Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

(1)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT PENERAPAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

(Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

PUTRI A. NADAPDAP 110200050

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT PENERAPAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

(Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

PUTRI A. NADAPDAP 110200050

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP.195703261986011001 Dr. M. HAMDAN, S.H.,M.Hum.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H.

NIP. 195605051989031001 NIP. 197404012002121001

Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : PUTRI A. NADAPDAP

NIM : 110200050

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT PENERAPAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Maret, 2015

PUTRI A. NADAPDAP 110200050


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul ANALISIS SANKSI PIDANA PERCOBAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SEBAGAI SUATU

PUTUSAN TINDAK PIDANA (Studi Kasus Putusan

Nomor:227/Pid.Sus/2013/PN.Bi) untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Penulisan judul ini didasari atas ketertarikan terhadap permasalahan penerapan pidana bersyarat dan tepat atau tidakkah penerapan pidana bersyarat bagi pelaku tindak pidana pembunuhan. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca, walaupun disadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan serta masukan dari berbagai pihak, sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

a. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

b. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

c. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

d. Bapak Dr. Ok. Saidin, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

e. Bapak Dr.M.Hamdan, SH., MH Selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

f. Bapak Prof.Dr.Suwarto,SH.MH selaku Dosen Pembimbing I penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul di awal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;

g. Bapak Dr.Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul di awal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;

h. Ibu Liza Erwina SH,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

i. Affan Mukti, S.H, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.

j. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing penulis dalam masa perkuliahan.

k. Kedua orang tua yang sangat saya cintai Papa (Luhut Nadapdap) dan Mama (Bihendra Situmorang) yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengertian dan membimbing penulis serta menyediakan segala kebutuhan penulis, penulis ucapkan terima kasih yang tak tehingga untuk semuanya.


(6)

l. Buat Adik – adik saya; Angel Verina Nadapdap, Sinta Marito Lawyerita Nadapdap dan Ananda Samuel Estomihi Nadapdap yang telah memberikan motivasi, doa dan dukungan kepada penulis sehingga penulis memiliki semangat untuk menyelesaikan penulisan ini.

m. Dan segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang dibagikan bersama.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Bila ada kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhir kata penulis memanjatkan doa dan puji kehadiratNya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2015 Hormat Saya,

Penulis

Putri Arbitheresya Nadapdap 110200050


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK... vi

BAB I : Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan ... ... 13

E. Metode Penelitian dan Penulisan ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : Pengaturan Mengenai Sanksi Pidana Bersyarat Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan ... 17

A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pembunuhan, Pidana dan Pemidanaan ... 17

1. Tindak Pidana Pembunuhan ... 17

2. Pidana ... 18

3. Teori dan Tujuan Pemidanaan ... 21

a. Teori Pemidanaan ... 21

b. Tujuan Pemidanaan ... 22

4. Jenis – Jenis Sanksi Pidana ... 25

B. Pidana Bersyarat di Indonesia ... 28

1. Pengertian Pidana Bersyarat... 28

2. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia ... 29

a. Pengaturan Pidana Bersyarat Berdasarkan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 29

b. Pengaturan Pidana Bersyarat Berdasarkan Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ... 43


(8)

c. Pengaturan Berdasarkan Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak ... 44

d. Pengaturan Berdasrkan Rancangan Undang – undang Kitab Undang – undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ... 47

BAB III : Analisa Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi) ... 49

A. Posisi Kasus ... 49

1. Kronologis Kasus ... 49

2. Dakwaan ... 52

3. Tuntutan ... 52

4. Fakta – Fakta Hukum ... 53

5. Pertimbangan Hakim ... ... 65

6. Vonis Hakim ... 72

B. Analisa Kasus ... 73

BAB IV : Penutup ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90


(9)

ABSTRAK Putri A. Nadapdap*) Prof. Dr. Suwarto, SH, MH.**) Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.***)

*)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**)

Dosen Pembimbing I

***)

Dosen Pembimbing II

Kejahatan yang marak terjadi dewasa ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, anak pun ternyata bisa menjadi pelaku kejahatan. Ketika anak melakukan kejahatan sering kali dipengaruhi karna anak tersebut secara psikis tidak berkembang dengan baik. Hambatan perkembangan psikis anak bisa berasal dari dalam dirinya maupun luar diri anak tersebut. Meskipun anak sebagai pelaku kejahatan, atas perbuatan yang dilakukannya anak tetap harus di pidana agar memenuhi rasa keadilan bagi korban. Namun, dalam penjatuhan pidana juga harus memperhatikan kondisi perkembangan fisik dan psikis si anak. Memenuhi hal tersebut, mengarahkan kita untuk melihat lebih lanjut mengenai penjatuhan pidana bersyarat terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti ,baik itu bersumber dari buku-buku, artikel, majalah, dan media elektronik seperti internet.selain itu juga penulisan ini lebih lanjut dilakukan dengan menganalisa putusan pengadilan negeri mengenai perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Analisis dilakukan guna melengkapi penyelesaian penulisan skripsi ini.

Kesimpulan menunjukkan bahwa hakim dalam memutus perkara pidana yang mana pelakunya adalah anak harus mempertimbangkan banyak hal. Selain mempertimbangkan akibat perbuatan pelaku bagi korban, juga harus mempertimbangkan akibat dari penjatuhan pidana pada anak. Pidana yang dijatuhkan pada anak tidak boleh sama beratnya dengan pidana yang dijatuhkan pada orang dewasa. Pidana yang dijatuhkan juga harus tetap memperhatikan hak – hak anak dan perkembang Fisik maupun psikis anak tersebut jangan sampai terganggu. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana telah diatur dalam Undang – undang nomor 3 tahun 1997 yang diganti dengan Undang – undang nomor 11 tahun 2012, selain itu diatur pula dalam RUU KUHP.


(10)

ABSTRAK Putri A. Nadapdap*) Prof. Dr. Suwarto, SH, MH.**) Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.***)

*)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**)

Dosen Pembimbing I

***)

Dosen Pembimbing II

Kejahatan yang marak terjadi dewasa ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, anak pun ternyata bisa menjadi pelaku kejahatan. Ketika anak melakukan kejahatan sering kali dipengaruhi karna anak tersebut secara psikis tidak berkembang dengan baik. Hambatan perkembangan psikis anak bisa berasal dari dalam dirinya maupun luar diri anak tersebut. Meskipun anak sebagai pelaku kejahatan, atas perbuatan yang dilakukannya anak tetap harus di pidana agar memenuhi rasa keadilan bagi korban. Namun, dalam penjatuhan pidana juga harus memperhatikan kondisi perkembangan fisik dan psikis si anak. Memenuhi hal tersebut, mengarahkan kita untuk melihat lebih lanjut mengenai penjatuhan pidana bersyarat terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti ,baik itu bersumber dari buku-buku, artikel, majalah, dan media elektronik seperti internet.selain itu juga penulisan ini lebih lanjut dilakukan dengan menganalisa putusan pengadilan negeri mengenai perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Analisis dilakukan guna melengkapi penyelesaian penulisan skripsi ini.

