1. PROBLEMATIKA KEOTENTIKAN AKTA PPAT

SEMINAR HASIL PENELITIAN
TESIS

NAMA

: PANTAS SITUMORANG

NIM

: 067011122

PROGRAM

: MAGISTER KENOTARIATAN

JUDUL TESIS

: PROBLEMATIKA KEOTENTIKAN AKTA
PPAT

KOMISI PEMBIMBING :

KETUA

: Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH

ANGGOTA

: Prof.Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH,MS,CN

ANGGOTA

: Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

HARI/TANGGAL

: Rabu, 30 Januari 2008

JAM

: 11.00 Wib s/d Selesai


TEMPAT

: Ruang Seminar Magister Kenotariatan
Sekolah Pascasarjana USU Medan

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

PROBLEMATIKA KEOTENTIKAN
AKTA PPAT

SEMINAR HASIL PENELITIAN
TESIS

OLEH :


PANTAS SITUMORANG
067011122/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

HALAMAN PENGESAHAN
(SEMINAR HASIL PENELITIAN TESIS)

Judul Tesis

: PROBLEMATIKA KEOTENTIKAN
AKTA PPAT


Nama Mahasiswa

: Pantas Situmorang

Nomor Induk Mahasiswa

: 067011122

Program Studi

: Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Ketua

Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota


Notaris Syafnil Gani, SH,
M.Hum
Anggota

Mengetahui :
Ketua Program
Magister Kenotariatan

Direktris Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN
NIP. 131 661 440

Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc
NIP. 130 535 852

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.


Telah Diuji Pada
Hari / Tanggal

:

PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
Anggota

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
: 1. Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum
3. Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn
4. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya

tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul

“Problematika Keotentikan Akta PPAT”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan
secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar
Nasution, SH,MH selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr.
Muhammad Yamin, SH,MS,CN dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, masingmasing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan,
nasehat serta bimbingan kepada saya, dalam penulisan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister

Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof.Dr.Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktris Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

i

3. Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi
Azwar, SH, CN, M.Hum masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak
Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum, Dr. Soleman Mantayborbir, SH, M.Hum,
Bapak Dr. Imam Jauhari, SH, M.Hum, serta para karyawan pada Program Studi
Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
diantaranya Ibu Fatimah, SH, Mbak Sari, Mbak Lisa, Bang Adi, dan lain-lain
yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.
5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara di Program Magister Kenotariatan yang selalu memberikan

semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan dikala lupa
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk
menyelesaikan studi.
Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima
kasih yang tak terhingga, kepada Ayahanda St. P. Situmorang dan Ibunda T. Br.
Manullang yang penulis sangat sayangi dan kasihi, yang telah bersusah payah
melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan
kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan
menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan, Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

ii

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri yang tercinta
Nurmariyati Tinambunan, SH serta anak-anakku Linda Vera Uli Br Situmorang,
Albert Jonathan Taruli Situmorang, Wilfred Arthur Ulima Situmorang dan Theodora
Josephine Verina Rouli Br Situmorang serta teman-teman yang namanya tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini, semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan,
kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan
ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.

Medan, 22 Januari 2008
Hormat Saya
Penulis,

PANTAS SITUMORANG
NIM : 067011122

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

iii


DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................

i

DAFTAR ISI .............................................................................................

ii

BAB I

PENDAHULUAN ....................................................................

1

A. Latar Belakang ....................................................................

1

B. Permasalahan ......................................................................

7

C. Tujuan Penelitian ................................................................

7

D. Manfaat Penelitian ..............................................................

8

E. Keaslian Penelitian ..............................................................

8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ..............................................

9

1. Kerangka Teori .................................................................

9

2. Konsepsi ...........................................................................

27

G. Metode Penelitian ................................................................

30

1. Sistem Penelitian ..............................................................

30

2. Metode Penelitian ............................................................

31

3. Sumber Data .....................................................................

31

4. Alat Pengumpul Data .......................................................

33

5. Analisa Data .....................................................................

33

BAB II

PELAKSANAAN

TUGAS

DAN

WEWENANG

PPAT

UNTUK MEMBUAT DAN MENGISI AKTA DALAM
BENTUK BLANKO YANG DITETAPKAN MENTERI ........

35

1. Kedudukan Akta Sebagai Alat Bukti ...................................

35

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

iv

2. Kewenangan PPAT, Antara Membuat dan Mengisi Blanko
atau Formulir Akta PPAT ....................................................

