DPPM and MTS UII OPTIMALISASI PERAN KELU (1)
DPPM & MTS UII
OPTIMALISASI PERAN KELUARGA SEBAGAI STRESS BUFFER
DALAM MENGHADAPI BENCANA
Rumiani
Program Studi Psikologi, Universitas Islam Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki efektivitas dari Family Strengthening Training
terhadap pemberian dukungan sosial di kalangan keluarga penyitas (survivor) warga
Kaliadem, Merapi yang saat ini berada di Barak Kepala Desa Sariharjo. Hipotesa yang
diajukan adalah pertama,ada peningkatan pemberian dukungan sosial setelah mendapatkan
family strenthening training. Kedua, ada perbedaan pemberian dukungan sosial antara
kelompok eksperimen dan kontrol.Subyek penelitian ini adalah 19 orang penyitas Merapi.
Berlin Social Support Scale digunakan untuk pengambilan data. Tiga aspek dalam skala ini
adalah pemberian dukungan emosional, informatif dan instrumental. Analisis Statistik paired
sample menemukan t = - 3, 439 dengan p 0,008 (p0,05) sehingga hipotesa kedua ditolak.
Kata kunci: family strengthening training, pemberian dukungan sosial, penyitas Merapi
PENDAHULUAN
Permasalahan yang dihadapi pengungsi dampak erupsi Merapi sebagaimana survivor
(penyitas) bencana bervariasi. Hilangnya rumah dan ternak meski merupakan
kehilangan yang bermakna namun jika dapat disikapi secara arif maka tidak akan
berdampak psikologis yang parah. Dampak psikologis korban bencana menurut
Parkinson (2000) seringkali tetap berlangsung meski bencana sudah berakhir. Hal ini
mengindikasikan bahwa dampak psikologis ada yang bersifat laten. Laten berarti
dampaknya tidak langsung tampak pada saat bencana namun, laten juga dapat berarti
gangguan psikologis muncul dalam bentuk-bentuk simtom-simtom fisik. Hal ini sejalan
apa yang dinyatakan oleh Taylor (2000) bahwa adanya kondisi psikologis yang tertekan
(stres, trauma) dapat teramati dari dilaporkannya gejala fisik. Sebagaimana data
surveilance per 4 Nopember 2010 yang menyebutkan penyakit-penyakit yang diderita
pengungsi antara lain, hipertensi primer, ISPA, Flu, Gastritis, Myalgia, insomnia,
chepalgia (http://bencana-kesehatan.net/kegiatan/surveilans/167-laporan-tim-surveilans4-november-2010.html).
Data asesmen awal pada bulan Nopember 2010 terhadap pengungsi di Sariharjo
sebagian warga merasa takut apabila mendengar suara gemuruh atau suara yang
diidentikkan dengan suara gemuruh gunung Merapi. Demikian pula sebuah Focussed
Group Discussion (FGD) pada pengungsi Merapi, warga Kaliadem yang berada di
Barak pengungsian Balai Desa Sariharjo pada 20 Nopember 2010 terungkap bahwa para
pengungsi masih merasa trauma (sumber : FGD 1). Dampak trauma psikologis bencana
juga dapat berupa indecisiveness yaitu ketidakmampuan penyitas untuk mengambil
keputusan. Hal ini seringkali berkaitan dengan kemampuan penyitas untuk memusatkan
perhatian (Siegel&Solomon, 2003). Goleman (1995) menyebutkan ini sebagai
emotional hijacking atau pembajakan emosional sehingga membuat seseorang
mengalami hambatan untuk mengoptimalkan kinerja kognitif atau rasionya.
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 44
DPPM & MTS UII
Kondisi psikologis yang tertekan (stres)sebagai dampak bencana yang dialami
seseorang tidak semuanya memunculkan gangguan psikologis. Menurut Taylor (2000)
disamping kemampuan seseorang untuk menghadapi (coping) terhadap stres, faktor
yang cukup penting untuk meningkatkan resiliensi terhadap stres adalah dukungan
sosial (social support). Secara fitrah, manusia didesain untuk hidup bermasyarakat.
Dimensi dukungan sosial sangat luas namun Bronfenbrenner menyebutkan lapis
terdekat setiap orang adalah mikrosistem yaitu keluarga (dalam Bee & Boyd, 2007). Hal
ini berarti bahwa keluarga adalah tameng (buffer) terhadap kondisi psikologis
seseorang. Dukungan sosial dari keluarga akan dipengaruhi seberapa tangguh keluarga
tersebut. Dukungan sosial juga tampak dari social bonding, sebagaimana ungkapan
pengungsi di Balai Desa Sariharjo yang mengungkapkan bahwa mereka masih merasa
senang karena masih tinggal bersama warga satu dusun (dusun Kaliadem). Hal ini
membuktikan bahwa dukungan sosial dapat memberikan ketenangan psikologis dalam
menghadapi situasi yang berat seperti bencana erupsi Merapi kali ini. Sebuah contoh
yang bertolak belakang dengan kenyataan di atas adalah sebuah laporan LSM yang
membantu di Barak Sariharjo sebagai berikut: seorang anak yang bertanya kepada
ibunya apakah sepeda yang dimilikinya rusak karena awan panas? Oleh sang ibu
dijawab ya, padahal sepeda anak tersebut tidak rusak. Ini mengindikasikan bahwa ibu
tersebut tidak menunjukkan dukungan yang dibutuhkan oleh anaknya.
Keluarga dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang tinggi tanpa pernah
diselesaikan diragukan untuk bisa menyediakan dukungan yang diperlukan bagi anggota
keluarganya. Olson & De Frain (2003) menyebutkan keluarga yang chaos (chaotic
family) adalah keluarga yang rapuh sehingga tidak mampu menjadi buffer bagi anggota
keluarganya. Keluarga yang chaos ini biasanya akan membentuk anggota keluarga yang
bermasalah. Hal ini diperkuat oleh beberapa studi diantaranya Campbell (1997),
Greenberg, Speltz dan Deklyen (1993), Patterson, DeBaryshe dan Ramsey (1989),
Campbell (1995), Greenberg, et al (1993), Patterson, et.al. (1989), Shaw, Keenan dan
Vondra (1994), Gardner, (1987) yang menemukan keterkaitan antara faktor dalam
keluarga dalam memunculkan perilaku perilaku bermasalah pada anak (dalam Keown
& Woodward, 2002). Sebaliknya apabila keluarga penyitas dibantu untuk memperkuat
keluarga maka akan dapat meningkatkan dukungan sosial terhadap keluarganya
sehingga dapat menjadi stress buffer.
