Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

BAB II
HUKUM PERJANJIAN INDONESIA
Dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata yang berisi tentang
pengaturan mengenai perikatan.Pada pasal 1233 kitab undang-undang hukum perdata
bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,baik karena undangundang.BW (K.U.H. Perdata) sebagai undang-undang mulai berlaku atau diumumkan
secara

resmi

pada

tanggal

30

April

1847

(St.


No.23/1847).Dari

tahun

pengundangannya jelas dapat kita ketahui,BW yang dalam Buku III mengatur Hukum
Perjanjian adalah undang-undang produk kolonial Belanda 8
Untuk mengetahui arti sebenarnya dari suatu perjanjian tidaklah mudah karena
banyak pendapat para ahli-ahli hukum didalam memberikan rumusan perjanjian
tersebut.Dengan adanya berbagai pendapat tentang rumusan dari perjanjian
tersebut.Penulis merasa perlu memberikan beberapa pengertian perjanjian menurut
para sarjana.
A. Pengertian Perjanjian
Buku III KUH Perdata bebicara tentang perikatan (Van Verbibtenissen) yang
memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan

8

M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,PT.Alumni,Bandung,1986,hlm.3.

14


Universitas Sumatera Utara

15

beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
undang-undang. 9
Menurut Prof.Dr.Wrijono Prodjodikoro Perjanjian adalah : “Sebagai suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak
menuntut janji itu.” 10
Menurut Abdul Kadir Muhammad, SH. Bahwa : “Perjanjian adalah suatu
perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk saling
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.” 11
Menurut M. Yahya Harahap,SH ,perjanjian atau Verbintenis mengandung
pengertian: “Suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 12
Secara harafiah kata “verbintenis”yang merupakan pengambilalihan dari kata
“obligation” dalam Code Civil Perancis dengan demikian berarti perikatan adalah

kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.

9

Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009,hlm 39.
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas hukum perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 7
11
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian,PT.Alumni, Bandung, 1986, hlm 78
12
M.Yahya Harahap, Op.Cit.,hlm.6.
10

Universitas Sumatera Utara

16

Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak
dalam hubungan hukum perikatan tersebut.Kitab Undang-undang Hukum Perdata
tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah “perikatan”.Diawali dengan
ketentuan pasal 1233, yang menyatakan bahwa.“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi
karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara
sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. 13
Dari beberapa pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat
disimpulkan bahwa wujud pengertian perjanjian itu sendiri yaitu, hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban dipihak
lain untuk memenuhi suatu hal (prestasi) yang telah disepakati.
Perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak, tiap-tiap pihak yang
berjanji untuk mematuhi prestasi kepada pihak lainnya, begitupula pihak lainnya
harus memperoleh pemenuhan prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu.
Oleh karena itu prestasi dapat dirumuskan secara luas sebagai “sesuatu yang
diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik.Perbuatan, sikap tidak

13

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja,Perikatan Pada Umumnya,PT.Raja Grafindo
Pusaka,Jakarta,2004.,hlm.17.

Universitas Sumatera Utara


17

berbuat, atau janji dari masing-masing pihak adalah harga bagi janji yang telah dibeli
oleh pihak lainnya itu.” 14
Prestasi ini adalah “objek” tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan
tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.Prestasi harus berwujud dan
mempunyai nilai; jika tidak demikian, maka tidak ada perjanjian.
Dari pengertian yang telah dikemukakan para sarjana di atas, maka dalam buku
III kitab undang-undang hukum perdata terdapat rumusan tentang perjanjian itu, yang
diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata
Adapun bunyi dari pasal 1313 KUH Perdata tersebut adalah sebagai berikut :
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 15
Namun menurut Handri Raharjo ada beberapa kelemahan dalam definisi
perjanjian menurut KUH Perdata tersebut diantara nya:
1. Didalam KUH Perdata disebutkan “Merupakan perbuatan” menurut handri
raharjo makna ini terlalu luas, seharusnya dipersempit dengan “Merupakan
perbuatan hukum”

14


Ibid.,hlm.99.
R.Subekti, R.Tjitorosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Pradnya Paramita, Jakarta,1979,
hlm 304.

