BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan - ANALISIS SUBORDINASI DALAM NOVEL TANAH TABU KARYA ANINDITA S. THAYF - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Penelitian dengan menggunakan pendekatan struktural untuk mengkaji

  novel memang telah banyak dilakukan. Pendekatan struktural sebagai pendekatan yang memahami karya sastra berdasarkan unsur-unsur pembangunnya, memang dapat digunakan dalam setiap penelitian sastra. Hal ini dikarenakan setiap karya sastra pasti memiliki struktur pembangun.

  Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, ada beberapa judul skripsi yang telah menggunakan pendekatan struktural untuk menganalisis novel.

  Pertama, skripsi berjudul “Tinjauan Novel Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari (Suatu Pendekatan Struktural)” oleh Priniati Lestari pada tahun 2001, dan kedua, skripsi dengan judul “ Kajian Struktural Novel Kemilau Kemuning Senja Karya Mira W” oleh Sabarini pada tahun 2004. Dalam kaitan itu, penulis menggunakan pendekatan struktural untuk meneliti novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf untuk mengidentifikasi praktik-praktik subordinasi yang terkandung di dalamnya.

  Novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf telah mendapat ulasan dari beberapa mahasiswa di universitas lain. Penulis menemukan beberapa situs internet yang memuat ulasan mengenai novel Tanah Tabu diantaranya “ Representasi Perempuan Pinggiran Dalam Novel Tanah Tabu Karya Anindita S.

  Thayf: Kajian Semiotik ” oleh Budiawan Dwi Santoso yang merupakan tesis di

  8 Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta (Santoso, 2010). Dalam tulisan ini, diungkapkan mengenai unsur-unsur yang membangun novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, mendeskripsikan representasi perempuan pinggiran pada novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Pertama, tema utama dari novel Tanah Tabu adalah penindasan perempuan pinggiran, yakni di Papua. Tema tambahan meliputi persahabatan, perjuangan perempuan dalam kehidupannya, kekerasan dalam rumah tangga, ketidakberdayaan perempuan, dan modernitas. Alur yang digunakan Anindita S. Thayf dalam novelnya adalah plot campuran. Tokoh utama adalah Mabel. Tokoh tambahan adalah Mace, Leksi, Yosi, Mama Helda, Tuan Piet, dan Nyonya Hermine, Pace Mauwe, Pace Johanis, Vic dan Ann, Pace Poro Boku, Mama Pembawa Berita (Mote), Pak Guru Wenas, Pace Gerson, Karel, Mama Kori. Kedua, representasi perempuan pinggiran dalam novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf meliputi perempuan pinggiran yang tertindas dalam hal patriarki, kapitalisme, dan militerisme; perempuan pinggiran yang tidak berdaya terhadap peristiwa kehidupan; resistensi perempuan pinggiran terhadap kesewenang-wenangan lelaki dan kapitalisme; perempuan pinggiran sebagai pekerja; keterbelakangan perempuan pinggiran dalam pengetahuan; perempuan pinggiran yang berkewajiban memegang teguh tradisi; perempuan pinggiran yang memiliki potensi dan prestasi; perempuan pinggiran yang kukuh dan tangguh; perempuan pinggiran sebagai anggota masyarakat yang melakukan tindakan negatif dan positif; serta perempuan pinggiran yang hidup sederhana. Hasil analisis semiotik

tersebut ditemukan bahwa representasi perempuan pinggiran didominasi oleh faktor indeks.

  “Tanah Tabu: Hanya Secuil Kisah Teriakan Kaum Hawa” oleh Frans Agung Setiawan yang mengungkapkan mengenai ketertindasan yang dialami oleh perempuan di tanah papua. Di sini diceritakan bahwa Anindita telah mencoba mengungkap tema tentang isu-isu sekitar masyarakat Papua, melalui kacamata tokoh-tokoh ’aku’ yang melaporkan dan menguping tentang segala hal. "Tokoh- tokoh ini bukan pria berotot, melainkan anak-anak dan kaum ibu yang mencoba bertahan dan memahami perubahan di tanah Papua. Oleh karena itu buku ini bisa membuka jendela kesadaran bahwa tidak jauh dari sini masih ada kaum tertindas yang butuh perhatian dan bantuan dari kita semua (Setiawan, 2009).