Kondisi tertekan (stressed) menurut Taylor (2000) dapat dipengaruhi antara lain
kemampuan coping dan dukungan sosial. Ketersediaan dukungan sosial menumbuhkan
perasaan diperhatikan, dicintai, dihargai, dan dan dipercaya oleh orang lain. Menurut
House (dalam Taylor, 2000) mendefiniskan dukungan sosial sebagai sebagai transaksi
interpersonal yang melibatkan satu atau lebih aspek-aspek informasi, emosional dan
instrumental. Schwarzer & Schultz (2000) mengembangkan Berlin Social Support Scale
untuk mengukur aspek perilaku dan kognisi dukungan sosial, bagaimana fungsi
dukungan sosial dalam situasi yang penuh dengan tekanan.
Menurut Taylor (2000), sumber-sumber dukungan sosial dapat diperoleh dari pasangan
(suami atau istri), anak-anak atau anggota keluarga lain, teman, professional, komunitas
atau masyarakat, atau dari kelompok dukungan sosial. Bronfenbrenner dengan
pendekatan ekosistemnya menjelaskan bahwa keluarga merupakan lapis mikrosistem.
Lapis mikrosistem adalah lapis pengaruh yang terdekat dan signifikan terhadap
perkembangan seseorang (Bee dan Boyd, 2003). Hal ini berarti bahwa pemberian
dukungan dari keluarga memiliki peranan yang penting dalam membentuk
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 45
DPPM & MTS UII
perkembangan normal seseorang. Namun, tidak semua keluarga dapat memberikan
dukungan kepada anggota keluarga lainnya. Keluarga yang rapuh, chaos penuh dengan
konflik dan stres tentunya akan sangat sulit untuk menyediakan dukungan bagi anggota
keluarga lainnya.
Keluarga yang kuat menurut Olson & De Frain (2003) menyatakan bahwa keluarga
yang kuat mampu mengelola kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan cara yang
bervariasi, kreatif. Ini menunjukkan bahwa keluarga yang kuat, bukanlah keluarga tanpa
masalah namun keluarga yang tahan banting cenderung mampu menyelesaikan
permasalahan yang ada. Karakteristik dari keluarga yang kuat ini cenderung mampu
melihat sisi positif dari suatu permasalahan, membangun kebersamaan dan komunikasi
yang efektif, fleksibilitas dan mengalokasi waktu bersama. Usaha usaha yang dapat
dilakukan untuk mengoptimalkan peran keluarga sebagai buffer adalah dengan
konseling, family therapy atau pelatihan yang di desain khusus. Peneliti mengajukan
Family Strengthening Training untuk meningkatkan peran keluarga sebagai buffer. Halhal yang dapat meningkatkan kekuatan keluarga menurut Olson & De Frain (2003)
adalah kasih sayang, saling menghargai, memiliki waktu bersama, saling menguatkan,
komitmen, komunikasi, kesiapan menghadapi Perubahan, spiritualitas, komunitas &
ikatan keluarga, peran yang jelas. Melalui pelatihan penguatan keluarga (Family
Strengthening Training) diharapkan akan mengoptimalkan peran keluarga untuk
memberikan dukungan sosial yang diberikan kepada anggota keluarganya. Selanjutnya
dampak psikologis yang berkepanjangan akibat bencana dapat diminimalisir.
Studi tentang family strengthening training sejauh pengetahuan penulis memang masih
terbatas. Pelatihan ini didesain oleh tim dosen Program Studi Ilmu Psikologi Universitas
Islam Indonesia. Pelatihan ini berisi : menemukan cinta, memelihara dan
mempertahankan cinta serta resolusi konflik. Basis teori pengembangan modul ini
adalah teori Olson & De Frain (2003) mengenai karakteristik keluarga yang kuat yaitu
cenderung mampu melihat sisi positif dari suatu permasalahan, membangun
kebersamaan dan komunikasi yang efektif, fleksibilitas dan mengalokasi waktu
bersama.
Efektivitas modul family strengthening training dilakukan oleh Zwagery (2009).
Melalui penelitiannya tersebut Zwagery (2009) menemukan family strengthening
training cukup efektif untuk meningkatkan keberfungsian keluarga kepada ibu orang tua
tunggal dan secara spesifik adalah mengalami perceraian.
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 46
DPPM & MTS UII
-
Family
strengthening
training
-
-
-
Menyadarkan kembali
akan tujuan dalam
berumah tangga serta
tanggung jawab kepada
keluarga
Menyadarkan akan makna
cinta dan syukur dalam
memperkokoh keluarga
Menumbuhkan keikhlasan
dalam melayani keluarga
Memberikan ketrampilan
strategi dalam
menghadapi konflik
keluarga
Memahamkan perubahan
psikologi dalam
menghadapi perubahan
(termasuk bencana) serta
memberikan ketrampilan
meredakan kecemasan dan
stres sebagai reaksi
terhadap perubahan .
