Perilaku Remaja Tentang Penyalahgunaan Narkoba di SMP Negeri 1 Salapian Kabupaten Langkat Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.

Perilaku

1.1. Pengertian Perilaku
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu
tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan
baik didasari maupun tidak (Wawan & Dewi, 2011).
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku dari
pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme
yang bersangkutan, jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas
dari manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 2012).
Skiner (1938) seorang ahli perilaku mengemukan bahwa perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsangan (stimulus) dan tanggapan
(respon) dan respons. Ia membedakan adanya 2 respon, yakni:
1. Respondent Respons atau Reflexive Respon
Adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu.

Perangsangan-perangsangan semacam ini disebut eliciting stimulikarena
menimbulkan

respon-respon

relatif

tetap,

misalnya

makanan

lezat

menimbulkan keluarnya air liur, cahaya yang kuat akan menyebabkan mata
tertutup, dan sebagainya. Pada umumnya perangsangan-perangsangan yang
demikian itu mendahului respons yang ditimbulkan.

Universitas Sumatera Utara


2. OperantRespons atau Instrumental Respons
Adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsangan
tertentu. Perangsangan semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer
karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat respons yang telah
dilakukan organisme.
perangsangan yang demikian itu mengikuti atau memperkuat suatu
perilaku yang telah dilakukan. Apabila seorang anak belajar atau telah
melakukan suatu perbuatan kemudian memperoleh hadiah maka ia akan
menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi melakukan perbuatan
tersebut. Dengan kata lain responnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi
(Wawan& Dewi, 2011)
1.2. Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons
tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap
stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat
dibedakan menjadi dua, yakni:

1.

Determinan atau faktor internal, yakni karateristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

2.

Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Dan uraian diatas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah merupakan

totalitas penghayatan dan aktifitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau
resultant antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Dengan
perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan
yang sangat luas. Benyamin Bloom (1998) seorang ahli psikologi pendidikan
membagi perilaku manusia itu dalam tiga domain, sesuai dengan tujuan

pendidikan. Bloom menyebutkan ranah atau kawasan yakni, a) kognitif
(cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). Dalam
perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan yakni, pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), tindakan
(practice) (Notoatmodjo, 2012).
1.3. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Universitas Sumatera Utara

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan
yaitu:
1.

Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat materi yang dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur agar orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2.

Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,
dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3.

Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam
konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik
dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsipprinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam
pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

Universitas Sumatera Utara

4.

Analisis ( analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen,tetapi masih dalam struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokan, dan sebagainya.

5.


Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan dan
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi-formulasi

yang

ada.

Misalnya

dapat

menyusun,

dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan. Dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6.

Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteriakriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang
cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya
diare disuatu tempat, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak
mau ikut KB dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas (Notoatmodjo, 2012).
1.4. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012). Thomas dan Znaniecki
(1920) yang dikutip oleh Wawan (2011) menegaskan bahwa sikap adalah

predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu,
sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu
(purely psychic inner state), tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang
sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri
setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang
berasal dari nilai-nilai norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu.
Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
itu masih merupakan reaksi tertutup, Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Universitas Sumatera Utara

Diagram dibawah ini dapat lebih menjelaskan uraian tersebut:


Reaksi
Stimulus
rangsangan

Proses Stimulus

Tingkah laku
(terbuka)

Sikap tertutup

(Notoatmodjo, 2012)
Gambar 2.1 Proses terbentuknya sikap dan reaksi

A. Komponen Sikap
Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu:
1. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh
individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe
yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan

(opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang
kontroversial.
2. Komponen efektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek
emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam
sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap
seseorang komponen efektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu.

Universitas Sumatera Utara

3. Komponen konatif merupakan aspek kecendrungan berperilaku tertentu
sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi
atau kecendrungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan
cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapi adalah logis
untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam
bentuk tendensi perilaku (Wawan, 2011).
B. Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat
dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah
tentang gizi.
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti
bahwa orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu
mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya,dan sebagainya) untuk
pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang

Universitas Sumatera Utara

gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap
positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggung Jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu
mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tentangan dari mertua
atau orang tuanya sendiri (Notoatmodjo, 2012).
C. Sifat Sikap
Sifat dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif
a.

Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,
mengharapkan objek tertentu.

b.

Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,
membenci, tidak menyukai objek tertentu.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap objek sikap antara
lain:
a) Pengalaman Pribadi
Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah
meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional.
b) Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

Universitas Sumatera Utara

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi
dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut.
c) Pengaruh Kebudayaan
Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman
individu-individu masyarakat asuhannya.
d) Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi
lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif
cenderung dipengaruhi sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap
sikap konsumennya.
e) Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama
sangat menentukan sistem kepercayaan tidak lah mengherankan jika kalau
pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f) Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari
emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
penglihatan bentuk.
E. Cara Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat/pernyataan responden

Universitas Sumatera Utara

terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyaan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden
melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2012).
1.5. Praktik Atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujutkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Sikap ibu positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari
suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut
mengimunisasikan anaknya. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor
dukungan (support) dari pihak lain misalnya dari suami atau istri, orang tua atau
mertua, dan lain-lain. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan.
1. Respon Terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu
dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotongmotongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.
2. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat kedua. Misalnya, seorang ibu yang sudah
mengimunisasikan bayinya pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu
perintah atau ajakan orang lain.

Universitas Sumatera Utara

3. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak
makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan
sederhana.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatanyang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Pengukuran
praktik (overt behavior) juga dapat diukur dari hasil perilaku tersebut. Misalnya
perilaku higiene perorangan (personal hygiene) dapat diukur dari kebersihan kulit,
kuku, rambut, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).
2. Narkoba
2.1. Pengertian Narkoba
Narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya), disebut juga NAPZA
(narkotika, psikotropika, zat adiktif lain) adalah obat, bahan,atau zat bukan
makanan yang jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikan, berpengaruh
pada kerja otak (susunan saraf pusat) dan sering kali menimbulkan
ketergantungan (Martono & Joewana, 2008).
2.2. Jenis-Jenis Narkoba
1.

Narkotika
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika disebut bahwa

istilah narkotika diartikan dengan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

Universitas Sumatera Utara

bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undangundang ini (UU No. 22/1997 Tentang Narkotika) atau yang kemudian ditetapkan
dengan keputusan Menteri Kesehatan (Rozak & Sayuti, 2006).
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 disebutkan narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanamanatau bukantanaman, baik sintetis
maupun

semisintetis,yang

dapat

menyebabkan

penurunan

atau

perubahankesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampaimenghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkanketergantungan, yangdibedakan ke dalam golongangolongansebagaimana terlampir dalam undang-undangini (BNN, 2014).
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 6 disebutkan bahwa
narkotika dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
a)

Narkotika Golongan Iadalah Narkotika yang hanyadapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmupengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkanketergantungan.

b) Narkotika Golongan II adalahNarkotika berkhasiatpengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dandapatdigunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuanpengembangan

ilmu

pengetahuan

sertamempunyaipotensi

tinggi

mengakibatkan ketergantungan.
c)

Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiatpengobatan dan banyak
digunakan dalam terapidan/atau untuk tujuanpengembangan ilmupengetahuan
serta mempunyai potensi ringanmengakibatkan ketergantungan.

Universitas Sumatera Utara

2.

Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat dan menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Ada 4
golongan

psikotropika

yang

dibagi

menurut

potensinya

menyebabkan

ketergantungan, yaitu sebagai berikut:
a.

Golongan I sangat tinggi menimbulkan ketergantungan dan selain untuk ilmu
pengetahuan dinyatakan sebagai barang terlarang, sehingga dilarang keras
digunakan atau diedarkan di luar ketentuan hukum. Contoh ekstasi (MDMA)
yang banyak disalahgunakan dan LSD.

b.

Golongan II berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan dengan cara
selektif

dan

digunakan

pada

pengobatan.

Contoh

amfetamin

dan

metamefatamin (shabu) yang banyak disalahgunakan.
c.

Golongan III dan IV berpotensi sedang dan ringan menimbulkan
ketergantungan, dan dapat digunakan pada pengobatan, tetapi harus dengan
resep dokter. Contoh bermacam-macam obat penenang (sadativa) dan obat
tidur (hipnotika). Yang sering disalahgunakan berupa Mogadon (MG),
Rohypnol (Rohyp), pil KB/Koplo, lexotan (lexo).

3.

Zat Psikoaktif Lain
Zat Adiktif adalah zat yang dapat menimbulkan adiksi (addiction) yaitu

ketagihan sampai pada dependensi (dependency) yaitu ketergantungan, misalnya
zat atau bahan yang tergolong amphetamine, sedativa/hipnotika, termasuk
tembakau atau rokok (hawari, 2006).

Universitas Sumatera Utara

zat psikoaktif lain adalah zat atau bahan lain bukan narkotika dan
psikotropika yang berpengaruh terhadap kerja otak. yang sering disalahgunakan
adalah sebagai berikut:
a.

Alkohol pada minuman keras, terdiri dari golongan A dengan kadar etanol 15%, contoh bir golongan B dengan kadar etanol 5-20%, contoh sebagai jenis
minuman anggur golongan C dengan kadar etanol 20-45%, contoh Whiskey,
Vodka, TKW, Mansion House, JohnyWalker, danKamput.

b.