45

3. Pengkajian Atas Keotentikan Akta PPAT ...........................

51

BAB III PPAT

SEBAGAI

PEMBANTU

KEPALA

KANTOR

PERTANAHAN DALAM PENDAFTARAN TANAH ............

61

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ..................................

61

2. Produk Akta PPAT ...............................................................

89

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH PPAT
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN PROFESINYA..

100

1. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Pembuatan Akta .......

100

2. Konsekwensi Terhadap Persyaratan Materil dan Formil
Yang Bermasalah .................................................................

111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................

116

A. Kesimpulan ..........................................................................

116

B. Saran .....................................................................................

117

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

118

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

v

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hampir semua negara di dunia ini menyebut dirinya sebagai negara hukum
yang artinya segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat diatur dengan
ketentuan hukum. Demikian juga Indonesia adalah negara hukum yang mana hal ini
secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Di negara hukum ada tiga unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Diantara ketiga unsur tersebut dalam
perkembangannya adalah saling mempengaruhi dan salah satunya tidak boleh
ditinggalkan. Kepastian hukum yang berarti adanya hak dan kewajiban serta akibatakibatnya yang diatur oleh hukum.
Hukum Tanah Nasional kita terdiri atas suatu rangkaian peraturan-peraturan
perundang-undangan, yang dibuat oleh penguasa, dilengkapi dengan ketentuanketentuan hukum adat setempat, mengenai hal-hal yang belum mendapat pengaturan
dalam hukum tertulis. 1
Salah satu tujuan hukum Tanah Nasional adalah meletakkan dasar-dasar untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Kepastian hukum ini
diwujudkan dengan diselenggarakannya suatu sistem pendaftaran tanah.

1

Boedi Harsono, Reformasi Hukum Tanah yang Berpihak Kepada Rakyat, (Bandung :
Penerbit Mandar Maju, 2002), hal. 39.

1
Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

2

Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA
yang menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini merupakan landasan hukum
pendaftaran tanah di Indonesia.
Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah telah diterbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar, mengenai bidang-bidang tanah, dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Tujuan utama pendaftaran tanah ini adalah untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, dan untuk
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah
susun yang telah terdaftar serta untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan. 2
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali (initial registration) dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah

2

Ibid., hal. 471-472.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

3

(maintenance). 3 Dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, kecuali
perubahan data melalui lelang, digunakan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) sebagai dasar untuk mendaftarkan perubahan data yang terjadi,
untuk membuktikan bahwa benar-benar telah terjadi suatu perbuatan hukum atau
peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. 4 Akta tersebut
harus merupakan akta otentik agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. 5
Secara hukum, dalam pelaksanaan tugasnya, PPAT/Pejabat Umum pada
dasarnya bertumpu pada kegiatan pembuatan akta yang serba formal-prosedural,
meski disamping tugas tersebut ia dapat juga memberi nasehat hukum, dikatakan
demikian karena kewajibannya hanya melayani pengesahan perbuatan hukum dari
pihak-pihak yang memakai jasanya. Itulah sebabnya perjanjian dan ketetapan yang
dibuat PPAT dalam bentuk akta merupakan perbuatan dari para pihak yang meminta
jasanya untuk membuat pengesahan formal. 6
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor : 10/1961 menyatakan bahwa setiap
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak
baru atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah
sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan
dihadapan Penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Dalam Peraturan Menteri
Agraria Nomor 10 Thn 1961 diatur mengenai Penjabat yang dimaksud dalam Pasal
3

Ibid., hal. 474.
Ibid., hal. 475-476.
5
Da’i Bachtiar, Kedudukan dan Fungsi Akta Otentik Sebagai Alat Bukti dalam Pandangan
Polri, (Jakarta : Penerbit Renvoi, Juni 2003, hal. 22-23.
6
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Pejabat Umum, (Jakarta : Penerbit Erlangga,
1992), hal. 235.
4

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

4

19 Peraturan Pemerintah Nomor : 10/1961 tersebut. Peraturan Menteri Agraria ini
melahirkan suatu lembaga baru yaitu Penjabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah tersebut di atas
diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan dilengkapi beberapa Pasal tertentu tentang PPAT di
dalamnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan PPAT.
Pada prakteknya, akta sebagaimana dimaksud sebelumnya berbentuk blanko
akta yang siap diisi oleh PPAT, dimana akta tersebut saat ini dicetak oleh Perum
Peruri atas permintaan Badan Pertanahan Nasional

dan diedarkan dengan

menggunakan jasa PT. Pos Indonesia.
Menurut pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara tegas
dinyatakan bahwa akta otentik adalah suatu akta didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai atau pejabat umum yang
berkuasa untuk di tempat dimana akta dibuatnya. Lebih lanjut Pasal 1870 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan suatu akta otentik memberikan diantara
pihak beserta ahli warisnya, atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka,
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata unsurunsur yang menjadi akta otentik adalah :
-

