Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan harapan dari setiap keluarga maupun bangsa, anak
disebut sebagai calon generasi penerus bangsa yang berperan amat penting
dalam perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang cerdas
menghasilkan anak-anak yang cerdas, anak-anak yang cerdas didukung oleh
faktor-faktor salah satunya faktor pelindung. Namun, zaman sekarang
sungguh memprihatinkan karena hak-hak atas anak sering sekali di
selewengkan. Anak sudah sering sekali menjadi korban utama dalam tindak
pidana kejahatan.
Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan,
tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal
mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dari orang tua,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, bila anak telah
menjadi dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami
mengenai apa yang menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara.1
Kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan
bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi
yang baik antara objek dan subjek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak

tersebut. Setiap peserta bertanggung jawab atas pengadaan kesejahteraan anak.
1

Abdussalam dan Adri Dessafuryanto, Hukum Perlindungan Anak, ( Jakarta: PTIK
PRESS, 2014) , Hlm. 10

Universitas Sumatera Utara

Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dan pemerintah (yang berwajib)
berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Adanya
kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat yang merata akan membawa
akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu masyarakat, yang
selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang diusahakan dalam
masyarakat tersebut. Oleh sebab itu usaha pengadaan kesejahteraan anak
sebagai suatu segi perlindungan anak mutlak harus dikembangkan. 2
Selayaknya, anak anak berada di bawah pengawasan dan perlindungan
orang-orang dewasa, selama mereka masih dikategorikan sebagai anak-anak
dibawah mur sudah seharusnya mereka mendapat perhatian, kasih-sayang,
cinta sebagai ajaran moralitas bagi mereka bukan malahan menjadi buronan
para pelaku kejahatan anak atas tindakan kekerasan dimana anak sebagai

sasarannya.
Kekerasan pada anak sudah banyak sekali, mulai dari hal perbudakan,
pembunuhan, dan kasus kekerasan pada anak yang marak menimpa anak atau
paling sering ialah kasus kekerasan seksual yang berorientasi pada anak
sebagai korban (Viktim).
Numerous explanations have been offered regarding why male abusers
sexually assault children. Explanation tend to be; physiological, focusing on
brain abnormalities for example, pointing to the importance of ealry
childhood experiece; sociological, stressing the central role of structural
factors such as power relations; ecletictic, combining sociological and
2

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, ( Jakarta: Universitas Trisakti, 2009),

Hlm. 237

Universitas Sumatera Utara

psychological thought. It is important to consider the theoretical context of
abuse as current policy, sentencing and treatment practice has largely evolved

from cognitive behavioural work.3 (Penjelasan yg akurat pernah dicetuskan
berhubungan dengan mengapa pria sebagai pelaku kekerasan seksual
menargetkan anak-anak dibawah umur. Penjelasannya mengarah kepada:
psikologi, contohnya, adanya gangguan berpikir atau abnormalitas pada otak,
lalau bisa dikarenakan pentingnya pengalaman para pelaku pada masa lalu
atau pada masa kekanak-kanaknya; secara sosiologis, lebih mengarah kepada
faktor struktural utama ; misalnya hubungan erat; sesuatu yang cocok dengan
pilihannya, kombinasi pemikiran sosiologis dan psikologis. Perlu di
pertimbangkan konteks pelecehan secara teoritis sebagai aturan sekarang ini,
hukuman dan praktek rehabilitasi telah ada peningkatan yang besar dari hasil
kerja kelakuan secara kognitif.)
Seksualitas merupakan objek yang kontroversial dalam kehidupan
masyarakat, banyak sekali masalah-masalah bahkan kasus-kasus hukum yang
terjadi dikarenakan permasalahan seksualitas. Kasus seksualitas dewasa ini
tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi menargetkan anak sebagai
sasaran korban seks. Ironisnya, hal-hal tersebut terjadi karena rendahnya
moralitas beberapa orang dewasa (pelaku) dalam memanfaatkan kepolosan
anak-anak yang masih dibawah umur, bukannya memberikan pengawasan,
perlindungan, cinta kasih maupun menjadi sosok panutan anak anak tersebut,
mereka justru menjadi perusak calon generasi penerus bangsa.

