Hubungan Perilaku Ibu Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Perilaku

2.1.1 Defenisi
Perilaku adalah respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif
(pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata
atau atau praktis) (Notoatmodjo, 2007 : hal 136)
Lawrence Green (1980) menjelaskan bahwa perilaku ditentukan atau
dibentuk dari 3 faktor :
1.

Faktor Predisposisi (predisposing factors) terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2.

Faktor-faktor pendukung (enabling factors) terwujud dalam lingkungan fisik
(tersedia atau tidaknya fasilitas dan sarana kesehatan).


3.

Faktor pendorong (reinforcing factors) terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat (Pieter, H, Lubis, N: hal 45).

2.2

Faktor - Faktor yang Memengaruhi Perilaku Ibu dengan Pemberian
Imunisasi Dasar Lengkap

2.2.1 Faktor – Faktor Predisposisi (Predisposing factors)
Menurut Green (1980), faktor – faktor predisposisi meliputi pengetahuan,
sikap, keyakinan, nilai – nilai dan persepsi, berhubungan dengan motivasi
individu atau kelompok untuk bertindak. Dalam pengertian umum dapat
disimpulkan faktor predisposisi sebagai pilihan pribadi yang memicu seorang
individu atau kelompok ke pengalaman pendidikan. Dalam hal apapun pilihan ini

12


Universitas Sumatera Utara

13

dapat mendukung atau menghambat perilaku kesehatan. Sebagai faktor demografi
seperti status sosio ekonomi, umur, jenis kelamin dan ukuran keluarga juga
penting sebagai faktor predisposisi meskipun mereka berada di luar pengaruh
langsung program pendidikan kesehatan.
2.2.1.1 Umur
Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Umur adalah
usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.
Umur merupakan salah satu variabel penting dalam bidang penelitian
komunitas. Umur dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi
perkembangan penyakit secara langsung atau tidak langsung bersama dengan
variabel lain sehingga menyebabkan perbedaan di antara angka kesakitan dan
kematian pada masyarakat atau sekelompok masyarakat (Chandra, 2008).
2.2.1.2 Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
memengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga

mereka melakukan apa yang diharapan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo,
2003).
Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran
melalui proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan
menetap, kerena didasari oleh kesadaran. Kelemahan dari pendekatan pendidikan
kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku melalui proses
pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2005).
Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan orang dengan tingkat pendidikan

Universitas Sumatera Utara

14

formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti
dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo,
2003).
2.2.1.3 Pekerjaan
Pekerjaan adalah sekumpulan kedudukan (posisi) yang memiliki
persamaan kewajiban atau tugas – tugas pokoknya.

2.2.1.4 Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan.
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni
(Notoatmodjo, 2007) :
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap
subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

Universitas Sumatera Utara


15

d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, diaman subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan
bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap – tahap tersebut. Apabila
penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana
didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat,
yakni (Notoatmodjo, 2007) :
1.

Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, „tahu‟ ini
merupakan tingakat pengetahuan yang paling tendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari anatara lain :
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

16

2.

Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus

dapat

menjelaskan,


menyebutkan

contoh,

menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3.

Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini
dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4.

Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan meteri atau suatu

objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis

dapat

dilihat

dari

penggunaan

kata-kata

kerja:

dapat

menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.

5.

Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

Universitas Sumatera Utara

17

6.

Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).


2.2.1.5 Sikap (Attitude)
Menurut Notoatmodjo (2005), sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap juga
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertidak dan juga merupakan
pelaksanaan motif tertentu.
Menurut Garungan (dalam Ahmadi, 2009), sikap merupakan pendapat
maupun pandangan seseorang tentang suatu objek yang mendahului tindakannya.
Sikap tidak mungkin terbentuk sebelum mendapat informasi, melihat atau
mengalami sendiri suatu objek.
2.2.1.6 Berbagai Tingakatan Sikap
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingakatan, yaitu
1. Menerima (receiving). Diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding). Memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan
atau menyelesaikan tugas yang diberikan indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