  Adapun analisis terhadap Novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf yang penulis temukan adalah “Tanah Tabu Dalam Kajian Feminisme” dianalisis oleh Arum Rini Asih untuk menyelesaikan gelar S1 nya di Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2010. Pada analisis tersebut penulis yaitu Arum mengungkapkan mengenai ketertindasan kaum perempuan dalam keluarga, bidang pendidikan, pemerintah, dan di bidang politik. Dalam pembahasan yang ditulis oleh Arum penulis tidak mendapati analisis terhadap subordinasi perempuan. Walaupun subordinasi mengarah kepada feminisme tetapi pada dasarnya keduanya berbeda pada hasil analisisnya. Pada skripsi yang berjudul “Tanah Tabu dalam kajian feminisme” yang ditulis oleh Arum, penulis hanya menemukan perjuangan-perjuangan kaum wanita karena penindasan yang mereka alami, kemudian muncul juga tokoh-tokoh yang profeminisme dan kontrafeminisme.

  Adapun pada penelitian ini, penulis akan memaparkan praktik-praktik subordinasi yaitu perempuann yang dinomorduakan oleh kaum laki-laki dan dianggap tidak penting. Praktik-praktik subordinasi ini dikhususkan hanya pada perlakuan laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai subordinat saja. Dengan demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian ini justru akan memperkaya dan melengkapi penelitian terdahulu.

B. Struktur Novel

  Eksistensi dari karya sastra di tengah masyarakat tidak lepas dari pengakuan masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan karya sastra tetap eksis di tengah masyarakat diperlukan adanya kompleksitas di dalam karya sastra tersebut. Hal inilah yang dijadikan sebagai pijakan awal bahwa masyarakat adanya karya sastra.

  Karya sastra hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang kompleks dan otonom, yang menuntut pemahaman melalui keseluruhan dari struktur beserta transformasinya. Hal ini menjadi dasar pemikiran strukturalisme sebagai gerakan otonom (Suwondo dalam Jabrohim (ed.), 2001:55). Adapun hubungan antara karya sastra dengan bagian keseluruhan lain tetap menjadi bagian dari penting karena pemahaman ini meneliti secara keseluruhan unsur-unsurnya.

  Struktural adalah konsep yang memandang sesuatu berdasarkan unsur- unsurnya. Adapun strukturalisme adalah suatu paham yang menitikberatkan perhatiannya terhadap struktur yang terkandung di dalam teks. Teks, dalam hal ini, menjadi objek yang dapat diteliti maknanya secara tebuka, yang saling terjalin antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya (Nurgiyantoro, 2002:37).

  Karya sastra diperlukan sebagai teks terbuka, maka makna karya itu tidak bersifat tunggal, melainkan multi-interpretasi yang akan mengungkapkan kekayaan makna yang bersangkutan (Mahayana, 2005:52). Dalam kaitan ini, telah dipahami bahwa setiap karya sastra (baca: novel) memiliki unsur-unsur yang melingkupinya. Unsur-unsur yang melingkupi inilah yang menjadikan karya sastra, dalam hal ini novel, memiliki kemandirian sebagai teks. Pendekatan struktural memandang bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang saling terkait antar unsurnya sehingga menghasilkan makna yang menyeluruh.

  Dalam analisis struktural tidak hanya sekadar menjelaskan pengertian tokoh, penokohan, alur dan setting. Artinya analisis struktural dalam novel tidak hanya menyebut siapa tokohnya, bagaimana penokohannya, bagaimana alurnya dan di mana settingnya? Unsur-unsur itu saling terkait dan terjalin untuk mewujudkan makna agar memberikan pencerahan terhadap pembaca.