15

Universitas Sumatera Utara

18

2. Dari pengertian diatas juga ditemukan “Yang mengikatkan dirinya hanya 1
pihak , hal tersebut kurang lengkap sehingga bisa disebut perjanjian
sepihak, seharusnya “saling mengikatkan diri”.
3. Apa yang menjadi tujuan tidak jelas, seharusnya diperjelas.
Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian menurut Handri Raharjo adalah :
“Suatau hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat
antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka(para
pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang
satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum lainnya berkewajiban

untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.” 16
Dari rumusan itu dapat kita ketahui ada dua pihak dalam suatu perikatan, yaitu
pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.Pihak yang berhak dinamakan pihak
berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan
dinamakan pihak berhutang atau “debitur”.Dalam hal ini kedua belah pihak memiliki
hubungan hukum dengan arti jika pihak debitur tidak melakukan kewajibannya untuk
memenuhi hak kreditur, maka pihak kreditur dapat melakukan tuntutan kepada pihak
debitur. Dengan kata lain bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum untuk

16

Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.41.

Universitas Sumatera Utara

19

memenuhi suatu prestasi, prestasi adalah suatu hal tertentu yang patut dipenuhi
menurut undang-undang.

Menurut pasal 1338 KUH Perdata: semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan begitu segala sesuatu yang telah dibuat didalam suatu persetujuan
berlaku sebagai suatu undang-undang atau aturan bagi para pihak yang turut sepakat
dalam penyusunan perjanjian tersebut.Dengan berlakunya segala sesuatu tersebut
sebagai suatu undang-undang maka apabila ada pihak yang melakukan suatu hal
sebagaimana dilarang didalam suatu perjanjian, pihak lainnya dapat melakukan
penuntutan untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas hal tersebut.
Persetujuan yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.Dan tentunya persetujuan yang telah disepakati
tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur dalam pasal 1338
kitab undang-undang hukum perdata.
Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh
hukum.Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan
menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah,
pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

20


Oleh karena itu hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang
bisa timbul dengan sendirinya.Hubungan tersebut timbul karena adanya “tindakan
hukum”.Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan
hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang
lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasi.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa prestasi adalah sebuah “objek”
dan kreditur berhak atas prestasi yang diperjanjikan dan debitur wajib melaksanakan
prestasi tersebut. Jika demikian inti dari suatu perjanjian tiada lain adalah prestasi.
Jika undang-undang telah menetapkan pihak kreditur adalah yang berhak atas prestasi
dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka inti dari perjanjian ialah
prestasi itu sendiri.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1234 BW, prestasi yang diperjanjikan itu ialah
untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu.Memberikan
sesuatu dalam pasal 1235 adalah kewajiban si berutang untuk menyerahkan
kebendaan yang bersangkutan. Dalam hal berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
bisa bersifat postif dan negatif
Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk melakukan/berbuat
sesuatu.Hal ini timbul misalnya dalam perjanian kerja seperti diatur dalam pasal 1603

BW.Perjanjian

yang

bersifat

negatif

adalah

verbintenis/perjanjian

yang

Universitas Sumatera Utara

21

memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu.Sewa-menyewa sebagaimana
diatur dalam pasal 1550 BW merupakan salah satu perjanjian dengan prestasi negatif.

Tentang objek perjanjian harus dapat ditentukan adalah sesuatu yang logis dan
praktis. Tidak akan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal
demikian. Itulah sebabnya pasal 1320 BW menentukan bawah objek perjanjian harus
memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu seperti yang dirumuskan dalam pasal
1320 BW, yaitu suatu hal tertentu dan merupakan suatu sebab yang halal. 17
Jikalau objek yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah nyata dilarang
oleh undang-undang maka perjanjian dengan demikian “tidak sah” karena objek
perjanjian merupakan syarat yang mengikat perjanjian tersebut.Sehingga suatu
perjanjian dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum jika objek yang
diperjanjikan melanggar undang-undang dan aturan yang berlaku.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, agar perjanjian itu memenuhi
kekuatan hukum yang sah, objek perjanjian tersebut haruslah objek yang dengan
hukum atau undang-undang serta aturan yang berlaku tidak melarang.Karena suatu
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan
nilai-nilai kesusilaan. 18
Oleh karena itu prestasi yang dilaksanakan debitur harus benar-benar sesuatu
yang dapat dilaksanakan.Dengan maksud adalah bahwa hal yang diwajibkan untuk
17

M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,PT.Alumni,Bandung,1986,.,hlm.10.

18

Ibid.,hlm.11.