Kesimpulan menunjukkan bahwa hakim dalam memutus perkara pidana yang mana pelakunya adalah anak harus mempertimbangkan banyak hal. Selain mempertimbangkan akibat perbuatan pelaku bagi korban, juga harus mempertimbangkan akibat dari penjatuhan pidana pada anak. Pidana yang dijatuhkan pada anak tidak boleh sama beratnya dengan pidana yang dijatuhkan pada orang dewasa. Pidana yang dijatuhkan juga harus tetap memperhatikan hak – hak anak dan perkembang Fisik maupun psikis anak tersebut jangan sampai terganggu. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana telah diatur dalam Undang – undang nomor 3 tahun 1997 yang diganti dengan Undang – undang nomor 11 tahun 2012, selain itu diatur pula dalam RUU KUHP.


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Harkat dan martabat setiap anak patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir haruslah mendapatkan hak – haknya tanpa anak tersebut meminta. Anak yang juga merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit dibayangkan.

Kesadaran nasional atau justifikasi konstitusional melindungi anak sebagai suatu urusan utama dalam berbangsa dan bernegara, yang tertuang dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi: Setiap anak itu berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara konstitusional telah eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak – hak konstitusional anak yakni: hak atas kelangsungan hidup; hak atas tumbuh dan berkembang, dan; hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1

Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

1 Triselia Dwitamara, Pengaturan dan Implementasi Mengenai Hak Anak yang


(12)

Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip – prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.2

“Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan melalui peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan beragama dan budi pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta kreativitas, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, serta penumbuhan idealisme dan patriotisme dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat.”

Bertalian dengan konteks ini. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) melalui ketetapannya No. II/1993, tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara, Bab IV PELITA VI, bagi kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan angka 7 huruf (a), Khusus Masalah Anak dan Remaja ditegaskan

3

Hal tersebut berarti bahwa anak atau remaja Indonesia sebagai pemegang amanat Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 diharapkan mampu mengisi kemerdekaan negara ini dengan semangat perjuangan yang tinggi yang mengabdi kepada kepentingan bangsanya, gemar menggali ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi diimbangi dengan sikap dan moralitas yang baik, percaya kepada kemampuan sendiri, kreatif, jujur dan bertindak sesuai dengan norma – norma kemasyarakatan, norma agama dan hukum, serta bertanggung jawab kepada kelangsungan hidup bangsa yang selalu berkembang dinamis ini.4

2

http://anjarnawanyep.wordpress.com-konsep-restorative-justice, diakses melalui internet pada tanggal 22 oktober 2014.

3 Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1993, tentang GBHN, Karya ilmu, Surabaya, 1993 hlm 115.


(13)

Akhir – akhir ini, harapan besar terhadap anak tersebut sering dikandaskan oleh berbagai berita surat kabar ataupun televisi yang memuat tentang kenakalan remaja dan tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh anak – anak yang secara kuantitatif dan kualitatif semakin meningkat dari tahun ketahun.5 Pemenuhan akan hak konstitusional anak sesuai Pasal 28B ayat 2 yang disebutkan sebelumnya juga masih sering terganggu dan terlanggar dengan kriminalisasi anak dalam usia terlalu dini, ataupun untuk menempatkan anak pelaku pidana di dalam lembaga pemasyarakatan, ataupun bahkan rumah tahanan. Keadaan ini menjadi relevan dan memiliki kausalitas bahwa kriminalisasi anak mengakibatkan pelanggaran hak konstitusional anak dalam Pasal 28B ayat 2 UUD 1945. Padahal disadari betul adanya kerugian dan dampak buruk penahanan anak bersama orang dewasa, sebagaimana ditegaskan dalam KHA artikel 37c.6

Keberadaan anak yang ada di lingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangan kearah dewasa, kadang-kadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas kontrol, anak melakukan perbuatan tidak baik. Sehingga merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan, sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Disamping itu keadaan ekonomi pun juga bisa menjadi pendorong bagi anak untuk melakukan perbuatan yang dilarang.7

Menurut Conger (1973, Hlm 539), yang merangkum banyak penelitian, melihat bahwa, meskipun diskriminasi sosial dapat memainkan peran dalam

5 Ibid, Hlm 2

6 Triselia Dwitamara, Op cit, hlm 101


(14)

bertambahnya kriminalitas, namun “tidak semua remaja yang hidup dalam kemiskinan, berumah dalam rumah – rumah yang reot, atau mempunyai orang tua yang tidak bertanggungjawab akan menjadi delikuen”. Sebaliknya dalam waktu akhir akhir ini kriminalitas bertambah pada remaja dari kelas menengah dalam kota – kota. Sebagaimana yang dikutip oleh F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono.8 Dalam penelitian mengenai deliquency yang dilakukan oleh Haditono (1972), sebagaimana yang dikutip oleh oleh F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono. Diketemukan bahwa para remaja yang delikuen tadi berasal dari lapisan masyarakat yang bermacam – macam dan dari status ekonomi yang bermacam macam pula.9 Penelitian Haditono (1973) menemukan bahwa motif melakukan tingkah laku nakal adalah paling banyak mengikuti ajakan teman, kedua, usaha mencapai keinginan (emosi yang tidak terkontrol), dan yang ketiga adalah mencari pelarian keadaan rumah yang tidak menyenangkan atau kurang kasih sayang.10

Penjabaran diatas, dapat disimpulkan anak dengan latarbelakang ketidak harmonisan keluarga, serta diskriminasi sosial akan lebih berpotensi untuk melakukan perbuatan delikuen. Selain itu pengaru lingkungan dan pertemanan sianak juga memberi pengaruh, Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan

8 F.J. Monks, A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 2006, Hlm 382

9 Ibid, Hlm 383 10 Ibid, Hlm 385


(15)

pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan membunuh apalagi anak memiliki taraf emosi yang masih kurang terkontrol.

UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat). Hal ini diartikan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin kedudukan yang sama dimuka hukum. Dalam hal sebagai upaya untuk menanggulangi pelanggaran norma – norma telah dirumuskan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP merupakan hukum yang mengatur perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh Unadang – undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bagi sipelanggar.11

Hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan antara satu dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan orang lain, hukum memberikan rambu – rambu berupa batasan tertentu sehingga manusia tidak sebebas – bebasnya berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya itu.12

Pelanggaran terhadap hukum pidana disebut dengan pidana. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan

11 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan,Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Hlm 6. 12 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hlm 25.