  Bentuk keterkaitan dan keterjalinan dalam novel mengarahkan pembaca mengenai suatu realitas yang dibangun oleh pengarang secara fiktif. Bentuk penceritaan yang naratif mengenai konflik-konflik yang menimpa tokoh, sehingga menjadikannya terbelenggu suatu permasalahan kehidupan, menjadi rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Satu kesalahan yang sering terjadi dalam analisis karya sastra adalah adanya pembatasan terhadap struktur teks itu sendiri. Oleh karena itu, ketika menganalisis melalui pendekatan strukturalisme, penulis yang menitikberatkan perhatian pada masalah subordinasi perempuan, tidak ada pembatasan unsurnya. Meskipun penulis meneliti subordinasi perempuan, tetapi unsur-unsur tokoh, penokohan, alur dan setting tetap menjadi perhatian dalam penelitian ini. Unsur-unsur dalam dan luar karya sastra tidak dapat dipisahkan begitu saja karena keduanya penting sebagai unsur yang menyatukan suat teks.

  Apabila penelitian melalui pandangan struktural hanya mencari tokoh, penokohan, alur dan setting secara dikotomik, maka interpretasi terhadap karaya sastra itu tidak dihadirkan untuk masyarakat. Dalam hal ini, penelitian terhadap karya sastra adalah penilaian terhadap keunikan dan kebaruan yang terkandung di dalamnya sehingga memberikan pencerahan bagi pembaca yang awam. Suatu penelitian haruslah menemukan sesuatu yang baru, sekaligus bermanfaat bagi publik. Oleh karena itu, suatu analisis perlu menjalin permasalahan antara hal-hal yang terkandung di dalam teks sehingga pemahaman dapat mengungkapkan mengenai realitas di dalam fiksi. Realitas di dalam fiksi, yakni ilusi kenyataan dan kesan meyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca, hal itu tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari (Wellek dan Werren, 1993:278).

  Adapun unsur intrinsik yang akan diuraikan dalam landasan teori adalah sebagai berikut.

1. Tokoh

  “Bentuk penokohan yang paling sederhana di dalam novel adalah pemberian nama”. Nama-nama di dalam novel dipilih oleh pengarang dengan cermat sekali. Hanya saja, penokohan juga dapat menggunakan kata ganti orang, tergantung pengarang menyikapi sudut pandangnya.

  Pelaku-pelaku dalam sebuah novel dapat dibagikan menurut kelompok- kelompok sebagai berikut: tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2002:177).

  Tokoh utama juga mengarah kepada mereka yang melawannya, mereka yang membantunya, dan seterusnya. Pembagian menurut kelompok-kelompok didasarkan atas kaitan atau hubungan. Antara pelaku utama dan pelaku pendukung terdapat hubungan asosiasi (bantuan, dukungan, kepentingan bersama), antara pelaku utama dan para lawan hubungan oposisi. Hubungan tersebut bersifat tetap, artinya tidak tergantung pada sebuah novel tertentu (Luxemburg, (e.d), 1984:36).

2. Penokohan

  Dalam novel, pengarang menggunakan beberapa teknik pelukisan tokoh, seperti: teknik ekspositori atau teknik analitis, teknik dramatik, dan teknik campuran. Teknik analitik adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung. Teknik dramatik adalah pendeskripsian cerita secara eksplisit mengenai sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh (Nurgiyantoro, 2002:195-198). Adapun teknik campuran dengan menggabungkan kedua teknik tersebut dalam penceritaan.

  Penokohan dalam novel dapat dijadikan analisis untuk menentukan ideologi dari suatu masyarakat. Misalnya, tokoh bernama Suparno, Supangat, dan Sutrisno, dengan jelas menceritakan orang yang masih sangat kental dengan nilai jawa. Hal ini memberikan ilustrasi mengenai identitas orang berdasarkan struktur masyarakatnya.

3. Alur

  Alur adalah struktur naratif itu sendiri yang terbentuk atas sejumlah struktur yang lebih kecil. Hal itu didasarkan pada hakekat novel yang menggunakan penceritaan dari satu kisah ke kisah yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa alur adalah jalannya cerita.

  Pandangan-pandangan mengenai alur tersebut secara esensinya sebenarnya sama, yakni ingin mengungkapakan jalinan peristiwa yang terkandung dalam novel. Jalinan peristiwa tersebut ada yang lurus (terus) maju, ada yang justru mundur, dan ada yang campuran. Selain itu alur juga bibedakan berdasarkan kriteria padat atau tidaknya pengembangan dan perkembangan cerita pada sebuah karya fiksi. Peristiwa demi peristiwa yang dikisahkan mungkin berlangsung susul-menyusul secara cepat, ini yang dinamakan alur padat. Adapun alur longgar yaitu pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat di samping hubungan antar peristiwa tersebut pun tidaklah erat benar. Artinya, anatar peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa “tambahan”, atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana, yang semuanya dapat membperlambat ketegangan cerita (Nurgiyantoro,2002:160).

