Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Peningkatan Tekanan Darah pada Mahasiswa FK USU Angkatan 2010

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh merupakan pengukuran yang paling sederhana dan
paling sering digunakan dalam menentukan obes atau tidaknya seseorang. Hal ini
didukung oleh pernyataan bahwa Indeks Massa Tubuh memiliki korelasi yang
bermakna dengan lemak tubuh. Menurut WHO (2000) dalam Soegih et al.,
(2009), Indeks Massa Tubuh (kg/m2) adalah angka yang didapatkan dengan cara
membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter
dikuadratkan.
Berdasarkan klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO (2000) dalam
Weisell (2002), nilai IMT didefinisikan seperti berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh pada orang dewasa Asia
Klasifikasi

IMT (kg/m2)

Underweight

< 18,5


Normoweight

18,5 – 22,9

Overweight

≥ 23

Berisiko

23 – 24,9

Obes I

25 – 29,9

Obes II

≥ 30


(WHO, 2000)
2.2. Obesitas
Obesitas ialah akumulasi jaringan lemak di bawah kulit yang berlebihan dan
terdapat di seluruh tubuh. Umumnya disebabkan oleh masukan energi yang lebih
dari yang dibutuhkan oleh tubuh untuk metabolisme basal, specific dynamic
action terhadap berbagai makanan yang dimakan, pengeluaran ekskreta,
pertumbuhan dan perkembangan dan berbagai kegiatan jasmani (Abdoerrachman
et al., 1998).

Universitas Sumatera Utara

Prevalensi obesitas merupakan masalah kesehatan pada anak, remaja, dan
dewasa di Amerika Serikat. Telah dilaporkan dari Survey NHANES bahwa
prevalensi obesitas pada pria tahun 2003-2004 adalah 31,1% dan pada tahun
2005-2006 33,3%. Pada wanita, prevalensi obesitas tahun 2003-2004 adalah
33,2% dan 2005-2006 35,3%. Pada anak dan remaja umur 2-19 tahun, prevalensi
obesitas pada tahun 2003-2006 adalah 16,3% (Soegih et al., 2009).
Menurut Depkes RI (2007), prevalensi obesitas pada penduduk dewasa di
atas 15 tahun di beberapa kota besar di Indonesa cukup tinggi seperti di Sumatera
Utara 20.9% dengan 17.7% pria dan 23.8% wanita, di DKI Jakarta 26.9% dengan

22.7% pria dan 30.7% wanita, Jawa Barat 17.0% dengan 14.4% pria dan 29.2%
wanita, Jawa Tengah 17.0% dengan 11.6% pria dan 22.0% wanita, DI Yogyakarta
18.7% dengan 14.6% pria dan 22.5% wanita, Jawa Timur 20.4% dengan 15.2%
pria dan 25.5% wanita. Dan di Indonesia adalah 19.1% dengan wanita 23.8% dan
pria 13.9%.
Terjadinya obesitas secara umum berkaitan dengan keseimbangan energi di
dalam tubuh. Keseimbangan energi ditentukan oleh asupan energi yang berasal
dari zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, lemak dan protein serta kebutuhan
energi yang ditentukan oleh kebutuhan energi basal, aktivitas fisik dan Thermic
Effect of Food (TEF) yaitu energi yang diperlukan untuk mengolah zat gizi
menjadi energi. Keseimbangan energi di dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik yang berasal dari dalam tubuh yaitu regulasi fisiologis dan
metabolisme ataupun dari luar tubuh yang berkaitan dengan gaya hidup
(lingkungan) yang akan mempengaruhi kebiasaan makan dan aktivitas fisik.
Regulasi fisiologis dan metabolisme dipengaruhi oleh genetik dan juga oleh
lingkungan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa obesitas (peningkatan lemak
tubuh) ± 70% dipengaruhi oleh lingkungan dan ± 30% oleh genetik (Soegih et al.,
2009).