Universitas Sumatera Utara

22

dilaksanakan

oleh

debitur

haruslah

hal

yang

memang

mungkin

dapat

dilaksanakan.Misalnya mengangkut barang dari Pekanbaru ke Medan melalui darat
dalam tempo 2 jam.Hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil dapat dilaksanakan
oleh pihak debitur.
Akan tetapi dalam mempersoalkan masalah prestasi yang tidak mungkin ini,
harus dibedakan antara prestasi yang pada dasarnya benar-benar tidak mungkin
dilakukan, dengan prestasi yang memang debitur tidak sanggup untuk memenuhinya.
Dengan membedakan ketidak mungkinan yang terdapat dalam prestasi itu sendiri
dengan ketidak mungkinan yang berasal dari debitur itu sendiri, secara teoritis dan
praktis harus dibedakan antara :
1. Ketidak mungkinan subjektif hanya didasarkan pada anggapan subjektif
debitur. Ketidak mungkinan yang subjektif tidak menyebabkan batalnya
perjanjian; melainkan perjanjian tetap sah.
2. Ketidak mungkinan yang objektif. Dalam hal ini prestasi tidak mungkin
dilaksanakan debitur sekalipun dengan alat dan perhitungan yang benar-benar
cermat. Seperti pada contoh diatas. 19
Jikalau perjanjian yang prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan sejak dari
semula membuat persetujuan, perjanjian yang demikian dengan sendirinya dianggap
“tidak berharga” , dan tidak ada kewajiban debitur untuk memenuhinya. Sebab
ketidak mungkinan itu telah menghapuskan kewajiban itu sendiri. Hal ini telah
19

Ibid.,hlm.12.

Universitas Sumatera Utara

23

menjadi prinsip umum dalam kehidupan hukum, yang berbunyi: “imppossibilium
nulla obligation est.” , artinya “ketidak mungkinan meniadakan kewajiban” 20
Sesuai dengan prinsip umum dalam kehidupan hukum bahwa ketidak
mungkinan meniadakan kewajiban, maka resiko yang timbul akibat ketidak
mungkinan; tidak dapat dibebankan kepada pihak debitur.Sebab perjanjian demikian
tidak mempunyai akibat perjanjian, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.Dengan
catatan bahwa ketidak mungkinan yang mengakibatkan perjanjian sejak dari awal
adalah tidak sah dan tidak mengikat, ialah ketidak mungkinan melaksanakan prestasi
yang diperjanjikan.
Jika pada saat perjanjian tersebut dibuat, prestasi tersebut memang benar-benar
mungkin dapat dilaksanakan,kemudian oleh karena suatu hal menjadi tidak mungkin,
maka perjanjian tersebut tetap sah dan berharga. Adapun masalah sampai dimana
pengaruh kejadian yang menyebabkan ketidak mungkinan melaksanakan prestasi,
persoalan ini termasuk ruanglingkup “overmacht” atau “keadaan memakasa” .
Jika prestasi secara

mutlak tidak bisa dilaksanakan , maka debitur tidak

dianggap merugikan kreditur, jika hal itu terjadi karena “keadaan memaksa” pihak
debitur harus dengan jelas membuktikan kebenaran dari overmacht tersebut. Karena
kemungkinan itu baru terjadi pada saat sebelum atau pada waktu hendak melakukan
pemenuhan prestasi.
Untuk membedakan antara “absolute overmacht” dan “ relative overmacht”
pada absolute overmacht pelaksanaan perjanjian sama sekali tidak mungkin dapat
20

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

24

dilaksanakan oleh debitur. Pada relative overmacht pelaksanaan perjanjian masih
mungkin dilakukan tapi dengan menanggung kerugian yang sangat berat bagi pihak
debitur. 21
Namun dalam hal relative overmacht yang menimbulkan kerugian besar, tidak
dianggap sebagai alasan overmacht yang membebaskan debitur untuk melaksanakan
prestasi.Sebab kerugian seperti itu dalam perikatan merupakan resiko. Bahwa setiap
orang yang sepakat untuk membuat suatu perjanjian harus sudah siap memperkirakan
segala resiko yang akan terjadi.
Akan tetapi dalam memperhitungkan resiko kerugian yang terjadi, pada
prakteknya selalu dibebankan kepada kedua belah pihak antara kreditur dan debitur;
jika benar keadaan yang menimbulkan overmacht tadi tidak dapat diperhitungkan
sejak awal.Harus diingat dengan jelas bahwa keadaan-keadaan yang bersifat pribadi
tidak dapat diperhitungkan sebagai alasan overmacht.
Dalam Hukum Perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas
perjanjian ada lima, yaitu : 22
1. Asas kebebasan berkontrak.
Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapapun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar

21

Ibid.,hlm.13.
Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.43.