  Alur dalam karya sastra juga ditentukan oleh rangkaian kejadian dari waktu ke waktu. Biasanya kaidah pemplotan ini menggunakan kaidah plausibilitas, yaitu pengungkapan cerita dengan mengacu pada kehidupan sehari- hari karena ada keterkaitan di dalamnya (Nurgiyantoro, 2002:130).

4. Latar

  Latar adalah suatu tempat atau kejadian mengenai suatu peristiwa. Latar merupakan “lingkungan, dan lingkungan terutama interior rumah dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya” (Nurgiyantoro, 2002:241). Adanya latar ini mempertegas suatu kejadian mengenai realitas yang dipresentasikan oleh karya sastra.

  Latar ada tiga macam, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar soaial. Latar tempat adalah latar yang mengungkapkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar waktu adalah latar yang berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar sosial adalah latar yang mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam novel.

  Analisis struktural selalu memosisikan teks itu memiliki unsur yang terkait. Unsur seperti tokoh, penokohan, alur dan setting juga masih terkait dengan unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur dari luar teks yang muncul sebagai nilai. Unsur ekstrinsik dapat berupa nilai psikologi, nilai agama, nilai edukasi ataupun nilai sosial. Kebanyakan karya sastra lebih kuat dalam nilai sosialnya karena seorang pengarang berada ditengah realitas dan berusaha untuk menuliskannya. Dalam beberapa belakangan ini banyak karya sastra yang memunculkan masalah gender sebagai unsur penarik pada teks tersebut.

  Fenomena gender dalam karya sastra dapat dicari berdasarkan keterkaitan yang melingkupinya.

C. Teori Gender

  Menurut Rampan (dalam Sugihastuti dan Itsna hadi, 2007:82), penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-mmasing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin di antara seluruh anggotanya. Secara sederhana, karya sastra menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin di antara keduanya merupakan tema yang menarik untuk dikaji sebab menyangkut hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda, yang membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik secara sosial maupun budaya.

  Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, hubungan antara laki-laki dan perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang mencerikan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap kedudukan tiap-tiap jenis kelamin (Sugihastuti dan Itsna Hadi, 2007:82). Proses ini dikuatkan oleh realitas banyak kebudayaan bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan perempuan. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup pergaulan sosial yang lebih luas seperti kelompok masyarakat.

  Hal ini terus terjadi dan seolah-olah dilegakan oleh konstruksi kebudayaan setempat. Proses yang berulang akhirnya banyak membentuk pandangan negatif tentang kaum perempuan yang diantaranya meliputi fungsi, peran, dan kedudukan mereka dalam kehidupan bermayarakat. Salah satunya ialah stereotip bahwa perempuan merupakan kaum yang lemah, sedangkan laki-laki ialah kaum yang kuat (Sugihastuti dan Itsna Hadi, 2007:83). Berdasarkan hal tersebut, perempuan memiliki kecenderungan yang kuat untuk bergantung kepada laki-laki. Sebaliknya, laki-laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, dan sistem pembagian kerja.

  Ketika membahas masalah perempuan, satu konsep penting yang tidak boleh dilupakan ialah konsep gender.

  Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.

  Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain (Junaidi, 2011)

  Istilah gender berasal dari bahasa Inggris, yang berarti “jenis kelamin”, sehingga untuk memahami konsep gender perlu dibedakan pengertian antara sex dan gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis, sedangkan gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Gender adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Definisi gender dari aspek kultural ini diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Kadarusman, 2005:19).

  Definisi gender secara sosiologis merupakan model hubungan sosial yang terorganisasi antara perempuan dan laki-laki tidak semata-mata hubungan personal atau kekeluargaan, tapi meliputi institusi sosial yang lebih besar seperti kelas sosial, hubungan hierarkis dalam organisasi dan struktur pekerjaan (Ridjal, Margiyani dan Husein, 1993:29)

  Menurut Jill Steal, dalam (Kadarusman, 2005:20) term gender tidak ditujukan kepada perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, tetapi merupakan hubungan ideologis dan material tentang eksistensi keduanya. Begitupula term maskulin dan feminim bukan merupakan bawaan alami melainkan terminologi gender.