(16)

hukum terhadap seseorang yang dinyatakan salah melakukan perbuatan.13 Jenis – jenis Pidana menurut Pasal 10 KUHP dibedakan Lima Pidana Pokok dan tiga pidana tambahan yaitu 14

a. Pidana Pokok, yang terdiri dari : :

1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Kurungan 4. Pidana Denda

5. Pidana Tutupan (berdasarkan Undang – Undang RI No. 46 Tahun 1946)

b. Pidana Tambahan, yang terdiri dari : 1. Pencabutan Hak – hak tertentu 2. Perampasan Barang – barang tertentu 3. Pengumuman Putusan Hakim

Selain sanksi Pidana yang terdapat pada Pasal 10 KUHP, terdapat juga sistem penjatuhan hukuman lain yaitu, Pidana Bersayarat. Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana melainkan suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat – syarat tertentu, maka sebaiknya digunakan istilah pidana dengan bersyarat.15

Bertalian dengan Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak, KUHP juga mengatur mengenai penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang

13 Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011), Hlm 193. 14 Aruan Sakidjo, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 71.


(17)

dalam hal ini adalah anak dibawah umur yang telah melakukan tindak pidana. Pasal 45 KUHP menjelaskan bahwa:

“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal – pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah”.

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana mengatur mengenai pemidanaan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana dan dikategorikan sebagai hal yang menghapuskan atau mengurangi pidana. Selain KUHP, pemerintah juga melaksanakan kewajibannya dalam melindungi anak dengan membuat beberapa perundang – undangan yang mengatur mengenai proses peradilan anak yang telah melakukan tindak pidana, salah satunya Undang – undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti;

“Bahwa anak adalah bagian dari Generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita –cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”.

Penjatuhan Pidana Bersayarat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikatakan membawa manfaat, dimana pidana dengan bersyarat ini adalah memperbaiki penjahat tanpa harus memasukkannya ke penjara, artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana, terutama bagi


(18)

orang – orang yang melakukan tindak pidana dengan dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya.16

Kekasih terdakwa tadi kemudian, membawa mayat bayi tersebut untuk dikuburkan kehutan Juwangi Kab. Boyolali, dan beberapa hari setelah bayi tersebut dikuburkan, ditemukan oleh petugas jaga hutan tersebut ketika sedang mengadakan patroli keliling hutan. Mereka pun segera melaporkan peneman Seperti Seperti Kasus yang penulis angkat dalam tulisan ini, dengan Nomor Putusan : 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi, dimana anak sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan. Kronologi kasus sebagai berikut, Anak bernama ... BINTI TEGUH HARYANTO (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Melati), merupakan

seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak

dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja merampas nyawa

anaknya, yang mana anak bernama Melati yang berumur 16 tahun dan berstatus

masih seorang pelajar, mengandung seorang bayi dari hasil hubungan badan (hubungan suami istri) antara dirinya dengan kekasihnya yang juga masih seorang pelajar dan masih berusia 16 tahun.

Alasan takut ketahuan telah mengandung, melati hendak menggugurkan kandungannya, namun segala upaya untuk menggugurkan janin tersebut tidaklah berhasil, dan akhirnya melati melahirkan bayinya tersebut pada saat malam hari dirumahnya, seorang diri tanpa bantuan dari siapapun, dan dikarenakan rasa takutnya maka bayi yang telah dilahirkannya tadi, dengan segera dibungkusnya dengan kain gendong dan dimasukkan ke tas ransel sekolahnya. Esok harinya melati menyerahkan bayi tersebut kepada kekasihnya untuk dikuburkan.


(19)

mayat bayi tersebut kepada polisi, dan oleh polisi penemuan mayat bayi tersebut ditindak lanjuti. Hasil Visum et repertum nomor VER/077/IKF-ML/IX/2013 tanggal 12 September 2013 yang ditandatangan oleh dr. Adji Suwandono, S.H. dokter jaga dari Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr.Muwardi Surakarta pada pemeriksaan Korban diperoleh kesimpulan, bahwa

korban (jenazah bayi terdakwa) mengalami asikfia (mati lemas) karena kekurangan oksigen dalam pernapasannya. Perbuatan Terdakwa tersebut

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 341 KUHP. Atas tindak pidan yang dilakukan oleh terdakwa, hakim menjatuhkan vonis Pidana penjara, yang diganti dengan pidana bersyarat dimana pidana tersebut tidak perlu dijalani, melainkan terdakwa dikembalikan kepada orangtuanya dan dikenai masa percobaan.

Pengaturan Mengenai Hukum materil sampai Formil sudah jelas diatur dalam undang – undang khusus tentang anak itu sendiri. Pemerintah menunjukkan keseriusannya lewat undang – undang yang ada untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak bahkan anak yang melakukan tindak pidana sekalipun. Kenyataan bahwa anak sudah dilindungi secara hukum lewat undang – undang, namun selain melindungi hak konstitusinal anak tersebut seperti yang termuat dalam Pasal 28 ayat 2 UUD 1945, seakan perlindungan yang diberikan undang – undang yang ada tersebut merupakan legalitas bagi anak untuk melakukan tindak kejahatan yang sama seperti yang dilakukan orang dewasa.

Undang – undang yang ada juga seolah – olah melindungi anak tersebut ketika anak telah melakukan tindak kejahatan dengan alasan anak belum cukup umur dan belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak dan


(20)

secara eksplisit menyalahkan orang – orang dewasa di sekitar si anak dan menempatkan anak sebagai korban atas tidak stabilnya lingkungan tempat anak berkembang. Perlindungan undang – undang terhadap anak yang melakukan pidana, jika dinilai dari segi kelayakan umum di masyarakat pantas apabila melihat jenis pidana yang dilakukannya tergolong ringan.

Kita teliti lebih jauh lagi mengenai perbuatan nakal seorang anak, maka akan kita temui hal – hal atau perbuatan dari anak yang bertentangan dengan undang – undang dan tergolong sebagai tindak pidana berat, seperti pembunuhan. Pada sisi lain yang mana perbuatan anak ternyata dapat merugikan orang lain. Perbuatan itu bahkan dengan menggunakan cara yang kejam dan keji, yang tidak masuk akal dapat dilakukan seorang anak ternyata pelakunya justru anak. Banyak tindak pidana yang terjadi sampai mengakibatkan korban jiwa dan tindak pidana itu dilakukan oleh anak dibawah umur17

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang – undang perlindungan anak dan Undang – undang tentang pengadilan anak serta beberapa undang – undang lainnya dengan jelas dan secara tegas memberikan perlindungan hukum bagi anak bahkan meringankan hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana dengan separuh hukuman dari orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Perkembangangan Hukum pidana di Indonesia, merupakan gambaran kecenderungan umum perkembangan rasa kemanusiaan masyarakat dunia untuk semakin memperhatikan kepentingan terpidana. Terpidana yang dalam kurun perkembangan sebelumnya cenderung diperlakukan sebagai objek dan dilihat , seperti kasus yang di uraikan sebelumnya diatas.