22

Universitas Sumatera Utara

25

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (pasal 1337 dan 1338
KUH Perdata)
Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi
relatif(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang
menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalm hukum
perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat
memaksa) dinamakan hukum pelengkap karena pihak boleh membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum
perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka
mereka(para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam
hala ini Buku III KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun.
c) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.
Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak
melanggar undang-undang ketertiban umum, dan kesusilaan.
2. Asas konsensualisme.
Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320,Pasal
1338 KUH Perdata) Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para
pihak.

Universitas Sumatera Utara

26

3. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda).
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi yang membuatnya (Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata).
4. Asas itikad baik (Togue dentrow).
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata). Itikad baik ada dua, yakni:
a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si
A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka
diganti cap semut oleh si B.
b) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A
ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (berpenampilan seperti
preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga yang
sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal
atau barang tidak legal.
5. Asas kepribadian (personalitas)
Pada umumnya tidak seorang pendapat mengadakan perjanjian kecuali
untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH
Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
B. Jenis- Jenis Perjanjian
Mengenai perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan
yang tercantum dalam buku III KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan

Universitas Sumatera Utara

27

pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat
mengadakan perjanjian dengan, mengeyampingkan peraturan-peraturan perjanjian
yang ada. Oleh karena itu para pihak yang hendak mengadakan perjanjian , berhak
untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam KUH
Perdata.
Perjanjian dapat dibedakan menururut berbagai cara, yaitu:
1. Perjanjian menurut sumbernya :
a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga misalnya, perkawinan.
b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian
yang berhubungan dengan peralihan hukum benda.
c) Perjanjian obligatoir , adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban.
d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.
e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.
2. Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi :
a) Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata. Yang termasuk kepada perjanjian ini misalnya,
perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan lain-lain.
b) Perjanjian tidak bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang
tidak diatur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang
menentukan sendiri perjanjian itu. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi
masing-masing pihak.

Universitas Sumatera Utara

28

3. Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak
tertulis dan perjanjian tertulis. Yang termasuk perjanjian lisan adalah:
a) Perjanjian konsensual dan perjanjian real.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya
persetujuan kehendak antara para pihak.
b) Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian disamping adanya
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas
barangnya.Contohnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan,
perjanjian pinjam pakai dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu :
a)

Perjanjianstandar atau baku adalah perjanjian tertulis yang berbentuk
tertulis berupa formulir yang isinya telah di standarisasi (dibakukan)
terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen, serta bersifat massal,
tanpa

mempertimbangkan

perbedaan

kondisi

yang

dimiliki

konsumen.
b) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan
formalitas tertentu, misalanya perjanjian perdamaian yang harus
secara tertulis, perjanjian hibah dengan akta notaris. 23

23

Ibid., hlm.59.

Universitas Sumatera Utara

29

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya ditinjau dari segi
prestasi perjanjian, dapat dibagi antara “perjanjian untuk memberikan sesuatu” ,
“melakukan sesuatu”, “tidak melakukan sesuatu”.
Selain jenis-jenis perjanjian yang telah disebutkan di atas, hukum perdata juga
mengenal beberapa jenis perjanjian yang lainnya, yaitu :
1. Perjanjian Positif dan Negatif.
Perjanjian positif dan negatif ini adalah pembagian perjanjian yang
ditinjau dari segi “isi” prestasi yang harus dilaksanakan.
Suatu perjanjian disebut positif apabila pelaksanaan prestasi yang
dimaksud dalam isi perjanjian merupakan “tindakan positif”, baik berbuat
sesuatu, menyerahkan sesuatu, atau melakukan sesuatu.
Dan yang disebut dengan perjanjian negatif adalah, apabila prestasi yang
menjadi maksud perjanjian merupakan sesuatu tindakan ngatif hal ini terdapat
pada persetujuan yang berupa “tidak melakukan sesuatu” (niet te doen). 24
2.

Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada
satu pihak saja, sedangkan dilain pihak hanya ada haknya saja.Contohnya
perjanjian hibah, hadiah, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma.Sedangkan
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban
kepada kedua belah pihak. Contohnya

24

M.Yahya Harahap,Op.Cit., hlm.34.