Pe
ran
kelu
Pemberian
dukungan arga
sosial
Stresor:
bencana alam,
kehilangan,dll
opti
mal
Stress buffer
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki efektivitas dari Family Strengthening
Training terhadap pemberian dukungan sosial di kalangan keluarga penyitas (survivor)
warga Kaliadem, Merapi. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
membantu mengurangi dampak psikologis bencana yang berkepanjangan. Selain
berperan sebagai kuratif dalam hal memperkuat ikatan keluarga dan meningkatkan
dukungan sosial, penelitian ini juga dapat menjadi tindakan prevensi terhadap
kemunculan gangguan psikologis yang lebih berat di masa mendatang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian ekperimental dengan melibatkan 2 variabel yaitu
variabel bebas adalah family strengthening training dan variabel tergantung adalah
pemberian dukungan sosial. Pemberian dukungan sosial merupakan pemberian
dukungan/sokongan dari keluarga kepada anggota keluarga lainnya dalam hal dukungan
informasi, emosional (Haus dalam Smet,2004). Variabel ini akan diukur dengan skala
pemberian dukungan sosial. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka menunjukkan
tingginya pemberian dukungan sosial keluarga kepada anggota keluarga lainnya. Skala
yang digunakan adalah skala pemberian dukungan sosial yang merupakan adaptasi dari
Berlin Social Support Scale. Uji coba terpakai menemukan koefisien reliabilitas sebesar
0,75217
Penelitian eksperimen ini akan menggunakan two groups pre-post design. Myers &
Christine (2003) menyatakan bahwa rancangan ini akan melibatkan 2 kelompok subyek
yang diberikan perlakuan yang berbeda. Desain penelitian tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
KE : O1
X O2
O3
KK : O1
O2
O3
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 47
DPPM & MTS UII
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan paired sample t-test dan
indepedent sample t-test. Disamping itu analisa terhadap data-data kualitatif dilakukan
untuk memperkuat temuan-temuan statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji asumsi dilakukan terlebih dahulu untuk untuk mengetahui normalitas sebaran data.
Uji normalitas kelompok eksperimen menunjukkan K-S= 0.867 dengan p= 0.440 yang
berarti distribusi data tersebut adalah normal. Uji asumsi kedua dilakukan untuk
mengetahui homogenitas subyek penelitian diperoleh F=0.092 dengan p =0,942
(p>0.05). Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan teknik paired sample t-test
pada kelompok ekperimen. Sebaran data pada skala pemberian pretes dan post test
tersaji pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1 Sebaran Data Pretest dan Post Kelompok Eksperimen
Gambar 2 Sebaran Data Pretest dan Post Kelompok Kontrol
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 48
DPPM & MTS UII
Tabel 1 Deskripsi data penelitian
KELOMPOK
Rerata
Std.
Kesalahan
36,000
,770
34,375
37,625
2
1
40,800
,975
38,743
42,857
30,889
,812
29,176
32,602
2
35,333
1,028
33,165
37,502
Pengukuran
kelompok
kontrol
1
kelompok
eksperimen
95% Interval
Kepercayaan
Batas
Batas Atas
Bawah
Melalui proses analisis data pretes dan post test dengan teknik paired sample pada
kelompok eksperimen ditemukan nilai t = - 3, 439 dengan p 0,008 (p0,05) sehingga hipotesa ditolak.
DISKUSI
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hipotesa pertama yang menyatakan bahwa ada
peningkatan pemberian dukungan sosial setelah mendapat perlakuan yaitu family
strengthening training dapat diterima. Temuan ini memperkuat temuan sebelumnya
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 49
DPPM & MTS UII
misalnya adalah Zwagery (2009). Zwagery menemukan bahwa family strengthening
training mampu meningkatkan fungsi keluarga dengan orangtua bercerai. Pelatihan ini
juga memasukkan materi kesabaran sebagai bagian dari training ini. Sejalan dengan
temuan awal dari Uyun (2009) yang menemukan bahwa kesabaran menjadi variabel
yang berperan dalam meningkatkan resiliensi terhadap dampak gempa bumi. Olson &
DeFrain (2003) menyatakan bahwa program-program bagi orang tua dalam bentuk
parenting atau program peningkatan peran keluarga sangan diperlukan untuk membantu
orangtua menghadapi tantangan dalam keluarga.
Peningkatan pemberian dukungan sosial disajikan pada bagian berikut ini:
Gambar 3 Profil Peserta Sum
Data kualitatif terhadap refleksi perasaan Subyek Sum adalah ia merasa sedih karena
berada di pengungsian terus dan sedih memikirkan masa depan anak. Pada refleksi
setelah pelatihan Sum menyatakan bahwa ia merasa senang dan merasa lega, bentuk
dukungan yang akan diberikan adalah meningkatkan keikhlasan dan cinta tidak
bersyarat. Cinta tidak bersyarat menurut Rogers (Allen, 2003) adalah penerimaan tidak
bersyarat yang positif (uncondiotional positive regard). Sikap ini dimiliki oleh orang
yang matang dan telah menerima kondisi dirinya sendiri sehingga ia pun siap untuk
memberikan cinta tidak bersyarat kepada keluarganya meski dalam situasi sebagai
korban bencana.
Ibu SW dalam refleksi awal perasaannya adalah merasa bingung,pusing memikirkan
bagaimana masa depan anak-anaknya. Namun, setelah partisipasinya pada penelitian
ibu SW menyatakan ia merasa senang. Bentuk dukungan yang diberikan adalah
memberikan nasehat kepada anak dengan cara yang lebih baik dan kepala dingin.
Peningkatan skor yang diperoleh ibu SW pada skala pemberian dukungan adalah dari 30
menjadi 38. Schwarzer & Schultz (2003) menyatakan bahwa bentuk dukungan sosial
yang diberikan kepada anak atau pasangan adalah emotional support dimana ibu
mampu memberikan kehangatan dan kenyamana emosional.
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 50
DPPM & MTS UII
Ibu FH mengalami peningkatan yang cukup tajam pada skala pemberian dukungan yaitu
dari 30 menjadi 43. Pada awal refleksi ibu FH menyatakan bahwa ia merasa sedih
karena kehilangan harta benda dan jenuh karena hidup di pengungsian yang cukup
lama. Pada refleksi akhir ia menyatakan senang karena dapat berbagi. Bentuk dukungan
sosial yang akan diberikan kepada keluarga adalah bersikap lebih sabar, mengalah dan
lebih mencintai keluarga. Pernyataan ibu FH tersebut mengindikasikan bahwa pelatihan
ini dapat menjadi ajang berbagi sehingga mampu memberikan motivasi. Program
seperti ini menurut Gordon dapat menyediakan dukungan bagi ibu secara tidak langsung
akan membantu anak dalam menyelesaikan masalah (McDermott, 2008).