Universitas Sumatera Utara


Kecenderungan terjadinya obesitas dijumpai pada sebagian orang yang
umumnya berkaitan erat dengan pola makan, status sosial, ketidakseimbangan
aktivitas tubuh dan konsumsi makan. Walaupun berbagai faktor berperan dalam
timbulnya obesitas, yang paling perlu diperhatikan adalah bahwa timbulnya
obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyaknya makan, terlalu sedikitnya
aktivitas atau latihan fisik, atau keduanya (Misnadiarly, 2007).
Makanan lazim orang Amerika (tinggi kalori, lemak total, lemak jenuh,
gula, dan garam) turut berperan dalam berkembangnya hiperlipidemia dan
obesitas. Obesitas meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan
berperan dalam gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang berlebihan (terutama obesitas
abdominal) dan ketidakaktifan fisik berperan dalam terbentuknya resistensi
insulin. Istilah hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan / atau
trigliserida serum di atas batas normal. Penyebab utama hiperlipidemia adalah
obesitas, asupan alkohol yang berlebihan, diabetes mellitus, hipotiroidisme, dan
sindrom nefrotik (Brown, 2006).
Obesitas cenderung menimbulkan efek yang kurang baik terhadap tubuh.
Menurut Soegih et al., (2009), obesitas berhubungan dengan meningkatnya
trigliserida dan menurunnya HDL. Sejalan dengan pernyataan di atas, Misnadiarly
(2007) menyatakan bahwa kenaikan aktivitas enzim lipase mengiringi kenaikan

massa jaringan adiposa dan menyebabkan penguraian lemak sehingga banyak
dilepaskan asam lemak dalam darah. Asam lemak bebas ini selanjutnya diangkut
ke hati dan bersama kolesterol dalam hati akan dibuat menjadi suatu bentuk
lipoprotein, yaitu VLDL (Very Low Density Lipoprotein). Akibat semuanya ini
kolesterol dan trigliserida (lemak netral) dalam darah juga meningkat dan pada
akhirnya terjadi peningkatan tekanan darah.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Tekanan Darah
Tekanan darah adalah gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding
pembuluh. Tekanan darah bergantung pada volume darah yang terkandung di
dalam pembuluh dan compliance, atau daya regang (distensibillity), dinding
pembuluh yang

bersangkutan (seberapa mudah mereka dapat diregangkan)

(Sherwood, 2001).
2.3.1. Fisiologi Tekanan Darah
Selama sistol ventrikel, volume sekuncup darah masuk arteri-arteri dari

ventrikel, sementara hanya sekitar sepertiga darah dari jumlah tersebut yang
meninggalkan arteri untuk masuk ke arteriol-arteriol. Selama diastol, tidak ada
darah yang masuk ke dalam arteri-arteri, sementara darah terus meninggalkan
mereka, terdorong oleh recoil elastic. Tekanan maksimum yang ditimbulkan di
arteri sewaktu darah disemprotkan masuk ke dalam arteri selama sistol, atau
tekanan sistolik, rata-rata adalah 120 mmHg. Tekanan minimum di dalam arteri
sewaktu darah mengalir ke luar ke pembuluh di hilir selama diastol, yakni tekanan
diastolik, rata-rata 80 mmHg. Tekanan arteri tidak turun menjadi 0 mmHg karena
timbul kontraksi jantung berikutnya dan mengisi kembali arteri sebelum semua
darah keluar (Sherwood, 2001).
2.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan resistensi vaskular perifer (peripheral vascular resistance).
Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi
sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik
vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer
ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh
darah dan viskositas darah. Semua parameter di atas dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain sistem saraf simpatis dan parasimpatis, Sistem ReninAngiotensin-Aldosteron (SRAA) dan faktor lokal berupa bahan-bahan vasoaktif
yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah (Nafrialdi, 2008).