Universitas Sumatera Utara

30

Perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.
Didalam KUH Perdata Buku III diatur berbagai persetujuan tertentu, seperti
jual beli,sewa menyewa,tukar menukar barang, pemberian kuasa, perjanjian
perburuhan, pemborongan kerja dan lain-lain.
Lalu dari peraturan tersebut timbul pertanyaan, apakah perjanjian pengangkutan
dapat dikategorikan kepada salah satu dari perjanjian tertentu yang ada dalam KUH
Perdata. Menurut HMN. Purwosujtipto,SH. Bahwa perjanjian pengangkutan tidak
termasuk kedalam salah satu perjanjian tertentu yang diatur dalam KUH Perdata.
Demikian juga pendapat Prof. Wirjonoprodjodikoro,SH. 25
Persamaan antara perjanjian pengangkutan dan pemberian kuasa hanya terdapat
dalam hal unsur menyuruh orang lain mengerjakan Sesutu bagi kepentingan pihak
yang menyuruh. Tetapi perbedaannya sangat mendasar. Bahwa dalam pemberian
kuasa, ada hubungan yang hakiki dan erat antara yang memberi kuasa dan yang diberi
kuasa dalam suatu perbuatan tertentu sehingga dengan perbuatan tersebut timbul
hubungan hukum antara si pemberi kuasa sendiri, dan penyuruhan orang lain pada
hakekatnya hanya dilakukan dalam hal si pemberi kuasa berhalangan atau keberatan
untuk melakukan perbuatan itu sendiri.
Jadi dalam hal pemberian kuasa perlu dibuat suatu pasal-pasal yang jelas
mengenai hubungan antara pihak pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa.Hal
tersebut tidak diperlukan dalam perjanjian pengangkutan.

25

HMN.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Buku III Hukum Pengangkutan,Djambatan,
Jakarta,1987, hlm 187.

Universitas Sumatera Utara

31

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian pengangkutan tidak
termasuk kepada perjanjian-perjanjian tertentu seperti yang diatur dalam KUH
Perdata,akan tetapi merupakan jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUH
Dagang.
Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya
memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaan itu dapat dilihat dalam tabel dibawah
ini: 26
Perjanjian

Perikatan

Perjanjian menimbulkan perikatan

Perikatan adalah isi perjanjian

Perjanjian lebih konkret daripada
perikatan, artinya perjanjian itu dapat
dilihat dan didengar

Perikatan merupakan pengertian yang
abstrak ( hanya dalam pikiran)

Pada umumnya perjanjian merupakan
hubungan hukum bersegi dua,
artinya:Akibat hukum dikehendaki
kedua belah pihak. Hal ini bermakna
bahwa hak dan kewajiban dapat
dipaksakan. Pihak-pihak berjumlah
lebih dari atau sama dengan 2 sehingga
bukan pernyataan sepihak, dan
merupkan perbuatan hukum.

Bersegi satu, hal ini berarti belum tentu
menimbulkn akibat hukum, sebagai
contoh, perikatan alami tidak dapat
dituntut dimuka pengadilan (hutang
karena judi) pemenuhannya tidak dapat
dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah 1
maka merupakan pernyataan sepihak dan
merupakan perbuatan biasa (bukan
perbuatan hukum)

26

Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.43.

Universitas Sumatera Utara

32

C. Syarat-syarat Perjanjian
Seperti kita ketahui bahwa hukum perjanjian diatur dalam buku III KUH
Perdata, yang terdiri dari 18 bab. Dari 18 bab ini diklasifikasikan menjadi ketentuanketentuan umum dan ketentuan khusus.
Ketentuan umum diatur mulai dari Bab I s/d Bab IV, sedangkan ketentuan
khusus diatur mulai dari Bab V s/d Bab XVIII KUH Perdata.
Berlakunya ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus dapat
dibatasi sepanjang hal-hal yang sudah diatur secara khusus pula.Jika belum diatur
secara khusus, maka berlaku ketentuan umum.Hal ini dapat diketahui dari ketentuan
pasal 1319 KUH Perdata dan pasal 1 KUH Dagang.
Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan : “Semua persetujuan, baik yang
mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat didalam bab ini dan
bab yang lalu.” 27
Yang dimaksud dengan “dalam bab ini dan bab yang lalu”dalam pasal ini
adalah bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian dan bab I
tentang perikatan-perikatan pada umumnya.

27

R.Subekti, R.Tjitorosudibio,Op.Cit.,hlm.305.

