Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Perusahaan Pengguna Jasa Tenaga Kerja Dengan Perusahan Penyedia Jasa Pekerja (Studi Penelitian Di PT. Gunung Garuda Group)

(1)

ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PERUSAHAAN PENGGUNA JASA TENAGA KERJA DENGAN

PERUSAHAN PENYEDIA JASA PEKERJA

(STUDI PENELITIAN di PT GUNUNG GARUDA GROUP)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Diajukan Oleh:

PRANANTA BAGUS OKTO 070200265

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Dr.H.Tan Kamello,SH.MS Ramli Siregar,SH.M.Hum (NIP : 1962 0421 1988 03 1004) (NIP.1953 0312 1983 03 1002)

Diketahui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Perdata

Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum (Nip : 1966 0303 1985 08 1001)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya persembahkan kepada Tuhan Yesus, karena kasih dan anugerahNya saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini bejudul Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Perusahaan Pengguna Jasa Tenaga Kerja Dengan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja. Ini diajukan sebagai tugas akhir untuk melengkapi kurikulum Universitas Sumatera Utara, dan penulis selesaikan guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum. Selaku Ketua Departemen Hukum Perdata, dan Ibu Rabiatul, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata.


(3)

5. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH. MS. Selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Ramli Siregar, SH, M.hum Selaku Dosen Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini.

6. Mantan Kabag TU, Om Hoesni (Chunik).

7. Seluruh dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan asuhan dan bimbingan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya kepada:

Bapak Prof. Dr. Syafuddin Kalo, SH.M.Hum, Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH.MS, Bibi Maria Kaban, SH.M.Hum, Ibu Mariati Zendrato, SH.MH, Bapak Tambah Sembiring, SH, Bapak Jusmadi Sikumbang, SH.MS, Bapak Abul khair, SH.M.Hum, Bapak B.M Sembiring, Bapak Syamsul Rizal, SH.M.Hum, Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum, Syarifahlisa, SH, Khairun Naim, SH, Amsali Sembiring, SH,.

8. Seluruh staf pendidikan beserta seluruh karyawan di lingkungan Fakultas Hukum

9. Papa (Mitar Pelawi, SH, MM), dan Mama (Alm. Triesiany Agustiningsih, SE) Terimakasih karena telah membesarkan dan merawat dengan kesabaran dan kasih sayang dari kecil sampai saat ini, serta doa dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Strata satu (S1). Terkhusus buat alm mama, inilah yang dapat nanta lakukan sebagai bukti dari janji nanta kepada mama untuk menyelesaikan study strata satu(S1)..


(4)

10. Kakak dan Adek Tercinta, Rensaroja Ayu Br Pelawi,SH dan Agi Egia Pelawi yang telah memberikan dorongan serta cinta kasih kalian. Sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini

11. Lita Yustitia Lingga, yang sedikit banyak telah mengiringi perjalanan selama berkuliah baik dalam keadaan suka maupun duka. Terimakasih juga atas masukan serta motivasi saat penulis sedang mengerjakan penulisan skripsi 12. Kila Sinuraya dan Bibi Maria Br Pelawi. Terimakasih atas kesediaan

rumahnya dapat saya tempati pada awal perkuliahan selama 1 tahun.

13. Bibi Tua Kabanjahe (Rehulina Br Pelawi) dan Bapak Tua (Rintaman Pelawi). Terimakasih atas support dan doanya, baik itu beberapa saat setelah mama wafat maupun saat penulis sedang menempuh pendidikan S1.

14. Bapak Uda, Pdt Dharma Pelawi yang telah turut mendoakan.

15. Sepupu—sepupu: Bang Nelson Sinulingga, Kak Nita, Bang Nirat Pelawi, Mas Ari, Ka Junita, Bang Jhon Sukatendel, Ka Nani Br Bukit, Ka Lena, Bang Anto Ginting, Ka Rita Br Bukit, Bang Jhonatan Bukit, dan seluruh keluarga dimanapun berada yang tidak cukup saya sebutkan namanya satu persatu, penulis sampaikan terima kasih karena berkat dukungan doanya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini, kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang terbaik bagi kita sekalian

16. Tante Iptu Yatini, di Surabaya yang telah memberikan masukan bagi penulis. 17. Om Tapken Purba, SH,

18. Pak Bos, Cerdas Kaban 19. Kila Nalsal Singarimbun, SH


(5)

20. Om Binsar Barus

21. Kantor hukum dan Konsultan ketenagakerjaan M.M.S Law Office

22. PT Gunung Garuda Group, yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian lapangan dan memberikan data yang diperlukan 23. Bapak Idris Barus, SH

24. Abang dan Kakak Senior pada waktu perkuliahan di Fakultas Hukum U.S.U 25. Teman-teman mahasiswa angkatan 2007 khususny (Nimrot Sihombing, Andi

Nova Bukit,SH, Ametha Alphirastika Sembiring, Hendra Hutajulu, Sarah Bangun, Deni Simatupang, Rico Tarigan, Irveb Tarigan, Andre Rajagukguk) 26. Sahabat SMA (Wisnu,Ragil,Nahar,Darus)

27. Pendeta di gereja GBKP Bekasi (Pdt Nani)

28. Teman-teman gereja GKPO dan youth GBI Cawank

29. Teman Kelompok Kecil St Mafioso( Ka Sastrayani Sinaga, Ka Werdayani Purba, Alboin Pasaribu, Suahardi Fonger)

30. Teman-teman Ikatan Mahasiswa Karo

31. Teman-teman Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

32. Teman-teman Perhimpunan Mahasiswa Hukum (Bang Hamdani Parinduri,SH, Bang Jhon hendrik Hasibuan,SH, Bang Hengki, SH)

33. Teman-teman Sarbur St Thomas 2 dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu.

34. Teman-Teman Start Agency dan Kru CBN (Terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi ass Pemeran Utama, sungguh pengalaman menarik)


(6)

35. Semua pihak yang telah berjasa dan penulis meminta maaf atas keterbatasan penulis sehingga penulis tidak dapat menyebutkannya satu-persatu.

Demikianlah prakata yang dapat penulis sampaikan dan lakukan untuk saat ini, kiranya kasih Tuhan senantiasa menyertai serta memberkati kita semua.

Medan, 28 Mei 2011 Penulis


(7)

ABSTRAK

Perkembangan ekonomi global, menimbulkan persaingan yang semakin ketat menuntut pelaku usaha melakukan langkah efisiensi dalam segalalini agar perusahaan dapat tetap dan terus eksis dengan ketat harus menimbulkan produk dan atau jasa layanan terbaiknya. Menghadapi kompetisi sebagai akibat semakin diminati kerja lingkungan bisnis, maka perusahaan harus semakin linear dan responsive sehingga selalu mampu menyesuaikan dengan perubahan kerja lingkungan bisnis yang karateristiknya serba cepat dan serba tidak pasti. Sesuai kondisi tersebut agar dunia usaha dapat tetap dan terus eksis, banyak perusahaan menggunakan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan dengan status hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, yang dikenal dengan istilah

outsourcing.