Inhalasi atau Solven, yaitu gas atau zat pelarut yang mudah menguap berupa
senyawa organik yang sering digunakan untuk berbagai keperluan industri,
kantor, bengkel, toko, dan rumah tangga, seperti lem, thiner, aceton, aerosol,
bensin. Zat ini disalahgunakan dengan cara dihirup, terutama pada anak usia
9-14 tahun.

c.

Nikotin terdapat pada tembakau. Rokok mengandung 4.000 zat. Yang paling
berbahaya adalah nikotin merupakan bahan penyebab ketergantungan.

World Health Organization (WHO) menggolongkan obat, bahan, dan zat
psikoaktif, berdasarkan pengaruh terhadap tubuh manusia yaitu:
1.

Opioda (opium, morfin, heroin, dan petidin)

2.

Ganja

3.

Kokain dan daun koka

4.

Alkohol

5.

Amfetamin (amfetamin, ekstasi, shabu)

6.

Halusinogen (LSD)

7.

Sedativa dan hipnotika (obat penenang dan obat tidur)

8.

PCP (fensiklidin)

Universitas Sumatera Utara

9.

Inhalansia dan solven

10. Nikotin dan Kafein
( Martono & Joewana, 2008)
2.3. Mekanisme Terjadinya Penyalahgunaan dan Ketergantungan
Naza (Narkotika, Alkohol, dan Zat adiktif)
Mekanisme terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan naza dapat
diterangkan

dengan

3

pendekatan,

yaitu

pendekatan

organobiologik,

psikodinamik, dan psikososial. Ketiga pendekatan tersebut tidak berdiri sendiri
melainkan saling berikatan satu sama lainnya.
1. Organobiologik
Dari sudut pandang organobiologik (susunan saraf pusat/otak) mekanisme
terjadinya adiksi (ketagihan) hingga dependensi (ketergantungan) naza dikenal 2
istilah, yaitu gangguan mental organik akibat naza atau sindrom otak organik
akibat naza yaitu kegaduh gelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam
pikiran), efektif (alam perasaan/emosi) dan psikomotor (perilaku), yang
disebabkan oleh efek langsung naza terhadap susunan saraf pusat (otak). Istilah
lain adalah ganguan penggunaan naza termasuk didalamnya pengertian
penyalahgunaan naza atau ketergantungan naza, yang lebih banyak menyoroti
berbagai kelainan perilaku (behavior disorder) yang berkaitan dengan penggunaan
naza yang mempengaruhi susunan saraf pusat(otak).
Oleh karena itu di dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) kedua pengertian
tersebut diatas sering kali digabungkan menjadi satu kesatuan diagnosis yang
disebut dengan ganguan mental dan perilaku akibat naza. Beberapa teori

Universitas Sumatera Utara

mengemukakan tetang proses terjadinya adiksi (ketagihan) dan dependensi (
ketergantungan) pada penyalahgunaan naza, antara lain sebagai berikut:
Wikler (1973) mengemukakan conditioning theory. Menurut teori ini
seseorang akan menjadi ketergantungan terhadap naza apabila ia terus menerus
diberi naza tersebut. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi selular (neuroadaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel
saraf bekerja keras. Jika naza dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi
mengalami kehausan, yang diluar nampak sebagai gejala putus naza. Gejala putus
naza ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian naza tersebut,
demikian

seterusnya.Apabila

naza

dikonsumsi

dengan

cara

ditelan,

diminum,dihisap, dihirup, dihidu dan melalui suntikan maka naza melalui
peredaran darah sampai susunan saraf pusat (otak) yang mengganggu sistem
neuro-tansmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada neuro-tansmitter itu
terjadilah gangguan mental dan perilaku akibat naza. Telah diketahui bahwa
mekanisme kerja naza pada susunan saraf pusat (otak) terletak pada reseptor
melalui neuro-transmitter tadi, yaitu alat tubuh pada syaraf otak yang menangkap
naza tersebut agar naza itu mempunyai efek.
Joewana (1998) menyatakan bahwa kebanyakan naza berinteraksi dengan
cara yang khas pada tempat sasaran dalam suatu sistem biologik di otak. Tempat
itu dalam farmakologik disebut reseptor. Interaksi naza dan reseptor biasanya
bukan merupakan ikatan kovalen kimiawi, melainkan suatu interaksi yang lebih
lemah. Karena bentuk yang khusus dan muatan yang spesifik, naza dapat terikat
secara reversible (yang dapat balik kembali) pada zat kimia spesifik pada reseptor.
Dengan demikian, terjadi perubahan aktifitas fisiologik reseptor tersebut. Reseptor