Bentuk akta yang ditentukan oleh Undang-Undang

-

Dibuat oleh atau dihadapan Pejabat yang berkuasa untuk itu

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

5

-

Tempat di mana ditentukan
Lebih lanjut Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan

suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapannya pegawai termasuk
diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlukan sebagai akta
otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia
ditandatangani oleh para pihak.
Diantara hal-hal yang disebut sebagai bukti, peraturan perundang-undangan
menentukan tulisan menjadi salah satu yang penting, karena dengan tulisan dapat
kembali diingat, atau dipahami suatu peristiwa hukum yang sudah berlalu dan yang
sedang dan yang akan datang.
Menurut peraturan perundang-undangan bukti tulisan terdiri dari 2 jenis yaitu
tulisan dibawah tangan dan tulisan otentik. Tulisan dibawah tangan adalah tulisan
yang dibuat oleh seseorang atau para pihak tanpa dicampuri oleh negara, sedangkan
tulisan otentik adalah tulisan yang dibuat oleh atau para pihak atau seseorang dimana
dalam hal pembuatannya negara ikut campur, yang mengatur syarat-syarat suatu
tulisan menjadi otentik.
Untuk tulisan otentik dijamin kepastian hukumnya oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan. Atas hal ini didalam setiap hubungan bisnis, kegiatan dibidang
perbankan, pertanahan, kegiatan sosial dan lain-lain kebutuhan akan pembuktian
tertulis yang otentik semakin meningkat seiring dengan berkembangnya tuntutan
masyarakat dan kepastian hukum baik tingkat lokal, nasional, regional dan
internasional. Dengan tulisan otentik dapat dipastikan hak dan kewajibannya serta

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

6

akibat-akibat hukumnya yang sekaligus diharapkan dapat mengurangi sengketa di
kemudian hari.
Dalam perkembangan kehidupan manusia kebutuhannya akan tanah sangat
meningkat, dimana satu sisi jumlah manusia semakin bertambah sementara sisi lain
tanah yang dibutuhkan tidak bertambah malah semakin berkurang yang tentu hal ini
dapat dan akan menimbulkan problematika baik pada penguasaan peralihan dan
pembebanan atau hak-hak tanah.
Untuk menjamin hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan
pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna
yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak
dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para pihak.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberi
wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atau satuan rumah susun (Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998).
Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri dengan
menggunakan formulir yang disediakan yang diatur dalam Pasal 21 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yo Pasal 96 ayat 2 Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, yang tugas pokoknya
membantu Kepala Kantor Pertanahan melakukan pendaftaran tanah yang diatur

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

7

dalam Pasal 6, Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yo Pasal 2 dan
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.
Hal inilah yang menarik minat penulis untuk melakukan penelitian mengenai
problematika keotentikan Akta PPAT dengan mengkaji sinkronisasi peraturan
perundang-undangan mengenai akta tersebut, serta meneliti kedudukan PPAT selaku
pejabat umum dalam pembuatan akta pertanahan ditinjau dari segi Hukum Tanah
Nasional, khususnya tentang Pendaftaran Tanah, Hukum Pembuktian, Hukum
Perdata dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia.

B. Permasalahan
Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam
tesis ini adalah :
1. Apakah Akta PPAT yang dibuat dalam bentuk blanko atau formulir yang di
tetapkan oleh Menteri memenuhi syarat sebagai akta otentik ?
2. Apakah PPAT yang tugas pokoknya membantu kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah memenuhi syarat sebagai pejabat yang membuat akta otentik ?
3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi PPAT dalam melaksanakan tugas dan
profesinya ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Akta PPAT yang dibuat dalam bentuk blanko atau formulir
yang ditetapkan oleh Menteri memenuhi syarat sebagai akta otentik.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