3

Julia C. Davidson, Child Sexual Abuse, ( New York : A Glass House book, 2008),
Hlm. 67-68

Universitas Sumatera Utara

Anak pada zaman sekarang sering sekali dijadikan objek Eksploitasi
Seksual. Eksploitasi Seksual Komersial Anak disebut ESKA adalah
penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam
bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen dan pihak lain
yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut.4
Melihat banyaknya, penyelewengan yang terjadi terhadap hak atas
anak, seperti terjadinya kasus kasus kekerasan atau kasus pidana yang
berorientasi pada anak, sudah seharusnya masyarakat dan negara memberikan
pengawasan dan perlindungan lebih terhadap anak-anak di bawah umur
terlebih lagi memberikan Perlindungan Hukum.
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai perlindungan
hukum terhadap berbagai kekebasan dan hak asasi anak (fundamental rights
and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan

dengan kesejahteraan anak. Jadi, masalah perlindungan hukum bagi anak
mencakup lingkup yang sangat luas.5
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh
orang tua, keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 52 Ayat 1). Hak anak
adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan
dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (Ayat 2).6

4

Abdussalam dan Adri Dessafuryanto, SH, MH, Op. Cit, hlm. 7
Waluyadi, SH, MH, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2009), Hlm. 1
6
Ibid
5

Universitas Sumatera Utara

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan

eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari
berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik psikotropika dan zat adiktif lainnya.
(Pasal 65 dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentenag Hak Asasi
Manusia)7
Anak-Anak akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang akan
menangis, mencintai, memiliki impian dan cita-cita dan membentuk watak
anak anak tersebut dan anak anak tersebut akan berinteraksi menjadi bagian
dari suatu komunitas tersebut. Seberapa besar impian dan ketertarikan mereka
pada kehidupan kelak, maka hal hal tersebut akan bergantung berdasarkan
pengaruh-pengaruh mereka maupun pengalaman-pengalaman mereka pada
masa kanak-kanaknya.8
Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bukan hanya
menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong dibawah
umur (anak-anak). Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung di
lingkungan perusahaan atau di tempat-tempat tertentu yang memberikan
peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun dapat
juga terjadi di lingkungan keluarga9
Anak sebagai sasaran dari kekerasan seksual tersebut dinyatakan
sebagai korban kejahatan dimana menurut Arif Gosita yang disebut dengan
korban, adalah:

7

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 65
Ian Broinowski, Child Care Social Policy and Economics, (Victoria: TAFE
Publications, 1994), Hlm. 17
9
Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, (Bandung:
Refika Aditama, 2001), Hlm. 7
8

Universitas Sumatera Utara

Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.10
Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita
kerugian akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara
langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target
(sasaran) kejahatan.11

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tertentu
korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban.
Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan
bahwa korban berhak untuk:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksuan
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
10

Rena Yulia, Viktimologi Perlindugan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Hlm. 49
11
Ibid, hlm. 51


Universitas Sumatera Utara

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapatkan identitas baru;
j. Mendapatkan kediaman baru;
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. Mendapat nasihat hukum, dan/atau;
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Mengenai perlindungan terhadap anak sebagai korban itu sendiripun,
telah diciptkannya Undang-Undang yang memberikan perlindungan terhadap
anak dibawah umur, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak yang pada
awalnya ialah Undang-Undang Perlidungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang
kemudian seiring berkembangnya waktu, terjadi beberapa perubahan sehingga
berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak.
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak pada 22 Oktober 2002 hingga dengan saat ini

(2014) tidak kurang dari 12 Tahun kekerasan seksual masih saja marak terjadi
di Indonesia. Fenomena inipun semakin marak dan menjadi sorotan
masyarakat Indonesia ketika media masa menyoroti kasus-kasus kekerasan
seksual yang terjadi pada anak seperti kejahatan pedofilia yang terjadi di
Jakarta Internasional School, yang kemudian menggelinding ibarat bola salju

Universitas Sumatera Utara

yang semakin membesar memunculkan kasus-kasus kekerasan seksual
terhadap anak di banyak tempat.12
Ketertarikan

orang

dewasa

terhadap

seks


rekreasional

yang

menempatkan anak sebagai objek perangsang dan pelampiasan libido dalam
KUHP dikategorikan sebagai tindakan yang terlarang dan diancam dengan
hukuman pidana.13
Dalam Viktimologi, masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah
yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan
diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang
sebenarnya

secara

dimensional,

maka

mau

tidak

mau

kita

harus

memperhitungkan peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan.14
Dalam studi tentang kejahatan dapat dikatakan bahwa tidak ada
kejahatan tanpa menimbulkan adanya korban. Dengan demikian, Korban
adalah partisipan utama, meskipun pada sisi lain dikenal pula kejahatan tanpa
korban, “crime without victim”, akan tetapi harus diartikan kejahatan yang
tidak menimbulkan korban dipihak lain, misalkan penyalahgunaan obat
terlarang, perjudian, aborsim dimana korban menyatu sebagai pelaku juga.
Dalam kasus kekerasan seksual dimana anak sebagai korban, bisa saja
korban tersebut menjadi faktor pendorong terjadinya suatu tindak pidana.
Misalnya saja kita katakana dewasa ini pergaulan sudah semakin luas, anakanak sudah dibiarkan bebas dalam hal pergaulan dan kurangnya pengawasan
12

Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terhadap Anak, (Jakarta: PT BUKU SERU, 2015), Hlm. 10
13
Ismantoro Dwi Yuwono, SH, Ibid, hlm. 16
14

Rena Yulia, Op. Cit, hlm. 75

Universitas Sumatera Utara

orang tua mereka, mereka dibebaskan bergaul dengan siapa saja, pergi kemana
saja. Maka, dengan kepolosan mereka tersebut, mereka bisa terperangkap
dalam salah pergaulan dan dimanfaatkan oleh pihak pihak atau orang dewasa
yang tidak bertanggung jawab. Terkadang saja, kepolosan anak anak tersebut
dimanfaatkan dengan daya tipu seperti modus operandi.
Dengan modus operandi, anak-anak akan dengan mudahnya mengikuti
kemauan si pelaku kekerasa seksual atau tindak pidana, mereka akan dengan
mudah dan dibujuk ataupun berada dalam penguasaan si pelaku.
Pelaku kejahatan terhadap anak bisa saja orangtua (ayah dan/atau ibu),
anggota keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat penegak
hukum dan lain-lain). Kekerasan rawan terjadi terhadap anak karena
kedudukan anak yang kurang menguntungkan. Anak rawan (children of risk)
merupakan anak yang mempunyai resiko besar untuk mengalami gangguan
atau masalah dalam perkembangannya, baik secara psikologis (mental). Sosial
maupun fisik yang dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi
eksternalnya seperti anak dari keluarga miskin, anak di daerah terpencil, anak
cacat dan anak dari keluarga yang retak (broken home).15
Dalam keadaan demikian, masyarakat, aparat hukum bahkan Negara
sendiri

haruslah

lebih

memperkirakan

mengenai

perlindungan

dan

pengawasan terhadap anak, terlebih lagi dimana anak sebagai suatu korban
tindak pidana kekerasan seksual sungguh amat memperhatikan dan dapat
merusak sebagian masa depan dari calon generasi penerus bangsa.
15

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung:
Refika Aditama, 2013), Hlm. 2

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
perlindungan anak korban menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
maupun pandangan aturan hukum pidana ataupun aturan hukum lainnya, serta
bagaimana bisa suatu tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak itu
terjadi beserta hal-hal apa saja yang mendasari terjadinya tindak pidana
tersebut. Penulis akan membahas bagaimana kebijakan hukum pidana kepada
anak dibawah anak sebagai korban atas suatu tindak pidana kekerasan seksual,
dengan judul,“Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang akan diangkat penulis, yaitu:
1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai korban kekerasan seksual
terhadap anak di bawah umur?
2. Faktor-Faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya korban
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur?
3. Bagaimana kebijakan Hukum Pidana terhadap korban kekerasan
seksual terhadap anak di bawah umur?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, adapun tujuan
dari penulisan ini ialah:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai korban kekerasan
seksual yang terjadi pada anak dibawah umur.

Universitas Sumatera Utara

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur sebagai korban.
3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap anak
dibawah umur sebagai korban kekerasan seksual.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang manfaat dari penulisan ini ialah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat menjadi referensi
ataupun kajian untuk memberikan informasi-informasi dalam bidang
pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana pada khususnya
sekalipun dapat memberikan pengembangan suatu wawasan bagi
kalangan mahasiswa maupun kalangan akademis dan masyarakat serta
berguna bagi generasi penerus bangsa yang akan datang yang masih
belajar untuk memahami tentang perkembangan terhadap upaya
perlindungan serta pengawasan terhadap anak sebagai pencegahan
adanya tindak pidana yang berorientasi terhadap anak sebagai
korbannya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi pedoman
ataupun sumbangsih pemikiran serta untuk memberikan kontribusi
pemikiran bagi aparat penegak hukum serta masyarakat dalam menilai
penangan kasus tindak pidana dengan memperhatikan kedudukan dan

Universitas Sumatera Utara

perlindungan anak sebagai saksi ataupun korban dalam suatu tindak
pidana.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini yang berjudul: “Analisis Hukum Terhadap
Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi
Kasus Putusan Nomor: 5/Pid. Sus/2012/PN. BTG)” belum pernah ditulis di
Fakultas Universitas Sumatera Utara.
Mengenai keaslian penulisan, karya ilmiah ini dibuat sendiri oleh
penulis dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur
maupun pengumpulan-pengumpulan data yang dihimpun dari berbagai
sumber, seperti buku-buku, kemudian juga melalui media elektronik seperti
internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri serta dengan adanya
bantuan dari berbagai pihak. Walaupun ada pendapat atau kutipan dalam
penulisan ini ialah semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan
pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan tulisan ini. Dalam rangka melengkapi Tugas Akhir dan
memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, dan penulis bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