Universitas Sumatera Utara

dapat pula berupa enzim, yang dapat diubah aktifitasnya oleh naza. Reseptor dapat
pula berupa membran sel sehingga dapat menghambat atau memacu sel tersebut.
Ada juga yang tidak bekerja melalui reseptor, misalnya beberapa macam
anestetika yang mengubah muatan listrik saraf dengan melarutkan diri dalam lipoprotein membran sel. Hal tersebut akan mengubah sifat psiko-kimia membran sel
sehingga terjadi hambatan bila ada eksitasi. Sebagai contoh misalnya opiat
(morphine atau heroin). Reseptor opiat terdapat pada hipotalamus dan sistem
limbik otak bagian dalam, yaitu bagian otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif
(alam fikir), efektif (alam perasaan/emosi) dan perilaku. Sekurang-kurangnya ada
4 jenis reseptor opiat, yaitu:
a. Mu-reseptor, terutama mengikat morphine/heroin dan diduga ada kaitannya
dengan fungsi analgetik (penawar nyeri)
b. Gamma-reseptor,yang mengikat enkafalin dan berperan dalam hubungannya
dengan perilaku
c. Kappa-reseptor, secara spesifik mengikat ketosiklasosin dan dinorfin serta ada
hubungannya dengan efek sedasi dan ataxia
d. Delta-reseptor, mempunyai afinitas pada siklasosin, dan opiat yang mirip
siklasosin serta berhubungan dengan efek psikotomi-metik senyawa ini.
Peran faktor genetik dalam penyalahgunaan naza dikemukakan oleh Banks
dan Walter (1983), Kaplan dan Sadock (1989) yang menyatakan bahwa gen
berperan pada ketergantungan alkohol, tetapi untuk jenis zat-zat lainnya faktor
gen sebagai etiologi masih lemah. Dalam hubungan dengan ini, Edwards (1982)
menyatakan bahwa secara umum contoh orang tua (parental example) lebih
penting dari pada gen (sifat turunan) orang tua (parental genes).

Universitas Sumatera Utara

Dari studi kepustakaan dapat disimpulkan bahwa faktor orgonobiologik
mempunyai peran pada penyalahgunaan/ketergantungan naza. Interaksi antara
naza dengan reseptor di susunan saraf pusat (otak), perubahan-perubahan neuropsikologik pada sistem neuro-tansmitter pada reseptor yang bersangkutan
mengakibatkan

terjadinya

adiksi

(ketagihan)

sampai

dengan

depedensi

(ketergantungan) naza. peran faktor genetika pada ketergantungan naza belum
bisa dibuktikan kecuali artinya, bila orang tua seorang alkoholik maka anak yang
dilahirkan sudah membawa sifat untuk menjadi seorang alkoholik dikemudian
hari (Hawari, 2006).
2. Psikodinamik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1990) menyatakan bahwa
seseorang akan terlibat penyalahgunaan naza dan dapat sampai pada
ketergantungan naza, apabila pada orang itu sudah ada faktor predisposisi, yaitu
faktor yang membuat seseorang cendrung menyalahgunakan naza. Adanya faktor
predisposisi ini saja belum cukup sehingga diperlukan faktor lain yang berperan
serta pada penyalahgunaan/ketergantungan naza, yaitu faktor kontribusi. Bila
faktor predisposisi dan kontribusi ini sudah ada, diperlukan satu faktor lagi yang
mendorong terjadinya penyalahgunaan atau ketergantungan naza tadi, yaitu faktor
pencetus. Dalam penelitian tersebut yang termasuk dalam faktor predisposisi
adalah ganguan kejiwaan yaitu gangguan kepribadian (antisosial), kecemasan dan
depresi. Sedangkan yang termasuk faktor kontribusi adalah kondisi keluarga yang
terdiri dari tiga komponen yaitu keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, dan
hubungan interpersonal antar keluarga. dan termasuk faktor pencetus adalah
pengaruh teman kelompok sebaya dan napzanya itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

3. Psikososial
Penyalahgunaan/ketergantungan naza adalah salah satu bentuk perilaku
menyimpang. Dari sudut pandang psikososial perilaku menyimpang ini akibat
negatif dari interaksi 3 kutup sosial yang tidak kondusif (tidak mendukung ke arah
positif) yaitu kutup keluarga, kutup sekolah/kampus, dan kutup masyarakat.
Secara

sistematis

terjadi

perilaku

menyimpang

yang

berakibat

pada

penyalahgunaan dan ketergantungan napza sebagai berikut:

keluarga

remaja

Masyarakat

sekolah

Perilaku menyimpang
(penyalahgunaan narkoba)
(Hawari, 2006)
Gambar 2.2 Perilaku menyimpang dari sudut pandang psikososial
Anak atau remaja dalam kehidupan sehari-hari hidup dalam tiga kutup
yaitu kutup keluarga (rumah tangga), kutup sekolah/kampus dan kutup lingkungan
sosial masyarakat. Bila kutup keluarga atau sekolah/kampus dan kutup
masyarakat tidak kondusif, dimana ketiga kutup tersebut saling mempengaruhi
kehidupan anak/remaja, maka sebagai interaksi ketiga kutup tersebut (resultante)
resiko perilaku menyimpang jadi lebih besar pada gilirannya berakibat pada
penyalahgunaan/ketergantungan naza.