Metodelogi penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, merupakan gabungan dari metode deskriptif dan analisis, dimana data yang diperoleh diuraikan, kemudian dianalisa secara sistimatis sehingga dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan. Tehnik pengumpulan data meliputi ; Penelitian Kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku, catatan-catatan kuliah, dan makalah-makalah yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini, dan Penelitian Lapangan yaitu untuk memperoleh data-data yang objektif sehubungan dengan judul skripsi ini, termasuk melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap perlu.

Proses pembuatan perjanjian kerjasama di PT Gunung Garuda Group dilakukan karena adanya kebutuhan pengelolaan pekerjaan. Mekanisme pemberitahuan kebutuhan pengelolaan pekerjaan yang dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, pemberitahuan secara terbuka kepada umum, atau cara kedua pemberitahuan secara tertutup kepada perusahaan. Status pekerja perusahaan penyedia jasa pekerja terhadap PT Gunung Garuda Group perusahaan pengguna jasa tenaga kerja tidak memiliki perlindungan hukum. Undang-Undang no 13 tahun 2003 secara implisit memberikan pilihan kepada perusahaan untuk memilih mengerjakan sendiri pekerjaan atau menyerahkan pekerjaan tersebut kepada perusahaan lain. Penyelesaian perselisihan yang terjadi di PT Gunung Garuda Group dapat digolongkan kedalam dua aspek hukum yaitu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha PT Gunung Garuda Group yang menyangkut masalah perjanjian kerja, atau yang dikenal dengan perselisihan hubungan industrial maka penyelesaiannya mengacu kepada Undang-Undang No.2 Tahun 2004, sedangkan penyelesaian perselisihan yang menyangkut masalah perjanjian kerja sama antara PT Gunung Garuda Group dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja, mengacu kepada KUHPerdata


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAKSI ...vi

DAFTAR ISI ...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM SUATU PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 13

B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 16

C. Asas-Asas Tentang Perjanjian ... 38

D. Hapusnya Perjanjian ... 43

BAB III PERJANJIAN KERJA SEBAGAI DASAR LAHIRNYA HUBUNGAN KERJA A. Definisi Perjanjian Kerja ... 51


(9)

B. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja ... 54 C. UnsurUnsur Perjanjian Kerja... 62

BAB IV ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PERUSAHAAN PENGGUNA JASA TENAGA KERJA DENGAN PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA (STUDY PENELITIAN PT.GUNUNG GARUDA GROUP) A. Proses Pembuatan Perjanjian Kerjasama Di PT Gunung

Garuda Group ... 66 B. Status Pekerja Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja Terhadap

Perusahaan Pengguna Jasa Tenaga Kerja di PT GUNUNG GARUDA GROUP ... 71 C. Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Hal

Penyerahan Pekerjaan Berdasarkan Jenis Perjanjian Kerja ... 74 D. Penyelesaian Perselisihan Di PT Gunung Garuda Group

Menyangkut Perjanjian Kerjasama ... 83 BAB V Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan ... 88 B. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA ... 91 LAMPIRAN


(10)

ABSTRAK

Perkembangan ekonomi global, menimbulkan persaingan yang semakin ketat menuntut pelaku usaha melakukan langkah efisiensi dalam segalalini agar perusahaan dapat tetap dan terus eksis dengan ketat harus menimbulkan produk dan atau jasa layanan terbaiknya. Menghadapi kompetisi sebagai akibat semakin diminati kerja lingkungan bisnis, maka perusahaan harus semakin linear dan responsive sehingga selalu mampu menyesuaikan dengan perubahan kerja lingkungan bisnis yang karateristiknya serba cepat dan serba tidak pasti. Sesuai kondisi tersebut agar dunia usaha dapat tetap dan terus eksis, banyak perusahaan menggunakan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan dengan status hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, yang dikenal dengan istilah

outsourcing.

Metodelogi penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, merupakan gabungan dari metode deskriptif dan analisis, dimana data yang diperoleh diuraikan, kemudian dianalisa secara sistimatis sehingga dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan. Tehnik pengumpulan data meliputi ; Penelitian Kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku, catatan-catatan kuliah, dan makalah-makalah yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini, dan Penelitian Lapangan yaitu untuk memperoleh data-data yang objektif sehubungan dengan judul skripsi ini, termasuk melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap perlu.

Proses pembuatan perjanjian kerjasama di PT Gunung Garuda Group dilakukan karena adanya kebutuhan pengelolaan pekerjaan. Mekanisme pemberitahuan kebutuhan pengelolaan pekerjaan yang dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, pemberitahuan secara terbuka kepada umum, atau cara kedua pemberitahuan secara tertutup kepada perusahaan. Status pekerja perusahaan penyedia jasa pekerja terhadap PT Gunung Garuda Group perusahaan pengguna jasa tenaga kerja tidak memiliki perlindungan hukum. Undang-Undang no 13 tahun 2003 secara implisit memberikan pilihan kepada perusahaan untuk memilih mengerjakan sendiri pekerjaan atau menyerahkan pekerjaan tersebut kepada perusahaan lain. Penyelesaian perselisihan yang terjadi di PT Gunung Garuda Group dapat digolongkan kedalam dua aspek hukum yaitu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha PT Gunung Garuda Group yang menyangkut masalah perjanjian kerja, atau yang dikenal dengan perselisihan hubungan industrial maka penyelesaiannya mengacu kepada Undang-Undang No.2 Tahun 2004, sedangkan penyelesaian perselisihan yang menyangkut masalah perjanjian kerja sama antara PT Gunung Garuda Group dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja, mengacu kepada KUHPerdata


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, yang kemudian berlanjut dengan krisis kepercayaan, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya, krisis keamanan, dan krisis mental, yang mengakibatkan kondisi negara indonesia sangat memperihatinkan, sehingga tantangan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia semakin berat dan semakin kompleks pula. Selain daripada krisis tersebut, nampaknya persaingan ekonomi semakin terbuka dan mengglobal, karena perdagangan antar individu dan antar bangsa semakin bebas pula, seakan-akan tidak ada lagi batas antar negara, yang ditandai dengan derasnya arus informasi dan komunikasi yang begitu mudah dan cepat dari seluruh dunia, demikian juga dengan letak geografis kepulauan nusantara kita, yang jumlahnya puluhan ribu pulau, berada pada posisi silang yang diapit oleh dua benua yaitu benua Asia disebelah utara, dengan paham sosialis/komunis, dan benua Australia di selatan, dengan paham liberalis, serta jumlah penduduk nomor empat terbesar dunia, maka dengan mencermati kondisi posisi silang tersebut serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas masalah perjanjian perdagangan di indonesia yang akhir-akhir ini di lihat semakin berkembang, sangat berpotensi disusupi negara lain yang punya kepentingan ipoleksosbudagmil, yang pada gilirannya akan berpotensi menjadi sumber perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(12)

Perkembangan ekonomi global, menimbulkan persaingan yang semakin ketat menuntut pelaku usaha melakukan langkah efisiensi dalam segalalini agar perusahaan dapat tetap dan terus eksis dengan ketat harus menimbulkan produk dan atau jasa layanan terbaiknya. Menghadapi kompetisi sebagai akibat semakin diminati kerja lingkungan bisnis, maka perusahaan harus semakin linear dan responsif sehingga selalu mampu menyesuaikan dengan perubahan kerja lingkungan bisnis yang karateristiknya serba cepat dan serba tidak pasti.