Ibu Pit mengalami peningkatan skala pemberian dukungan dari 29 menjadi 34. Refleksi
awal adalah perasaan sedih karena kehilangan rumah,ternak, anak yang rewel. Ia
berandai-andai kapan punya rumah lagi dan kapan dapat hidup normal kembali. Ibu Pit
menyatakan keinginannnya untuk meningkatkan ketentraman dan kesabaran dalam
keluarga dalam menghadapi cobaan. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan ini
membantu subyek untuk menyadarkan tentang pentingnya keluarga dalam menghadapi
tantangan hidup seperti dampak bencana.
Hipotesa kedua yang menyatakan bahwa ada perbedaan pemberian dukungan sosial
antara kelompok yang mendapatkan family strengthening training dan kelompok yang
tidak mendapatkan family strengthening training ditolak. Tidak terbuktinya hipotesa ini
disebabkan oleh beberapa hal antara lain skor pretes skala pemberian dukungan sosial
pada kelompok kontrol secara umum lebih tinggi dari rerata kelompok eksperimen.
Bahkan peningkatan skor pada kelompok eksperimen tidak bisa melampaui rerata pada
kelompok kontrol.
Penelitian eksperimen terutama lapangan (non laboratoirum) merupakan penelitian yang
sensitif dengan kemunculan extraneous variabel yang dapat mengancam validitas
penelitian (Myers & Christie, 2003). Beberapa variabel pencemar yang ditemukan
dalam penelitian ini antara lain interaksi antara kelompok eksperimen dan kontrol
karena subyek tinggal dalam satu barak pengungsian. Interaksi ini menyebabkan antar
kelompok dapat menceritakan mengenai isi pelatihan. Variabel pencemar lainnya adalah
perlakuan lain yang diterima selain pelatihan family strengthening (carry over effects).
Informasi dari subyek kelompok kontrol bahwa sebelum mengikuti pelatihan family
strengthening, peserta telah mengikuti pengajian.
Meski ditemukan tidak ada perbedaan pemberian dukungan sosial berdasarkan
perubahan isi refleksi perasaan dapat diketahui bahwa kelompok eksperimen relatif
mengalami perubahan dibandingkan refleksi kelompok kontrol. Kelompok kontrol pada
refleksi menunjukkan bahwa peserta masih mengalami kesedihan. Perasaan sedih dan
pesimis menurut Taylor (2000) dapat menjadi indikasi ketidaksiapan seseorang untuk
memberikan dukungan sosial.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat ditemukan bahwa ada peningkatan pemberian
dukungan sosial pada kelompok yang mendapatkan family strengthening training.
Namun perbedaan pemberian dukungan sosial antara kelompok yang mendapatkan
perlakuan dan yang tidak mendapatkan perlakuan tidak tebukti. Namun penelitian ini
memberikan insight bahwa dukungan sosial adalah moderator kondisi stres, apabila
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 51
DPPM & MTS UII
dukungan sosial tidak tersedia atau tersedia namun tidak cukup memadai maka kondisi
membuka peluang untuk mengalami stres yang lebih berat bagi anggota keluarga
lainnya. Secara tidak langsung penelitian ini menekankan pentingnya pemberian
dukungan sosial dalam keluarga sebagai wujud optimalnya fungsi keluarga untuk
meningkatkan stress buffer.
Saran yang dapat diajukan untuk meningkatkan kualitas penelitian ini adalah
meningkatkan kepekaan alat ukur terhadap kondisi-kondisi yang relevan dengan subyek
penelitian. Modifikasi untuk meningkatkan reliabilitas skala dapat dilakukan oleh
peneliti selanjutnya. Selanjutnya peneliti di masa depan lebih peka dengan munculnya
variabel-variabel pencemar yang disinyalir dapat mengganggu validitas penelitian.
UCAPAN TERIMAKASIH
Tim Family Strengthening Training Prodi Psikologi UII : Emi Zulaifah,Dra.,M.Sc,
Irwan Nuryana K,S.Psi.,M.Si, Yulianti Dwi Astuti,S.Psi.,M.Soc.SC
DAFTAR PUSTAKA
Bee, H.,Boyd. (2007). The Developing Child, 11th Edition, New York: Allyn and Bacon
IYW. (2005).Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Perubahan Respons Sosial Emosional
Penderita HIV ADIS. Skripsi. Surabaya: Prodi Ilmu Keperawatan Universitas
Airlangga.
Keown,Louise J., Woodward,Lianne J. (2002). Early Parent-Child Relation and Family
Functioning of Preschool Boys.Journal of Child Abnormal Psychology. Dec,2002.
Plenum Press.
McDermott, D. (2008). Developing Caring Relationships Among Parents, Children,
Schools, and Communities. California: Sage Publicaions
Myers, A. & Christine, H. (2006).Experimental Psychology. NY : McGraw Hill
Olson, David H dan DeFrain,John. (2003). Family and Marriages:Intimacy,Diversity
and Strength 4th Ed. New York: McGrawHill.
Peterson, C., Seligman, MEP. (2004). Character Strengths and Virtues, A Handbook
and Classification. New York: Oxford University Press.
Siregar, SM. (2009). Pengaruh Dukungan Sosial dari Keluarga terhadap Penyesuaian
Diri di Masa Pensiun. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Schwarzer,R
&
Schultz,U.
(2000).
Soziale
Unterstützung
bei
der
Krankheitsbewältigung. Die Berliner Social Support Skalen (BSSS) [Social
support in coping with illness: The Berlin Social Support Scales (BSSS)].
Diagnostica. 2003; 49: 73-82. Download: www.coping.de
Zwagery,R.V. (2009). Peningkatan Keberfungsian Keluarga Melalui Family
Strengthening Training. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya Universitas Islam Indonesia.
http://bencana-kesehatan.net/kegiatan/surveilans/167-laporan-tim-surveilans-4november-2010.html).