Universitas Sumatera Utara


18

4. Bertanggung jawab (responsibility). Bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang
paling tinggi.
Menurut Ahmadi (2009), sikap dibedakan menjadi :
1. Sikap positis yaitu : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan,
menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang
berlaku dimana individu itu berada.
2. Sikap negatif yaitu : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan
penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku
dimana individu itu berada.
Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa sikap adalah sesuatu yang
bersifat comminicable, artinya bahwa sesuatu yang mudah menjalar,
sehingga mudah pula menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi rantai
penghubung antara orang dengan kelompok atau dengan kelompok
lainnya.
2. Sebagai alat pengukur tingkah laku. Pertimbangan dan reaksi pada anak,
dewasa dan yang sudah lanjut usia tidak ada. Perangsang itu pada
umumnya tidak diberi perangsang spontan, akan tetapi terdapat adanya
proses secara sadar untuk menilai perangsangan-perangsangan itu.
3. Sebagai alat ukur pengalaman. Manusia didalam menerima pengalamanpengalaman secara aktif. Artinya semua yang berasal dari dunia luar tidak
semua dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu dan

Universitas Sumatera Utara

19

mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberi penilaian
lalu dipilih.
4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan pribadi
seseorang ini disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi
yang mendukung. Oleh karena itu dengan melihat sikap pada objek
tertentu, sedikit banyaknya orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut.
Jadi sikap merupakan pernyataan pribadi (Ahmadi, 2009).
Manusia dilahirkan dengan sikap pandangan atau sikap perasaan tertentu,
tetapi sikap terbentuk sepanjang perkembangan. Peranan sikap dalam kehidupan
manusia sangat besar. Bila sudah terbentuk pada diri manusia, maka sikap itu
akan turut menentukan cara tingkah lakunya terhadap objek-objek sikapnya.
Adanya sikap akan menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap
objeknya (Notoatmodjo, 2005).
Sikap mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
1. Selalu ada objeknya
2. Biasanya bersifat bersifat evaluatif.
3. Relatif mantap
4. Dapat dirubah
Menurut Travers, Gagne, dan Cronbach (1977, dalam Ahmadi, 2009),
bahwa sikap melibatkan 3 komponen yang saling berhubungan yaitu :

Universitas Sumatera Utara

20

1. Komponen cognitive : berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang
didasarkan pada informasi, yang behubungan dengan objek.
2. Komponen affective : menunjukkan pada dimensi emosional dari sikap,
yaitu emosi yang berhubungan dengan objek. Objek disini dirasakan
sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan.
3. Komponen behavior tau conative : melibatkan salah satu predisposisi
untuk bertidak terhadap objek.
Ketiga komponen ini akan membentuk sikap yang utuh (Total Attitude),
dalam penentuan berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
Sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negatif
terhadap orang lain, objek atau situasi. Sikap tidak sama dengan perilaku dan
kadang-kadang sikap tersebut baru diketahui setelah seseorang itu berperilaku.
Tetapi sikap selalu tercermin dari perilaku seseorang (Ahamdi, 2009).
Pengukuarn sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langusng,
melalui pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek secara tidak
langsung dilakukan dengan pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat
responden (Ahmadi, 2009).

2.2.1.7 Perubahan Sikap
Theory of Reasoned Action (TRA) atau Teori Aksi Beralasan pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1975 untuk melihat hubungan keyakinan, sikap, niat
dan perilaku. Fishbein (1975), mengembangkan TRA ini dengan sebuah usaha
untuk melihat perubahan hubungan sikap dan perilaku. Teori ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak

Universitas Sumatera Utara

21

akan pernah terjadi tanpa niat. Niat-niat seseorang juga dipengaruhi oleh sikapsikap terhadap suatu perilaku, seperti apakah ia merasa suatu perilaku itu penting.
Teori ini juga menegaskan sifat normatif yang mungkin dimiliki orang-orang;
mereka berpikir tentang apa yang akan dilakukan orang lain (terutama orangorang yang berpengaruh didalam kelompok) pada suatu situasi yang sama (Graeff,
1996).
Teori tindakan beralasan menurut Fisbein (1975) mengatakan bahwa sikap
mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan
beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada 3 hal yaitu :
1.

Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang
spesifik terhadap sesuatu.

2.

Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tatapi juga oleh norma-norma
subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang
lain inginkan agar kita perbuat.

3.

Sikap tehadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk
suatu intense atau niat untuk berperilaku tertentu.
Secara sederhana, teori ini merupakan bahwa seseorang akan melakukan

suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya
bahwa orang lain agar ia melakukannya. Dalam teori ini perilaku terencana
keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada
norma-norma subjektif dan pada kontrol perilaku yang dia hayati. Ketiga
komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intense yang pada
gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan
atau tidak (Azwar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

22

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap terdiri dari 2
faktor yaitu :
1.