Sesuai kondisi tersebut agar dunia usaha dapat tetap dan terus eksis, banyak perusahaan menggunakan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan dengan status hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, yang dikenal dengan istilah outsourcing.

Praktek hubungan kerja dan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan atau menyerahkan sebagian pelaksana pekerjaan kepada perusahan lain, sudah lama dikenal di Indonesia. Khusus pelaksana outsourcing telah dikenal sejak jaman kolonial Belanda sebagaimana tercantum dalam Pasal 1601 b KUH perdata yang mengatur “ Pemborongan pekerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, sipemborong mengikatkan diri unutk menyerahkan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborong dan menerima suatu harga yang ditetapkan “. Namun sebelum keluarnya Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tidak ada satupun peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang mengatur tentang


(13)

outsourcing. Kalaupun ada yang menyebutkan Peraturan Menteri Tenaga

Kerja No : per-02/Men/1993 tanggal 15 Pebruari 1993 hanyalah mengatur tentang Kesepakatan Kerja Waktu tertentu, yaitu aspek hubungan kerja dan tanggung jawab renteng.

Secara leterleg kata outsourcing tidak ada diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, akan tetapi karena penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain diartikan sebagai outsourcing, maka Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pemborongan pekerjaan, atau penyediaan jasa pekerja / buruh yang dibuat secara tertulis, dan inilah yang sering diartikan orang dengan istilah outsourcing.

Sehingga untuk menyikapi praktek pelaksanaan PKWT dan

outsourcing, maka Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003

dalam beberapa pasal mengatur mengenai PKWT dengan maksud memberi kepastian hukum pekerja dan sebagai acuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan PKWT dan outsourcing.

Memperhatikan banyaknya perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, dengan status hubungan kerja PKWT, menimbulkan reaksi dari kalangan pekerja yang menuntut agar outsourcing dihapuskan, padahal di sisi lain perkembangan sektor perdagangan dan industri dapat membantu pemerintah dalam hal mengurangi angka pengangguran yang semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan


(14)

terhadap pelaku bisnis dan tenaga kerja sejalan dengan adanya krisis global yang saat ini sedang melanda dunia juga turut mempengaruhi.

Perlindungan ini perlu dilakukan demi terciptanya situasi yang kondusif ditempat kerja dan hubungan yang serasi, seimbang, selaras antara pekerja dan pengusaha untuk mencegah perusahaan-perusahaan di indonesia gulung tikar. Oleh karena itu perlu tetap menjaga iklim investasi yang sehat dan kondusif di Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip hubungan industrial yang bertujuan untuk a) menciptakan ketenangan atau ketentraman kerja serta ketenangan usaha; b) meningkatkan produksi; c) meningkatkan kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu hubungan industrial harus dilaksanakan sesuai asas tri kemitraan(three-partnership) yaitu partnership in responsibility,

partnership in production, partnership in profit. 1

1 Mitar Pelawi, Seminar perselisihan perburuhan di Indonesia, Jakarta, 2006

Proses interaksi antara pekerja dengan pengusaha di Indonesia dipengaruhi banyak faktor. Selain kondisi internal perusahaan yang memainkan peranan sangat penting, kondisi kerja (working condition) dan budaya di dalam perusahaan (corporate culture), juga kondisi eksternal perusahaan yaitu eksistensi pemerintah dalam memainkan tugas dan fungsinya sebagai regulator yang bertindak membuat perundang-undangan sebagai alat untuk mengontrol system hubungan industrial baik pada tingkat mikro perusahaan maupun tingkat makro perusahaan, asosiasi serikat pekerja, dan organisasi pengusaha selaku organisasi yang mempunyai kepentingan untuk memperjuangkan kepentingan dan kelompoknya masing-masing.


(15)

Selain keterlibatan pemerintah sudah tentu para pelaku bisnis berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan usahanya dan memperkecil ongkos produksinya. baik dengan cara mengadakan kejasama dengan perusahaan lain dalam pengadaan barang maupun jasa demi efisiensi produktifitas perusahaan.

Dalam era globalisasi dewasa ini para pelaku bisnis harus meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing dalam pasar bebas dimana pelaku bisnis dituntut mutu suatu produk yang akan dilepas kepasar global memenuhi standart internasional atau setidak-tidaknya setara dengan standart nasional. Namun hal ini mungkin akan sulit terwujud, jika kualitas orang-orang yang bekerja pada perusahaan belum seperti yang diharapkan atau dengan kata lain sumber daya manusianya tidak dapat bersikap profesional dalam melakukan pekerjaanya.

Dalam perkembangan globalisasi dan pasar bebas yang sedang kita hadapi saat ini, yang menjadi permasalahan bukan saja diukur dari kualitas maupun kwantitas suatu produk, akan tetapi masalah yang menyangkut hak dan kewajban yang diatur dalam suatu perjanjian apakah itu perjanjian dagang ataupun perjanjian yang menyangkut hubungan kerja.

Saat ini perjanjian di luar KUH Perdata telah berkembang berbagai hal baru, seperti leasing, franchise, dan termasuk perjanjian penyediaan jasa pekerja. Berdasarkan hukum Ketenagakerjaan, istilah penyediaan jasa pekerja sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalm Pasal 64 Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa


(16)

perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka permasalahan pokok yang sering muncul dalam perjanjian kerjasama di bidang tenaga kerja dapat penulis rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pembuatan perjanjian kerjasama dibidang tenaga kerja dalam suatu perusahaan ?

2. Bagaimanakah Status Pekerja dan Hubungan Kerja karyawan dari perusahaan penyedia jasa terhadap perusahaan pengguna jasa (PT Gunung Garuda Group) ?

3. Apakah dalam pelaksanaan penyerahan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja sudah sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan menurut UU ketenagakerjaan?

4. Bagaimana cara penyelesaian masalah apabila terjadi perselisihan menyangkut perjanjian kerjasama?

C. Tujuan & Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian adalah;

1. Untuk melihat dan memahami tata cara pembuatan perjanjian kerjasama pada suatu perusahaan, terutama di bidang penyediaan jasa pekerja.


(17)

2. Untuk mengetahui bagaimanakah Status Pekerja dan Hubungan Kerja karyawan dari perusahaan penyedia jasa terhadap perusahaan pengguna jasa (PT Gunung Garuda Group).

3. Untuk mengetahui pelaksanaan penyerahan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja sudah sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan menurut UU ketenagakerjaan.