Universitas Sumatera Utara

Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung meningkatkan tekanan
darah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas
miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis
bersifat depresif, yaitu menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi
denyut jantung. SRAA juga bersifat presif berdasarkan efek vasokonstriksi
angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan
natrium di ginjal sehingga meningkatkan volume darah. Selain itu terdapat
sinergisme antara sistem simpatis dan SRAA yang saling memperkuat efek
masing-masing (Nafrialdi, 2008).
Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan vasoaktif yang
sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin, tromboksan A2 dan
angiotensin II lokal, dan sebagian lagi bersifat vasodilator seperti endotheliumderived relaxing factor (EDRF) yang dikenal juga dengan nitric oxide (NO) dan
prostasiklin (PGI2). Selain itu, jantung, terutama atrium kanan memproduksi
hormon yang disebut atriopeptin (atrial natriuretic peptide, ANP) yang besifat
diuretik, natriuretik dan vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah
(Nafrialdi, 2008).
2.3.3. Alat Ukur Tekanan Darah

Tekanan darah dapat secara tidak langsung diukur dengan menggunakan
sfigmomanometer. Perubahan tekanan arteri selama siklus jantung dapat diukur
secara langsung dengan menghubungkan alat pengukur tekanan ke sebuah jarum
yang dimasukkan ke dalam sebuah arteri. Namun, pengukuran dapat dilakukan
secara lebih nyaman dan cukup akurat, yaitu secara tidak langsung dengan
menggunakan sfigmomanometer, suatu manset yang dapat dikembungkan, dipakai
secara eksternal, dan dihubungkan dengan pengukur tekanan. Apabila manset
dilingkarkan mengelilingi lengan atas dan kemudian dikembungkan dengan udara,
tekanan manset disalurkan melalui jaringan ke arteri brakialis di bawahnya, yaitu
pembuluh utama yang mengangkut darah ke lengan bawah. Teknik ini melibatkan
keseimbangan antara tekanan di manset dengan tekanan di arteri (Sherwood,
2001).

Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Prinsip Pengukuran Tekanan Darah
Selama penentuan tekanan darah, sebuah stetoskop diletakkan di atas arteri
brakialis di lipat siku tepat di bawah manset. Tidak terdengar bunyi apabila tidak
ada darah yang mengalir melalui pembuluh tersebut atau jika darah mengalir
secara normal, laminar, dan mulus. Aliran darah yang turbulen, di pihak lain,

menimbulkan getaran yang dapat didengar. Pada permulaan penentuan tekanan
darah, manset dikembungkan ke tekanan yang lebih besar daripada tekanan
sistolik, sehingga arteri brakialis kolaps. Oleh karena tekanan eksternal lebih besar
daripada tekanan internal puncak, arteri akan tergencet sehingga tertutup selama
siklus jantung; tidak terdengar bunyi, karena tidak ada darah yang lewat arteri ini.
Pada saat udara di dalam manset secara perlahan dikeluarkan, tekanan di manset
secara perlahan berkurang. Ketika tekanan manset turun tepat di bawah tekanan
sistolik puncak, arteri secara sementara terbuka sedikit ketika tekanan darah
mencapai puncak tersebut. Darah lolos melewati arteri yang teroklusi secara
parsial dalam waktu singkat sebelum tekanan arteri kembali berada di bawah
tekanan manset dan kembali kolaps. Semprotan darah ini bersifat turbulen,
sehingga dapat didengar (Sherwood, 2001).
Tekanan manset tertinggi pada saat bunyi pertama dapat terdengar
menandakan tekanan darah sistolik. Sewaktu tekanan manset terus turun, darah
secara intermiten menyemprot melewati arteri dan menimbulkan bunyi pada
setiap siklus jantung berikutnya setiap kali tekanan arteri melebihi tekanan
manset. Sewaktu tekanan manset pertama kali berada di bawah tekanan diastolik,
arteri brakialis tidak lagi tergencet tertutup selama siklus jantung, dan darah
mengalir tanpa ganggguan melalui pembuluh tersebut. Karena aliran darah tidak
lagi turbulen, bunyi tidak terdengar. Dengan demikian, tekanan tertinggi manset

pada saat bunyi terakhir terdengar menandakan tekanan diastolik. Pada praktek
klinis, tekanan darah arteri dinyatakan sebagai tekanan sistolik di atas tekanan
diastolik, dengan nilai rata-ratanya 120/80 mmHg (Sherwood, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5. Klasifikasi Tekanan Darah
The Joint National Committee on prevention, detection, evaluation and
treatment of high blood pressure (JNC) membuat klasifikasi terbaru (JNC VII,
2003) yang membagi hipertensi menjadi tingkat 1 dan tingkat 2.
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih
Klasifikasi