8

2. Untuk mengetahui apakah PPAT yang tugas pokoknya membantu kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah memenuhi syarat sebagai pejabat yang
membuat akta otentik.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi PPAT dalam melaksanakan
tugas dan profesinya.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dihasilkan yaitu :
1. Bersifat teoritis, yakni hasil penelitian sebagai bahan kajian lebih lanjut dalam
disiplin Ilmu Hukum Agraria dalam bidang pertanahan, khususnya dalam
pembuatan akta PPAT dalam hal pendaftaran hak atas tanah.
2. Bersifat praktis, sebagai masukan kepada DPR, Pemerintah khususnya Badan
Pertanahan Nasional, Camat, Notaris, PPAT dan Instansi terkait yang bertujuan
untuk menentukan dan memperjelas kebijakan dan langkah-langkah guna
kepastian hukum atas keotentikan akta PPAT dalam pendaftaran hak atas tanah.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan kepustakaan Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum, maka penelitian yang berjudul serta

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

9

mengkaji tentang Problematika Keotentikan Akta PPAT belum pernah dilakukan oleh
mahasiswa dan peneliti lainnya.
Demikian juga dari hasil penelusuran kepustakaan tersebut di atas, belum
ada judul dan permasalahan yang mengangkat tentang Problematika Keotentikan
Akta PPAT, maka dengan demikian penelitian ini adalah asli serta dapat
dipertanggung-jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis. 7 Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas
perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian
dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 8 Menurut Burhan Ashshofa suatu
teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar
konsep. 9 Menurut Snelbecker yang mendefenisikan teori sebagai seperangkat
proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang
dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat
7

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Penerbit Mandar Maju, 1994), hal.

80.
8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press), 1996), hal. 19.
9
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1996), hal.
19.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

10

diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena
yang diamati. 10 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara
untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasi hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. 11
Dalam penelitian hukum 12 , adanya kerangka konsepsional dan landasan/
kerangka teoritis menjadi syarat yang penting. Di dalam landasan/kerangka teoritis
diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka ajaran
yang dalam bahasa Belanda disebut leerstelling. 13
Landasan teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis,
artinya mendudukan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka
teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut. 14 Dengan kata lain
kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, atau

10

Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, (Bandung :
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 34.
11
Burhan Ashshofa, op.cit., hal. 23.
12
Penelitian hukum itu sendiri menurut Peter Mahmud Marzuki adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Kencana,
2006), hal. 35.
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Ed. I, Cet. 7, (Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 7.
14
Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Ed. I
(Yogjakarta : Penerbit Andi, 2006), hal. 6.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

11

pegangan teoritis dalam penelitian ini. 15 Karena penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif, kerangka teorinya diarahkan secara khas ilmu hukum. 16
Penelitian ini berusaha untuk mememahami problematika keotentikan Akta
PPAT secara yuridis dalam kaitannya dengan kegiatan Pendaftaran Tanah. Artinya
memahami objek penelitian sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kepastian hukum dan sistematika
peraturan perundang-undangan.
Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa
kata ”acta” merupakan bentuk jamak dari kata ”actum” yang merupakan bahasa latin
yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan. 17 Selain itu pengertian akta sebagai surat
yang memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa
perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah ”surat”, melainkan suatu perbuatan.
Menurut R. Subekti kata ”akta” pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan, melainkan ”perbuatan hukum”,
yang berasal dari bahasa Perancis yaitu ”acte” yang artinya adalah perbuatan. 18

15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Penerbit Mandar Maju, 1994),

hal. 80.
16

Hukum itu sendiri pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam
manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu,
senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi
orang tengang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.
Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang profesi mereka sebagai hakim,
kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut pandang profesi keilmuwan mereka;
rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya. Lihat Ahmad Ali,
Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : Penerbit Gunung Agung,
2002), hal. 9-10.
17
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Penerbit Pradnya, 1980), halaman 9.
18
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Penerbit PT. Intermasa, 1985), halaman
29.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

12

Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka
dalam penulisan ini yang dimaksud dengan akta itu sendiri adalah dalam bentuk
ataupun pengertian surat yang memang sengaja diperbuat dan diperuntukkan sebagai
alat bukti.
Sudikno Mertokusumo, menyebutkan akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau
perikatan-perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 19
Akta otentik yang diuraikan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut : ”Akta otentik adalah akta yang
dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu
dibuatnya”.
Pasal 1 Angka 7 UUJN menyatakan : ”Akta Notaris adalah akta otentik yang
dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini”.
R. Subekti, mengemukakan :
Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa
yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus
dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia
memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak
memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti
yang mengikat dan sempurna”. 20

19

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Liberty,
1979), halaman 106.
20
R. Subekti (I), Hukum Pembuktian, (Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita, 2005), halaman 27.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

13

Syarat-syarat pembatalan dalam akta dapat diketahui dengan adanya syaratsyarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yakni : 21
1.
2.
3.
4.

Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang halal

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik
dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan. Akta otentik yang terutama
memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukannya dan
dilihat dihadapannya. 22
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui, bahwa akta otentik haruslah
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, yang bentuknya ditentukan UndangUndang dan adanya kewenangan dari pejabat yang bersangkutan dalam membuatnya.
Dengan demikian, akta otentik itu terbagi 2 (dua) macam yaitu :
1.

Akta relaas atau akta pejabat yaitu akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang
menguraikan secara otentik suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh
Pejabat Umum itu sendiri, dibuat catatannya (aktanya) dan dalam hal ini Pejabat
Umum membuat akta ditekankan pada jabatannya.

21

Mariam Darus Badrul Zaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Penerbit Citra Aditya
Bakti, 2001), halaman 73.
22
Ibid., halaman 110

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

14

2.

Akta Partij yaitu akta yang dibuat dihadapan Pejabat Umum, Pejabat Umum
hanya menuangkan apa yang diceritakan dan atau meresumekan yang
dikehendaki oleh para pihak ke dalam akta.
Akta otentik akan menjadi sah secara hukum apabila akta tersebut memenuhi

persyaratan sebagai alat bukti dan mempunyai kekuatan pembuktian hukum yang
sempurna, maksudnya adalah akta tersebut telah mempunyai kekuatan pembuktian
keluar baik dalam bentuk formil maupun materil karena itu kedudukannya sama
dengan Undang-Undang yaitu apabila suatu pihak mengajukan sebuah akta resmi
maka apa yang tertulis di dalam akta itu harus dipercayai oleh Hakim. Kecuali jika
ada bukti-bukti lawan yang mempunyai derajat atau nilai yang sama mempunyai
kekuatan melumpuhkan.
Disamping mempunyai bukti sempurna, akta otentik mempunyai kekuatan
mengikat kepada pihak-pihak yang menandatangani akta ini. Sedangkan terhadap
pihak ketiga, akta otentik mempunyai kekuatan bukti bebas.
Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak tanpa
bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti. 23
Akta di bawah tangan ini berisi pernyataan maksud para pihak guna mewujudkan
suatu perbuatan hukum yang oleh mereka dituliskan dengan tulisan sebagai pengganti
atau lanjutan pernyataan lisan mereka.

23

Effendi Perangin Angin, Kumpulan Kuliah Pembuatan Akta I, (Jakarta : Penerbit Raja
Grafindo Persada, 1991), halaman 64.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

15

Berbeda dengan akta otentik, maka akta di bawah untuk dijadikan bukti,
antara para pihak yang melakukan kesepakatan perjanjian, misalnya surat perjanjian
jual beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu.
Hal ini berarti para pihak mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa
yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut
memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi, akan
tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian
itu diwajibkan untuk membuktikan kebenaran tentang penandatangan atau isi akta
tersebut.
Untuk kekuatan pembuktian dari surat akta di dalam HIR maupun KUH
Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat biasa itu dibuat oleh yang
bersangkutan tetapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di
kemudian hari.
Oleh karena itu surat-surat yang sedemikian itu tidak dapat dipakai sebagai
alat bukti tambahan atau dapat juga dikesampingkan dan sama sekali tidak
dipergunakan. Surat biasa agar dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya
tergantung hakim sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1881 ayat (2) KUH
Perdata.
Pada dasarnya bentuk suatu akta Pejabat Umum yang berisikan perbuatanperbuatan dan hal-hal lain yang dikonstantir oleh Pejabat Umum, umumnya harus

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

16

mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam Perundang-undangan yang
berlaku, yaitu antara lain KUH Perdata dan Undang-Undang Jabatan Notaris.
Berdasarkan dengan hal ini, dapat dikemukakan bahwa suatu akta Pejabat
Umum lahir dan tercipta karena :
1.

2.

Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, agar
perbuatan hukum mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta
otentik.
Atas dasar Undang-Undang yang menentukan agar untuk perbuatan hukum
tertentu mutlak harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan diancam
kebatalan jika tidak, misalnya dalam mendirikan suatu perseroan terbatas, harus
dengan akta otentik. 24
Pertimbangan perlunya dituangkan dalam bentuk akta otentik adalah untuk

menjamin kepastian hukum guna melindungi pihak-pihak. Suatu akta yang memiliki
karakter otentik, akta itu mempunyai daya bukti antar para pihak dan terhadap pihak
ketiga yang berkaitan dengan pembuatan akta otentik itu.
Sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak bahwa perbuatan atau
keterangan-keterangan yang dikemukakan memberikan suatu bukti yang tidak dapat
dihilangkan.
Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut
Pasal 1870 KUH Perdata adalah suatu akta otentik memberikan diantara para pihak
beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti
yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.