Universitas Sumatera Utara

1.

Kutup Keluarga
Suasana kehidupan rumah tangga yang tidak kondusif bagi perkembangan
jiwa anak adalah:
a. Hubungan buruk/dingin antara ayah dan ibu
b. Terdapat gangguan fisik atau mental dalam keluarga
c. Cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orang tua atau oleh
kakek/nenek
d. Sikap orang tua yang dingin atau acuh tak acuh terhadap anaknya
e. Sikap orang tua yang kasar dan keras (otoriter) terhadap anak
f. Campur tangan atau perhatian yang berlebih orangtua terhadap anak
(intervensi,proteksi dan kemanjaan yang berlebih)
g. Orang tua jarang dirumah, terdapat istri lain atau perselingkuhan
h. Sikap atau kontrol yang tidak cukup dan tidak konsisten (berubah-ubah)
i. Kurang stimulasi kognitif dan atau sosial yang berakibat pada kurang
berkembangnya kematangan mental/kepribadian
j. Lain-lain, misalnya menjadi anak angkat, dirawat dirumah sakit,
kehilangan orang tua dan sebagainya
Sebagaimana telah diuraikan dimuka anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang tidak kondusif, maka resiko ganguan perkembangan
jiwa/kepribadian anak menjadi lebih besar dibandingkan dengan anak yang
dibesarkan dengan keluarga yang kondusif (harmonis/sakinah).

2.

Kutup Sekolah
Keadaan yang tidak kondusif dapat mengganggu proses belajar mengajar
anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan peluang pada anak didik

Universitas Sumatera Utara

untuk berperilaku menyimpang. Keadaan sekolah yang tidak kondusif
tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai
b. Jumlah dan kualitas tenaga pendidik/pengajar (guru) yang tidak memadai
c. Kesejahteraan guru yang tidak memadai
d. Kurikulum sekolah yang sering berganti-ganti, jumlah mata pelajaran
yang berlebihan
e. Pendidikan agama dan budi pekerti yang kurang memadai
f. Lokasi sekolah yang tidak sesuai dengan sarana belajar mengajar,
misalnya didaerah rawan, di pusat perbelanjaan, hiburan, dan sejenisnya
Dari pengamatan ternyata anak-anak yang kondisi sekolahnya tidak baik
tersebut dan muatan pendidikan agama dan budi pekerti yang amat minimal,
jumlah anak didik (murid) yang terlibat tawuran dan penyalahgunaan/
ketergantungan naza jauh lebih banyak dibandingkan dengan keadaan sekolah
yang kondusif dimana muatan pendidikan agama dan budi pekertinya
seimbang dengan mata pelajaran lain. Atau dengan kata lain muatan iptek
(ilmu pengetahuan dan teknologi) seimbang dengan muatan imtaq (iman dan
taqwa).
3.

Kutup Masyarakat
Kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan dapat merupakan
faktor terganggunya perkembangan jiwa/kepribadian anak kearah perilaku
menyimpang

yang

ada

pada

gilirannya

terlibat

penyalahgunaan/

ketergantungan naza.

Universitas Sumatera Utara

Lingkungan sosial masyarakat yang rawan tersebut adalah antara lain:
a.

Tempat hiburan yang buka hingga larut malam bahkan sampai hingga
dini hari dimana sering digunakan sebagai tempat transaksi naza dan
pelacuran

b.

Semakin banyak pengangguran, anak putus sekolah dan anak jalanan

c.

Terdapatnya tempat-tempat pelacuran beroperasi, misalnya diwarung
remang-remang ditempat umum (jalanan) dan lokalisasi

d.

Banyaknya penerbitan tontonan televisi dan sejenisnya yang bersifat
pornografis dan kekerasan.

e.

Perumahan yang padat dan kumuh

f.

Pencemaran lingkungan

g.

Sering terjadi tindak kekerasan, kriminalitas (premanisme) dan tawuran
antar warga dan antar sekolah

h.

Kesenjangan sosial

i.

Kebut-kebutan,corat-coret, pengerusakan dan tindakan vandalisme
lainnya

j.