(21)

melulu dari “kacamata” negatif, mulai diperlakukan dengan cara lebih manusiawi dan lebih positif. Orang – orang terpidana tidak lagi dilihat semata mata sebagai penjahat, tetapi mulai dilihat sebagai manusia yang perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan memiliki serta mengusahakan masa depan yang lebih baik.18

B. Rumusan Masalah

Hal itu dapat dilihat dari vonis hakim yang menjatuhkan pidana bersyarat, Meskipun tindak pidana yang dilakukan oleh anak tadi sudah tergolong tindak pidana berat. Lalu bagaiman dengan kepentingan korban, yang notabene adalah bayi terdakwa sendiri, bukankah seharusnya kepentingan dari Korban (bayi terdakwa) juga harus diperhatikan serta masih berhakkah terdakwa yang meskipun masih bestatus anak mendapat perlindungan berupa keringanan hukuman dari Undang – Undang yang berlaku, setelah tindak pidana yang tergolong berat yang dilakukan terdakwa.

Berkaitan dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menguraikan lebih jauh mengenai sanksi pidana bersyarat yang ditetapkan di pengadilan boyolali dan apakah penerapannya sesuai dengan tujuan pemidanaan, dengan mengambil judul :

“Analisis Sanksi Pidana Bersayarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sebagai Suatu Putusan Tindak Pidana (Studi Kasus Putusan Nomor : 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi)”

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

18 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1995, Hlm 180.


(22)

1. Bagaimana Pengaturan mengenai Sanksi Pidana Bersyarat terhadap anak yang melakukan Tindak Pidana Pembunuhan terhadap bayi? 2. Bagaimana Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan terkait Sanksi pidana

bersyarat terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor : 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penulisan ini, yaitu : 1. Tujuan Umum

a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi Pidana Bersayarat terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi Pidana Bersayarat terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dalam Putusan Perkara Nomor: 227/Pid.Sus/2013/PN.Bi.

2. Tujuan Khusus

a. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penerapan teori hukum dengan kehidupan yang nyata di masyarakat.

b. Meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian khususnya yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum.

c. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 (satu) jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan praktis19

19 Nawawi Hadari & H.M. Martini, 1995, Instrumen Pendekatan Sosial , Suatu Pendekatan Proposal, Yogyakarta, UGM Press, hal. 25


(23)

1. Manfaat Teoritis Penelitian yang dilakukan penulis dapat memberikan tambahan wacana kepustakaan dan dapat sebagai referensi bagi penelitian yang akan datang yang berkaitan dengan pidana bersyarat. 2. Manfaat Praktis Dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pihak yang berkepentingan mengenai pelaksanaan hukum yang berlaku dimasyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dari literatur bahwa dalam pustaka yang ada, belum pernah ada Mahasiswa/Mahasiswi yang sudah menulis tentang bahasan skripsi ini, jadi penelitian ini disebut asli sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian20

Metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisa dan mengembangkan permasalahan dalam skripsi adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu metode yang dapat digunakan dalam suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat,21

20 Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra aditya bakti. Bandung. Hlm:112

21 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghlm.ia Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 160,


(24)

yuridis mengenai permasalahan yang diteliti dengan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang lalu dan saat ini diberlakukan, agar mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti dalam skripsi ini. Dalam melakukan penelitian normatif ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan yakni:

a. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

b. Pendekatan perundang-undangan (normative approach) c. Pendekatan sejarah (historical approach)

d. Pendekatan perbandingan (comparative approach) e. Pendekatan kasus hukum (law case approach) 2. Sumber Data

Adapun teknik yang digunakan dalam menggali data yang dibutuhkan, yaitu melalui studi kepustakaan (Libraryresearch, yang dimaksud penelitian kepustakaan menururt Ronny Hanitijo Soemintro yaitu:22

1. Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

“Penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder dalam bidang hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier”.

Jenis data yang diperoleh, antaralain berupa data sekunder yang meliputi :

23

22 Ibid, hlm. 11.

23 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hlm. 11.


(25)

sebagai berikut : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana24

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

, UU No. 3 Tahun 1997, UU No. 11 Tahun 2011.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan skunder,25

3. Pengumpulan Data

seperti kamus hukum.

Dalam rangka pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan cara Studi Kepustakaan Penulis menggunakan studi kepustakaan dengan menelaah PerundangUndangan serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan.

4. Analisa Data

Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis kualitatif yang dipergunakan untuk aspek-aspek normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitu menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungakan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.26

24 Ibid, hlm 14

25 Ronny Hanitijo Soemantiro, Op.Cit, hlm. 116.

26 Soerjono Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta Hlm: 112


(26)

F. Sistematika Penulisan

Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, Didalamnya berisi uraian latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas.

Bab II Didalamnya berisi pemaparan mengenai pengaturan pidana, pemidanaan dan pidana bersyarat berikut pengaturan yang terdapat didalam KUHP, Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997, Undang – Undang Nomor 11 tahun 2012 dan didalam RUU KUH Pidana, serta pemaparan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat.

Bab III Merupakan bab yang memaparkan permasalahan berikutnya mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat (Studi Kasus Putusan), berturut-turut di dalamya terdapat sub bab mengenai posisi kasus, analisa kasus dan peranan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana.

Bab IV Adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Hal mengenai kesimpulan dan saran terhadap sejumlah penulisan dalam skripsi ini. Merupakan cakupan yang dibahas secara sederhana dan terperinci guna menjelaskan rangkuman dari seluruh intisari yang penulis lakukan dalam skripsi ini.


(27)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan, Pidana, dan Pemidanaan

1. Tindak Pidana Pembunuhan

a. Pengertian Pembunuhan

Perkembangan kehidupan dalam suatu masyarakat serta pengaruh kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan iptek hingga pembangunan menimbulkan banyak perubahan dan bahkan menimbulkan culture

shock, yang sedikit banyaknya membawa dampak bagi pergaulan dan

perkembangan masyarakat itu sendiri. Berkembangnya kehidupan dalam suatu masyarakat dapat membawa dampak positif namun ada juga yang menimbulkan berbagai masalah sosial.

Munculnya masalah sosial diiringi oleh semakin sulitnya kehidupan manusia. Mendorong orang bertingkah laku dengan melanggar norma – norma yang berlaku dan berbuat sekehendak dirinya untuk mencapai kepentingannya pribadi. Keadaan tersebut bagi individu – individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku, salah satunya adalah dengan melakukan tindak pidana pembunuhan. Membunuh tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa saja, seseorang yang masih dikategorikan masih anak – anak pun bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun secara tidak sadar.


(28)

Menurut KUHP, Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dewasa ini disebut sebagai pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut, dari uraian diatas bahwa tindak pembunuhan itu merupakan suatu delik material.

Dalam kamus besar bahasa indonesia pengertian pembunuhan adalah:27

2. Pidana

“Pembunuhan adalah proses, perbuatan, atau cara membunuh (menghilangkan, menghabisi, mencabut nyawa)”

Menurut Black Law Dictionary pembunuhan adalah Tindakan yang melanggar hukum positif oleh orang lain dengan sengaja berniat jahat baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Pemahaman tentang Pemidanaan dan tujuan pemidanaan perlu dikemukakan mengingat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini menyangkut tentang pemidanaan. Maka haruslah terlebih dahulu dipahami hakekat dan pengertian pidana itu sendiri. Penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana untuk pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana.28

27 Dekdipbud, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, hlm. 257 28 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm 13


(29)

Beberapa sarjana telah memberikan penjelasan tentang hakekat dan pengertian pidana. Muladi dan Barda Nawawi Arief menarik kesimpulan bahwa pidana mengandung unsur – unsur atau ciri sebagai berikut29

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat – akibat lain yang tidak menyenangkan;

;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan ( oleh yang berwenang );

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang – undang.