Universitas Sumatera Utara

33

Pasal I KUH Dagang menyatakan : “Kitab Undang-undang hukum perdata
berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang ini, sekedar di
dalam kitab undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”. 28
Karena KUH Dagang mengatur tentang perikatan, maka kitab undang-undang
hukum perdata yang dimaksud dalam pasal ini mengenai Bab I tentang perikatan
yang dilahirkan dari perjanjian, Bab III tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan
demi undang-undang seperti yang diatur dalam pasal 1352 dan 1353, pada bab IV
tentang hapusnya perikatan.
Mengenai penerapan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur hal yang sama
tidak perlu diperlakukan lagi. Jika mengenai satu hal belum diatur secara khusus,
maka ketentuan-ketentuan umum yang mengatur hal yang sama diperlakukan.
Misalnya dalam KUH Dagang sudah diatur secara khusus dan terperinci
mengenai peraturan tertentu, tetapi syarat-syarat sah perjanjian tidak disebutkan maka
berlaku pasal 1320 KUH Perdata.
Berkenaan dengan perjanjian, pasal 1320 KUH Perdata menentukan syaratsyarat bagi sah nya suatu perjanjian yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
3. Suatu hal tertentu ;
4. Suatu sebab yang tidak halal. 29
28

R.Subekti, R.Tjitorosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan
,Pradnya Paramita, Jakarta,1991, hlm .9.

Universitas Sumatera Utara

34

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk mengadakan suatu perjanjian penulis akan membahas syarat- syarat tersebut
secara satu persatu.
A. Sepakat (toestemming).
Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan
perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak.
Unsur kesepakatan :
1. Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan
penawaran.
2. Acceptasi (penerimaan) adalah pihak yang menerima penawaran.
Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi, ada beberapa macam
teori/ajaran yaitu:
1. Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak
pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima
penawaran tersebut.
2. Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak
yang dinyatakan itu dikirim oleh phak yang menerima tawaran.
3. Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan
seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun
29

R.Subekti, R.Tjitorosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Pradnya Paramita,
Jakarta,1979,hlm.305.

Universitas Sumatera Utara

35

penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara
langsung.)
4. Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak
yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Kesepakatan penting karena itu merupakan awal terjadinya perjanjian, sepakat
harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan.
Masalah lain yang dikenal dalam KUHPerdata yakni disebut dengan cacat kehendak
(kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat
kehendak )Pasal 1321 KUHPerdata):
1. Kekhilafan (Pasal 1322 KUHPerdata)
Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi
kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai
orangnya atau objeknya.

2. Paksaan (Pasal 1323-1327)
Paksaan bukan karena kehendak diri namun dipengaruhi oleh orang
lain, yang dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa
dirinya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan jasmani
atau ancaman yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang
sehingga ia membuat perjanjian

Universitas Sumatera Utara

36

3. Penipuan (Pasal 1328 KUHPerdata)
Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran
yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain
bergerak untuk menyepakati. 30
B. Kecakapan
Setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh
kecakapan dan kewenangan hukum.Kecakapan berbuat adalah kewenangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.
Perbedaan diantara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah
bila kewenangan hukum maka subjek hukum adalah hal pasif sedang pada
kecakapan berbuat subjek hukummnya aktif.
Siapa yang cakap berbuat?
1) Pasal 1330 KUHPerdata
Orang dewasa (masing-masing aturan berbeda-beda).
2) Pasal 330 KUHPerdata
Sehat akal pikiranya (tidak ditaruh dibawah pengampuan).
3) Pasal 47 UNdang-undang No.1 Tahun 1974.
Tidak dilarang undang-undang.

30

Handri Raharjo,Hukum perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.47.

Universitas Sumatera Utara

37

Dulu perempuan termasuk kepada orang yang tidak cakap berbuat, tetapi hal ini
sudah dicabut dengan SEMA No.3 Tahun 1963.Dengan demikan maka orang yang
tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum).
Siapa yang tidak cakap berbuat?
1) Mereka yang belum cukup umur
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap
berusia 21 tahun dan belum menikah.Agar mereka yang belum dewasa
dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh
wali/perwalian.
2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan.
Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat
pribadinya dianggap tidak cakap. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap
tidak cakap adalah (Pasal 433 KUHPerdata) :
a. Keadaan dungu.
b. Sakit ingatan/gila/mata gelap.
c. Pemboros dan pemabuk.
Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya
permohonan yang diajukan oleh keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari
kejaksaan (Pasal 434-435). 31

31

Ibid.,hlm.51.