F. Tinjauan Kepustakaan
1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Di Bawah Umur
Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlidungan Anak pada Pasal 1 adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pengertian Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan adalah mereka yang belum berusia 21 Tahun dan
berhak untuk memperoleh perlindungan baik secara mental dan fisik.
Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada Pasal 1
ayat(5) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pengertian anak berdasarkan undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap orang yang belum berusia
18(delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih berada
dalam kandungan, apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Anak,
bahwa anak adalah setiap orang yang berusia 18(delapan belas) tahun, kecuali
berdasarkan UU yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal.
Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
Tentang Perlidungan Anak pada Pasal 1 adalah seseorang yang belum berusia

Universitas Sumatera Utara

18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. (sama
seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).
Mengenai batas usia anak sebenarnya secara umum telah dijelaskan
dalam uraian diatas. Penggolongan definisi “anak” pada umumnya selalu
dikaitkan dengan batas usia dari seorang anak, meskipun pembatasan anak
dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang
dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan
relatif16. Dalam hukum dan beberapa peraturan mungkin mengklasifikan anak
tergantung pada umur masing-masing individu. Tetapi, dalam ilmu psikologi
diketahui bahwa seseorang dikatakan anak bukan hanya saja karena hitungan
umurnya tetapi dari segi kemampuan. Ada beberapa orang yang umurnya
sudah dikatakan dewasa secara hukum tetapi memiliki kondisi psikologis
ataupun kemampuan seperti anak-anak (belum mampu dan dibawah
pengampuan). Jadi, mengenai batasan usia anak sendiri masih bercabangcabang karena batas usia anak menurut hukum dan psikologi terkadang tidak
sama.
Dalam pengklasifikasian batas usia anak menurut hukum yang berlaku
di negeri Indonesia, dapat kita tinjau sebagai berikut:
1. Menurut Ketentuan Hukum Pidana
Menurut Kitab Hukum Pidana, batas usia anak itu ialah sebagai
berikut:
16

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice), (Bandung: PT. Refika Aditama, cetakan kedua, 2012, hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam pasal
45, 46, dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara
implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan
secara jelas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang SPPA
yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah mereka yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi mereka belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
2.

Menurut Ketentuan Hukum Perdata:
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 330
KUHPerdata disebutkan bahwa anak belum dewasa apabila mereka
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah.

3. Menurut Ketentuan Hukum Adat
Menurut R. Soepomo pengklasifikasian batas usia anak secara hukum
adat yakni seseorang tersebut dapat dikatakan bukan lagi sebagai anak
namun ia telah dewasa apabila:
a. Dapat bekerja sendiri
b. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat
c. Mengurus harta kekayaan sendiri
d. Telah menikah
e. Telah berusia 21 tahun
Jadi, melihat bahwasannya menurut ketentuan hukum masing-masing
yang berbeda mengenai batasan usia anak, maka mengenai batas usia anak

Universitas Sumatera Utara

tersebut pun akan digunakan sesuai dengan ketentuan hukum mana yang
diperlukan atau akan digunakan.
Korban ialah berasal dari bahasa Inggris yaitu Victim. Definisi korban
menurut kamus Crime Dictionary oleh ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa
victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan
mental, kerugiaan harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau
usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. 17
Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah
dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri
sendiria atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi
yang menderita.18
Dalam kajian viktimologi terdapat perspektif dimana korban bukan
saja bertanggung jawab dalam kejahatan itu sendiri tetapi juga memiliki
keterlibatan dalam terjadinya kejahatan.
Menurut Stephen Schafer19 ditinjau dari persfektif tanggung jawab
korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut :
1.

Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si
pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari
aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban;

17

Bambang Waluyo, Viktimologi, (Jakarta: Sinar Grafika 2014), Hlm. 9
Ibid
19
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi,
(Denpasar: Djambatan, 2007), hlm 124.
18

Universitas Sumatera Utara

2.

Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab
terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama;

3.

Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat
mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di
Bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus
dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek
ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;

4.

Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)
merupakan

potensial

korban

kejahatan.

Ditinjau

dari

aspek

pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah
setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang
tidak berdaya;
5.

Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan
sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh
terletak pada penjahat atau masyarakat;

6.

Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung jawabannya
sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku
kejahatan;

Universitas Sumatera Utara

7.

Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis,
korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan
konstelasi politik.
Pengertian anak sebagai korban adalah anak-anak sebagai korban

tindak pidana perdagangan orang dari tindakan yang bertentangan dengan
harkat dan martabat manusia serta melanggar HAM. Merupakan suatu
kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak
sebagai korban tindak pidana khususnya perdagangan orang. 20
Sungguh memprihatinkan apabila kita melihat kini anak menjadi
sasaran atau target (korban) dalam suatu tindak pidana. Terlebih lagi, dalam
kurun waktu beberapa tahun belakangan ini tindak pidana terhadap anak
sebagai korban yang semakin meluas ialah mengenai tindak pidana kekerasan
seksual pada anak. Tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban mulai
dari perdagangan anak, masalah narkotika, kemudian kekerasan seksual
terhadap anak di bawah umur.
Ketika terjadi tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban atas
tindak pidana tersebut, maka kewajiban aparat penegak hukum maupun
masyarakat dalam agar anak wajib memperoleh perlindungan khusus dalam
posisinya sebagai korban tindak pidana. Korban anak perlu mendapatkan
perhatian dan perlindungan khusus terutama penderitaan dan kedukaan yang
harus dialami korban karena kerentanannya anak jadi korban baik fisik,
maupun psikis.
20

Suradji, Masalah Perdagangan Anak dan Wanita Berdasarkan Protokol Konvensi
TOC, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia, 2006), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi manusia
(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan
yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi, masalah perlindungan
hukum bagi anak mrencakup ruang lingkup yang luas.21
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat, dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 1 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002). Maka, anaklah yang menjadi tujuan
dari perlindungan hukum tersebut.
Mengenai siapa yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak, maka jawaban singkatnya adalah orang
tua, pemerintah, dan Negara22. Lalu, pada pasal 20 UU Nomor 23 Tahun
2002, menjelaskan secara lebih luas bahwa pertanggung jawaban atas
perlindungan terhadap anak, meliputi Negara, pemerintah, masyarakat,
keluargam dan orang tua.
Mengenai kewajiban dan tanggung jawab Negara dan pemerintah atas
anak, disebutkan dalam Pasal 21, Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan
Anak sebagai berikut:

21

Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), Hlm. 39.
22
Bambang Waluyo, Op. Cit, hlm. 71

Universitas Sumatera Utara

a.

Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa,
status anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.

b.

Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak.

c.

Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang
secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi
pelanggaran perlindungan anak.

d.

Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Hal-hal

demikian

tersebut

diatas

merupakan

upaya

dalam

perlindungan umum.
Adanya tugas dan kewajiban pemerintah dan Negara juga memberikan
perlindungan khusus terhadap anak dalam Pasal 59 UU Nomor. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, yakni sebagai berikut:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang diperdagangkan;
f.

Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkoholik,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya(napza);

Universitas Sumatera Utara

g. Anak korban penculikkan, penjualan, dan perdagangan;
h. Anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental;
i. Anak yang menyandang cacat;
j. Anak korban perlakuan salah dan penelantaraan.
Berhubungan dengan anak sebagai korban dari tindak pidana
kekerasan seksual, maka perlindungan hukum yang diberikan kepada anak
tersebut yakni merupakan perlindungan anak secara khusus, seperti yang
tertera pada bagian d dan h pada pasal 59 UU Perlindungan Anak tersebut.
Kata tindak pidana berasal dari istilah dalam hukum pidana belanda
yang dikenal, yaitu “strafbaar feit”. Lalu kemudian, para ahli hukum
Indonesia memberikan banyak definisi dari istilah strafbaar feit tersebut.23
a. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefiniskan
sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
b. Pompe merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang menurut
sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.
c. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana
diadakan tindakan penghukuman.
23

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada), Hlm. 71-72

Universitas Sumatera Utara

Peristiwa Pidana “strafbaar feit” seringkali disinggung sebagai
“peristiwa pidana”, yang sering juga disebut “delik”.24
Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam kitab Undang- Undang
Hukum Pidana KUHP oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan
strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tidak meberikan penjelasan
lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu. Maka dari itu terhadap maksud dan
tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering digunakan oleh pakar hukum
pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta
delik. Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II dan
pelanggaran dimuat dalam buku III.25
Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan
dijatuhkan hukuman.26
Hukum pidana terbagi menjadi dua, yakni Hukum Pidana Umum dan
Hukum Pidana Khusus. Dimana secara definitif, Hukum Pidana Umum
sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku secara umum yang tercantum
dalam

Kitab

Undang-Undang

Hukum

Pidana(KUHP)

serta

seluruh

perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP. 27

24

Mr Drs E Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986). Hlm.

25

Moeljatno, KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), hal 43 dan 179.
Ibid, Hlmn. 253.