Selanjutnya menurut Alf Ross sebagaimana dikutip oleh Muladi dan

Barda Nawawi Arief “concept of punishment” bertolak pada dua syarat atau

tujuan, yaitu30

a. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan.

:

b. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.

Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukuman (pidana) itu

bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang – undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh

29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana, alumni, Bandung, 1984, Hlm 4


(30)

undang – undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.31

Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya merupakan suatu nestapa diantaranya menurut Hulsman, yang menyatakan bahwa, Hakekat pidana adalah “menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik

(conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian

yang dialami atau perbaikan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia

32

Menurut Sudarto mengatakan bahwa, “perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena itu istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.33

Jimly Asshiddiqie34

31 Satochid Kartanegara, 1954-1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, hlm 24

32 Ibid, hlm 9

33 P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidan Material Bagian Umum, Binacipta, Bandung, 1987, Hlm 17

34 Jimly Asshiddiqie, Op Cit, hlm 15

salah satu sarjana yang mengatakan dirinya

mengikuti pendapat Sudarto dan beliau menggunakan istilah pidana bukan “hukuman” ataupun “hukuman pidana”. Menurut Jan Remmelink, pemidanaan


(31)

adalah pegenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum35

a. Kejahatan (rechtsdelict)

.

Dapat disimpulkan bahwa pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan maupun pelanggaran.

Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindak pidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP)

b. Pelanggaran (wetsdelict)

Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP)

3. Teori dan Tujuan Pemidanaan

a. Teori pemidanaan

Teori pemidanaan dapat digolongkan dalam empat golongan teori36

35 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hlm 7 36Satochid Kartanegara, Op Cit, Hlm 56.

, yakni:


(32)

1. Teori Pembalasan atau teori Imbalan atau teori Absolut.

Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka terhadap pelaku pidana mutlak harus diadakan pembalasan berupa pidana dengan tidak mempersoalkan akibat pemidanaan bagi terpidana.

2. Teori Relatieve atau Teori Tujuan

Teori tujuan membenarkan pemidanaan (rechtsvaardigen), pada tujuan pemidanaan, yakni untuk mencegah terjadinya kejahatan (nepeccetur). Dengan adanya ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat yang bersangkutan atau untuk prevensi umum.

3. Teori Gabungan

Teori ini mendasarkan pemidanaan pada perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, karena kedua teori tersebut bila berdiri sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai kelemahan

4. Teori Negatif (Negativisme).

Teori ini dipelopori oleh Hazelwinkel-Suringa mengatakan, bahwa kejahatan tidak boleh dilawan, dan musuh jangan dibenci karena hanya Tuhan yang paling berhak untuk mempidana pada mahluk-mahluknya.

b. Tujuan Pemidanaan

Pidana sebagai suatu reaksi yang sah atas perbuatan yang melanggar hukum, namun di dunia diterapkan berbeda – beda atas dasar konteks hukum, agama, pendidikan, moral, alam, dan lain – lain. Atas dasar kenyataan tersebut, diungkapkan oleh H.L.A Hart, bahwa pidana didalamnya harus:


(33)

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi – konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

b. Dikenakan pada seseorang yang benar – benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubung satu tindak pidana yang melanggar ketentuan umum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan

ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.37

Pandangan – pandangan tentang tujuan pemidanaan sesungguhnya tidak lepas dan erat kaitanya dengan perkembangan teori – teori pemidanaan. Secara tradisional, teori – teori pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu Teori Retributive (pembalasan) dan Teori Relative (tujuan).38

Karl O. Christianse

39

a. Pandangan Retributif (Retributive View)

menyatakan bahwa ada kedua pandangan konseptual diatas masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni ;

Tujuan pemidanaan menurut pandangan ini antara lain

1. Tujuan pidana adalah semata – mata untuk pembalasan

37 Muladi, lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hlm 21-23

38 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Hlm15.


(34)

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak ada mengandung sarana – sarana untuk tujuan lain seperti tujuan untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Kesalahan merupakan satu – satunya syarat untuk adanya pidan; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan sipelanggar;

5. Pidana melihat ke belakang. Merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, medidik atau memasyarakatkan sipelanggar.

b. Pandangan utilitarian (utilitarian view).

Tujuan pidana menurut pandangana ini antaralain; 1. Tujuan Pidana adalah pencegahan;

2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;

3. Hanya pelanggaran – pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada sipelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

4. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah kejahatan;

5. Pidana melihat ke muka, dan dapat mengandung unsur – unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masayarakat.


(35)

Pada satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi kedepan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).

Tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi

(retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa

pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.

4. Jenis – Jenis Sanksi Pidana

Pasal 10 KUHP mengatur jenis pidana yang terdiri dari lima Pidana Pokok dan tiga pidana tambahan, yaitu 40

c. Pidana Pokok, yang terdiri dari : :

6. Pidana Mati

Pidana Mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, yang hanya diancamkan pada kejahatan yang terkejam. Pidana mati dianggap pidana yang paling tua, setua umur manusia, sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam penggunanaanya. Menurut KUHP warisan belanda, ada 9 (sembilan) tindak pidana yang dapat dikenakan pidana mati yaitu;41

a. Pasal 104 (makar terhadap Presiden dan wakil presiden)

40 Aruan Sakidjo, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) hlm 71.


(36)

b. Pasal 111 ayat 2 ( Membujuk negara asing bermusushan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang) c. Pasal 124 ayat 1 (membantu musuh waktu perang)

d. Pasal 124 bis ( menyebabkan atau memudahkan huru – hara) e. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara

sahabat yang direncanakan dan berakibat maut) f. Pasal 340 ( Pembunuhan berencana)

g. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan mati atau luka berat)

h. Pasal 444 (pembajakan dilaut pesisir dan disungai yang mengakibatkan kematian)

i. Pasal 479 k ayat 2 (kejahatan penerbangan)

j. Pasal 479 ayat 2 (kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan)

7. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang dikenal juga dengan pidana pencabutan kemerdekaan. Didalam KUHP, jenis pidana ini digolongkan pidana pokok. Pada umumnya hukuman penjara dijalani dalam suatu ruangaan tertentu.42

8. Pidana Kurungan

Pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada narapidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing narapidana agar bertobat, mendidik agar menjadi anggota masyarakat yang baik.