Faktor intern : yaitu yang terdapat dalam diri pribadi manusaia itu
sendiri. Faktor ini berupa selective atau daya pilih seseorang untuk
menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.
Pilihan terhadap pengaruh dari luar itu biasanya disesuaikan dengan
motif dan sikap di dalam diri manusia terutama yang menjadi minat
perhatiannya.

2.

Faktor ekstern : yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia.
Faktor ini berupa interaksi sosial diluar kelompok (Ahamdi, 2009).

2.2.2 Faktor – Faktor Pendukung (Enabling factors)
Green (1980) mengatakan bahwa faktor-faktor pendukung adalah
kemampuan/keahlian dan semua sumber-sumber yang diperlukan untuk
menciptakan atau memunculkan perilaku kesehatan. Sumber-sumber yang
dimaksud anatara lain ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan prasarana atau
fasilitas-fasilitas, personalia, sekolah-sekolah, klinik kesehatan maupun sumbersumber sejenis. Faktor-faktor pendukung juga berkaitan dengan aksesibilitas
berbagai sumber daya. Biaya, jarak, sarana transportasi yang ada dan waktu
pemakaian sarana kesehatan juga merupakan bagian dari faktor-faktor pendukung.
2.2.2.1 Ketersediaan Sarana Pelayanan Kesehatan
Menurut

Notoatmodjo

(2007),

sarana

pelayanan

kesehatan

bagi

masyarakat tediri dari rumah sakit, puskesmas, pustu, poliklinik, posyandu,
polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat,
masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku

Universitas Sumatera Utara

23

pemberian imunisasi pada bayi. Ibu yang mau memberikan imunisasi pada bayi
tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pemberian imunisasi ibu tersebut
dengan mudah dapat memperoleh tempat pemberian imunisasi pada bayinya.
2.2.2.2 Jarak ke Sarana Pelayanan Kesehatan
Jarak adalah seberapa jauh lintasan yang ditempuh responden menuju
tempat pelayanan kesehatan yang meliputi rumah sakit, puskesmas, posyandu, dan
lainnya. Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya ditempat
pelayanan kesehatan tidak hanya disebabkan karena orang tersebut tidak tahu atau
belum tahu manfaat imunisasi bagi anak, tetapi barang kali karena rumahnya
terlalu jauh dengan pelayanan kesehatan tempat mengimunisasikan anakanya
(Notoatmodjo, 2003).
2.2.3 Faktor – Faktor Pendorong (Reinforcing factors)
Menurut Green (1980) faktor pendorong atau penguat adalah mereka yang
mendukung untuk menentukan tidakan kesehatan. Faktor pendorong tentu saja
bervariasi tergantung pada tujuan dan jenis program. Dalam program pendidikan
kesehatan, sebagai contoh, penguatan dapat diberikan oleh rekan kerja, supervisor,
pimpinan serikat buruh dan keluarga. Faktor-faktor pendorong meliputi sikap dan
perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas
termasuk petugas kesehatan.
2.2.3.1 Dukungan Petugas Kesehatan
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di
bidang ksehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan (Kepmenkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara

24

Dukungan petugas kesehatan (petugas imunisasi) merupakan dukungan
sosial dalam bentuk dukungan informatif, dimana perasaan subjek bahwa
lingkungan (petugas imunisasi) memberikan keterangan yang cukup jelas
mengenai

hal-hal

yang kesehatan (mengimunisasikan anaknya) melalui

keterampilan komunikasi dan ada kecenderungan bahwa upaya-upaya petugas
kesehatan memprkuat ibu dengan memberikan pujian, dorongan, dan diskusi atau
dengan menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya (Graeff, 1996).
Perugas kesehatan yang berperan memberikan dukungan informatif
kepada ibu tentang imunisasi dianjurkan mengikuti tata cara pemberian sebagai
berikut.
a. Memberitahu secara rinci risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
diimunisasi.
b. Memeriksa kembali persiapan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi
ikutan yang tidak diharapkan.
c. Membaca dengan teliti informasi produk vaksin yang akan diberikan
dan mendapatkan persetujuan orang tua.
d. Meninjau kembali apakah ada kontra indikasi.
e.

Memeriksa identitas klien dan berikan antipiretik bila perlu.

f. Memeriksa jenis dan kedaan vaksin serta yakinkan penyimpanannya
baik.