251
26

27

Dr. Azis Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta, Sinar Grafika: 2014), Hlm.

8

Universitas Sumatera Utara

Kemudian mengenai Hukum Pidana Khusus yakni sebagai peraturanperaturan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak-tinak
pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus, diluar KUHP, baik
perundang-undangan yang bukan pidana maupun pidana tetapi memiliki
sanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP). 28
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dikategorikan sebagai
tindak pidana yang khusus karena dalam hukum pidana khusus mengatur
mengenai tindak pidana terhadap anak-anak.
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat
didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang
umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab
terhadap kesejahteraan anak-yang mana itu semua diindikasikan dengan
kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.29
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak
di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk
rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau
menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari
hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk
anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual
terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam
konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin
anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti
28
29

Ibid
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta:Kencana, 2010), Halaman28

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi
anak.30
Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasaan yang dapat berupa ajakan
secara paksa, menyiksa atau mengancam seseorang untuk melakukan
hubungan seksual. Sekarang kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh
orang yang tidak dikenal si korban melainkan malah orang terdekat yang telah
dikenal oleh si korban. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan dan bujukan
kepada seorang anak untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas seksual terlepas
dari apakah seorang anak tersebut sadar atau tidak dengan apa yang sedang
terjadi. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai serangkaian hubungan atau
interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang
lebih berpengalaman atau orang dewasa (orang asing, saudara kandung atau
orang yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara anak tersebut seperti
orang tua atau pengasuh) dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek
pemuas bagi kebutuhan seksual mereka. “kebutuhan seksual” yang tidak
terkendali dan tidak dapat dikendalikan sering digunakan sebagai alasan untuk
melakukan kekerasan seksual.31
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan

hukum

terhadap

berbagai

kebebasan

dan

hak

asasi

anak(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan

30

https://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak
Stephanie De Laney, Melindungi Anak-Anak dari Eksloitasi Seksual dan
Kekerasan Seksual dalam Situasi Bencana dan Gawat Darurat, (Medan:Restu Printing,
2006), Halaman 9-10
31

Universitas Sumatera Utara

yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi, masalah perlindungan
hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas. 32
Perlindungan Hukum terhadap berbagai bentuk kejahatan terhadap
anak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Sebagaimana

tertulis

pada

bagian

“Menimbang”,

salah

satu

pembentukkan UU No. 23 Tahun 2002 adalah bahwa setiap anak perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
dilakukan upaya perlindungan sera untuk mewujjudkan kesejahteraaan anak
dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi.33
Perlindungan Hukum mengenai Perlindungan Anak dapat lebih jelas
pengertiannya mengenai perlindungan anak berdasarkan UU No. 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak. Perlindungan anak adalah: segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Jadi, perlindungan anak yang hakiki ialah perlindungan terhadap anak
sebagai upaya untuk menghindarkan terjadinya penyelewengan hak dan

32

Prof. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Op. Cit, Hlm. 153
33
Dr. Azis Syamsuddin, Op. Cit, hlm. 107

Universitas Sumatera Utara

kewajiban anak atau melindungi hak-hak asasi anak dari tindakan-tindakan
yang akan merugikan anak tersebut.
2. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di
Bawah Umur
Kejahatan terhadap anak dalam bentuk tindak pidana seksual sudah
menjadi suatu kejahatan yang semakin lama semakin meluas. Anak kini
merupakan sasaran utama sebagai korban dalam tindak pidana, terlebih juga
dikarenakan anak-anak belum mampu seutuhnya melindungi diri mereka dari
bentuk-bentuk kejahatan.
Seiring bertambahnya aturan-aturan maupun perundang-undangan
mengenai perlindungan terhadap tindak pidana anak tersebut menunjukkan
jelas bahwa tindak pidana yang mengakibatkan anak sebagai korbannya justru
semakin meluas sehingga mendorong suatu Negara untuk mempersiapkan
upaya-upaya perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya suatu kejahatan
terhadap anak.
Mengenai kejahatan, dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Kejahatan secara praktis (Practical Interpretation) adalah suatu perbuatan
yang dilkaukan oleh seseorang yang melanggar ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi
pidana.
2. Kejahatan secara religious (Religious Interpretation) adalah suatu
pengertian mengidentikkan jahat dengan dosa. Jahat dan dosa dalam arti