Sama halnya dengan pidana penjara pidana kurungan juga merupakan pembatasan kebebasan bergerak dari seornag terpidan yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan tata tertib lembaga pemasyarakatan. Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok ataupun sebagai pengganti pidana denda.43

42 Ibid, hlm 87 43 Ibid, hlm 110-111


(37)

9. Pidana Denda

Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang ketiga didalam Hukum pidana Indonesia yang pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan pada orang dewasa saja. Pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sehingga pidana denda dapat dipandang sebagai bentuk pidana pokok yang ringan.44

10. Pidana Tutupan (berdasarkan Undang – Undang RI No. 46 Tahun 1946)

Berdasarkan Pasal 2 UU RI No 46. Tahun 1946 menyatakan,

a. Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.

b. Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya. Selanjutnya, Pasal 4 menyatakan bahwa, semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman tutupan, jika peraturan – peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan.45

d. Pidana Tambahan, yang terdiri dari : 4. Pencabutan Hak – hak tertentu

5. Perampasan Barang – barang tertentu dan atau tagihan

44 Ibid, hlm 113

45 Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP Perubahan KUHP dan Undang – undang Pidana sampai dengan Akhir Tahun 1980, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm 34


(38)

6. Pengumuman Putusan Hakim

Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama – sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama – sama dengan pidana tambahan lainnya.

B. Pidana Bersyarat di Indonesia

1. Pengertian Pidana Bersyarat

Selain sanksi Pidana yang terdapat pada Pasal 10 KUHP, terdapat juga sistem penjatuhan hukuman lain yaitu, Pidana Bersayarat. Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana melainkan suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat – syarat tertentu.

Pengertian Pidana bersyarat dikemukakan oleh beberapa ahli hukum antara lain, yaitu:

a. Muladi46

Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat – syarat umum dan syarat – syarat khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili berwenang untuk mengadakan perubahan syarat – syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat – syarat tersebut. Pidana bersyarat merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.


(39)

b. P.A.F. Lamintang47

Pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaanya oleh hakim telah digantungkan pada syarat – syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya.

, sebagaimana yang dikutip oleh Marlina dikatakan bahwa;

c. R. Soesilo48

Pidana bersyarat yang biasa disebut perturan tentang “hukum dengan pejanjian” atau “hukum dengan bersyarat” atau “hukum dengan janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada.

Selain mengenai pengertian pidana bersyarat diatas, Soesilo juga berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat – syarat) yang telah ditentukan kepadanya.

2. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia

a. Pengaturan Pidana Bersyarat Berdasarkan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).

Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum Pidana Belanda dan kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan

47 Marlina, Op Cit, hlm 135

48 R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bogor, Politea, 1984, hal. 62 – 63.


(40)

lembaga – lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat. Lembaga seperti ini pertama kali muncul di Amerika Serikat tepatnya di Massachusetts pada tahun 1878, dengan nama probation.49 Selanjutnya perkembangan ini diikuti juga oleh Inggris. Di Eropa daratan, setelah melalui perbedaan – perbedaan pandangan yang cukup tajam diantara para sarjana, telah diterima bentuk penundaan pidana bersyarat, yakni di Perancis pada tahun 1891 dan di Belgia pada tahun 1888. Menurut K. Poklewski : 174, sebagai mana yang dikutip oleh Muladi; Lembaga ini merupakan penundaan pelaksanaan pidana daripada merupakan penundaan penjatuhan pidana, seperti sistem probation. Perbedaan lain dengan sistem probation, bahwa lembaga penundaan pidana bersyarat ini sama sekali tidak mensyaratkan adanya pengawasan atau bantuan kepada terpidana, sebagai mana sistem probation.50

Adapun yang berlaku di Perancis dan Belgia menujukkan perkembangan yang berbeda. Dimana pada fase pertama pelaku tindak pidana dipidana, tetapi pelaksanaan pidananya ditunda dan untuk itu ditentukan suatu masa percobaan.

Sehubungan dengan gambaran diatas, sistem probation menurut sistem Amerika Serikat dan Inggris dilakukan dalam dua fase. Pada fase pertama pelaku tindak pidana hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan dalam suatu masa percobaan. Bila ternyata dalam masa percobaan yang bersangkutan tidak berhasil memperbaiki kelakuannya maka pada fase kedua ia dipidana. Sebaliknya bilamana yang bersangkutan berhasil memperbaiki kelakuannya maka fase kedua tidak perlu dijalani. Selama menjalani masa percobaan ia dibantu dan diawasi oleh

probation officers.

49 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op Cit, hlm 64 50 Ibid, hlm 65


(41)

Bilamana selama masa percobaan terpidana ternyatakan melakukan pelanggaran hukum lagi, maka pidana yang telah ditetapkan harus dilaksanakan. Selama masa percobaan ini terpidana tidak dibantu oleh pekerja – pekerja sosial yang membantu terpidana dalam usahanya mejadi baik.51

Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172. Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan. Berkaitan dengan penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat penerapan sanksi pidana lain yang di luar LP, yaitu:52

a. Pelepasan bersyarat b. Bimbingan lebih lanjut c. Proses asimilasi/ integrasi

d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim

atau orang tua/ wali

Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat pada:53

51

Ibid, hlm 65 – 66

52 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal. 190.

53


(42)

Pasal 14a KUHP

1. Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. 2. Kecuali dalam perkara pendapatan (penghasilan) dan gadai negara,

maka hakim mempunyai kuasa itu juga, apabila dijatuhkan pidana denda, tetapi hanya jika ternyata kepadanya, bahwa bayaran denda itu atau rampasan yang diperintahkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan besar bagi orang yang dipidana itu. Untuk melakukan ayat ini maka kejahatan dan pelanggaran tentang candu hanyalah dipandang sebagai kejahatan dan pelanggaran tentang pendapatan negara, apabila tentang ini telah ditentukan, bahwa dalam hal menjatuhkan pidana denda tiada berlaku apa yang ditentukan dalam Pasal 30, ayat (2).

3. Apabila hakim tak menentukan lain, maka perintah tentang pidana pokok, mengenai juga hukuman tambahan yang dijatuhkan.

4. Perintah itu hanya diberikan, kalau sesudah pemeriksaan yang teliti hakim yakin, bahwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup atas hal menetapi syarat umum, yaitu bahwa orang yang dipidana itu tak akan melakukan tindak pidana dan atas hal menetapi syarat khusus, jika sekiranya diadakan syarat itu.

5. Dalam putusan yang memberi perintah yang tersebut dalam ayat pertama itu, diterangkan pula sebab-sebabnya atau hal ihwal yang menjadi alasan putusan itu.

Pasal 14b KUHP

1. Dalam perkara kejahatan dan pelanggara yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka percobaan itu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-lamanya dua tahun. 2. Masa percobaan itu mulai, segera putusan itu sudah menjadi tetap dan

diberitahukan kepada orang yang dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang.

3. Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut :

1. Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang


(43)

akan ditentukan pada perintah itu dalam waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu.

2. Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu.

3. Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik.

Pasal 14d

1. Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai negeri yang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari diperintahkan akan menjalankannya.

2. Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik Indonesia atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada seorang pegawai negeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu.

Pasal 14e KUHP

Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal 14d, maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan atau waktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selama-lamanya dapat ditentukan untuk masa percobaan itu.