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 52
OPTIMALISASI PERAN KELUARGA SEBAGAI STRESS BUFFER
DALAM MENGHADAPI BENCANA
Rumiani
Program Studi Psikologi, Universitas Islam Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki efektivitas dari Family Strengthening Training
terhadap pemberian dukungan sosial di kalangan keluarga penyitas (survivor) warga
Kaliadem, Merapi yang saat ini berada di Barak Kepala Desa Sariharjo. Hipotesa yang
diajukan adalah pertama,ada peningkatan pemberian dukungan sosial setelah mendapatkan
family strenthening training. Kedua, ada perbedaan pemberian dukungan sosial antara
kelompok eksperimen dan kontrol.Subyek penelitian ini adalah 19 orang penyitas Merapi.
Berlin Social Support Scale digunakan untuk pengambilan data. Tiga aspek dalam skala ini
adalah pemberian dukungan emosional, informatif dan instrumental. Analisis Statistik paired
sample menemukan t = - 3, 439 dengan p 0,008 (p0,05) sehingga hipotesa kedua ditolak.
Kata kunci: family strengthening training, pemberian dukungan sosial, penyitas Merapi
PENDAHULUAN
Permasalahan yang dihadapi pengungsi dampak erupsi Merapi sebagaimana survivor
(penyitas) bencana bervariasi. Hilangnya rumah dan ternak meski merupakan
kehilangan yang bermakna namun jika dapat disikapi secara arif maka tidak akan
berdampak psikologis yang parah. Dampak psikologis korban bencana menurut
Parkinson (2000) seringkali tetap berlangsung meski bencana sudah berakhir. Hal ini
mengindikasikan bahwa dampak psikologis ada yang bersifat laten. Laten berarti
dampaknya tidak langsung tampak pada saat bencana namun, laten juga dapat berarti
gangguan psikologis muncul dalam bentuk-bentuk simtom-simtom fisik. Hal ini sejalan
apa yang dinyatakan oleh Taylor (2000) bahwa adanya kondisi psikologis yang tertekan
(stres, trauma) dapat teramati dari dilaporkannya gejala fisik. Sebagaimana data
surveilance per 4 Nopember 2010 yang menyebutkan penyakit-penyakit yang diderita
pengungsi antara lain, hipertensi primer, ISPA, Flu, Gastritis, Myalgia, insomnia,
chepalgia (http://bencana-kesehatan.net/kegiatan/surveilans/167-laporan-tim-surveilans4-november-2010.html).
Data asesmen awal pada bulan Nopember 2010 terhadap pengungsi di Sariharjo
sebagian warga merasa takut apabila mendengar suara gemuruh atau suara yang
diidentikkan dengan suara gemuruh gunung Merapi. Demikian pula sebuah Focussed
Group Discussion (FGD) pada pengungsi Merapi, warga Kaliadem yang berada di
Barak pengungsian Balai Desa Sariharjo pada 20 Nopember 2010 terungkap bahwa para
pengungsi masih merasa trauma (sumber : FGD 1). Dampak trauma psikologis bencana
juga dapat berupa indecisiveness yaitu ketidakmampuan penyitas untuk mengambil
keputusan. Hal ini seringkali berkaitan dengan kemampuan penyitas untuk memusatkan
perhatian (Siegel&Solomon, 2003). Goleman (1995) menyebutkan ini sebagai
emotional hijacking atau pembajakan emosional sehingga membuat seseorang
mengalami hambatan untuk mengoptimalkan kinerja kognitif atau rasionya.
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 44
DPPM & MTS UII
Kondisi psikologis yang tertekan (stres)sebagai dampak bencana yang dialami
seseorang tidak semuanya memunculkan gangguan psikologis. Menurut Taylor (2000)
disamping kemampuan seseorang untuk menghadapi (coping) terhadap stres, faktor
yang cukup penting untuk meningkatkan resiliensi terhadap stres adalah dukungan
sosial (social support). Secara fitrah, manusia didesain untuk hidup bermasyarakat.
Dimensi dukungan sosial sangat luas namun Bronfenbrenner menyebutkan lapis
terdekat setiap orang adalah mikrosistem yaitu keluarga (dalam Bee & Boyd, 2007). Hal
ini berarti bahwa keluarga adalah tameng (buffer) terhadap kondisi psikologis
seseorang. Dukungan sosial dari keluarga akan dipengaruhi seberapa tangguh keluarga
tersebut. Dukungan sosial juga tampak dari social bonding, sebagaimana ungkapan
pengungsi di Balai Desa Sariharjo yang mengungkapkan bahwa mereka masih merasa
senang karena masih tinggal bersama warga satu dusun (dusun Kaliadem). Hal ini
membuktikan bahwa dukungan sosial dapat memberikan ketenangan psikologis dalam
menghadapi situasi yang berat seperti bencana erupsi Merapi kali ini. Sebuah contoh
yang bertolak belakang dengan kenyataan di atas adalah sebuah laporan LSM yang
membantu di Barak Sariharjo sebagai berikut: seorang anak yang bertanya kepada
ibunya apakah sepeda yang dimilikinya rusak karena awan panas? Oleh sang ibu
dijawab ya, padahal sepeda anak tersebut tidak rusak. Ini mengindikasikan bahwa ibu
tersebut tidak menunjukkan dukungan yang dibutuhkan oleh anaknya.
Keluarga dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang tinggi tanpa pernah
diselesaikan diragukan untuk bisa menyediakan dukungan yang diperlukan bagi anggota
keluarganya. Olson & De Frain (2003) menyebutkan keluarga yang chaos (chaotic
family) adalah keluarga yang rapuh sehingga tidak mampu menjadi buffer bagi anggota
keluarganya. Keluarga yang chaos ini biasanya akan membentuk anggota keluarga yang
bermasalah. Hal ini diperkuat oleh beberapa studi diantaranya Campbell (1997),
Greenberg, Speltz dan Deklyen (1993), Patterson, DeBaryshe dan Ramsey (1989),
Campbell (1995), Greenberg, et al (1993), Patterson, et.al. (1989), Shaw, Keenan dan
Vondra (1994), Gardner, (1987) yang menemukan keterkaitan antara faktor dalam
keluarga dalam memunculkan perilaku perilaku bermasalah pada anak (dalam Keown
& Woodward, 2002). Sebaliknya apabila keluarga penyitas dibantu untuk memperkuat
keluarga maka akan dapat meningkatkan dukungan sosial terhadap keluarganya
sehingga dapat menjadi stress buffer.
