Siaran Pers 1 Februari 2018 Jangan Paksakan Pengesahan RUU KUHP

SIARAN PERS
JANGAN PAKSAKAN PENGESAHAN RUU KUHP
Jakarta (1/2/2018). Panitia Kerja DPR telah selesai melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang
Kitab Hukum Pidana. Saat ini, Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkroninasi (Timsin) sedang membahas untuk
kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR. PSHK memandang DPR maupun Pemerintah perlu
menghentikan semua proses dan menunda pengesahan RUU KUHP karena memiliki tiga permasalahan
mendasar.
Pertama, penyusunan pasal-pasal dalam RUU KUHP menyangkal kebutuhan terpenting dalam sistem
hukum yaitu adanya monitoring dan evaluasi ketentuan pidana. Selama ini undang-undang disusun dan
disahkan kemudian direvisi lagi dengan penambahan sanksi pidana tanpa melalui monitoring dan evaluasi
mengenai efektivitas dan dampak dari pengaturan materinya.
Bentuk monitoring dan evaluasi yang dimaksud dapat dilakukan dengan meneliti penerapan pasal-pasal
pidana melalui tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum dan putusan yang telah ditetapkan oleh
hakim. Hal ini akan sangat bermanfaat ketika pemerintah hendak menentukan pola dan besaran ancaman
pidana pada suatu tindak pidana. Dalam dokumen-dokumen pembahasan RKUHP, sama sekali tidak
terdapat argumen penerapan sanksi-sanksi ini berefleksi bagaimana sanksi-sanksi tersebut digunakan
dalam praktik.
Kedua, RKUHP masih mempertahankan pasal yang pernah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku untuk umum (erga
omnes). Diaturnya kembali pasal inkonstitusional, seperti pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU
KUHP menunjukkan tidak taatnya penyusun RKUHP pada konsep ketatanegaraan Indonesia. Salah satu

pasal yang dimaksud dalam RKUHP adalah pasal 264 yang berbunyi:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi
penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau
lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
Pasal yang bermuatan sama telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 013-022/PUUIV/2006. Ketidakkonsistenan dalam penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP dengan putusan MK ini
merupakan indikasi berikut bahwa RKUHP memiliki permasalahan mendasar.
Ketiga, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akademik, pembaruan terhadap KUHP memiliki misi besar
sebagai peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional. Dimana salah satu turunan dari tujuan
besar tersebut adalah dekolonialisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, demokratisasi hukum
pidana, dan penyesuaian terhadap perkembangan nasional maupun internasional. Tujuan besar itu hanya
dapat dicapai dengan membentuk KUHP yang berorientasi pada perlindungan hak warga negara.

Dari Rancangan KUHP yang ada hingga saat ini, terlihat bahwa misi untuk melakukan setidaknya
demokratisasi hukum pidana belum tercapai. Ancaman pidana penjara masih cukup tinggi dan
dikedepankan. Meskipun terdapat beberapa jenis pemidanaan baru seperti pidana kerja sosial, ternyata
tidak berbanding lurus dengan paradigma pemenjaraan yang masih kental dalam Rancangan KUHP.
Berdasarkan tiga pertimbangan tersebut, maka Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
mendesak Pemerintah dan DPR untuk:

1. Menunda pengesahan RKUHP.
2. Membuka kepada publik semua dokumen serta proses perumusan RKUHP agar dapat dicermati
dan dikawal lebih lanjut.

Narahubung:
Miko Ginting 0878 22626 6362
Mulki Shader 0878 2719 4346