Universitas Sumatera Utara

religious itu merupakan sinonim. Berbuat jahat adalah dosa, sebaliknya
berbuat dosa adalah kejahatan.34
3. Kejahatan secara yuridis (Juridical Interpretation) adalah suatu perbuatan
yang melanggar hukum atau dilarang oleh undang-undang. Dalam
pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah
ditetapkan oleh Negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan
diancam dengan suatu sanksi.35
Adanya unsur-unsur kejahatan, yaitu:
1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm).
2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Contoh, misalnya orang dilarang mencuri, di
mana larangan yang menimbulkan kerugian tersebut telah diatur di dalam
pasal 362 KUHP (asas legalitas).
3. Harus ada perbuatan (criminal act).
4. Harus ada maksud jahat (criminal intent = mens rea).
5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.
6. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP
dengan perbuatan.
7. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.
Studi kejahatan sejak era Lambroso sampai dengan perkembangan
studi kejahatan melalui perspektif dan paradigma Trikotomi ataupun Dikotomi
pada tahun 1970-an telah dilaksanakan oleh kriminolog. Secara yuridis,
34

G.W. Bawengan, Pengantar Pyscholohi Kriminal, (Jakarta: PT. Pradyna Paramita,
1997), Hlm. 5.
35
Arif Gosita, Op. Cit, hlm, 14

Universitas Sumatera Utara

kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan
hukum, dapat dipidana yang diatur dalam hukum pidana. Sedangkan secara
sosiologis, kejahatan adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak
disetujui oleh masyarakat.36
Dalam terjadinya suatu kejahatan, korban-korban dalam kejahatan
tersebut akan mendapatkan dampak yang buruk, seperti luka-luka, trauma,
bahkan sampai mengakibatkan kematian (korban jiwa). Kejahatan biasanya
terjadi ketika si pelaku mendapati dorongan untuk melaksanakan aksi
perbuatannya tersebut, disamping itu adanya kesempatan untuk melakukan
kejahatan sampai dengan alasan-alasan tertentu mengapa ia melakukan
kejahatan tersebut. Hal-hal tersebut disebut juga dengan faktor-faktor atau
sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan.
Adapun faktor-faktor terjadinya suatu kejahatan, terdiri dari:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu seperti
Psychise, Sex, dan jenis kelamin, umur/usia, fisik, fleble minded/mental,
psyical handicaps, twin/anak kembar, ras, dan keluarga. Ataupun aktorfaktor yang terdapat pada individu seperti umur, sex, kedudukan individu,
masalah rekreasi/liburan individu, agama individu.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar individu. Faktor
ini berpokok pangkal pada lingkungan individu, seperti pendidikan,
36

Yesmil Anwar Adang, Kriminologi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), Hlm.

192

Universitas Sumatera Utara

komunikasi, ekonomi, politik, social modern, peranan minoritas, dan
geografi juga bergantung pada waktu kejahatan, tempat kejahatan, keadaan
keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan, keadaan keluarga dalam
hubungannya dengan kejahatan. Jadi secara singkatnya, faktor eksternal
berasal dari luar diri si pelaku, seperti keadaan lingkungan yang
memungkinkan terjadinya suatu kejahatan.
Dalam hal mengetahui lebih lanjut mengenai sebab-sebab kejahatan,
dikenal adanya sebab-sebab dengan dasar-dasar kejahatan. Dalam ilmu
mengenai kejahatan tersebut juga terdapat Mazhab-Mazhab mengenai sebabsebab kejahatan tersebut, yaitu:
1. Mazhab Antropologi
2. Mazhab Lingkungan
3. Mazhab Bio-Sosiologi
4. Mazhab Spiritualis
5. Mazhab Mr. Paul Moedikno Moeliono37
Menurut Mazhab ini membagi kepada 5(lima) golongan antara lain:
a. Golongan Salahmu Sendiri (SS)
b. Golongan Tiada Yang Salah (TOS)
c. Golongan Salah-Lingkungan
d. Golongan Kombinasi

Aliran kombinasi ini menyatakan bahwa struktur personality individu
terdapat 3 bagian:
37

B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi Patologi Sosial, (Bandung: Tarsito,
1977), Hlm. 119

Universitas Sumatera Utara

a. Das Es = Id
b. Das Ich = Ego
c. Uber Ich = Super Ego
e. Golongan Dialog
3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Di Bawah Umur
Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan usaha untuk
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan
pada

waktu

tertentu

(ius

constitutum)

dan

masa

mendatang

(ius

constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik
dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum
terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive)
hukum.

Undang-undang

merupakan

bagian

dari

substansi

hukum,

pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan,
juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.38
Sepanjang menyangkut korban kejahatan dalam deklarasi PBB telah
menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai berikut:
1.

Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil
(access to justice and fair treatment);

2.

Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada
korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam
bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku

38

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis, dan Praktik,
(Bandung: PT Alumni, Bandung) hlm. 390.

Universitas Sumatera Utara

3.

Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan
(compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang
menjadi tanggungan korban;

4.

Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui
negara, sukarelawan, masyarakat (assistance).
Kebijakan menurut David L.Sills menyatakan bahwa pengertian

Kebijakan (Policy) adalah menyatakan bahwa pengertian kebijakan (Policy)
adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan
dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau
melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.39
Bentuk

perlindungan

hukum

yang

ideal

dalam

memberikan

perlindungan terhadap anak sebagai korban perkosaan di masa depan
dilakukan secara preventif dan represif. Adapun upaya yang dilakukan dalam
mencegah terjadinya tindak pidana perkosaan (preventif) terhadap anak,
berupa: (1) Pengaturan dalam perspektif normatif yakni Peraturan PerundangUndangan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti (a) sanksi pidana,
dalam pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman
seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat harus diperhatikan pada motif
pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak
pidana dan motif korban. Artinya, kalau perkosaan tersebut dilakukan atas
kesalahan murni dari pelaku dengan adanya ancaman kekerasan ,maupun
kekerasan terhadap korban maka penjatuhan sanksi tersebut dapat diperberat.
39

Barda Nawawi Arif ,Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan
Pidana Penjara ,(Badan Penerbit Universitas Diponegoro,1994),Hal 63.

Universitas Sumatera Utara

Dan tipologi korban dalam hal ini adalah korban murni yang artinya mereka
menjadi korban yang sama sekali tidak bersalah, melainkan karena perbuatan
pelaku yang mengancam ataupun melakukan kekerasan untuk melakukan
persetubuhan dan itu dilakukan di luar perkawinan.40
Kebijakan

menurut

Budiardjo,

kebijakan

adalah

sekumpulan

keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam
usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.41
Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang
sanksi atau hukuman dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
1. Pidana Pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana tutupan
c. Pidana penjara
d. Pidana kurungan
e. Pidana denda
2. Pidana Tambahan:
a. Pencabutan beberapa hak tertentu
b. Perampasan barang tertentu
c. Pengumuman keputusan hakim
Jenis pidana yang pada umumnya, dicantumkan dalam perumusan
delik menurut pola KUHP ialah pidana pokok, dengan menggunakan sembilan
bentuk perumusan, yaitu:42
40

Arif Gosita, Op. Cit, hlm.12
http://www.pengertianahli.com/2014/08/pengertian-kebijakan-menurutparaahli.html#_diakses tanggal 20 Januari 2016 jam 19.36 Wib.
41

Universitas Sumatera Utara

1.

Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara
tertentu

2. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu
3. Diancam dengan pidana penjara (tertentu)
4. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan
5. Diancam dengan pidana pernjara atau kurungan atau denda
6. Diancam dengan pidana penjara atau denda
7. Diancam dengan pidana kurungan
8. Diancam dengan pidana kurungan atau denda
Dalam penulisan skripsi ini, akan dibahas mengenai upaya-upaya atau
kebijakan hukum pidana terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
menjadi korbannya, yaitu:
a. Kebijakan Penal
b. Kebijakan Non-Penal
Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan
represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy
lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak
pidana.43
G. Metodologi Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian

42

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hlm 161
43
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana : Kajian
Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 200), hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan
analisa terhadap pasal–pasal dan peraturan perundang – undangan yang
mengatur permasalahan dalam skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah
penelitian hukum yang beertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif
tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan
dalam pratiknya (studi putusan).
Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang
dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan
juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada
penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat
merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :44
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.
d. Penelitian terhadap sejarah hukum.
e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.
Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur
yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

44

Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Medan : PT. Sofmedia, 2015), hlm. 97.

Universitas Sumatera Utara

2. Metode Pendekatan
Metode

Pendekatan

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

menggunakan pendekatan yuridis normatif.
3. Data dan Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
data sekunder, yakni data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan
namun diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan
ilmiah dan berbagai sumber tulisan yang lainnya. Data Sekunder dibagi
menjadi tiga, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan perundangundangan maupun undang-undang yang telah berlaku di Indonesia yang
mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak, yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, beserta dengan perubahannya (UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak).
2) Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Peneliti mendapatkannya melalui berbagai jurnal maupun
arsip-arsip penelitian.
4. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode
pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu menelaah

Universitas Sumatera Utara

bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan
tindak pidana kekerasan atau kejahatan seksual dimana anak sebagai korban
secara perspektif viktimologis
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengumpul dan peng

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

8 132 131

Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)

0 66 146

Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)

1 44 93

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Yuridis Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Lingkup Rumah Tangga (Studi Putusan Nomor : 416 Pid.Sus 2015 PN.Sgl)

0 0 2

Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)

0 0 8

Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)

0 0 1

Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)

0 1 24

Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)

0 0 3