24

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Penerbit Putra A. Bardin, 1995),
halaman 3.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

17

Akta otentik juga memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa
akta otentik sudah tidak memerlukan penambahan pembuktian. Sebagaimana yang
dikatakan oleh R. Subekti bahwa akta otentik merupakan suatu alat bukti yang
mengikat dan sempurna.
Sebagai basis dalam menganalisis keotentikan akta PPAT mengacu kepada
pelaksanaan politik pertanahan nasional Republik Indonesia yang diawali dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (disingkat UUPA). Pasal 19 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Repubik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan

Pemerintah. 25

Kepastian

hukum

ini

diwujudkan

dengan

diselenggarakannya suatu sistem pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dimaksud
adalah suatu proses tata usaha dan tata cara untuk mencapai kepastian hukum yang
sah tentang hak atas tanah 26 yang merupakan kegiatan tata usaha negara di bidang
pertanahan sebagai bagian dari tertib administrasi tata usaha negara. Pendaftaran
tanah untuk saat ini dipusatkan pada Bagian Pendaftaran Tanah bekerjasama dengan
Bagian Pengukuran, serta Bagian Pemberian Hak yang dikelola oleh instansi Badan
Pertanahan Nasional (BPN). 27

25

Kepastian Hukum merupakan syarat mutlak apabila dikehendaki supaya hukum itu
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sedangkan keadilan merupakan pedoman bagi
kebenaran isi hukum, Marhanis Abdul Hay, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Penerbit Pradnya
Paramita, 1981), hal. 15.
26
A.P. Parlindungan, op.cit., hal. 115.
27
Pasal 14 Perpres RI No. 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, disebut sebagai
Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

18

Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai payung
hukum dari kegiatan Pendaftaran Tanah. 28 Dengan kata lain, Pasal 19 UUPA itu
merupakan norma hukum yang masih bersifat garis besar, sehingga memerlukan
peraturan yang lebih rendah sebagai aturan yang lebih konkrit daripada ketentuan
yang lebih tinggi yakni UUPA itu sendiri. 29 Peraturan tersebut antara lain Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
Kenyataannya, pada beberapa peraturan yang berkaitan dengan Pendaftaran
Tanah tersebut yang terhimpun dalam suatu sistem hukum pertanahan banyak terjadi
ketumpang tindihan antara peraturan tersebut satu sama lain baik sinkronisasinya
secara vertikal maupun horizontal sehingga menimbulkan keragu-raguan akan
kepastian hukum tersebut, padahal dalam suatu undang-undang ataupun peraturan,
kepastian hukum meliputi dua hal yakni :
1. Kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu
dengan lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang itu secara keseluruhan
maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang
tersebut.

28

Dalam dunia keilmuwan dikenal adanya teori payung (grand-theory), teori tengah (middlerange theory), lalu yang terendah adalah teori biasa yang dihasilkan oleh suatu ilmu. Sedang teori
hukum merupakan suatu hasil karya para pakar hukum tanpa mengacu pada suatu filsafat tertentu.
Lihat Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Penerbit Citra
Aditya Bakti, 2001), hal. 12, lihat juga Otje Salman yang menyebutkan bahwa Bagi semua ahli, teori
adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi
kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsiap bagi keseluruhan teori yang
lebih umum Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Cet. Pertama, (Bandung : Penerbit Refika Utama, 2004), hal. 23.
29
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, op.cit., hal. 61.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

