikasi dan nekrosis pucuk pada kultur jaringan G. penggunaan zat pengatur tumbuh. macrantha.

  Teknik kultur jaringan yang sangat mengandalkan upaya manipulasi faktor-faktor tersebut di atas ternyata tidak selalu berjalan sukses seperti yang diharapkan. Terjadinya proliferasi kalus pada Bahan dan Metoda eksplan yang dikulturkan seringkali menjadi hambatan dalam meregenerasikan plantlet karena Stok tanaman G. macrantha disiapkan di rumah pertumbuhan pucuk dan akar menjadi tertekan (Amin kaca dan diberi perlakuan 0.5mg/L Benlate setiap dan Razzaque, 1993). Beberapa gejala umum seperti minggu selama dua bulan. Hal ini dimaksudkan terjadinya vitrifikasi dan nekrosis pada pucuk-pucuk untuk mengurangi tingkat pertumbuhan jamur dan

  Buletin Agronomi Universitas Jambi (1996) 1(1):11-15

  Sidik ragam terhadap persentase eksplan yang membentuk kalus menunjukkan adanya perbedaan pengaruh yang nyata dengan hadirnya BAP di dalam medium kultur. Akan tetapi pengaruh ini tidak nyata apabila di dalam medium juga terdapat IAA, atau hanya IAA yang diberikan.

  Averrhoa carambola mengalami hambatan karena

  menemukan, bahwa pertumbuhan eskplan pucuk

  G. macrantha meskipun Amin dan Razzaque (1993)

  Nampaknya proliferasi kalus pada permukaan eksplan tidak menekan pertumbuhan in vitro pucuk

  melaporkan bahwa peningkatan takaran BAP melebihi 5.0µ M semakin meningkatkan pembentukan kalus pada permukaan eksplan.

  saccharinum, Marks dan Simpson (1994)

  di dalam medium kultur. Penelitian ini membuktikan, bahwa takaran BAP yang optimum untuk induksi kalus adalah 2.22 dan 4.44µ M . Pada konsentrasi 8.88µ M BAP memperlihatkan pengaruh menghambat pada pembentukan kalus. Pada eksplan pucuk Acer

  Pembahasan Proliferasi kalus Proliferasi kalus pada eksplan nodus G. macrantha sangat dipengaruhi oleh kehadiran BAP

  Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap timbulnya gejala vitrifikasi dan nekrosis pucuk sangat jelas pada penelitian ini. Daun-daun dan pucuk- pucuk yang mengalami vitrifikasi nampak pada kultur yang diperlakukan dengan 4.44µ M dan 8.88µ M BAP pada semua level IAA yang dicobakan. Bersamaan dengan timbulnya dua gejala ini, juga terlihat ruas- ruas yang pendek pada pucuk-pucuk yang tumbuh dari kultur yang diperlakukan dengan 4.44µ M dan 8.88µ M BAP, yang mengakibatkan berkurangnya panjang pucuk dan laju produksi setek mikro.

  Vitrifikasi dan nekrosis pucuk

  Pada Tabel 1, 2 dan 3 disajikan hasil uji perbandingan berganda terhadap nilai tengah rata- rata persentase eksplan yang membetuk kalus pada masing-masing perlakuan.

  M IAA.

  meringankan perlakuan sterilisasi permukaan yang akan dilakukan.

  BAP dan 5.71µ

  M

  IAA + 2.22µ

  M

  IAA, 2.85µ

  M

  Kalus terbentuk satu minggu setelah permulaan kultur dan permulaan setiap subkultur. Kalus yang dihasilkan dicirikan oleh warnanya yang putih kecoklatan dengan struktur yang kompak. Namun demikian, proliferasi kalus terjadi tidak pada semua perlakuan yang dicobakan. Induksi pembentukan kalus ternyata tidak berhasil pada perlakuan tanpa zat pengatur tumbuh, 0.57µ

  Hasil Pengamatan Proliferasi kalus

  Pengamatan dilakukan satu minggu setelah inisiasi kultur, terhadap proliferasi kalus dan timbulnya vitrifikasi dan nekrosis pada pucuk-pucuk muda yang tumbuh dari masing-masing eksplan.

  Di dalam laminar air flow cabinet, jaringan di kedua permukaan luka yang rusak akibat proses sterilisasi dibuang, sehingga diperoleh eksplan yang terdiri atas satu nodus dengan ukuran lebih-kurang 1cm. Segera setelah dipotong eksplan tersebut dikulturkan pada medium dasar MS padat yang sudah dilengkapi dengan perlakuan IAA (0.00, 0.57, 2.85 dan 5.71µ M ) dan BAP (0.00, 2.22, 4.44 dan 8.88µ M ), guna menginduksi proliferasi kalus dan organogenesis.