Universitas Sumatera Utara

25

g. Meyakinkan vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan bila perlu
tawarkan juga vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal.
h. Memberikan vaksin dengan teknik yang benar.
i. Setelah pemberian vaksin, menjelaskan apa yang harus dilakukan
apabila ada reaksi ikutan, membuat laporan imunisasi kepada instansi
terkait, memeriksa status imunisasi keluarga dan bila perlu
menawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan (Muslihatun,
2010).
2.2.3.2 Dukungan Keluarga
Menurut Sarwono (2003) dukungan keluarga adalah bantuan yang
bermanfaat secara emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa
informasi, bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh
anggota keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, mertua, maupun saudara
lainnya.
Duval (1972, dalam Ali 2006) menyatakan bahwa keluarga adalah
sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan
kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum,
meningkatkan pekembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial individu
yang ada didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan
adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum.
Secara tradisonal keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari
ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau
keduanya.

Universitas Sumatera Utara

26

b. Keluarga Besar (extended family) adalah keluarga inti ditambah
anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakeknenek, paman-bibi) (Suprayitno, 2004)
2.3

Tidakan (Practice)
Setelah sesorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian

mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses
selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang
diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut tindakan (practice) (Notoatmodjo,
2003).
Suatu rangsangan akan direspon oleh seseorang sesuai dengan arti
rangsangan itu bagi orang yang bersangkutan. Respon atau reaksi ini disebut
perilaku, bentuk perilaku dapat bersifat sederhana dan kompleks. Dalam peraturan
teoritis, tingkah laku dapat dibedakan atas sikap, didalam sikap diartikan sebagai
suatu kecenderungan potensi untuk mengadakan reaksi (tingkah laku). Suatu sikap
agar menjadi tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
fasilitas yang memungkinkan (Ahmadi, 2009).
Menurut Notoatmodjo (2005), empat tingkatan tindakan yaitu :
1. Persepsi (Perception), mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang diambil.
2. Respon terpimpin (Guided Response), dapat melakukan sesuatu dengan
urutan yang benar.

Universitas Sumatera Utara

27

3. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan
kebiasaan.
4. Adaptasi (Adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah
bekembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), faktor-faktor yang
merupakan penyebab perilaku menurut Green dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
faktor predisposisi (predisposing factors) seperti pengetahuan, sikap, keyakinan,
dan nilai, berkenaan dengan motivasi seseorang untuk bertindak. Faktor
pemungking atau faktor pendukung (enabling factors) perilaku adalah fasilitas,
sarana, atau prasarana yang mendukung atau memfasilitasi terjadinya perilaku
seseorang atau masyarakat. Terakhir faktor penguat atau faktor pendorong
(reinforcing factors) seperti keluarga, petugas kesehatan dan lain-lain.
Jadi, dapat disimpulakn bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan
sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu,
ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan serta dukungan
keluarga terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya
perilaku.

Universitas Sumatera Utara

28

2.4

Imunisasi

2.4.1 Defenisi
Imunisasi adalah pemberian imunitas (kekebalan) tubuh terhadap suatu
penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tahan terhadap
penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi manusia (Muryunani A,
2010:hal 208)
2.4.2 Tujuan Imunisasi
Tujuan dalam pemberian imunisasi, antara lain :
1. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan
penyakit tertentu di dunia.
2. Melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya
bagi bayi dan anak.
3. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit tertentu.
4. Menurunkan morbiditas, mortalitas dan cacat serta bila mungkin didapat
eradikasi sesuatu penyakit dari suatu daerah atau negeri.
5. Mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan
kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa
penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti campak, polio,
difteri, tetanus, batuk rejan, hepatitis B, gondongan, cacar air, TBC, dan lain
sebagainya.
6. Mencegah terjadinya penyakit tetentu pada seseorang, dan menghilangkan
penyakit pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan

Universitas Sumatera Utara

29

penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar (Muryani A, 2010:
hal 209 - 210).
2.4.3

Manfaat imunisasi
Manfaat imunisasi bagi anak dapat mencegah penyakit cacat dan

kematian, sedangkan manfaat bagi keluarga adalah dapat menghilangkan
kecemasan dan mencegah biaya pengobatan yang tinggi bila anak sakit. Bayi dan
anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindungi dari beberapa
penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik dan kakak dan temanteman disekitarnya. Dan manfaat untuk Negara adalah untuk memperbaiki tingkat
kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan
pembangunan Negara (Marimbi, H: hal 112).
2.5

Imunisasi Dasar
Imunisasi dasar adalah Jadwal imunisasi yang diwajibkan sesuai Program

Pengembangan Imunisasi (PPI), adalah BCG, Polio, Hepatitis B, DPT, dan
Campak (Muslihatun, 2011:hal 219)
Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang perlu diberikan pada
semua orang, terutama bayi dan anak sejak lahir untuk melindungi tubuhnya dari
penyakit-penyakit yang berbahaya (Maryunani A, 2010: hal 215).