Tempat-tempat teransaksi naza baik secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi
Kondisi lingkungan sosial yang dikategorikan sebagai daerah rawan

tersebut diatas amat beresiko bagi anak yang tinggal di daerah tersebut untuk
berperilaku menyimpang dan terlibat penyalahgunaan/ketergantungan naza.
Dengan memahami mekanisme terjadinya penyalahgunaan/ketergantungan naza
sebagaimana

dijabarkan

dimuka

(dari

sudut

pandang

organobiologi,

psikodinamik, dan psikososial), akan memudahkan upaya-upaya dibidang

Universitas Sumatera Utara

prevensi (pencegahan), terapi (pengobatan) dan rehabilitasi serta upaya
mengembalikan mantan penyalahgunaan/ketergantungan naza ke keluarga,
sekolah/kampus dan lingkungan sosial (Hawari, 2006).
3.

Remaja

3.1. Pengertian Remaja
Orang barat menyebut masa remaja dengan istilah “puber” sedangkan orang
Amerika menyebutnya “adolesensi” masyarakat Indonesia menyebutnya “akil
baliq, pubertas, dan remaja”. Isitilah puber berasal dari kata pubertas yang berasal
dari bahasa latin puber berati masa remaja dan pubertas berati jejang kematangan
fisik. Sedangkan istilah adolesensi yang berasal dari bahasa latin adolescentia
berati masa sudah pubertas, masa dimana manusia sudah mencapai kematangan
secara biologis, manusia yang sudah berada dalam keadaan tenang. Adapun istilah
akil baliq berati masa dimana manusia dituntut untuk melaksanakan kewajiban
dan hukum agama serta meninggalkan segala yang dilarang oleh agama. Remaja
secara yudiris (tinjauan hukum) adalah keadaan manusia dimana segala
tindakannya mempunyai akibat hukum sebagai mana dilakukan oleh anak-anak
atau orang dewasa. Oleh sebagian psikologi masa remaja berada dalam kisaran
usia antara 11-19 tahun. Adapula yang mengatakan antara 11-24 tahun. Selain itu,
masa remaja merupakan masa transisi (masa peralihan) dari masa anak-anak
menuju masa dewasa, yaitu saat manusia tidak mau lagi diperlakukan oleh
lingkungan keluarga dan masyarakat sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari
pertumbuhan fisik, perkembangan psikis (kejiwaan). Dan mentalnya belum
menunjukkan tanda-tanda dewasa (Rozak & Sayuti, 2006).

Universitas Sumatera Utara

3.2. Pertumbuhan Fisik Remaja
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu yang terkait (seperti biologi dan ilmu
faal) remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik, yaitu masa alat-alat
kelamin manusia mencapai kematangan. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin
khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuk yang
sempurnadan secara faali alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara
sempurna pula. Pada akhir dari peran perkembangan fisik ini akan terjadi seorang
pria yang berotot dan berkumis/berjanggut yang mampu menghasilkan beberapa
ratus juta sel mani (spermatozoa) setiap kali ia berejakulasi (memancarkan air
mani), atau seorang wanita yang berpayudara dan berpinggul besar yang setiap
bulannya mengeluarkan sel telur dari indung-indung telurnya (Sarwono, 2012).
3.3. Perkembangan Masa Remaja Dan Perilaku Yang Muncul
Secara garis besar perkembangan masa remaja berlangsung dalam 4 masa
yaitu masa pueral, masa pra pubertas, masa pubertas, dan masa adolensen.
1. Masa pueral
Kata pueral berasal dara kata puer yang artinya anak besar. Masa pueral
merupakan bagian dari akhir masa anak sekolah. Puer adalah anak yang tidak
lagi suka diperlakukan sebagai anak, tetapi ia belum termasuk golongan orang
dewasa. Masa pueral berlangsung sangat singkat pada diri remaja. Sebagai
contoh anak laki-laki badannya bertambah kuat dari keadaan sebelumnya.
Pertambahan kekuatan jasmani diikuti oleh tumbuhnya sikap berani, senang
beramai-ramai, suka mengganggu orang lain, suka menimbulkan perselisihan,
dan perkelahian. Semetara anak perempuan terjadi perubahan yaitu suka
tertawa riuh dan gembira. Perkembangan kejiwaan pada pueral adalah adanya

Universitas Sumatera Utara

dorongan untuk mengemukakan pendapat, tidak mau diperlakukan sebagai
anak-anak, suka mencetus perasaan dan memberontak meskipun dalam kadar
yang rendah. Begitu juga perasaan harga diri mulai tumbuh, mulai bepikir
kritis dan gemar akan pengalaman luar biasa.
2. Masa Pra Pubertas
Masa pra pubertas sebenarnya masa tergolong dalam masa peralihan. Pada
masa ini remaja mudah terkena pengaruh buruk dari temannya, kegiatan
cendrung merusak keadaan, suka menggangu ketertiban umum, suka
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan. Masa pra pubertas
dibagi dalam dua masa yaitu masa negatif dan masa merindu. Masa negatif
ditandai oleh kemampuan bekerja menurun, kewajiban dan hobi sering
diabaikan, merasa gelisah dan kurang senang terhadap lingkungan,
menunjukan kesombongan diri, mudah melakukan pelanggaran moral.
Sedangkan masa merindu puja adalah dimana masa keadaan