19

2. Kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-undang
tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian
hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undangundang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada
masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut
dengan norma hukum yang mati (doodrege) atau hanya sebagai penghias yuridis
dalam kehidupan manusia. 30
Kalau suatu undang-undang sudah mempunyai kepastian hukum, bukan
berarti tidak menimbulkan masalah dalam pelaksanaan hukumnya. Dalam
pelaksanaan undang-undang inilah, kepastian hukum akan terlihat apakah memiliki
daya mengikat kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, apakah kepastian
hukum yang sudah tercipta dalam undang-undang itu akan efektif ketika undangundang dilaksanakan. Menurut teori hukum, berlakunya suatu kaedah hukum itu
dapat dilihat dari tiga aspek yakni aspek yuridis, sosiologis dan filosofis. 31
Salah satu kebijakan dasar penyelenggaraan sistem hukum dalam kaitannya
dengan pembangunan hukum di Indonesia adalah persoalan kepastian hukum
(rechtszekerheid). Sistem hukum itu sendiri menurut Friedman hanya dapat berlaku
sempurna apabila memenuhi 3 (tiga) hal yang di dalamnya bekerja dengan baik, yaitu
adanya peraturan, dimana peraturan tersebut dijalankan oleh organ/struktur yang
benar, dan dapat efektif berjalan bila didukung oleh budaya hukum yang berlaku
30

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung :
Penerbit Alumni, 2006), hal. 118.
31
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologis Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta :
Penerbit Rajawali, 1987), hal. 13.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

20

dalam masyarakat. 32 Ketiga aspek ini penting diterapkan dalam kaitannya dengan
kegiatan pendaftaran tanah sehingga masyarakat, instansi/pejabat terkait merasa aman
dan terlindungi dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah guna mencapai
kepastian hukum.
Azas kepastian hukum (rechtszekerheid) itu sendiri juga menghendaki
penghormatan terhadap hak yang diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan
badan atau pejabat administrasi negara. Keputusan badan atau pejabat administrasi
negara dalam hal ini haruslah memenuhi syarat materil (syarat-syarat kewenangan
bertindak) dan syarat formil (syarat yang berkaitan dengan keputusan). 33 Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah dua
lembaga yang terlibat langsung dalam setiap kegiatan pendaftaran tanah tersebut.
Soerjono Soekanto berpendapat bagi kepastian hukum yang penting adalah
peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar
pengutamaan kepastian hukum. Dengan demikian kepastian hukum sebagai nilai
selalu menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. 34 Dalam hukum
harus ada keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum itu penting agar orang

32

Lihat L.M. Friedmann, What Is A Legal System : in American Law, (London : W. Northon
7 Company, 1984), hal 5-6, dalam M. Yamin, Disertasi, Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum, Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hal. 52-53.
33
Supandi, Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Peradilan Tata Usaha
Negara di Medan, Disertasi, Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2005, hal. 27.
34
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
(Bandung : Penerbit Alumni, 1982), hal. 21.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

21

tidak bingung. Tapi keadilan dan kepastian hukum itu sendiri merupakan dua sisi dari
satu mata uang. 35
Muhammad Yamin berpendapat ”memperbaiki kepastian hukum, memang
bukan satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak
dan kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak
terjadi sengketa” 36 artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum
formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolok ukurnya, dengan demikian
perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan yang
dapat memberikan suatu kepastian hukum.
Pada sistem hukum di Indonesia berlaku sistem yang berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana
norma yang lebih rendah berlaku, misalnya Keputusan Menteri Agraria bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yakni Keputusan Presiden bidang
pertanahan yang mengacu kepada norma yang lebih tinggi yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, kemudian norma yang
lebih tinggi berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi yaitu
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, demikian seterusnya sampai pada suatu

35

Jumly
Ashiddiqie,
Keadilan,
Kepastian
Hukum,
dan
Keteratura,
http://www.suarakaryaepline.com/, terakhir diakses pada 05 Juni 2007, 10:18:14.
36
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan : Penerbit
Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 41-42.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

22

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu
norma dasar (grundnorm) yang di Indonesia adalah Pancasila. 37
Pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merapakan tugas Negara yang
dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Mengutip pendapat R. Hermanses
dalam buku Harun Al Rasyid mengatakan bahwa ”kadaster/pendaftaran tanah dalam
arti yang modern dapat dirumuskan sebagai pendaftaran atau pembukuan bidangbidang tanah dalam daftar-daftar berdasarkan pengukuran dan pemetaan yang
seksama dari bidang-bidang tanah itu”. 38
Sebagaimana Boedi Harsono mendefinisikan Pendaftaran Tanah yakni : Suatu
rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan
teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah
tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan
penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum

di

bidang

pertanahan,

termasuk

penerbitan

tanda

buktinya

dan

pemeliharaannya. 39
Pendaftaran tanah bukan sekedar administrasi tanah, tetapi pendaftaran adalah
memberikan hak atas tanah, artinya dengan terdaftarnya tanah seseorang, jika
sekalipun negara membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum, negara tidak
37