Kondisi tertekan (stressed) menurut Taylor (2000) dapat dipengaruhi antara lain
kemampuan coping dan dukungan sosial. Ketersediaan dukungan sosial menumbuhkan
perasaan diperhatikan, dicintai, dihargai, dan dan dipercaya oleh orang lain. Menurut
House (dalam Taylor, 2000) mendefiniskan dukungan sosial sebagai sebagai transaksi
interpersonal yang melibatkan satu atau lebih aspek-aspek informasi, emosional dan
instrumental. Schwarzer & Schultz (2000) mengembangkan Berlin Social Support Scale
untuk mengukur aspek perilaku dan kognisi dukungan sosial, bagaimana fungsi
dukungan sosial dalam situasi yang penuh dengan tekanan.
Menurut Taylor (2000), sumber-sumber dukungan sosial dapat diperoleh dari pasangan
(suami atau istri), anak-anak atau anggota keluarga lain, teman, professional, komunitas
atau masyarakat, atau dari kelompok dukungan sosial. Bronfenbrenner dengan
pendekatan ekosistemnya menjelaskan bahwa keluarga merupakan lapis mikrosistem.
Lapis mikrosistem adalah lapis pengaruh yang terdekat dan signifikan terhadap
perkembangan seseorang (Bee dan Boyd, 2003). Hal ini berarti bahwa pemberian
dukungan dari keluarga memiliki peranan yang penting dalam membentuk
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 45
DPPM & MTS UII
perkembangan normal seseorang. Namun, tidak semua keluarga dapat memberikan
dukungan kepada anggota keluarga lainnya. Keluarga yang rapuh, chaos penuh dengan
konflik dan stres tentunya akan sangat sulit untuk menyediakan dukungan bagi anggota
keluarga lainnya.
Keluarga yang kuat menurut Olson & De Frain (2003) menyatakan bahwa keluarga
yang kuat mampu mengelola kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan cara yang
bervariasi, kreatif. Ini menunjukkan bahwa keluarga yang kuat, bukanlah keluarga tanpa
masalah namun keluarga yang tahan banting cenderung mampu menyelesaikan
permasalahan yang ada. Karakteristik dari keluarga yang kuat ini cenderung mampu
melihat sisi positif dari suatu permasalahan, membangun kebersamaan dan komunikasi
yang efektif, fleksibilitas dan mengalokasi waktu bersama. Usaha usaha yang dapat
dilakukan untuk mengoptimalkan peran keluarga sebagai buffer adalah dengan
konseling, family therapy atau pelatihan yang di desain khusus. Peneliti mengajukan
Family Strengthening Training untuk meningkatkan peran keluarga sebagai buffer. Halhal yang dapat meningkatkan kekuatan keluarga menurut Olson & De Frain (2003)
adalah kasih sayang, saling menghargai, memiliki waktu bersama, saling menguatkan,
komitmen, komunikasi, kesiapan menghadapi Perubahan, spiritualitas, komunitas &
ikatan keluarga, peran yang jelas. Melalui pelatihan penguatan keluarga (Family
Strengthening Training) diharapkan akan mengoptimalkan peran keluarga untuk
memberikan dukungan sosial yang diberikan kepada anggota keluarganya. Selanjutnya
dampak psikologis yang berkepanjangan akibat bencana dapat diminimalisir.
Studi tentang family strengthening training sejauh pengetahuan penulis memang masih
terbatas. Pelatihan ini didesain oleh tim dosen Program Studi Ilmu Psikologi Universitas
Islam Indonesia. Pelatihan ini berisi : menemukan cinta, memelihara dan
mempertahankan cinta serta resolusi konflik. Basis teori pengembangan modul ini
adalah teori Olson & De Frain (2003) mengenai karakteristik keluarga yang kuat yaitu
cenderung mampu melihat sisi positif dari suatu permasalahan, membangun
kebersamaan dan komunikasi yang efektif, fleksibilitas dan mengalokasi waktu
bersama.
Efektivitas modul family strengthening training dilakukan oleh Zwagery (2009).
Melalui penelitiannya tersebut Zwagery (2009) menemukan family strengthening
training cukup efektif untuk meningkatkan keberfungsian keluarga kepada ibu orang tua
tunggal dan secara spesifik adalah mengalami perceraian.
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 46
DPPM & MTS UII
-
Family
strengthening
training
-
-
-
Menyadarkan kembali
akan tujuan dalam
berumah tangga serta
tanggung jawab kepada
keluarga
Menyadarkan akan makna
cinta dan syukur dalam
memperkokoh keluarga
Menumbuhkan keikhlasan
dalam melayani keluarga
Memberikan ketrampilan
strategi dalam
menghadapi konflik
keluarga
Memahamkan perubahan
psikologi dalam
menghadapi perubahan
(termasuk bencana) serta
memberikan ketrampilan
meredakan kecemasan dan
stres sebagai reaksi
terhadap perubahan .