Pasal 14f KUHP

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal yang di atas, maka sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang diterangkan dalam ayat pertama Pasal 14d, hakim yang mula-mula memberi putusan dapat memerintahkan supaya putusan itu dijalankan., atau menentukan supaya orang yang dipidana itu ditegur atas namanya, yaitu jika dalam masa percobaan itu orang tersebut melakukan tindak pidana dan karena itu dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi, atau jika masa percobaan itu orang tersebut dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang dilakukannya sebelum masa


(44)

percobaan itu mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur.

2. Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, kecuali jika sebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana tersebut dituntut karena melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi.

Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Pasal 14a sampai Pasal 14f KUHP tentang pidana bersyarat, sebagai berikut:

a. Pidana bersyarat dapat diterapkan jika Hakim menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun atau kurungan tidak termasuk kurungan pengganti.

b. Masa percobaan paling lama tiga tahun terhadap tindak pidana yang disebut dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP, sedangkan tindak pidana lainnya paling lama dua tahun, dihitung sejak putusan menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana, sedangkan masa penahanan yang sah tidak diperhitungkan ke dalam masa percobaan.

c. Hakim, di samping menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan mengulangi lagi tindak pidana, dapat juga menetapkan syarat khusus, seperti terpidana diperintahkan membayar ganti rugi kepada korban.

d. Jaksa adalah pejabat yang mengawasi agar syarat-syarat terpenuhi, dan Hakim dapat memerintahkan lembaga yang berbentuk badan hukum, lembaga sosial, untuk memberikan bantuan kepada terpidana agar terpenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan.


(45)

e. Lamanya waktu berlakunya syarat-syarat khusus dapat diubah atas usul jaksa ataupun terpidana. Hakim dapat mengubah syarat-syarat khusus, dan dapat memperpanjang masa percobaan satu kali, dengan ketentuan paling lama setengah dari masa percobaan yang telah ditetapkan

f. Hakim dapat memerintahkan pidana penjara untuk melaksanakan, dalam hal terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bersifat tetap, atau jika salah satu syarat tidak terpenuhi, ataupun kaena penjatuhan pidana sebelum masa percobaan dimulai.

g. Perintah melaksanakan pidana tidak dapat dilakukan apabila masa percobaan telah habis, kecuali sebelum amasa percobaan habis terpidana dituntut atas tindak pidana yang dilakukan pada masa percobaan dan dijatuhi pidana yang menjadi tetap, maka Hakim dalam waktu dua bulan setelah putusan, dapat memerintahkan terpidana melaksanakan pidana.

Pasal 14a ayat (4) KUHP dikatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan hanyalah apabila hakim menyelidiki dengan teliti lalu mendapat keyakinan bahwa akan diadakan pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang umum, yaitu bahwa terhukum tidak akan melakukan perbuatan pidana dan tidak akan melanggar syarat-syarat yang khusus, jika hal ini diadakan.

Selanjutnya ayat penghabisan dari Pasal 14a mengharuskan pada hakim supaya di dalam putusannya menyatakan keadaan atau alasan mengapa dijatuhkan penghukuman. Perlu diingat bahwa dalam pidana bersyarat ini pidana yang dijatuhkan adalah pasti, cuma saja pidana yang dijatuhkan itu tidak akan


(46)

dijalankan jika dipenuhi syarat-syarat yang tertentu. Dan sebaliknya pidana tetap akan dijalankan jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi.

Hal yang mendukung dapat dijatuhkan pidana bersyarat adalah, Pertama dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun. Apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan pidana yang dilakukan itu adalah terlalu berat, maka sebenarnya pidana bersyarat tidaklah mungkin lagi dijatuhkan. Kedua, pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika dikenakan pidana kurungan.

Dalam hal ini tidaklah termasuk pidana kurungan pengganti denda, sebab kemungkinan untuk dikenakan pidana bersyarat tidak selayaknya jika dihubungkan dengan pidana pengganti, melainkan dengan pidana pokok. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan. Ini memang tidak perlu, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun. Pidana bersyarat dapat dikenakan pada pidana denda, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terhukum.

Berdasarkan penjabaran dari Pasal – Pasal KUHP diatas oleh Muladi, sebagaimana yang dikutip oleh Marlina, disimpulkan menjadi persyaratan dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain:54

a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat

54


(47)

dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut, tetap pada pidana yang dijatuhkan terhadap si terdakwa, dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim tersebut memiliki hak untuk memberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam Pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain:

1. Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan terpidana

2. Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan Negara

3. Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan.

b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan pidana


(48)

bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan.

c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa. Beberapa hal yang dikemukakan di atas adalah menyangkut persyaratan dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat. Selain itu juga perlu diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti (Pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepada terpidana sesuai dengan tata aturan hukum yang sah.

Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu mempertimbangkan pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti berbuat, antara lain:55

a. Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku

b. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun)


(49)

c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar

d. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar

e. Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar

f. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya

g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi

kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya

i. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi

j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain

k. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar, baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya

l. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non – institusional

m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga n. Tindak pidana terjadi karena kealpaan o. Terdakwa sudah sangat tua


(50)

q. Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan kemampuan orang tua untuk mendidik.

Selain mengatur mengenai Pidana bersyarat terhadap orang dewasa, KUH Pidana juga memuat beberapa pasal yang mengatur mengenai penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa, yaitu Pasal 45, dan pasal 46.

Pasal 45 KUH Pidana;

Dalam hal penuntutan pidan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan; Memerintahkan supaya si tersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatannya merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal – Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karen melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap; Atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Pasal 46 KUH Pidana;

1. Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau dikemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal diatas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.

2. Aturan untuk melaksanakan ayat 1 Pasal ini ditetapkan dengan Undang – undang.

Apabila hakim dalam keputusannya memerintahkan agar anak yang melakukan tindak pidana diserahkan kepada pemerintah, maka anak tersebut ditempatkan di rumah pendidikan negara. Hal tersebut dilakukan agar anak dapat menerima pendidikan dari pemerintah. Cara lain apabila, anak oleh perintah


(51)

hakim diserahkan kepada seorang tertentu, badan hukum, yayasan atau lembaga amal, yang berkedudukan di Indonesia, dimaksudkan agar anak dapat memperoleh pendidikan. Dalam hal apabila hakim memerintahkan anak yang bersalah diserahkan kepada pemerintah atau dengan cara lain yaitu menyerahkan anak kepada seorang tertentu, badan hukum, yayasan atau lembaga amal, maka hal ini dilaksanakan samapai dengan batas waktu anak itu mencapai usia delapan belas tahun.

Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat di atas, maka Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana bersyarat tersebut antara lain:

a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut

b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal

c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat

d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna


(52)

e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang

bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus),

g. Perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.

Dari penjabaran Pasal – Pasal mengenai pengturan pidana bersyarat dalam KUHP hanya berlaku jika kejahatan yang dilakukan si terpidana tidak lebih dari satu tahun kurungan, jadi jika hakim sudah menilai bahwa perbuatan terpidana tergolong berat maka pidana bersyarat tidak dapat lagi dijatuhkan kepada terpidana. Pertimbangan menegenai berat tidaknya perbuatan terdakwa dalam penjatuhan pidana bersyarat, berhubungan dengan rasa pemenuhan keadilan, sebab jika dilihat penerapan pidana bersyarat ini tidaklah berat sebab, pidana penjara yang harusnya dijalani si terpidana di ganti dengan bentuk lain, misalnya anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan kepada keluarga, dan tetap dalam pengawasan jaksa. Jadi memang selayaknya pidana bersyarat hanya dijatuhkan untuk tindak pidana yang ringan – ringan saja.

Khusus untuk terpidana anak KUHP mengatur agar anak diserahkan kepada orang tua, namun tidak diatur lebih lanjut apa bentuk tanggungjawab lebih lanjut yang bisa dikenakan kepada terpidana anak sebagai pengganti hukumannya. Seolah – olah anak hanya dimaafkan begitu saja, diserahkan kepada orang tuanya, tidak dihukum, hanya disyaratkan untuk tidak melakukan perbuatan pidana lain selama


(1)

kejahatan yang sama, khususnya kepada anak – anak remaja yang sedang dalam masa perkembangan seperti terdakwa.

Melihat putusan ini bisa saja anak – anak remaja lain yang melakukan kejahatan yang sama dan tidak takut melanggar hukum yang ada karena pidana yang dijatuhkan tidaklah berat. Maka seharusnya meskipun memang pidana bersyarat harus dijatuhkan perlu disertai dengan syarat tambahan berupa sebuah kewajiban untuk anak untuk melakukan sesuatu, bisa berupa perbuatan sosial yang dapat membangun, mengajari dan menuntut anak untuk lebih bertanggung jawab dan mengarahgkannya melakukan perbuatan – perbuatan yang lebih positif, serta dalam pelaksanaannya harus disertai pembimbingan, yang mana harus ditangani oleh ahlinya (psikolog), agar perubahan yang hendak dicapai pidana bersyarat dapat benar benar diwujudkan. Sehingga pemidanaan yang dicita – citakan hukum indonesia yang semata – mata tidak hanya memberi nestapa tetapi juga untuk membawa perubahan terhadap diri terdakwa kearah yang lebih positif dapat terwujud.


(2)

BABI V PENUTUP a. Kesimpulan

1. Pengaturan dalam pemidanaan anak yang melakukan kejahatan

pembunuhan terhadap bayinya sendiri, hakim dapat memerintahkan agar

anak yang melakukan tindak pidana di serahkan kepada orang tua untuk

dididik dan diawasi oleh orang tua anak sendiri dengan lebih baik lagi, dan

meskipun dikembalikan pada orang tua, tidak terlepas dari pengawasan

jaksa, ataupun pengawas yang ahli. Anak dapat juga diserahkan pada

pemerintah, jika diserahakan pada pemerintah maka anak tersebut di

tempatkan di rumah pendidikan negara. Hal ini dilakukan agar anak dapat

menerima pendidikan dari pemerintah atau dengan cara lain apabila anak

oleh perintah hakim diserahkan kepada seorang tertentu badan hukum,

yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia dimaksudkan

agar anak dapat memperoleh pendidikan.

2. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama

setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa,

apabila anak nakal melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat

dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama sepuluh tahun. Pidana yang

dapat dijatuhkan kepada anak nakal berupa pidana pokok dan tambahan

pidana pokok yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda atau

pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa perampasan


(3)

3. Majelis mempertimbangkan dakwaan primair yaitu bahwa dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman adalah semua pasal

yang didakwakan sudah terpenuhi juga berdasarkan hal – hal yang

memberatkan dan meringankan terdakwa, maka pidana yang dijatuhkan

terhadap terdakwa tersebut dipandang telah memenuhi rasa keadilan.

b. Saran

1. Perlunya pertimbangan secara baik oleh hakim yang memeriksa dan memutus suatu perkara dengan mempertimbangkan secara baik-baik

unsur-unsur dari ketentuan yang didakwakan terhadap terdakwa serta

dapat memperhatikan rasa keadilan keadan dari seorang terdakwa.

Sehingga dalam membuat putusan, dapat diperoleh keputusan yang

adil baik kepada korban ataupun kepada pelaku kejahatan.

2. Perlu peranan pemerintah agar dapat memperhatikan kebutuhan hukum serta pendidikan dari warga negara dan terlebih khusus bagi anak –

anak agar setiap warga negara memperoleh pemahaman tentang

perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan

yang berakibat pemidanaan, dalam memerangi kejahatan di perlukan

peran serta masyarakat dalam memberikan informasi setiap peristiwa

pidana yang berada di sekitarnya. Hal ini membantu aparatur negara

dalam menindak secara cepat setiap perbuatan-perbuatan yang


(4)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU – BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa, Jakarta : Raja Grafindo, 2004 Anonimouse, Ketetapan MPRS RI No. II Tahun 1993, tentang GBHN, Karya

ilmu Surabaya, 1993.

Arif wahyunadi, Edi syhanda, dkk,. Penelitian Partisipatori Anak yang dilacurkan di Surakarta dan Indramayu, Jakarta : Citra Grafika, 2004 Aruan Sakidjo, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum

Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2000.

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 2002

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, Bandung : Alumni, 2010. Dekdipbud, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005.

F.J Monks, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006.

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Angkasa 1995.

Kartini Karton, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta : Rajawali Pres, 1992

Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011. Marlina, Hukum Penitensier, Bandung : Refika Aditama,2011.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung : Refika Aditama, 2012

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana, alumni, Bandung, 1984


(5)

Muladi, lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1992.

Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia, Jakarta : Rajawali Pres, 2012.

Nawawi Hadari & H.M. Martini, Instrumen Pendekatan Sosial , Suatu Pendekatan Proposal, Yogyakarta : UGM Press, 1995.

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung : Armico, 1984.

P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidan Material Bagian Umum, Binacipta, Bandung, 1987

Riajal Maulana Firdaus, Lex Crimen Vol. II/ No. 3, Surakarta, 2013

R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bogor : Politea, 1991.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta 1983

Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak – anak Remaja, Bandung : Armico, 1983.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghlm.ia Indonesia : Jakarta, 1990

Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, 1954-1955.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, Jakarta : Rajawali Pers, 1985.

Susilo, KUHP dan KUHAP Beserta Penjelasannya, Bandung : Citra Umbara, 2006

Triselia Dwitamara, Pengaturan dan Implementasi Mengenai Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia, Surabaya : Universitas Airlangga, 2013


(6)

Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP Perubahan KUHP dan Undang – undang Pidana sampai dengan Akhir Tahun 1980, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Soesilo, KUHP Beserta Penjelasannya. Bandung : Citra Umbara, 2006 Undang – Undang Nomor 3 tahun 1997, tentang Pengadilan Anak Undang – undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak INTERNET


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan)

2 139 75

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

1 27 9

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100