Universitas Sumatera Utara

30

2.5.1

Imunisasi BCG (Bacillus Celmette Guerin)

2.5.1.1 Pengertian
Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC), yaitu penyakit paru-paru
yang sangat menular.
2.5.1.2 Pemberian Imunisasi
Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan tidak perlu
diulang (booster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang
dihasilkannya tinggi. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga
memerlukan pengulangan.
Imunisasi BCG diberikan Sedini mungkin atau secepatnya kepada bayi,
tetapi pada umumnya di bawah 2 bulan. Jika diberikan setelah usia 2 bulan,
disarankan dilakukan tes Mantoux (tuberkulin) terlebih dahulu.
2.5.1.3 Efek samping Imunisasi
Umumnya tidak ada. Namun, pada beberapa anak timbul pembengkakan
kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah (diselangkangan bila
penyuntikan dilakukan di paha). Dan biasanya akan sembuh sendiri.
2.5.1.4 Kontra Indikasi
Imunisasi BCG tidak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TBC
atau menunjukan uji Mantoux positif atau pada anak yang mempunyai penyakit
kulit yang berat / menahun.

Universitas Sumatera Utara

31

2.5.2

Imunisasi DPT (Diphtheria, Pertusis, Tetanus)

2.5.2.1 Pengertian
Imunuisasi DPT merupakan imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadap beberapa penyakit berikut ini:
o Penyakit difteri, yaitu radang tenggorokan yang sangat berbahaya karena
menimbulkan tenggorokan tersumbat dan kerusakan jantung yang
menyebabkan kematian dalam beberapa hari saja.
o Penyakit pertusis, yaitu radang paru (pernapasan), disebut juga batuk rejan
(batuk 100 hari). Karena sakitnya bisa mencapai 100 hari atau 3 bulan lebih.
Gejalanya sangat khas, yaitu batuk yang bertahap, panjang dan lama disertai
bunyi “whoop”/ berbunyi dan diakhiri dengan muntah, mata dapat bengkak
atau penderita dapat meninggal karena kesulitan bernapas.
o Penyakit tetanus, yaitu penyakit kejang otot seluruh tubuh dengan mulut
terkunci / terkancing sehingga mulut tidak bisa membuka atau dibuka.
2.5.2.2 Pemberian Imunisasi
Pemberian imunisasi 3 kali (paling sering dilakukan).
2.5.2.3 Efek Samping Imunisasi
Biasanya, hanya gejala-gejala ringan, seperti sedikit demam dan rewel
selama 1-2 hari, kemerahan, pembengkakan, agak nyeri pada tempat suntikan,
yang akan hilang sendiri dalam beberapa hari, atau bila masih demam dapat
diberikan obat penurun panas bayi. Atau dapat juga dengan memberikan minum
cairan lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara

32

2.5.2.4 Kontra Indikasi
Imunisasi DPT tidak dapat diberikan pada anak-anak yang mempunyai
penyakit atau kelainan saraf, baik bersifat keturunan atau bukan, seperti epilepsi,
menderita kelainan saraf yang berat atau selesai dirawat karena infeksi otak, anakanak yang sedang demam / sakit keras dan yang mudah kejang dan mempunyai
sifat alergi, seperti eksim atau asma.
2.5.3 Imunisasi Polio
2.5.3.1 Pengertian
Imunisasi Polio adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis, yaitu penyakit radang yang menyerang
saraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki.
2.5.3.2 Pemberian Imunisasi
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi
polio massal atau Pekan Imunisasi Nasional. Tetapi jumlah dosis yang berlebihan
tidak akan berdampak buruk, karena tidak ada istilah overdosis dalam imunisasi.
Waktu pemberian polio adalah pada umur bayi 0-11 bulan atau saat lahir (0
bulan).
2.5.3.3 Efek Samping Imunuisasi
Hampir tidak ada efek samping. Hanya sebagian kecil saja yang
mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Dan kasusnya biasanya jarang
terjadi.