kejiwaan

menginginkan adanya penghargaan dan penghormatan dari orang lain.
3. Masa Pubertas
Masa pubertas adalah masa bangkitnya kepribadian ketika mintanya lebih
ditujukan kepada pengembangan diri sendiri. diantara sifat-sifat yang muncul
pada masa ini adalah meninggalkan pendapat lama, keseimbangan jiwa
terganggu, suka menyembunyikan isi hati, adanya perbedaan sikap yang
mencolok antara laki-laki dengan perempuan.
4. Masa Adolesen
Masa adolesen berada diantara 17-20 tahun. Sifat dan perilaku yang terjadi
pada masa adolesen antara lain, mulai tampak garis perkembangan yang

Universitas Sumatera Utara

diikutinya di kemudian hari, mulai jelas sikap terhadap nilai-nilai hidup,
kondisi kejiwaan mulai tenang, adanya kesadaran bahwa mengkritik itu mudah
dan melaksanakannya itu sukar, mulai menunjukan perhatian kepada masalah
kehidupan yang sebenarnya, bersatunya erotis dan seksualitas, menghargai
nilai-nilai lepas dari orang yang memilkinya. Terhadap masalah seksualitas,
remaja pada masa adolesen berpandang bahwa masalah seksualitas merupakan
kesatuan antara kecantikan dan kegagahan jasmani dengan nilai-nilai estetis
kejiwaan. Begitu juga terhadap masalah keagamaan pada masa ini tumbuh
berdasarkan kesadaran rasionalitas akan keberadaan tuhan yang maha esa.
Sedangkan pada masalah etika, norma-norma kebenaran yang ada pada masa
adolesen didasarkan pertimbangan kata hati nurani (Rozak & Sayuti, 2006).
4. Perilaku Remaja Terhadap Narkoba
4.1. Kenakalan Remaja
Juvenile

Delinquency

ialah

perilaku

jahat

(dursila),

atau

kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabdian
sosial, sehingga mereka ingin mengembangkan bentuk tingkah laku yang
menyimpang salah satunya adalah kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat
bius, drugs) yang erat bergandengan dengan tindakan kejahatan (Kartono, 2014).
4.2. Penyebab Penyalahgunaan Narkoba Pada Masa Remaja
Masa remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa
awal, sering ditandai dengan konflik dan stres. Dalam masa peralihan ini remaja
perlu banyak belajar berbagai keterampilan intelektual dan sosial baru. Perjuangan
remaja untuk dapat berfungsi dengan tepat dalam peran-peran baru mereka, sering

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan situasi yang penuh stres, dan untuk mengatasi hal tersebut, banyak
diantara mereka yang ‘lari’ ke, atau menggunakan narkoba. Bahkan tidak sedikit
diantara mereka yang menggunakan narkoba sebagai simbol pemberontakan
terhadap keluarganya (Afiatin, 2010).
Penyalahgunaan napza adalah suatu penyimpangan perilaku yang disebabkan
oleh pengguna yang terus-menerus

sampai terjadi masalah. Penyalahgunaan

napza ini dapat mengalami kondisi lebih lanjut yaitu ketergantungan napza yang
merupakan suatu kondisi yang cukup berat dan parah sehingga mengalami sakit
yang cukup berat ditandai dengan ketergantungan fisik (sindrom putus zat dan
toleransi. Sindrom putus zat adalah suatu kondisi dimana individu yang
menggunakan napza, menurun atau menghentikan penggunaan napza sehingga
akan menimbulkan gejala kebutuhan biologis terhadap napza. Toleransi adalah
kondisi dimana remaja yang menggunakan napza, memerlukan peningkatan
jumlah napza yang dikonsumsi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki
(Kusmawati & Hartono, 2010).
4.3. Alasan Remaja Menggunakan Narkoba
Banyak remaja yang menggunakan narkoba karena dorongan ingin tahu, atau
karena di olok-olok oleh teman sebayanya sehingga ikut-ikutan meniru dari yang
semula sekedar iseng ini kemudian menjadi kebiasaan, dan akhirnya kecanduan
yang kronis. Ada pula remaja yang menyalahgunakan narkotika karena sekedar
ingin mendapatkan status sosial, pengakuan dan gengsi, untuk gagah-gagahan,
atau mengikuti mode. Tetapi ada juga yang mengkonsumsi narkoba disebabkan
oleh keinginan untuk menghindari kesulitan hidup dan konflik-konflik batin
(Afiatin, 2010).