4. Untuk melihat dan mengetahui tata cara penyelesaian perselisihan menyangkut perjanjian kerjasama.

Sedangkan Manfaat penelitian adalah;

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagi bahan referensi dalam kesempurnaan penulisan skripsi ini,

2. Secara praktis, diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku proses produksi dalam pelaksanaan perjanjian kerja untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial

3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah, khususnya instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “ ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJA SAMA ANTARA PERUSAHAAN PENGGUNA JASA


(18)

TENAGA KERJA DENGAN PERUSAHAN PENYEDIA JASA PEKERJA (STUDI PENELITIAN di PT GUNUNG GARUDA GOUP) ”, belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhya.

E. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya.2

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.3

2 Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, hal. 37. 3 Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 35.

Selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk


(19)

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan.4

Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu diantaranya :

5

a. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap

b. Memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui

c. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat didalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum

4 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 38.


(20)

2. Data dan Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dibidang hukum.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan data

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih baik, terarah dan dapat dipertanggung jawabkan, maka digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (Library Research) dan penelitian hukum empiris.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan atau disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti


(21)

bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.

Metode Library Research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan beberapa buku wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana hukum yang sudah mempunyai nama besar dibidangnya, koran, serta majalah.

Sedangkan penelitian hukum secara empiris dilakukan dengan cara meneliti data primer yang diperoleh dilapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :6

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.

c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada.

d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

6 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 45.


(22)

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sistimatika penulisan sebagai berikut;

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang maslah, rumusan dan permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penulisan dan sistimatika penulisan

BAB II : TINJAUAN UMUM SUATU PERJANJIAN

Dalam pengertian umum dijelaskan tentang perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas tentang perjanjian, dan tentang hapusnya perjanjian.

BAB III : PERJANJIAN KERJA SEBAGAI DASAR LAHIRNYA HUBUNGAN KERJA

Dalam BAB ini dijelaskan tentang perjanjian kerjasama, hak dan kewajiban masing-masing pihak, keuntungan dan kerugian perjanjian kerjasama

BAB IV :

ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PERUSAHAAN PENGGUNA JASA TENAGA KERJA DENGAN PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA (STUDY PENELITIAN PT.GUNUNG GARUDA GROUP) BAB V : KESIMPULAN dan SARAN

Dalam BAB ini merupakan kesimpulan dan saran dari penulis, dengan segala lampiran-lampirannya


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM SUATU PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjanjian kerjasama maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai perngertian dari suatu perjanjian. Suatu perjanjian pada umumnya telah diketahui oleh masyarakat luas karena pada dasarnya setiap perbuatan dan aktifitas yang dilakukan manusia tidak terlepas dari suatu perjanjian. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya manusia yang membuat perjanjian setiap hari dalam kehidupannya, namun banyak pula manusia yang tidak menyadarinya. Sebagai contoh sederhana dapat terlihat pada waktu kita membeli barang, atau membayar suatu jasa yang sebenarnya setiap manusia telah melakukan suatu perjanjian.

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan yang dimaksud disini adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.7

7

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Suatu perbuatan dapat berupa kesepakatan antara para pihak yang artinya semenjak adanya kesepakatan itu maka perjanjian itu berlaku sebagai hukum bagi para pihak. Dengan kata lain perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak,jadi sumbernya kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata


(24)

Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata ini, hanya menyebutkan tentang pihak yang atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya, dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian itu dibuat. Karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana 2 (dua) orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.8

Dari definisi perjanjian tersebut maka dapat diketahui bahwa suatu perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak, atau dengan perkataan lain, suatu perjanjian itu melahirkan perikatan. Menurut Yahya Harahap suatu perjanjian adalah

“ Suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”

9

Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Suatu perjanjian tidak hanya menimbulkan satu perikatan saja tetapi dalam satu perjanjian

8

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal 78

9 J Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 5


(25)

dapat menimbulkan banyak perikatan. Sebenarnya suatu perjanjian adalah sekelompok / sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan.10

10 Ibid, hal 7

Sekalipun dalam KUHPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam Pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian memberikan penjelasan mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:

“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.” Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”


(26)

Suatu perjanjian baru dapat diketahui jenisnya, bahkan kadang-kadang dikenal dengan sebutan tertentu, setelah melihat perikatan-perikatan yang dilahirkan olehnya. Disamping itu, perikatan-perikatan tersebut juga membedakan dari perjanjian lain dari jenis yang sama.

Adapun istilah lain yang sering dipersamakan dengan perjanjian adalah kontrak. Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu contract of law. Hukum kontrak adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.11

1. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut KUH Perdata:

Adapun pengertian kontrak tidak disebut secara tegas dalam literatur hokum. Kontrak yang dibuat dalam hubungan bisnis memiliki sifat yang tidak berbeda dengan perjanjian, yaitu ikatan yang memiliki akibat hukum. Oleh karena kontrak merupakan kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat, maka pengertiannya sama dengan perjanjian sekalipun istilah kontrak belum tentu sebuah perjanjian karena perjanjian tidak eksklusif sebagai istilah suatu perikatan dalam bisnis

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang terdapat didalam KUH Perdata dan hukum perjanjian Amerika;

Dalam Pasal 1320 pembuat undang-undang memberikan suatu patokan umum tentang suatu perjanjian itu lahir. Disana ditentukan

11 Lawrence M Friedman, dalam Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal 3


(27)

perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan oleh orang, agar para pihak dapat secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan seterusnya, dalam Bab II Bagian Kedua Buku III KUH Perdata. Karena perjanjian merupakan tindakan hukum, maka tindakan pra pihak menutup perjanjian ditujukan kepada lahirnya akibat hukum yang ada pada suatu perjanjian semacam yang mereka adakan12

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Untuk sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal;

Keempat syarat tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan kedalam dua syarat pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (syarat subyektif), dan dua syarat pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjiaannya (syarat objektif).

a. Syarat Subyektif

Syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Dengan kata lain syarat subyektif sahnya suatu perjanjian ada 2, yaitu:

12


(28)

1) Kesepakatan bebas kedua belah pihak

Kata sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam pejanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Dengan diperlakukannya kata sepakat untuk mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.

Kesepakatan merupakan syarat yang pertama sahnya perjanjian. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika diperhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka akan sulit menemuai pengertian, atau definisi dari kesepakatan bebas.

Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.


(29)

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, maka akan dibahas terlebih dahulu pengertian kesepakatan, bagaimana kesepakatan dapat terwujud, dan kapan suatu kesepakatan dianggap telah terjadi.13

Persesuaian kehendak antara dua pihak menimbulkan perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Dengan kata lain adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain, dan harus dapat di mengerti pihak lain.

Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuan/sepakatnya, Jika seseorang itu memang menghendaki

apa yang disepakati. Karena suatu persetujuan pada dasarnya tidak mungkin timbul tanpa kehendak dari para pihak. Dengan kata lain sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kesepakatan bebas diantara para pihak itu pada prinsipnya adalah pertanggung jawaban dari asas konsensualitas.

14

Sepakat itu inti sebenarnya adalah suatu penawaran yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh

Kehendak itu harus saling bertemu dan untuk saling bisa ketemu harus dinyatakan.

13 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 95


(30)

persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang di anggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah, saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dengan kata lain suatu penawaran dan persetujuan itu bisa datang dari kedua belah pihak secara timbal balik.

Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende

wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan tersebut adalah

pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan penawaran dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akeptasi. Selanjutnya penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud sepakat dalam pasal 1320 adalah sepakat pada


(31)

saat akan lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menrbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut15

Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan karena kehendaknya ditujukan kepada timbulnya uatu akibat hukum tertentu (Sesuatu yang dikehendaki).. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak diketahui oleh pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu adanya pernyataan kehendak

.

Menurut asser rutten, penawaran diartikan sebagai suatu usul untuk menutup perjanjian, yang ditujukan kepada pihak lawan janjinya, usul tersebut telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung menimbulkan perjanjian.

16

Cara mengutarakan kehendak bisa bermacam-macam, ada lima cara pernyataan kehendak, yaitu: Pertama, bahasa yang sempurna dan tertulis; Kedua, Bahasa yang sempurna secara . Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.

15 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal 97 16 J Satrio, Op.cit, hal 174


(32)

lisan; Ketiga, Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; Keempat, Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; Kelima, Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan17

Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mensyarat kan suatu bentuk pernyataan kehendak tertentu, tetapi memang benar, ada perjanjian-perjanjian tertentu yang mensyaratkan, agar kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertentu. Untuk beberapa tindakan hukum tertentu hukum perdata (dalam arti luas) mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu akta (bentuk tertulis). Akta tersebut dapat berupa akta bawah tangan maupun bentuk suatu akta otentik Suatu akta yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan sebagai alat bukti adanya kesepakatan antara para pihak. Tetapi di samping itu, mereka bebas untuk membuktikannya dengan bukti lain. Suatu akta selain berlaku sebagai alat bukti, akta merupakan syarat konstitutif untuk adanya perjanjian sebagaimana dimaksudkan oleh undang-undang. Sesuatu yang diisyaratkan oleh undang-undang adalah penuangan daripada perjanjian itu harus dalam wujud tertentu. Namun hal itu tidak berarti bahwa sebelum dituangkan dalam bentuk yang disyaratkan undang-undang sama sekali tidak ada

.

17 Sudikno mertokusumo, (dalam) Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan teknik, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal 33


(33)

perjanjian antara para pihak. Bisa saja ada lahir suatu perjanjian, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh para pihak.

Apabila suatu pernyataan diberikan secara benar, dalam arti pernyataan tersebut sesuai dengan kehendak dan penerimaannya dilaksanakan dengan benar pula maka terjadilah perjanjian. Namun, adakalanya sepakat tidak tercapai dengan kehendak yang murni, dan kehendak itu mungkin sengaja diselewengkan kearah lain atau diberikan dalam suasana yang tidak bebas.

Sehubungan dengan syarat kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Cacat dalam kehendak dapat dibedakan kedalam tiga kelompok, yaitu: Kelompok pertama, tentang kekhilafan dalam perjanjian; Kelompok yang kedua, tentang paksaan dalam perjanjian; Kelompok ketiga, tentang penipuan dalam perjanjian.

a) Tentang kekhilafan dalam perjanjian

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.


(34)

Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. Dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dua hal pokok dan prinsipil, yaitu:

1. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian; 2. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan

perjanjian karena kekhilafan, yaitu: Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Eror in substantia); Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat (Eror in pesona).

Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan, yang dibatasi alasannya. Alasan pertama yaitu eror in substantia, maksudnya ialah bahwa kekhilafan itu mengenai sifat dari benda yang merupakan alasan sesungguhnya bagi kedua belah pihak untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan dalam alasan kedua yaitu eror in persona, kekhilafan itu mengenai orangnya. Dari kedua alasan pengecualian tersebut, maka alasan kedua lebih mudah dimengerti daripada alasan pertama.


(35)

Dari rumusan yang dikemukakan dalam alasan kedua tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dalam pengecualian kedua tersebut adalah subyek dalam perikatan, artinya salah satu pihak dalam perikatan diwajibkan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal dan diakui oleh kitab undang-undang hukum perdata. Tiga macam perikatan yang dimaksud antara lain: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

b) Tentang paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1323 membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan menyatakan bahwa :

“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.

Ketentuan Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan pada subyek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang


(36)

yang merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadp perjanjian tersebut, dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.

Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan yang dilakukan oleh “orang bayaran” atau “orang suruhan”, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut. Selanjutnya ketentuan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :

“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau isteri atau keluarganya dalam garis keatas maupun kebawah”.

Subyek terhadap siapa paksaan dilakukanpun ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau isteri dan keluarga mereka dalam garis keturunan maupun kebawah.

Akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah


(37)

dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

Pasal 1324 “Paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang ternag dan nyata”.

Pasal 1326 “Ketakutan saja karena hormat kepada ayah, ibu atau sanak keluarga lain dalam garis ketasa, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk embatalkan perjanjian”.

Dari Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui baha paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan yaitu berupa Pertama Paksaan Fisik dalam pengertian kekerasan. Kedua Paksaan Psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yaitu Pasal 1327 yang menyatakan :

“Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila paksaan berhenti, perjanjian itu dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas maupun secara diam-diam, atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.


(38)

Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua ayat, berbunyi :

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktkan”.

Penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak yang terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan saja. Dalam hal ini, maka pihak terhadap siapa penipuan telah terjadi wajib membuktikan bahwa lawan pihaknya telah memberikan suatu informasi secara tidak benar, dan hal tersebut disengaja olehnya, yang tanpa adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut.

2) Kecakapan untuk bertindak

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun


(39)

kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.

Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam :18


(40)

a) Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.

b) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.

c) Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.

b. Syarat Objektif

Syarat objektif sahnya perjanjian yaitu : 1) Tentang hal tertentu dalam perjanjian

Kitab undang-undang hukum perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab undang-undang hukum perdata, yang berbunyi :

“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya”

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” terlihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk


(41)

memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.

Pada perikatan untuk memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan.

Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu


(42)

berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang seorang debitor, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditor, atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitor. Pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa :

“penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya”.

Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kewajiban penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang terhadap hak tagih kreditor kepada debitor, dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitor yaitu untuk membayar hak tagih kreditor manakala debitor cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih kreditor adalah kebendaan yang menurut ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu.

Dalam perikatan untuk tidak melakuan atau tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menegaskan


(43)

kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian untuk merahasiakan sesuatu (confidentially agreement) misalnya, apa-apa saja yang wajib dirahasiakan oleh debitor misalnya terhadap hak (atas kekayaan intelektual) milik kreditor, yang dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah juga merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya belum menerbitkan perikatan bagi para pihak.

Jadi jelaslah bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. 2) Tentang sebab yang halal

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :


(44)

“suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal yaitu: pertama: Bukan tanpa sebab, kedua: Bukan sebab yang palsu, ketiga: Bukan sebab yang terlarang

Undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Melalui rumusan negatif mengenai sebab yang terlarang, undang-undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga memang benar bahwa sebab itu adalah terlarang.

Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang merupakan unsur esensialia atau yang terkait erat dengan unsur esensialia dalam perjanjian tersebut, yang tanda adanya unsur esensialia tersebut, tidak mungkin perjanjian tersebut akan dibuat oleh para pihak.


(45)

Didalam hukum kontrak (law of contact) Amerika syarat sahnya kontrak, yaitu :19

1. Adanya konsiderasi (prestasi)

a. Offer dan Acceptance (penawaran dan penerimaan)

Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan). Offer (penawaran) adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang. Sedangkan yang berhak dan berwenang mengajukan penawaran adalah setiap orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 (lima) syarat adanya penawaran, yaitu :

2. Sesuai dengan undang-undang

3. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral contract

4. Under doctrine of promissory estoppel, dan 5. By virtue of a sealed instrument

Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak, akan menghasilkan dua macam kontrak, yaitu :

1. Kontrak bilateral, dan 2. Kontrak unilateral

Kontrak bilateral, yaitu kontrak yang diadakan antara dua orang, dalam kontrak itu kedua belah pihak harus memenuhi janjinya.

19 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 35.


(46)

Sedangkan kontrak unilateral adalah penawaran yang membutuhkan tindakan saja, karena berisi satu janji dari satu pihak saja.

b Metting of minds (persesuaian kehendak)

Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu dikatakan sah. Yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah adalah adanya meeting of minds, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan (fraud), kesalahan

(mistake), paksaan (durress), dan penyalahgunaan keadaan (undu influence) maka kontrak itu menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat

dibatalkan.

c. Consideration (prestasi),

Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat haruslah didukung dengan konsiderasi (concideration). Menurut sejarahnya, bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun. Ini tidak dianggap sebagai unsur penting untuk membuat kontrak. Dulu semua hak yang dilaksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk pelanggaran masing-masing kategori pengadilan menyediakan formulir yang dikenal dengan surat perintah (writ).


(47)

Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli. Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi merupakan motif atau alasan untuk membuat kontrak. Jesse S. Raphael mengartikan konsiderasi adalah penghentian hak (sah) oleh satu pihak dengan imbalan janji dari pihak lain. Jika seorang membuat janji dengan menghentikan salah satu hak dari yang mendapati janji, janji tadi secara sah mengikat karena ditunjang oleh konsiderasi.

Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi disamakan artinya dengan prestasi, yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak berbuat atau jani dari masing-masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya. Konsiderasi dapat berupa akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan.

d. Competent parties and legal subject matter (kemampuan hukum para

pihak dan pokok persoalan yang sah).

Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari

subjek hukum untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject

matter yaitu keabsahan dari pokok persoalan.

Didalam sistem hukum Amerika, pengadilan membedakan kemampuan tentang legalitas dari seorang untuk membuat kontrak. Orang yang dapat membuat kontrak harus sudah cukup umur. Masing-masing negara bagian tidak sama tentang umur kedewasaan. Ada yang menentukan 21 tahun untuk semua jenis kelamin dan ada juga negara


(48)

nagian yang menentukan 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk wanita. Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk membuat kontrak adalah :

1. Orang dibawah umur, dan 2. Orang gila

C. Asas-Asas Tentang Perjanjian

Dalam hukum kontrak dikenal beberapa asas penting yaitu20 1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot,


(49)

Thomas Hobbes. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam

exploitation de homme par l’homme.

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat). Sedangkan yang


(50)

disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta dibawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH perdata, yang berbunyi :

“perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Didalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda di


(51)

beri arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.

4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari pihak.

Rumusan tersebut memberikan arti bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. Namun tidaklah mudah untuk menjelaskan dan menguraikan kembali kehendak para pihak, terlebih lagi jika pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut sudah tidak ada lagi, adalah suatu badan hukum yang para pengurusnya pada saat perjanjian dibuat tidak lagi menjabat, ataupun dalam hal terjadi pengingkaran terhadap perjanjian tersebut oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan yang demikian, maka selain dapat dibuktikan dengan bukti tertulis atau adanya keberadaan saksi yang turut menyaksikan keadaan pada saat ditutupnya perjanjian, maka pelaksanaan atau pemenuhan prestasi dalam perikatan sulit sekali dapat dipaksakan.


(52)

5. Asas Personalia

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam :21

a. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini maka ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berlaku baginya secara pribadi.

b. Sebagai wakil dari pihak tertentu. Mengenai perwakilan ini, dapat dibedakan ke dalam :

a) Yang merupakan suatu badan hukum dimana orang perorangan tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai perwakilan yang diatur dalam Anggaran Dasar dari badan hukum tersebut, yang akan


(53)

menentukan sampai seberapa jauh kewenangan yang dimilikinya untuk mengikat badan hukum tersebut serta batasan-batasannya.

b) Yang merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orangtua, kekuasaan wali dari anak dibawah umur, kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit. Dalam hal ini berlakulah ketentuan umum yang diatur dalam buku I KUH Perdata dan Undang-Undang Kepailitan sebagaimana diumumkan dalam

staatsblad tahun 1905 No. 217 dan tahun 1906 No. 348 yang telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 jo Undang-Undang No. 4 tahun 1998 (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan).

c. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. Dalam hal ini berlakulah ketentuan yang diatur dalam Bab XIV buku III KUH Perdata, mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUH Perdata.

D. Hapusnya Perjanjian (Tenietgaan Van Verbintenis)

Mengenai hapusnya perjanjian diatur pada titel ke-4 buku III KUH Perdata. Masalah “hapusnya perjanjian” (tenietgaan van verbintenis) bisa juga disebut “hapusnya persetujuan” (tenietgaan van overeenkomst). Berarti, menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.

Ditinjau dari segi teoritis, hapusnya persetujuan sebagai hubungan hukum antara kreditur dan debitur dengan sendirinya akan menghapuskan


(54)

seluruh perjanjian. Akan tetapi sebaliknya, dengan hapusnya perjanjian belum tentu dengan sendirinya mengakibatkan hapusnya persetujuan. Hanya saja dengan hapusnya perjanjian, persetujuan yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan pelaksanaan. Sebab dengan hapusnya berarti pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur. Misalnya perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga barang maka perjanjian sudah hapus. Akan tetapi persetujuan jual belinya masih tetap ada antara para pihak. Lain halnya jika persetujuan yang dihapuskan. Umpamanya para pihak menyatakan persetujuan jual beli tadi dibatalkan dengan sendirinya perjanjian jual beli hapus, dan pihak-pihak “kembali kepada keadaan semula”

(terugwerkendekracht).

Dengan adanya persetujuan yang mendahului setiap perjanjian, bisa terjadi hapusnya perjanjian belum tentu menghapuskan persetujuannya itu sendiri. Akan tetapi dengan hapusnya persetujuan dengan sendirinya menghapuskan perjanjian.