  Bahan eksplan yang digunakan adalah nodus tunggal yang diambil dari pucuk-pucuk muda. Potongan pucuk dengan satu nodus dicuci dengan air steril yang dilengkapi dengan 2 tetes/100ml Triton-R. Kemudian dibilas tiga kali dengan air steril masing- masing 5 menit. Selanjutnya pucuk-pucuk tersebut direndam di dalam 0.1% Na-hipoklorit selama 10 menit, lalu dibilas lagi dengan air steril seperti sebelumnya.

  adanya pembentukan kalus. Penemuan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh terdapatnya mata tunas pada setiap eksplan yang dikulturkan yang menjadi aktif ketika dominansi pucuk dihilangkan dan ketika eksplan dihadapkan pada BAP. Timbulnya dominansi pucuk merupakan akibat dari transportasi auksin yang bersifat basipetal dari tempat sintesisnya, yakni pucuk, yang menghambat pertumbuhan tunas aksilar (Marks dan Simpson, 1994). Dengan membuang pucuk berakibat menghilangkan sumber auksin endogen,

  Zulkarnain: Mikropropagasi Guichenotia macrantha Turcz.

  yang memungkinkan stimulasi pertumbuhan tunas aksilar oleh BAP.

  Pembentukan kalus dibawah pengaruh IAA berbeda dengan pengaruh BAP, dan tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata di antara takaran yang dicobakan (Tabel 2). Peningkatan konsentrasi IAA sampai 5.71µ M secara konsisten diikuti oleh peningkatan proliferasi kalus. Penelitian ini mengungkapkan, bahwa takaran IAA sampai 5.71µ M masih efektif untuk merangsang pembentukan kalus pada permukaan eksplan G.

  macrantha. Kalus tersebut berubah menjadi coklat

  dan tidak memperlihatkan perkembangan lebih lanjut pada umur 2 - 3 minggu setelah proliferasi. Mohamed, Coyne dan Read (1990) melaporkan proliferasi kalus yang serupa pada permukaan eksplan pucuk Phaseolus vulgaris, yang menjadi coklat dan mati dalam waktu 6 minggu setelah pengkulturan.

  Tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata pada proliferasi kalus di bawah pengaruh IAA maupun interaksi antara IAA dengan BAP. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kombinasi kedua macam zat pengatur tumbuh ini kurang effektif untuk menginduksi proliferasi kalus. Pierik (1987) menyatakan, bahwa diantara auksin IAA kurang efektif untuk proliferasi kalus dibandingkan auksin yang lain. Greene dan Davis (1990) melaporkan, bahwa kombinasi IAA + BAP kurang efektif untuk menginduksi kalus pada kultur jaringan Fragaria

  vesca dibandingkan dengan NAA + BAP atau 2,4-D

  • BAP. Peneliti lain juga melaporkan ketidakefektifan IAA dan kombinasinya dengan BAP untuk menginduksi pembentukan kalus pada Citrus junos (Song, Oh dan Park, 1991).

  Vitrifikasi dan nekrosis pucuk

  Gejala-gejala vitrifikasi dan nekrosis pucuk merupakan fenomena umum yang terjadi pada bahan tanaman yang dikulturkan secara in vitro. Timbulnya kedua fenomena tersebut pada penelitian ini sangat erat kaitannya dengan tingkat konsentrasi BAP di dalam medium kultur. Penelitian ini mengungkapkan, bahwa konsentrasi BAP yang tinggi (4.44µ M atau lebih) di dalam medium meningkatkan jumlah daun-daun yang mengalami vitrifikasi dan nekrosis. Sebaliknya, bila konsentrasi BAP kurang dari 4.44µ M gejala-gejala vitrifikasi dan nekrosis menjadi berkurang. Gejala vitrifikasi yang serupa juga dilaporkan oleh Pasqualetto, Zimmerman dan Fordham (1986) pada kultur jaringan Malus, di mana BAP 4.44µ M mengakibatkan frekuensi vitrifikasi yang lebih tinggi daripada BAP 2.22µ M . Namun demikian, IAA nampaknya kurang begitu terlibat di dalam induksi terjadinya dua fenomena ini. Hasil penelitian pada G. macrantha ini menunjang penelitian yang dilakukan oleh Werner dan Boe (1980) pada kultur pucuk Malus dan oleh Hosoki dan Tahara (1993) pada Salvia leucantha.

  Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dan didukung oleh bukti-bukti yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu menunjukkan, bahwa fenomena vitrifikasi pucuk pada kultur in vitro G.

  macrantha adalah akibat dari tingkat konsentrasi BAP yang tinggi di dalam medium kultur.