Sistol (mmHg)

Diastol (mmHg)

Normal

< 120


< 80

Prehipertensi

120 – 139

80 – 89

Hipertensi Tingkat 1

140 – 159

90 – 99

Hipertensi Tingkat 2

> 160

> 100

(JNC VII, 2003)
2.4. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg (Brown, 2006).
Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada
orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang
hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III
tahun 1988-1991 (Yogiantoro, 2009).
Menurut Depkes RI (2007), prevalensi nasional hipertensi pada penduduk
umur > 18 tahun adalah sebesar 29,8% (berdasarkan pengukuran). Sebanyak 10
provinsi mempunyai prevalensi hipertensi pada penduduk umur > 18 tahun di atas
prevalensi nasional, yaitu Riau, Bangka Belitung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat.

Universitas Sumatera Utara

Secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi hipertensi pada
penduduk umur > 18 tahun tertinggi adalah Natuna (53,3%), Mamasa (50,6%),
Katingan (49,6%), Wonogiri (49,5%), Hulu Sungai Selatan (48,2%), Rokan Hilir
(47,7%),Kuantan Senggigi (46,3%), Bener Meriah (46,1%), Tapin (46,1%), dan
Kota Salatiga (45,2%). Sedangkan 10 kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi
hipertensi pada penduduk umur > 18 tahun terendah adalah Jayawijaya (6,8%),
Teluk Wondama (9,4%), Bengkulu Selatan (11,0%), Kepulauan Mentawai
(11,1%), Tolikara (12,5%), Yahukimo (13,6%), Pegunungan Bintang (13,9%),
Seluma (14,6%), Sarmi (14,6%), dan Tulang Bawang (15,9%) (Depkes RI, 2007).
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan
berdasarkan etiologinya. Berdasarkan tingginya tekanan darah, seseorang
dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya > 140/90 mmHg. Berdasarkan
etiologinya, hipertensi dibagi menjadi hipertensi esensial dan hipertensi sekunder.
Hipertensi esensial, atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa
kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi
esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap
stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan
lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan
merokok, stres emosi, obesitas, dan lain-lain (Nafrialdi, 2008).
Hipertensi sekunder antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi
renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain.
Hipertensi renal dapat berupa hipertensi renovaskular, misalnya pada stenosis
arteri renalis, vaskulitis intrarenal; dan hipertensi akibat lesi parenkim ginjal
seperti pada glomerulonefritis, pielonefritis, penyakit ginjal polikistik, nefropati
diabetik dan lain-lain. Yang termasuk hipertensi endokrin antara lain akibat
kelainan korteks adrenal (hiper aldosteronisme primer, sindrom Cushing), tumor
medulla adrenal (feokromositoma), hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, dan lainlain. Penyakit lain yang dapat menimbulkan hipertensi antara lain koarktasio
aorta, kelainan neurologik (tumor otak, ensefalitis), stres akut, polisitemia dan

Universitas Sumatera Utara

lain-lain.

Beberapa

obat

seperti

kontrasepsi

hormonal,

kortikosteroid,

simpatomimetik amin (efedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin, amfetamin), kokain,
siklosporin dan eritropoetin, juga dapat menyebabkan hipertensi (Nafrialdi, 2008).
Hipertensi adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena
interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu, yaitu:
Asupan
garam
berlebih

Jumlah
nefron
berkurang

Retensi
natrium
ginjal

Volume
cairan

Stres

Penurunan
permukaan
filtrasi

Aktivitas
berlebih
saraf
simpatis

Perubahan
genetis

Renin
angiotensin
berlebih

Obesitas

Perubahan
membran
sel

Bahan-bahan
yang berasal
dari endotel

Hiperinsulinemia

Konstriksi
vena

Preload

Kontraktilitas

Konstriksi
fungsionil

Hipertrofi
struktural

TEKANAN DARAH = CURAH JANTUNG X TAHANAN PERIFER

Hipertensi = Peningkatan CJ dan/atau Peningkatan TP
Otoregulasi

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan
darah (Yogiantoro, 2009)