Universitas Sumatera Utara

4.4. Upaya Mengatasi Pengguna Narkoba Pada Remaja
Orang yang telah mengalami ketergantungan obat, umumnya sulit untuk
ditangani oleh orang yang profesional dalam waktu singkat. Penanganan individu
yang ketergantungan, haruslah melalui sebuah tim yang terdiri atas medis,
psikolog, ulama, pekerja sosial, perawat maupun anggota keluarga. Karena itu,
seorang ahli tidak akan dapat mengerjakan sendiri dan perlu kerja sama antar
disipliner keilmuan/profesional, sehingga diperoleh pemulihan dan kesembuhan
yang maksimal.
1.

Pengobatan Narkoba
Para ahli memandang bahwa individu yang mengalami ketergantungan obat,

sebenarnya ia mengalami masalah yang cukup kompleks. Maka proses
penyembuhannya pun harus melalui beberapa tahap, diantaranya melalui
pengobatan adiksi, pengobatan infeksi dan rehabilitasi.
a.

Pengobatan Adiksi

Mereka yang telah mengalami ketergantungan obat-alkohol, darah dan sel-sel
dalam tubuhnya telah mengandung racun/zat yang berasal dari obat alkohol
tersebut. Karena itu, secara fisiologis tubuh dalam individu selalu merasa
“kehausan atau kelaparan” terhadap obat alkohol itu, dan individu tidak mampu
untuk menghentikan secara total. Untuk menghilangkan racun itu, seorang dokter
akan melakukan detoxinasi yakni upaya untuk menetralisir seluruh racun dalam
darah individu, dengan cara meminum obat-obatan tertentu. Dengan cara itu darah
yang terkontaminasi dengan zat obat atau alkohol akan dapat normal/netral
kembali.

Universitas Sumatera Utara

b.

Pengobatan Infeksi

Individu yang mengalami ketergantungan obat-alkohol, pernah melakukan injeksi
obat kedalam tubuhnya dengan melalui jarum suntik. Tidak terasa hal itu
menimbulkan infeksi kulit, infeksi paru-paru, atau jantunganya. Maka dokter pun
perlu mengobati infeksi-infeksi tersebut.
c.

Rehabilitasi

Kemudian, individu yang telah disembuhkan dari ketergantungan maupun infeksi
tersebut, ditindaklanjutin dengan mengikuti program-program rehabilitasi yang
tersusun secara sistematis. Mereka ditangani secara multi-disipliner profesional
baik dari dokter, psikolog, ulama. Program-program dalam rehabilitasi ini,
bertujuan memberdayakan ex-pecandu untuk memiliki modal pengertian dan
pemahaman diri, sehingga merasa dapat siap mental rohaniah guna menyesuaikan
diri dalam lingkungan sosial. Dengan demikian, mereka tidak terpengaruh lagi
untuk menggunakan obat atau alkohol.
2.

Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
Individu, sebelum terkena narkoba, sejak awal dapat disarankan agar

membangun benteng pertahanan yang kuat, sehingga mampu menjaga diri untuk
tidak terpengaruh lingkungan yang tidak sehat. Artinya ia mampu memilih
lingkungan pergaulan yang sehat, yakni mampu memilih teman-teman yang baik
yang bukan pecandu. Kalau bergaul dengan pecandu pun ia tetap memiliki
pendirian dan prinsip yang teguh, tidak goyah, dan tidak mudah ikut arus. Salah
satu cara yang paling efektif ialah memperkuat iman. Individu, sesuai dengan
agama dan keyakinan yang dianutnya diharapkan untuk sungguh-sungguh
menjalankan ajaran-ajaran dan perintah agama dengan baik. Dengan demikian,

Universitas Sumatera Utara

tidak perlu lagi orang tua mengkhawatirakan atau mencemaskan anaknya yang
beriman kokoh tersebut. Untuk itu, orang tua pun perlu membimbing, membina,
dan mengarahkan kehidupan agama anaknya sejak dini sebelum mereka terkena
narkoba, maka yang terbaik ialah orang tua sendirilah yang menjadi model
pertama. Yakni mereka harus sungguh-sungguh menjalankan agama/kenyakinan
yang dianutnya dengan baik. Melihat lingkungan keluarga yang baik itu, anak pun
akan meniru orang tuannya. Sebaliknya, kalau model kehidupan orang tua itu
tidak baik, maka anaknya pun cenderung berperilaku rusak. Oleh karena itu,
sebelum mengajari dan membimbing anak maka orang tua harus menjadi contoh
yang baik terlebih dahulu. Karena contoh tindakan nyata yang baik akan menjadi
efektif

untuk

mendidik

anaknya,

sehingga

tidak

terpengaruh

dalam

penyalahgunaan narkoba (Dariyo, 2004).

Universitas Sumatera Utara