  Bersamaan dengan timbulnya vitrifikasi, gejala- gejala nekrosis daun juga muncul pada eksplan yang dikulturkan pada medium yang diperlakukan dengan BAP 4.44µ M dan 8.88µ M . Hasil ini konsisten dengan penelitian Arena dan Caso (1993) terhadap eksplan pucuk Prunus, di mana pemberian BAP pada konsentrasi 4.44µ M menghasilkan pucuk-pucuk yang mengalami vitrifikasi dengan nekrosis pada daun dan ujung-ujung muda. Pada Cydonia oblonga, Vinterhalter dan Nescovic (1992) melaporkan, bahwa terjadinya nekrosis berkaitan dengan tingginya konsentrasi BAP di dalam medium kultur. Fenomena ini merupakan masalah yang serius pada kultur in

  vitro C. oblonga , yang dapat menyebabkan matinya

  pucuk-pucuk muda ataupun terhambatnya pertumbuhan tunas-tunas aksilar. Dengan memperpendek masa subkultur dari 4 - 6 menjadi 3 minggu fenomena nekrosis ini dapat diatasi, namun sebagai konsekuensinya dihasilkan pucuk-pucuk dengan ruas yang pendek.

  Terlihat pada penelitian ini, bahwa BAP konsentrasi tinggi tidak hanya menghasilkan vitrifikasi dan nekrosis pada pucuk-pucuk muda tetapi juga menyebabkan pendeknya pucuk-pucuk yang dihasilkan yang berakibat menurunnya jumlah eksplan layak subkultur dan produksi setek mikro. Diduga, bahwa BAP 8.88µ M terlalu tinggi untuk pertumbuhan eksplan nodus tunggal G. macrantha. Sebagai konsekuensinya BAP 8.88µ M sangat mempengaruhi laju perbanyakan karena pucuk-pucuk terminal yang diregenerasikan memiliki ruas-ruas

  Buletin Agronomi Universitas Jambi (1996) 1(1):11-15

  Regeneration of Averrhoa carambola plants in vitro from callus cultures of seedling explants. Journal of Horticultural Science (68): 551-556. Arena, M.E. and Caso, O.H. 1993. Factors affect- ing in vitro multiplication of Prunus rootstock shoots. Horticultural Abstracts (Abstract 7365). Elliot, W.R. and Jones, D.L. 1990. Encyclopaedia of

  Mohamed, M.F., Coyne, D.P. and Read, P.E. 1993.

  Acer cultivars in vitro. Journal of Horticultural Science (69): 543-551.

  microplants and the fruiting capacity of their progeny. Journal of Horticultural Science (69): 625-637. Marks, T.R. and Simpson, S.E. 1994. Factors affecting shoot development in apically dormant

  in vitro and field behaviour of the obtained

  adenine levels and number of subcultures on the

  ananasa Duch.). Effect of mineral salts, benzyl-

  Micropropagation of strawberry (Fragaria x

  Portland, Oregon. Lopez-Aranda, J.M., Pliego-Alfaro, F., Lopez- Navidad, I. and Barcelo-Munoz, M. 1994.

  HortScience (28): 226. Kyte, L. 1983. Plant from test tubes: an introduction to micropropagation. Timber Press,

  Hosoki, T. and Tahara, Y. 1993. In vitro propagation of Salvia leucantha Cav.

  ings of the Third North American Strawberry Conference, Houston, Texas, 14-16 February 1990.

  The strawberry into the 21st century. Proceed-

  Australian plants. Vol. 5. Lothian Publishing Company Pty., Ltd., Melbourne. Greene, A.E. and Davis, T.M. 1990. Regeneration of Fragaria vesca plants from leaf tissue. In:

  Daftar Pustaka Amin, M.N. and Razzaque, M.A. 1993.

  yang sangat pendek sehingga sulit dipotong dan disubkulturkan. Kyte (1983) menyatakan, bahwa laju pertumbuhan jaringan yang dikulturkan dapat dirangsang dengan meningkatkan kadar sitokinin di dalam medium kultur, namun dapat pula menyebabkan turunnya panjang pucuk-pucuk yang dihasilkan. Bukti pada penelitian ini sama seperti yang ditemukan oleh Vinterhalter dan Neskovic (1992) pada Cydonia oblonga dan oleh Moretti et al. (1992) pada Pyrus, di mana BAP konsentrasi tinggi di dalam medium kultur dapat meningkatkan laju proliferasi, tetapi menurunkan jumlah pucuk dengan daun-daun normal. Sama halnya dengan Lopez- Aranda et al. (1994) menyatakan, bahwa pada kultur jaringan Fragaria, panjang pucuk-pucuk aksilar menurun secara nyata dengan meningkatnya kadar BAP di dalam medium kultur.

  Penulis mengucapkan terima kasih kepada Australian International Development Assistance Bureau (AIDAB) atas beasiswa yang diberikan dan kepada Dr. James Will dari Victorian College of Agriculture and Horticulture (VCAH), Burnley Campus, Melbourne atas dukungan laboratorium dan sarana penelitian yang disediakan.