Lihat Hierarki Norma Hukum dari Hans Kelsen dalam buku Maria Farida Indrati
Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Cet. 11, (Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 2003), hal. 25.
38
Harun Al Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-Peraturannya),
(Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1987), hal. 84.
39
Boedi Harsono, op.cit., hal. 72.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

23

dapat lagi dengan serta merta mencabut hak atas tanah seseorang. 40 Jadi pendaftaran
tanah mempunyai arti yang penting berkenaan dengan hak keperdataan seseorang,
bukan hanya sekedar suatu perbuatan administrasi belaka. 41
Akan tetapi satu hal penting yang tidak bisa dipungkiri menurut Soeprapto
dalam buku Harun Al Rasyid bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
sehingga pemilikan tanah tidak bersifat absolut yang tidak dapat diganggu gugat lagi
yang berarti jika terjadi pertentangan kepentingan maka kepentingan umum harus
diutamakan di atas kepentingan perorangan dalam batas-batas yang tidak
menghilangkan kepentingan individu. 42
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tujuan
pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak
atas tanah melalui penyempurnaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah
serta menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap dengan memperhatikan
kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Indonesia sebagai negara hukum dengan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi
memiliki sistem hukum Negara Republik Indonesia. Sistem hukum Negara Republik
Indonesia merupakan sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi
sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan
kehidupan nasional sehari-hari. Salah satu tujuan dari penegakan hukum adalah
menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum itu diperuntukkan bagi manusia
40

M. Yamin Lubis, op.cit., hal. 5.
Abdurrahman, op.cit., hal. 90.
42
Harun Al Rashid, op.cit., hal. 14.

41

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

24

bukan sebaliknya manusia diperuntukkan bagi kepastian hukum. Tanpa adanya
kepastian hukum tidak mungkin kepentingan manusia terlindungi dan ketertiban tidak
terwujud dalam masyarakat.
Pelaksanaan suatu undang-undang dapat dipaksakan oleh negara, tetapi dapat
pula diterima atau diakui oleh masyarakat. Jadi, secara sosiologis, keefektifan suatu
kepastian hukum yang tercantum dalam undang-undang apabila undang-undang
tersebut sudah dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat. Apabila norma hukum
dalam undang-undang itu belum pernah dilaksanakan atau dalam pelaksanaannya
mengalami hambatan, tidak dapat dikatakan bahwa kepastian hukum telah berjalan
secara sempurna. Dengan kata lain kepastian hukum merupakan suatu hal yang
terletak pada substansi undang-undangnya, subjek penyeleggara yang terdiri dari
aparatur pelaksana hukum, subjek penerima undang-undang atau warga masyarakat
dan fasilitas yang disediakan untuk pelaksanaan undang-undang tersebut. 43
Secara umum diterima prinsip bahwa segala peristiwa hukum yang belum
mendapat pengaturan dalam undang-undang belum memiliki kepastian hukum.
Sebaliknya, apabila peristiwa hukum itu telah mendapat pengukuhannya dalam
undang-undang sudah dianggap memiliki kepastian hukum. Pemerintah telah banyak
mengeluarkan produk perundang-undangan untuk mengatur kegiatan lalu lintas
hukum baik yang bersifat publik maupun privat. Undang-undang itu sendiri
diciptakan untuk memberikan perlindungan kepada manusia dan memelihara
ketertiban dalam masyarakat. Namun, dalam perkembangannya, terjadi kontroversial
43

Ta Kamelo, op.cit., hal. 118.

Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT.
USU e-Repository © 2008.

25

antara materi hukum yang menunjukkan adanya peningkatan. Sebaliknya, di pihak
lain tidak diimbangi dengan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya. 44
Dari pasal-pasal dalam UUPA yang berkaitan dengan pendaftaran tanah
terlihat bahwa kegiatan pendaftaran tanah tersebut melibatkan Pemerintah dan
masyarakat

secara

sinergis,

jika

Pemerintah

diwajibkan

menyelenggarakan

pendaftaran tanah tanpa disertai kewajiban para pemegang hak untuk mendaftarkan
haknya, maka kegiatan pendaftaran tanah tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana
yang diharapkan.
Untuk dapat mewujudkan pendaftaran tanah terutama pendaftaran hak-hak
atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut dibutuhkan data-data yang akurat dan
otentik sebagai sumber pendaftaran tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu
akta otentik yang dapat menjadi alat bukti yang berkenaan dengan perbuatan hukum,
baik yang berupa peralihan ataupun pembebanan h