Pe
ran
kelu
Pemberian
dukungan arga
sosial
Stresor:
bencana alam,
kehilangan,dll
opti
mal
Stress buffer
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki efektivitas dari Family Strengthening
Training terhadap pemberian dukungan sosial di kalangan keluarga penyitas (survivor)
warga Kaliadem, Merapi. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
membantu mengurangi dampak psikologis bencana yang berkepanjangan. Selain
berperan sebagai kuratif dalam hal memperkuat ikatan keluarga dan meningkatkan
dukungan sosial, penelitian ini juga dapat menjadi tindakan prevensi terhadap
kemunculan gangguan psikologis yang lebih berat di masa mendatang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian ekperimental dengan melibatkan 2 variabel yaitu
variabel bebas adalah family strengthening training dan variabel tergantung adalah
pemberian dukungan sosial. Pemberian dukungan sosial merupakan pemberian
dukungan/sokongan dari keluarga kepada anggota keluarga lainnya dalam hal dukungan
informasi, emosional (Haus dalam Smet,2004). Variabel ini akan diukur dengan skala
pemberian dukungan sosial. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka menunjukkan
tingginya pemberian dukungan sosial keluarga kepada anggota keluarga lainnya. Skala
yang digunakan adalah skala pemberian dukungan sosial yang merupakan adaptasi dari
Berlin Social Support Scale. Uji coba terpakai menemukan koefisien reliabilitas sebesar
0,75217
Penelitian eksperimen ini akan menggunakan two groups pre-post design. Myers &
Christine (2003) menyatakan bahwa rancangan ini akan melibatkan 2 kelompok subyek
yang diberikan perlakuan yang berbeda. Desain penelitian tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
KE : O1
X O2
O3
KK : O1
O2
O3
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 47
DPPM & MTS UII
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan paired sample t-test dan
indepedent sample t-test. Disamping itu analisa terhadap data-data kualitatif dilakukan
untuk memperkuat temuan-temuan statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji asumsi dilakukan terlebih dahulu untuk untuk mengetahui normalitas sebaran data.
Uji normalitas kelompok eksperimen menunjukkan K-S= 0.867 dengan p= 0.440 yang
berarti distribusi data tersebut adalah normal. Uji asumsi kedua dilakukan untuk
mengetahui homogenitas subyek penelitian diperoleh F=0.092 dengan p =0,942
(p>0.05). Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan teknik paired sample t-test
pada kelompok ekperimen. Sebaran data pada skala pemberian pretes dan post test
tersaji pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1 Sebaran Data Pretest dan Post Kelompok Eksperimen
Gambar 2 Sebaran Data Pretest dan Post Kelompok Kontrol
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 48
DPPM & MTS UII
Tabel 1 Deskripsi data penelitian
KELOMPOK
Rerata
Std.
Kesalahan
36,000
,770
34,375
37,625
2
1
40,800
,975
38,743
42,857
30,889
,812
29,176
32,602
2
35,333
1,028
33,165
37,502
Pengukuran
kelompok
kontrol
1
kelompok
eksperimen
95% Interval
Kepercayaan
Batas
Batas Atas
Bawah
Melalui proses analisis data pretes dan post test dengan teknik paired sample pada
kelompok eksperimen ditemukan nilai t = - 3, 439 dengan p 0,008 (p0,05) sehingga hipotesa ditolak.
DISKUSI
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hipotesa pertama yang menyatakan bahwa ada
peningkatan pemberian dukungan sosial setelah mendapat perlakuan yaitu family
strengthening training dapat diterima. Temuan ini memperkuat temuan sebelumnya
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 49
DPPM & MTS UII
misalnya adalah Zwagery (2009). Zwagery menemukan bahwa family strengthening
training mampu meningkatkan fungsi keluarga dengan orangtua bercerai. Pelatihan ini
juga memasukkan materi kesabaran sebagai bagian dari training ini. Sejalan dengan
temuan awal dari Uyun (2009) yang menemukan bahwa kesabaran menjadi variabel
yang berperan dalam meningkatkan resiliensi terhadap dampak gempa bumi. Olson &
DeFrain (2003) menyatakan bahwa program-program bagi orang tua dalam bentuk
parenting atau program peningkatan peran keluarga sangan diperlukan untuk membantu
orangtua menghadapi tantangan dalam keluarga.
Peningkatan pemberian dukungan sosial disajikan pada bagian berikut ini:
Gambar 3 Profil Peserta Sum
Data kualitatif terhadap refleksi perasaan Subyek Sum adalah ia merasa sedih karena
berada di pengungsian terus dan sedih memikirkan masa depan anak. Pada refleksi
setelah pelatihan Sum menyatakan bahwa ia merasa senang dan merasa lega, bentuk
dukungan yang akan diberikan adalah meningkatkan keikhlasan dan cinta tidak
bersyarat. Cinta tidak bersyarat menurut Rogers (Allen, 2003) adalah penerimaan tidak
bersyarat yang positif (uncondiotional positive regard). Sikap ini dimiliki oleh orang
yang matang dan telah menerima kondisi dirinya sendiri sehingga ia pun siap untuk
memberikan cinta tidak bersyarat kepada keluarganya meski dalam situasi sebagai
korban bencana.
Ibu SW dalam refleksi awal perasaannya adalah merasa bingung,pusing memikirkan
bagaimana masa depan anak-anaknya. Namun, setelah partisipasinya pada penelitian
ibu SW menyatakan ia merasa senang. Bentuk dukungan yang diberikan adalah
memberikan nasehat kepada anak dengan cara yang lebih baik dan kepala dingin.
Peningkatan skor yang diperoleh ibu SW pada skala pemberian dukungan adalah dari 30
menjadi 38. Schwarzer & Schultz (2003) menyatakan bahwa bentuk dukungan sosial
yang diberikan kepada anak atau pasangan adalah emotional support dimana ibu
mampu memberikan kehangatan dan kenyamana emosional.
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 50
DPPM & MTS UII
Ibu FH mengalami peningkatan yang cukup tajam pada skala pemberian dukungan yaitu
dari 30 menjadi 43. Pada awal refleksi ibu FH menyatakan bahwa ia merasa sedih
karena kehilangan harta benda dan jenuh karena hidup di pengungsian yang cukup
lama. Pada refleksi akhir ia menyatakan senang karena dapat berbagi. Bentuk dukungan
sosial yang akan diberikan kepada keluarga adalah bersikap lebih sabar, mengalah dan
lebih mencintai keluarga. Pernyataan ibu FH tersebut mengindikasikan bahwa pelatihan
ini dapat menjadi ajang berbagi sehingga mampu memberikan motivasi. Program
seperti ini menurut Gordon dapat menyediakan dukungan bagi ibu secara tidak langsung
akan membantu anak dalam menyelesaikan masalah (McDermott, 2008).