Adapun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal ini telah disebut satu persatu cara dan jenis penghapusan perjanjian. Hapusnya perjanjian menurut Pasal 1381 KUH Perdata ada beberapa cara, yaitu:

1. Karena pembayaran (betaling)

Pengertian pembayaran atau betaling dalam hal ini harus dipahami secara luas. Tidak boleh diartikan dalam ruang lingkup yang sempit, seperti yang selalu diartikan hanya terbatas pada masalah yang berkaitan


(55)

dengan pelunasan hutang semata-mata. Mengartikan pembayaran hanya terbatas pada “pelunasan hutang” semata-mata tidaklah selamanya benar. Karena ditinjau dari segi yuridis teknis, tidak selamanya harus berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu, bisa saja dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dengan bentuk tak terwujud atau yang immaterial. Pembayaran prestasi dapat dilakukan dengan “melakukan sesuatu” (te doen). Misalkan tukang cukur yang telah melakukan suatu perbuatan jasa dapat saja disebut telah membayar prestasi dengan jasa. Guru privat yang telah memberi pelajaran, termasuk dalam arti “pembayaran”.

Berakhirnya kontrak karen apembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua pengertian pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. Pengertian pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur. Pembayan seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah, tukang cukur, atau guru privat. Orang yang dapat melakukan pembayaran utang, adalah :

a. Debitur yang berkepentingan langsung b. Penjamin atau borgtocher

c. Orang ketiga yang bertindak atas nama debitur. Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu : a. Kreditur


(56)

b. Orang yang menerima kuasa dari kreditur c. Orang yang telah ditunjuk oleh hakim, dan

d. Orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385 KUH Perdata).

2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan

(konsignasi)

Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya

Penawaran pembayaran tunai utang dilakukan saat si berpiutang menolak pembayaran dari si berutang. Penawaran yang demikian diikuti dengan penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-undang.

3. Karena pembaharuan hutang (novasi, schuld verniewing)

Novasi di atur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1424 KUH Perdata. Novasi (pembaharuan utang) adalah sebuah


(57)

persetujuan, di mana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Vollmar mengartikan novasi adalah suatu perjanjian karena dimana sebuah perjanjian yang akan dihapuskan, dan seketika itu juga timbul sebuah perjanjian baru

Novasi adalah suatu perjanjian antara debitur dan kreditur, dimana perjanjian lama dan subjeknya yang ada dihapuskan dan timbul sebuah objek dan subjek perjanjian yang baru.22

a. Novasi objektif, adalah suatu perjanjian yang dibuat antara debitur dan kreditur, dimana perjanjian lama dihapuskan. Hal ini berkaitan dengan objek perjanjian.

Di dalam Pasal 1413 KUH Perdata, novasi dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

b. Novasi subjektif yang pasif, yaitu perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, namun debiturnya diganti oleh debitur yang baru, sehingga debitur lama dibebaskan. Inti dari novasi subjektif yang pasif adalah penggantian debitur lama dengan debitur baru.

c. Novasi subjektif yang aktif , yaitu penggantian kreditur, dimana kreditur lama dibebaskan dari kontrak, dan kemudian muncul kreditur baru dengan debitur lama.

Dalam Pasal 1418 KUH Perdata telah ditentukan akibat novasi. Salah satu akibat novasi adalah bahwa debitur lama yang telah dibebaskan dari kewajiban oleh kreditur tidak dapat meminta pembayaran kepada


(58)

debitur lama, sekalipun debitur baru jatuh pailit atau debitur baru ternyata orang yang tidak dapat melakukan perbuatan hukum.

4. Karena kompensasi atau perjumpaan utang

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUH Perdata sampai Pasal 1435 KUH Perdata. Kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur. Syarat-syarat terjadinya kompensasi:

a. Kedua-duanya berpokok pada sejumlah uang; atau

b. Berpokok pada jumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama; atau

c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan ditagih seketika. Adapun tujuan utama dari kompensasi, yaitu:

a. Penyederhanaan pembayaran yang simpang siur antara pihak kreditur dan debitur;

b. Dimungkinkan terjadinya pembayaran sebagian;

c. Memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.

Kompensai dapat terjadi dengan dua macam cara,yaitu pertama, demi hukum, dan kedua atas permintaan kedua belah pihak. Cara pertama, Kompensasi atau perjumpaan hutang demi hukum atau ipso jure

compensatur adalah suatu perjumpaan utang yang terjadi tanpa adanya

pemberitahuan dan permintaan dari pihak debitur dan kreditur. Cara Kedua, Kompensasi aatau perjumpaan hutang kontrakual adalah suatu


(59)

bentuk kompensasi yang terjadi atas dasar permintaan dan persetujuan antara pihak debitur dan kreditur(Pasal 1431 KUH Perdata).

5. Karena konfusi atau percampuran antara utang dan pinjaman

Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1437 KUH Perdata. Percampuran utang adalah percampuran kedudukan sebagai orang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Percampuran utang dapat terjadi dengan dua cara, yaitu: Pertama, dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum; Kedua, dengan jalan penerusan hak dibawah alas hak khusus.

6. Karena pembebasan utang

Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1443 KUH Perdata. Pembebasan utang adalah suatuy pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur, bahwa debitur dibebaskan dari perutangan. Ada 2 cara terjadinya pembebasan utang, yaitu: (1) Cuma-Cuma, dan (2) prestasi dari pihak debitur. Pembebasan hutang dengan Cuma-Cuma harus dipandang sebagai penghadiahan. Sedangkan prestasi dari pihak debitur, artinya sebuah prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian.

7. Karena pernyataan tidak sah atau terhapus

Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata. Adanya tiga penyebab timbulnya pembatalan kontrak, yaitu:


(60)

a. Adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan dibawah pengampuan;

b. Tidak mengindahklan bentuk perjanjian yang di syaratkan undang-undang;

c. Ada cacat kehendak

8. Karena daluarsa atau verjaring

Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa) perjanjian.


(61)

BAB III

PERJANJIAN KERJA SEBAGAI DASAR LAHIRNYA HUBUNGAN KERJA

A. Definisi Perjanjian Kerja

Hubungan kerja adalah merupakan suatu hubungan yang timbul antara pengusaha dan pekerja, hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Hukum perjanjian merupakan lingkup hukum perdata. Meskipun demikian, ketentuan tentang hukum perjanjian kerja yang termuat dalam buku III bab VIIA KUH Perdata dan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 adalah bersifat memaksa. Sehingga pada hakekatnya sifat mengikat dari perjanjian kerja tidak berbeda dengan hukum publik.

Konsepsi mengenai perjanjian kerja yang berlaku sampai sekarang masih sama halnya dengan konsepsi pada waktu hukum perjanjian kerja itu dilahirkan, yaitu mempunyai sifat ganda sebagai perikatan yang didasarkan hubungan yang bersifat pribadi dan hubungan perikatan yang bersifat ekonomis. Sebagai hubungan pribadi, hubungan itu banyak diwarnai perasaaan, kekerabatan, dan kekuasaan. Sedangkan sebagai hubungan ekonomis dilakukan berdasarkan perhitungan untung rugi atau pemikiran rasional.

Pemikiran rasional yaitu pemikiran bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian timbal balik yang dilakukan berdasarkan hubungan ekonomi.