  Berdasarkan berbagai pemahaman di atas, gender secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu konsep kultural yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dipandang dari segi sosial budaya yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, relasi gender bukan merupakan akibat dari perbedaan biologis.

  Dalam budaya patriarkal, perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Tugas perempuan seperti memasak di dapur, berhias untuk suami dan mengasuh anak serta pekerjaan domestik lainnya merupakan konsekuensi dari jenis kelamin. Tugas domestik perempuan tersebut bersifat abadi sebagaimana keabadian identitas jenis kelamin yang melekat pada dirinya.

  Pemahaman ini berawal dari kerancuan paradigma tentang perbedaan gender dan sex. Sesungguhnya, gender dan seks itu berbeda. Menurut Fakih (dalam Elis (e.d), 2002:7) Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek soaial dan budaya. Sementara perbedaan seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan secara anatomis atau biologis.

  Gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas. Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

  Peran gender bersifat dinamis, dipengaruhi oleh umur (generasi tua dan muda, dewasa dan anak-anak), ras, etnik, agama, lingkungan geografi, pendidikan, sosial ekonomi dan politik. Oleh itu, karenanya perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, sumberdaya alam dan politik termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program struktural (structural

  adjustment program ) maupun pengaruh dari kekuatan-kekuatan di tingkat

  nasional dan global (Junaidi, 2011) Pembedaan inilah yang mengakibatkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi dan kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.

  Contoh dari diskriminasi tersebut adalah marginalisasi perempuan di sektor ekonomi, subordinasi perempuan dalam keputusan politik, kekerasan terhadap perempuan, distribusi beban kerja yang tidak adil, serta minimnya sosialisasi ideologi nilai peran gender (Kadarusman, 2005:22).

  Dari sini telah terjadi pergeseran relasi gender yang semula merupakan inteaksi social yang setara antara laki-laki dan perempuan bergeser menjadi hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Dalam proses yang panjang, hegemoni laki-laki atas perempuan telah memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum dan sebagainya. Hegemoni ini tersosialisasi secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Hegemoni laki-laki dalam masyarakat tampaknya menjadi fenomena universal dalam sejarah peradaban manusia di masyarakat mana pun di dunia ini. Fenomena ini yang banyak membuat perempuan berada dalam posisi tersubordinasi.

D. Subordinasi

  Subordinasi ialah sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain. Ini mempunyai pendapat bahwa lelaki mempunyai lebih unggul. Hal ini berkeyakinan bahwa kalau ada laki laki kenapa harus perempuan (Junaidi, 2011)

  Subordinasi juga memiliki arti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.

  Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestik dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi publik laki-laki. Sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domestik dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung.

  Contoh : Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran

   pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki. Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang,

   karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak. Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik

   (anggota legislative dan eksekutif ). (Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, 2010).

  Hal tersebut juga menimbulkan presepsi atau anggapan masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, akibatnya ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis ( second person atau subordinasi perempuan) (Prodi Kesmas FKK-UMJ, 2006).

  Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan tidak begitu diprioritaskan dalam ranah publik, perempuan dianggap remeh dibanding laki-laki yang selalu dianggap penting dalam setiap perannya. Seperti yang dipaparkan Relawati (dalam Konsep dan Analisis Penelitian Gender, 2011:9) Subordinasi adalah anggapan posisi salah satu pihak berada di bawah atau menjadi tidak penting dibandingkan pihak lain. Perempuan tersubordinasi dari laki-laki berarti perempuan mempunyai posisi tidak penting dibandingkan laki-laki yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Subordinasi juga terjadi pada berbagai kepentingan publik. Mulai dari tingkat desa hingga pemerintah pusat maka pembahasan rencana program pembangunan didominasi peran laki-laki.

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perempuan seolah-olah tidak penting untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan urusan pembangunan masyarakat dan bangsa. Padahal pembangunan sendiri merupakan kepentingan laki-laki dan perempuan bersama-sama.