Universitas Sumatera Utara

38

C. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d
1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal
tersebut
1. Objek yang akan ada.
2. Objek yang dapat diperdagangkan 32.
D. Suatu sebab yang halal.
Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para
pihak mengadakan perjanjiannya.Halal adalah yang tidak bertentangan
dengan undang-undnag, ketertiban umum, dan kesusilaan. 33
Dalam ilmu hukum dua syarat pertama dikenal dengan nama syarat subjektif
oleh karena berhubungan dengan subjek perjanjian. Berdasarkan rumusan-rumusan
pasal 1322, pasal 1327, pasal 1328, pasal 1331 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, bahwa jika syarat subjektif yang tidak dipenuhi, ternyata tidak mengkibatkan
perjanjian batal demi hukum.Melainkan harus dimintakan pembatalannya.
Seperti pada pasal 1320 yang menyebutkan bahwa “sepakat mereka yang
mengikat dirinya”.Pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus mencapai
kata sepakat.Perundingan adalah tindakan yang mendahului tercapainya persetujuan
tersebut.Selagi pihak-pihak mengadakan perundingan, di situ belum dikatakan ada

32

Ibid.,hlm.56.
Ibid.,hlm.57.

33

Universitas Sumatera Utara

39

persetujuan, setelah perundingan selesai, tawaran pihak yang satu diterima oleh pihak
yang lainnya, artinya telah tercapai kesepakatan tentang pokok perjanjian, maka
ketika itulah terjadi persetujuan.
Dan pada syarat selanjutnya yang harus dipenuhi dalam pemenuhan syaratsyarat perjanjian adalah “kecakapan untuk membuat suatu kesepakatan”.Diawal
pembahasan telah ditegaskan bahwa perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya
hubungan hukum antara dua orang atau lebih.Dengan arti bahwa pendukung hukum
perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu.Masing-masing orang
dalam perjanjian tersebut menduduki tempat yang berbeda satu orang menjadi pihak
kreditur dan seorang lagi sebagai debitur.
Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian.Kreditur mempunyai
hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi tersebut.Beberapa
orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi
sahnya perjanjian.Hal seperti ini biasa terjadi pada “percampuran hutang”
sebagaimana diatur dalam pasal 1436 BW.
Maka dengan sesuai teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari :
1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan.
a) Natururlijke persoon atau manusia tertentu.
b) Rechts persoon atau badan hukum 34

34

M.Yahya Harahap,Op.Cit., hlm.15.

Universitas Sumatera Utara

40

2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain
tertentu. Misalnya,seorang menyewa rumah A. Penyewa bertindak atas
keadaan dan kedudukannya sebagai penyewa rumah A, bukan atas nama
inpersoon, tapi atas nama A sebagai pemilik sesuai dengan keadaanya
sebagai penyewa. Untuk lebih jelas nya dapat dilihat dalam ketentuan pasal
1576 BW. 35
3. Persoon yang dapat diganti
Untuk persoon atau kreditur yang dapat diganti berarti kreditur menjadi
subjek semula, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur
baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk
perjanjian “atas nama”. 36
Tentang siapa-siapa yang dapat menjadi debitur, sama keadaanya dengan
orang-orang yang dapat menjadi kreditur; yaitu :
A. Individu sebagai persoon yang bersangkutan.
a) Natuurlijke persoon
b) Rechts persoon
B. Seorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak atas orang tertentu.

35

Ibid.,hlm.16.
Ibid.

36

Universitas Sumatera Utara

41

C. Seorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitur semula, baik
atas dasar bentuk perjanjian maupun izin dan persetujuan kreditur. 37
Sedangkan kedua syarat yang disebutkan terakhir, dikenal dengan istilah syarat
objektif, karena berkaitan dengan objek dari perjanjian, yang tanpa keberadaannya,
perjanjian itu tidak pernah ada.
Selanjutnya terhadap pemenuhan syarat objektif, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal
1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:
“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa sutu
kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi hubungan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Ini berartidalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk
memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan
dijadikan objek dalam perjanjian, yang selanjutnya akan menjadi objek dalam
perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik atau tidak) diantara para pihak yang

37

Ibid., hlm.17.