(1)

disebutkan bahwa setiap kehilangan barang menjadi tanggung jawab PT.Titan dan akibat hukumnya PT.Titan mempunyai kewjiban untuk mengganti rugi senilai barang yang hilang kepada pihak Gunung Garuda.

Pada umumnya perselisihan yang menyangkut perjanjian kerja sama antara PT.Gunung Garuda Group dengan perusahaan pemborong pekerjaan maupun perusahaan penyedia jasa pekerja belum pernah terjadi, dan perselisihan terjdi biasanya disebabkan salah satu pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dituangkan dalam perjanjian kerja sama, sedangkan di PT.Gunung Garuda Group, apabila pihak perusahaan pemborong pekerjaan ataupun perusahaan jasa tenaga kerja tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan sehingga dapat menimbulkan potensi perselisihan, maka PT.Gunung Garuda Group tidak lagi melanjutkan perjanjian kerjasama untuk berikutnya atau tidak diperpanjang setelah berakhirnya masa waktu perjanjian.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1 Proses pembuatan perjanjian kerjasama di PT Gunung Garuda Group dilakukan karena adanya kebutuhan pengelolaan pekerjaan. Mekanisme pemberitahuan kebutuhan pengelolaan pekerjaan yang dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, pemberitahuan secara terbuka kepada umum, atau cara kedua pemberitahuan secara tertutup kepada perusahaan yang pernah bekerjasama dengan PT Gunung Garuda Group atau merupakan prusahaan dari kolega pemilik (owner). Pemberitahuan diberitahukan melalui website resmi perusahaan tahapan awal sebelum pemilihan perusahaan yang akan bekerjasama. Pemilihan perusahaan yang akan bekerjasama dengan PT Gunung Garuda Group dilakukan dengan seleksi proposal yang di ajukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja. Seleksi proposal ini dikenal dengan seleksi secara administratif. Tahapan setelah terpilihnya satu perusahaan penyedia jasa pekerja yang akan melakukan kerjasama dengan PT Gunung Garuda Group adalah penyusunan suatu draft penjanjian kerjasama. Sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama oleh direksi PT Gunung Garuda maka draft perjanjian kerjasama tersebut harus di berikan terlebih dahulu kepada BOA (Owner) guna dilakukan penelaahan, setelah dilakukan penelaahan dan diberi paraf owner, barulah direksi dapat melanjutkan pada proses penandatanganan draft perjanjian antara para pihak.


(3)

2 Status pekerja perusahaan penyedia jasa pekerja terhadap PT Gunung Garuda Group perusahaan pengguna jasa tenaga kerja tidak memiliki perlindungan hukum. Mengenai hubungan hukum dan perlindungan hukum terhadap pekerja menurut undang-undang no 13 tahun 2003 berada di tangan perusahaan penyedia jasa pekerja. Dengan kata lain pemenuhan hak-hak pekerja mengenai pesangon dan jaminan lain-lain terletak pada perusahaan penyedia jasa pekerja. Namun mengenai kewajiban untuk membayar upah berada di PT Gunung Garuda Group selaku pengguna jasa tenaga kerja yang diberikan melaui perusahaan penyedia jasa pekerja tempat pekerja tersebut berasal.

3 Undang-Undang no 13 tahun 2003 secara implisit memberikan pilihan kepada perusahaan untuk memilih mengerjakan sendiri pekerjaan atau menyerahkan pekerjaan tersebut kepada perusahaan lain. jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan pekerjaan yang bersifat sementara dan merupakan pekerjaan yang terpisah dari kegiatan utama perusahaannya. Beberapa pekerjaan yang diserahkan oleh PT Gunung Garuda Group pada umumnya telah memenuhi kriteria yang diatur dalam undang-undang no 13 tahun 2003, namun dalam pelaksanaannya belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena berbagai faktor yang harus dihadapi dilapangan.

4 Penyelesaian perselisihan yang terjadi di PT Gunung Garuda Group dapat digolongkan kedalam dua aspek hukum yaitu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha PT Gunung Garuda Group yang


(4)

menyangkut masalah perjanjian kerja, atau yang dikenal dengan perselisihan hubungan industrial maka penyelesaiannya mengacu kepada Undang-Undang No.2 Tahun 2004, sedangkan penyelesaian perselisihan yang menyangkut masalah perjanjian kerja sama antara PT Gunung Garuda Group dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja, mengacu kepada KUHPerdata

B. Saran

Perkembangan zaman dan teknologi di dunia juga seiring dengan akan diberlakukannya AFTA di asia, seharusnya Pemerintah bersama DPR membuat peraturan regulasi perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan baik bagi pengusaha nasional juga pekerja. Selain itu pemerintah harus meningkatkan kepedulian kepada perusahaan nasional yang masih berkembang agar mampu bersaing minimal di tingkat nasional.

Permasalahan di bidang ketenagakerjaan tidak akan terjadi apabila pengusaha dan pekerja bersama-sama menciptakan suatu suasana kerja yang harmonis. Agar suasana kerja tetap harmonis hendaknya pihak pengusaha dan pekerja dapat mematuhi Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pelaksanaan suatu Undang-Undang agar tidak terjadi Penyimpangan, maka pemerintah seharusnya lebih meningkatkan pengawasan dalam hal pelaksanaan suatu Undang-Undang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001

Djumialdji, F.X, Perjanjian Kerja, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001

Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Cetakan keempat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001

HS, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan, Cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2006

--- Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata Buku Dua, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2008

Kosidin, Koko, Perjanjian Kerja, Perjanjian perburuhan, Peraturan perusahaan, Bandung: Mandar Maju, 2009

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008

Muhammad , Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Bandung : Penerbit Alumni, 1982 Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003

Rajagukguk, H.P, Peran Serta Pekerja Dalam Pengelolaan Perusahaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2002

Satrio, J, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995


(6)

Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005

Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008

Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003

Perundang-undangan

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang No 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Keputusan Menteri No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


Dokumen yang terkait

Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

11 89 157

Strategi Komunikasi Customer Service Dalam Melayani Pengguna Jasa Bandara (Studi Deskriptif Kualitatif Strategi Komunikasi Customer Service Bandara Internasional Kualanamu Dalam Melayani Wisatawan Asing Dan Wisatawan Domestik)

31 229 196

Implementasi Hukum Terhadap Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Yang Dilakukan PT. PLN (Persero) Dengan PT. SENTRA (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai).

0 40 106

Dinamika Sistem Hubungan Kerja Antara Pengguna Jasa Dengan Buruh Tani Harian di Kelurahan Padang Mas Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo

0 46 170

Pengawasan Pemerintah Terhadap Pemberian Izin Penyedia Jasa Tenaga Kerja Berdasarkan Permenkertrans No 19 tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

1 114 66

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Studi Pada Perjanjian Kerja Antara PT. Mahkota Grup Dengan PT. ISS Indonesia

5 58 122

Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi (Studi PT.TNC)

3 102 129

Valuasi Ekonomi Hutan Sebagai Penyedia Jasa Wisata Alam di DAS Deli

10 68 42

Peranan Perjanjian Antara Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) Dengan Tenaga Kerja...

1 44 5

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan PekerjaBuruh - LEGALITAS PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA

0 0 19