Universitas Sumatera Utara

33

2.5.3.4 Kontra Indikasi
Sebaiknya pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah,
seperti demam tinggi (diatas 380C) ditangguhkan. Pada anak yang menderita
penyakit gangguan kekebalan tidak diberikan imunisasi polio. Demikian juga
anak dengan penyakit HIV/AIDS, penyakit kanker atau keganasan, sedang
menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, untuk tidak
diberikan imunisasi polio.
2.5.4 Imunisasi Campak
2.5.4.1 Pengertian
Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadap penyakit campak (morbili/measles). Kandungan vaksin
campak ini adalah virus yang dilemahkan.
2.5.4.2 Pemberian Imunisasi
Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali. Imunisasi campak
diberikan 1 kali pada usia 9 bulan, dan dianjurkan pemberiannya sesuai jadwal.
Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia bayi 9 bulan, penyakit
campak umumnya menyerang anak usia balita
2.5.4.3 Efek Samping Imunisasi
Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Mungkin terjadi demam
ringan dan terdapat efek kemerahan atau bercak merah pada pipi di bawah telinga
pada hari ke 7 – 8 setelah penyuntikan. Kemungkinan juga terdapat
pembengkakan pada tempat penyuntikan.

Universitas Sumatera Utara

34

2.5.4.4 Kontra Indikasi
Kontra indikasi pemberian imunisasi campak adalah bayi :
a.

Dengan penyakit infeksi akut yang disertai demam.

b.

Dengan penyakit gangguan kekebalan.

c.

Dengan penyakit TBC tanpa pengobatan.

d.

Dengan kekurangan gizi berat.

e.

Dengan penyakit keganasan.

f.

Dengan kerentanan tinggi terhadap protein telur, kanamisin dan eritromisin
(antibiotik).

2.5.5

Imunisasi Hepatitis B

2.5.5.1 Pengertian
Imunisasi

Hepatitis

B

adalah

imunisasi

yang

diberikan

untuk

menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B, yaitu penyakit infeksi
yang dapat merusak hati. kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair.
2.5.5.2 Pemberian Imunisasi
Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B adalah 3 kali. Sebaiknya
diberikan 12 jam setelah lahir. Dengan syarat kondisi bayi dalam keadaan stabil,
tidak ada gangguan pada paru-paru dan jantung.
2.5.5.3 Efek Samping Imunisasi
Umumnya tidak terjadi. Jikapun terjadi (sangat jarang), berupa keluhan
nyeri pada tempat suntikan, yang diikuti demam ringan dan pembengkakan.
Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua hari.

Universitas Sumatera Utara

35

2.5.5.4 Kontra Indikasi
Tidak dapat diberikan pada anak yang mendrita sakit berat. (Muryunani A,
2010: hal 215 - 222)
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi

2.6

Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kelanjutan dari kerangka teori atau landasan teori

yang disesuaikan dengan tujuan khusus penelitian yang akan dicapai,

yakni

sesuai dengan apa yang telah ditulis dalam rumusan masalah. Kerangka konsep
dalam penelitian ini adalah :

Universitas Sumatera Utara

36

Predisposing Factors:
 Umur
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Pengetahuan
 Sikap

Enabling Factors:
 Ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan
 Jarak

ke

sarana

Kelengkapan Imunisasi Dasar
Pada Bayi

pelayanan kesehatan

Reinforcing Factors:
 Dukungan

petugas

kesehatan
 Dukungan keluarga

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :

Untuk mengungkap hubungan perilaku ibu dengan kelengkapan imunisasi
dasar pada bayi, maka kerangka konsep yang digunakan adalah menurut teori
Lawrence Green (1980), akan dilihat bagaimana gambaran predisposing factors
yaitu umur, pendidikan dan pekerjaan ibu, pengetahuan dan sikap, akan dilihat

Universitas Sumatera Utara

37

juga gambaran dari enabling factors meliputi ketersediaan sarana pelayanan
kesehatan dan jarak ke sarana pelayanan kesehatan dan reinforcing factors
meliputi dukungan petugas kesehatan dan dukungan keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Perilaku Ibu Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016

7 26 159

STUDI TENTANG OBJEK WISATA PANTAI MUTIARA 88 DI DESA KOTA PARI KECAMATAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI.

0 2 22

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR BAYI Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

0 1 15

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR BAYI Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan.

0 5 12

Hubungan Perilaku Ibu Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016

0 0 19

Hubungan Perilaku Ibu Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016

0 0 2

Hubungan Perilaku Ibu Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016

0 0 11

Hubungan Perilaku Ibu Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016

0 5 3

Hubungan Perilaku Ibu Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016

0 0 25

View of HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DI DESA KARANGSARI KECAMATAN KEBASEN KABUPATEN BANYUMAS

0 0 15