Universitas Sumatera Utara

42

membuat perjanjian tersebut. Meskipun secara prinsip dikatakan bahwa kebendaan
tersebut haruslah sudah ditentukan. 38
Syarat objektif kedua berhubungan dengan sebab yang halal, yang dalam
ketentuan Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa yang
disebut dengan sebab yang halal adalah:
1. Bukan tanpa sebab;
2. Bukan sebab yang palsu;
3. Bukan sebab yang terlarang.
Secara prinsip dapat kita katakana bahwa apa yang dinamakan dengan sebab
yang halal tersebut bukanlah pengertian sebab yang dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari kita, yang menunjuk kepada sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu

peristiwa

hukum,

berubahnya

keadaan

hukum,

dilakukan

atau

dilaksanakannya suatu perbuatan hukumtertentu. Hukum tidak pernah berhubungan
dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi suatu perjanjian, melainkan
cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang
bertentangan dengan undang-undang,kesusilaan dan ketertiban umum. 39
Untuk syarat “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”.Syarat ini berkaitan
dengan objek perjanjiannya atau prestasi yang diperjanjikan.Dalam pasal 1320 KUH
38

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja,Perikatan Pada Umumnya,PT.Raja Grafindo
Pusaka,Jakarta,2004.,.hlm.30.
39
Ibid.,hlm.32.

Universitas Sumatera Utara

43

Perdata menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu
harus objek tertentu.Atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai “jenis” tertentu
seperti yang dirumuskan dalam pasal 1333 BW. 40Jika objek perjanjian yang dimuat
dalam perjanjian tidak menjelaskan suatu hal tertentu tersebut dengan jelas dan
pasti.Maka dengan sendirinya perjanjian demikian “tidak sah” jika objeknya tidak
tertentu, atau tidak diketahui dengan pasti.
Syarat tentang hal objek perjanjian harus adalah sebab yang halal, objek yang
diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan aturan perundang-undangan dan juga
kesusilaan yang berlaku.Syarat perjanjian yang melanggar kesusilaan bertentangan
dengan ketentuan pasal 1254 BW, pasal tersebut memuat kata kesusilaan. Kesusilaan
yang dimaksud bukan hanya yang bertentangan dengan undang-undang saja, tapi
segala sesuatu yang tidak “senonoh” atau “tidak layak” dalam pergaulan hidup
bermasyrakat.Jika pada prakteknya, adanya suatu perjanjian dengan objek yang
dengan jelas dan pasti melanggar kesusilaan.Maka perjanjian tersebut dapat
dinyatakan batal demi hukum. Yang dimaksud dengan kesusilaan yang dapat
membatalkan perjanjian adalah:
a. Kesusilaan

yang

dengan

tegas

dilarang

undang-undang.

Misalnya,

membunuh, menyuruh berzina atau memperkosa dan lain-lain. Hal-hal seperti
ini jelas bertentangan dengan undang-undang.

40

M.Yahya Harahap,Op.Cit.,hlm.10.

Universitas Sumatera Utara

44

b. Bertentangan dengan “kepatutan” yang telah menjadi adat kebiasaan dalam
kehidupan masyarakat. Misalnya, melarang orang untuk kawin dengan alasan
dan tujuan untuk menguntungkan pihak lain. Contoh, A bersedia memberikan
mobil mewah kepada B dengan syarat B tidak boleh kawin. Tentunya syarat
seperti ini bertentangan dengan adat dan kepatutan. 41
Dengan demikian jelaslah bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang
menjadi objek perjanjian, prestasi, atau kewajiban atau utang tidak pernah
ada.Diantara para pihak yang menyatakan kehendaknya tersebut.Dan bahwa syaratsyarat dalam perjanjian yang telah dijelaskan diatas.harus dipenuhi, agar sebuah
perjanjian dinyatakan sah dan berkekuatan hukum

41

Ibid., hlm.51.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Baku oleh Developer Properties (Studi pada PT. Multi Cipta Property)

0 53 112

Aspek Hukum Perjanjian Pengangkutan Barang Dalam Penyelenggaraan Angkutan Darat (Studi Pada PT Bintang Rezeki Utama Jakarta)

5 109 87

Pelaksanaan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Perusahaan Angkutan Darat Di Kota Medan (Studi Di Perusahaan Pengangkutan Barang CV. Asi Murni)

1 37 159

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Perusahaan Pengguna Jasa Tenaga Kerja Dengan Perusahan Penyedia Jasa Pekerja (Studi Penelitian Di PT. Gunung Garuda Group)

0 52 102

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

5 33 105

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

0 0 8

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

0 0 1

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

0 0 13

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

0 0 2

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

0 0 3