Universitas Sumatera Utara

2.5. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Peningkatan Tekanan Darah
Penyebab utama peningkatan tekanan darah pada obesitas adalah
peningkatan tonus vaskular dan garam serta air ginjal. Adapun mekanisme yang
mendasarinya termasuk bertambahnya sintesis jaringan adiposa, hiperleptinemia,
hipoadiponektinemia, meningkatnya asam lemak bebas, hiperinsulinemia, dan
insulin resisten. Semua ini akan menyebabkan stimulasi dari saraf simpatis,
meningkatnya tonus vaskular, disfungsi endotel, dan retensi sodium ginjal.
Keadaan obesitas akan menurunkan adiponektin dan meningkatkan asam lemak
bebas yang berlawanan dengan efek insulin.

Adiponektin adalah salah satu

protein spesifik yang disekresikan jaringan lemak dan termasuk dalam
adipositokin dengan konsentrasi yang cukup tinggi dalam sirkulasi. Selain
mempunyai kemampuan biologis dalam metabolisme glukosa dan sensitivitas
insulin, adiponektin juga berperan dalam mengatur konsentrasi lemak secara
langsung maupun tidak langsung (Setiawan, 2009).
Leptin serum merupakan adipokin yang bersifat pro-aterogenik sedangkan
adiponektin serum merupakan adipokin yang bersifat anti-aterogenik. Peningkatan
kadar leptin dalam plasma (hiperleptinemia) berkaitan dengan peningkatan Indeks
Massa Tubuh, penurunan sensitivitas insulin, serta profil lemak dalam plasma
yang aterogenik (Narkiewicz, 2006).
IMT

Adiponektin

Leptin

Tekanan darah
Gambar 2.2 Hubungan IMT dengan peningkatan tekanan darah (Narkiewicz,
2006)

Universitas Sumatera Utara

Banyak penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan antara
perubahan Indeks Massa Tubuh dengan meningkatnya insidensi hipertensi.
Menurut Kotchen (2008), overweight dan obesitas merupakan faktor risiko
hipertensi, dan kejadian hipertensi dua kali lebih banyak pada penderita obes
dibandingkan dengan nonobes. Pernyataan yang sama dijelaskan oleh Soegih et
al., (2009), bahwa seseorang yang menderita obesitas akan memiliki risiko dua
kali lebih tinggi untuk mengalami tekanan darah tinggi, bila dibandingkan dengan
orang sehat. Overweight pada anak dan remaja merupakan faktor risiko terjadinya
penyakit jantung, seperti tingginya kadar kolesterol dan tingginya tekanan darah,
bila dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal. Begitu juga halnya
menurut Kotsis et al., (2010), bahwa penderita obes memiliki tekanan darah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan nonobes.
Obesitas telah diidentifikasi sebagai faktor penting dalam memprediksi
terjadinya hipertensi pada orang dewasa. Resistensi insulin, hiperinsulinemia,
hiperglikemia dan dislipidemia juga mempengaruhi peningkatan tekanan darah.
Anak-anak dan orang dewasa yang obes, cenderung mempunyai tekanan darah
yang lebih tinggi secara signifikan (He et al., 2000). Menurut Midha et al.,
(2009), Indeks Massa Tubuh rata-rata penderita hipertensi secara signifikan lebih
tinggi daripada yang tidak menderita hipertensi, yaitu 25,1 ± 4,7 kg/m2
dibandingkan dengan 21,0 ± 3,8 kg/m2. Narkiewicz (2005) juga menyatakan
bahwa obesitas adalah salah satu faktor risiko pada perkembangan penyakit
hipertensi, kardiovaskular dan penyakit ginjal kronik.
Menurut Schmieder (1993) dalam Delaney (2008), Framingham Heart
Study selama 44 tahun pengamatan menunjukkan bahwa berat badan berlebih
(termasuk overweight dan obesitas) terhitung sekitar 26% kasus hipertensi pada
pria dan 28 persen pada wanita. Penderita obes mengalami peningkatan lemak
tubuh yang meningkatkan tahanan pembuluh darah dan pada akhirnya
meningkatkan kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Dengan
demikian, penderita obes cenderung mengalami peningkatan tekanan darah.

Universitas Sumatera Utara