Ibu Pit mengalami peningkatan skala pemberian dukungan dari 29 menjadi 34. Refleksi
awal adalah perasaan sedih karena kehilangan rumah,ternak, anak yang rewel. Ia
berandai-andai kapan punya rumah lagi dan kapan dapat hidup normal kembali. Ibu Pit
menyatakan keinginannnya untuk meningkatkan ketentraman dan kesabaran dalam
keluarga dalam menghadapi cobaan. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan ini
membantu subyek untuk menyadarkan tentang pentingnya keluarga dalam menghadapi
tantangan hidup seperti dampak bencana.
Hipotesa kedua yang menyatakan bahwa ada perbedaan pemberian dukungan sosial
antara kelompok yang mendapatkan family strengthening training dan kelompok yang
tidak mendapatkan family strengthening training ditolak. Tidak terbuktinya hipotesa ini
disebabkan oleh beberapa hal antara lain skor pretes skala pemberian dukungan sosial
pada kelompok kontrol secara umum lebih tinggi dari rerata kelompok eksperimen.
Bahkan peningkatan skor pada kelompok eksperimen tidak bisa melampaui rerata pada
kelompok kontrol.
Penelitian eksperimen terutama lapangan (non laboratoirum) merupakan penelitian yang
sensitif dengan kemunculan extraneous variabel yang dapat mengancam validitas
penelitian (Myers & Christie, 2003). Beberapa variabel pencemar yang ditemukan
dalam penelitian ini antara lain interaksi antara kelompok eksperimen dan kontrol
karena subyek tinggal dalam satu barak pengungsian. Interaksi ini menyebabkan antar
kelompok dapat menceritakan mengenai isi pelatihan. Variabel pencemar lainnya adalah
perlakuan lain yang diterima selain pelatihan family strengthening (carry over effects).
Informasi dari subyek kelompok kontrol bahwa sebelum mengikuti pelatihan family
strengthening, peserta telah mengikuti pengajian.
Meski ditemukan tidak ada perbedaan pemberian dukungan sosial berdasarkan
perubahan isi refleksi perasaan dapat diketahui bahwa kelompok eksperimen relatif
mengalami perubahan dibandingkan refleksi kelompok kontrol. Kelompok kontrol pada
refleksi menunjukkan bahwa peserta masih mengalami kesedihan. Perasaan sedih dan
pesimis menurut Taylor (2000) dapat menjadi indikasi ketidaksiapan seseorang untuk
memberikan dukungan sosial.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat ditemukan bahwa ada peningkatan pemberian
dukungan sosial pada kelompok yang mendapatkan family strengthening training.
Namun perbedaan pemberian dukungan sosial antara kelompok yang mendapatkan
perlakuan dan yang tidak mendapatkan perlakuan tidak tebukti. Namun penelitian ini
memberikan insight bahwa dukungan sosial adalah moderator kondisi stres, apabila
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 51
DPPM & MTS UII
dukungan sosial tidak tersedia atau tersedia namun tidak cukup memadai maka kondisi
membuka peluang untuk mengalami stres yang lebih berat bagi anggota keluarga
lainnya. Secara tidak langsung penelitian ini menekankan pentingnya pemberian
dukungan sosial dalam keluarga sebagai wujud optimalnya fungsi keluarga untuk
meningkatkan stress buffer.
Saran yang dapat diajukan untuk meningkatkan kualitas penelitian ini adalah
meningkatkan kepekaan alat ukur terhadap kondisi-kondisi yang relevan dengan subyek
penelitian. Modifikasi untuk meningkatkan reliabilitas skala dapat dilakukan oleh
peneliti selanjutnya. Selanjutnya peneliti di masa depan lebih peka dengan munculnya
variabel-variabel pencemar yang disinyalir dapat mengganggu validitas penelitian.
UCAPAN TERIMAKASIH
Tim Family Strengthening Training Prodi Psikologi UII : Emi Zulaifah,Dra.,M.Sc,
Irwan Nuryana K,S.Psi.,M.Si, Yulianti Dwi Astuti,S.Psi.,M.Soc.SC
DAFTAR PUSTAKA
Bee, H.,Boyd. (2007). The Developing Child, 11th Edition, New York: Allyn and Bacon
IYW. (2005).Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Perubahan Respons Sosial Emosional
Penderita HIV ADIS. Skripsi. Surabaya: Prodi Ilmu Keperawatan Universitas
Airlangga.
Keown,Louise J., Woodward,Lianne J. (2002). Early Parent-Child Relation and Family
Functioning of Preschool Boys.Journal of Child Abnormal Psychology. Dec,2002.
Plenum Press.
McDermott, D. (2008). Developing Caring Relationships Among Parents, Children,
Schools, and Communities. California: Sage Publicaions
Myers, A. & Christine, H. (2006).Experimental Psychology. NY : McGraw Hill
Olson, David H dan DeFrain,John. (2003). Family and Marriages:Intimacy,Diversity
and Strength 4th Ed. New York: McGrawHill.
Peterson, C., Seligman, MEP. (2004). Character Strengths and Virtues, A Handbook
and Classification. New York: Oxford University Press.
Siregar, SM. (2009). Pengaruh Dukungan Sosial dari Keluarga terhadap Penyesuaian
Diri di Masa Pensiun. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Schwarzer,R
&
Schultz,U.
(2000).
Soziale
Unterstützung
bei
der
Krankheitsbewältigung. Die Berliner Social Support Skalen (BSSS) [Social
support in coping with illness: The Berlin Social Support Scales (BSSS)].
Diagnostica. 2003; 49: 73-82. Download: www.coping.de
Zwagery,R.V. (2009). Peningkatan Keberfungsian Keluarga Melalui Family
Strengthening Training. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya Universitas Islam Indonesia.
http://bencana-kesehatan.net/kegiatan/surveilans/167-laporan-tim-surveilans-4november-2010.html).
Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 52