  Ucapan Terima Kasih

  atau lebih dapat meningkatkan frekuensi vitrifikasi dan nekrosis.

  M

  2. Timbulnya vitrifikasi dan nekrosis pada pucuk- pucuk muda Guichenotia macrantha yang dikulturkan secara in vitro sangat dipengaruhi oleh kehadiran BAP di dalam medium kultur, di mana BAP konsentrasi 4.44µ

  BAP cenderung menghambat pembentukan kalus.

  M

  . Pada konsentrasi 8.88µ

  M

  pada konsentrasi 4.44µ

  macrantha sangat dipengaruhi oleh BAP sampai

  1. Induksi proliferasi kalus pada kultur jaringan G.

  Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  Kesimpulan

  Shoot organogenesis in callus induced from pedicel explants of common bean (Phaseolus

  Zulkarnain: Mikropropagasi Guichenotia macrantha Turcz. vulgaris L.). Journal of the American Society for Horticultural Science (118): 158-162.

  BAP 6.55 ab 2.22µ

  BAP 8.52 b 0.57µ

  M

  IAA + 4.44µ

  M

  BAP 7.51 b 5.71µ

  M

  M

  IAA + 2.22µ

  IAA + 4.44µ

  M

  BAP 6.36 ab 2.85µ

  M

  IAA + 2.22µ

  M

  BAP 6.19 ab 5.71µ

  M

  M

  IAA + 4.44µ

  M

  BAP 8.04 b Keterangan Tabel 1, 2 dan 3: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf  = 0,05 uji Studentisized.

  M

  BAP 7.67 b 2.22µ

  M

  BAP 1.91 a 4.44µ

  M

  IAA 4.77 a Tabel 3. Pengaruh BAP terhadap persentase pem- bentukan kalus Zat pengatur tumbuh Kalus (%) tanpa zat pengatur tumbuh 1.04 a 8.88µ

  IAA 4.73 a 5.71µ

  BAP 8.86 b 2.85µ

  M

  IAA 4.35 a 2.85µ

  M

  BAP 9.43 b Tabel 2. Pengaruh IAA terhadap persentase pem- bentukan kalus Zat pengatur tumbuh Kalus (%) tanpa zat pengatur tumbuh 3.84 a 0.57µ

  M

  IAA + 2.22µ

  M

  M

  M

  Moretti, C., Scozzoli, A., Pasini, D. and Paganelli, F.

  oblonga Mill.). Journal of Horticultural Science (67): 39-43.

  M

  Tabel 1. Pengaruh kombinasi IAA dan BAP terha- dap persentase pembentukan kalus Zat pengatur tumbuh Kalus (%) tanpa zat pengatur tumbuh 0.61 a 0.57µ

  Program, School of Agriculture and Forestry, The University of Melbourne, Australia. Tidak dipublikasikan.

  macrantha Turcz. Tesis pada Master Degree

  HortScience (15): 509-510. Zulkarnain. 1995. The application of plant tissue culture in the propagation of Guichenotia

  Werner, E. and Boe, A.A. 1980. In vitro propagation of Malling 7 apple rootstock.

  Vinterhalter, B. and Neskovic, M. 1992. Factors affecting in vitro propagation of quince (Cydonia

  M

  Song, W.S., Oh, S.D. and Park, E.H. 1991. In vitro propagation of yooza (Citrus junos Sieb. et Tanaka). II. Callus induction, somatic embryo- genesis and plant regeneration from shoot tip and immature ovule. Journal of the Korean Society for Horticultural Science (32): 206-215.

  A. 1992. Micropropagation: principles and commercial practice, pp. 130-149. In: Plant Biotechnology: Comprehensive Biotechnology Second Supplement. Fowler, M.W., Warren, G.S. and Moo-Young, M. (Eds.). Pergamon Press plc., Oxford, England.

  Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plants. Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, The Netherlands. Rice, R.D., Alderson, P.G., Hall, J.F. and Ranchhod,

  in vitro . Journal of the American Society for Horticultural Science (111): 976-980.

  1986. The influence of K, Mg and gelling agent concentrations on vitrification of apple cultivars

  Pasqualetto, P.L., Zimmerman, R.H. and Fordham, I.

  1992. In vitro propagation of pear cultivars. Acta Horticulturae (300): 115-118.

  IAA 0.61 a 2.85µ

  IAA + 8.88µ

  BAP 5.52 ab 0.57µ

  BAP 1.73 ab 2.85µ

  M

  BAP 3.59 ab 4.44µ

  M

  IAA + 8.88µ

  M

  IAA 2.32 ab 5.71µ

  M

  M

  M

  IAA + 8.88µ

  M

  BAP 1.73 ab 0.57µ

  M

  IAA 0.61 a 8.88µ

  M

  BAP 0.61 a 5.71µ

  1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi.