Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

(1)

i

(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 171/ PID. B/ 2011/ PN. SMI)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

NOVA ATRI BR SAGALA NIM. 110200199

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ii

(Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ PN. SMI)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

NOVA ATRI BR SAGALA NIM. 110200199

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

iii

(Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ PN. SMI)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI

TELAH DISAHKAN OLEH : Ketua Departemen

Dr. M. Hamdan, SH., MH

NIP.195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M. Hum Dr. Mohammad Ekaputra, SH., M. Hum NIP. 1951 02 06 198002 1 001 NIP. 1971 10 05 199801 1 001

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

iv

dan rahmat yang tak terhingga yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan No. 171/ Pid.B/ 2011/ PN. SMI)”.

Setelah beberapa waktu lamanya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sebagai manusia biasa tidak akan pernah luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan dari Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam mengasuh serta membimbing penulis sejak masuk pada bangku perkuliahan hingga akhir penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dengan ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan;


(5)

v

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum., DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan;

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., MH,. sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH., sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan;

6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M. Hum., sebagai Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmunya untuk menuntun dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Mohammad Eka Putra., SH., M.Hum., sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU Medan yang telah membimbing penulis, dan juga seluruh pegawai yang telah membantu dalam mengurus banyak hal selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini;

10.Orang tua, M. Sagala (Bapak) dan R. Situmorang (Mamak), yang telah dengan penuh kasih sayang membesarkan, memotivasi, mendidik dan membimbing penulis hingga sampai saat ini. Terima kasih untuk setiap cinta, doa, dan semangat yang tak habis- habisnya kalian berikan kepada


(6)

vi

membanggakan bapak mamak. Dan juga untuk semua keluarga, terimakasih juga kritik, doa, dan semangatnya;

11.Buat adek ‘Nadet Yosep’, terimakasih doanya adek, terimakasih semangatnya, terimakasih ejekannya, terimakasih hiburannya. Semoga adek cepat nyusul ya, terus doakan kakakmu ini di tahap selanjutnya; 12.Untuk abang kakak yang selalu memberi masukan, kak Agnes dan

Anggik, bang Rio, buat eda Jesika juga, terimakasih untuk waktunya, hiburannya, terimakasih untuk semua hal yang kita lakukan bersama, terutama terimakasih untuk doanya;

13.Untuk sahabat- sahabat penulis, Lesmi, Shelo, Henny, Septi, terimakasih doanya untuk segera menyusul kalian, terimakasih semangatnya, terimakasih untuk setiap hal yang kita lalui, semoga kita semua sukses, apa yang kita cita- citakan tercapai, amin;

14.Kepada Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St. Fidelis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya kawan- kawan 011, Kristina, Opung, David, Ivan, Vincent, Ruba, Maruli, Devid, Bang Frans, dan yang lainnya yang selalu mendorong saya untuk cepat menyelesaikan study lewat lelucon-leluconnya, adek- adek yang juga memberi semangat, Putri, Parade, Jannes, Lusiana, Rahmat Britney, Agnes, Gina, dan semua adek- adek 014. Juga Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St. Albertus Magnus Universitas Sumatera Utara, Horas, Melsa, Sisilia, Santri, semuanya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terimakasih doanya kawan- kawan,


(7)

vii

15.Kepada kawan- kawan Lintas Almamater, terimakasih semangatnya, Melva, Poni, Eca, Appiri Conny, Gelora, dll;

16. Terima kasih kepada kawan- kawan yang sama-sama berjuang dari awal kuliah, Rina, Dessy, Elly, Ika, juga Rani dan Junita, yang juga bersama- sama berjuang di akhir masa kuliah ini. Terimakasih untuk semua yang sudah kita lalui sepanjang kuliah ini, terimakasih mewarnai masa kuliah ini kawan- kawan, terimakasih untuk dukungan dan doa kalian;

17.Teman- teman Grup D yang juga selalu memberi semangat, David, Genady, Bill, Nova, Bulek, Garry, Fakhri, Reno, dan semuanya, yang sudah mewarnai masa kuliah ini, semoga ke depannya kita semua sukses kawan- kawan, amin;

18.Tak lupa juga untuk abang- abang, dan adek- adek di Mapala Natural Justice, yang selalu menerima saya untuk bergabung, terimakasih untuk hari- hari menyenangkan ketika bersama kalian, terutama adek Sari yang selalu terganggu karna semua tingkah laku saya dan kawan- kawan yang lain;

19.Teman-teman segerakan dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang secara tidak langsung juga mendukung saya, khususnya sarinah Yohana, makasih doanya adek sarinah;

20.Juga untuk semua orang yang sudah mendoakan penulis dalam doanya, terimakasih setulusnya untuk doanya;


(8)

viii

membalas kebaikan kalian. Semoga ilmu yang penulis dapatkan selama ini bermanfaat bagi penulis, dan semua orang, sekarang dan masa yang akan datang. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Medan, Maret 2015 Penulis,


(9)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ABSTRAKSI ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ...

BAB. I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Putusan Hakim dan ruang lingkupnya ... 8

a. Pengertian Putusan Hakim ... 12

b. Jenis- jenis Putusan Hakim ... 13

c. Teori Pengambilan Putusan... 18

d. Tahap Pengambilan Putusan Pidana ... 21

2. Tindak Pidana... 21

a. Pengertian Tindak Pidana ... 21

b. Unsur- unsur Tindak Pidana ... 25

3. Penggelapan ... 27

a. Pengertian Penggelapan ... 27

b. Unsur- unsur Delik Penggelapan ... 28

E. Keaslian Penulisan ... 30


(10)

x

PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA

PIDANA ... 37

A. Putusan Bebas/ Vrijsprak ... 39

B. Putusan Pemidanaan/ Veroordeling ... 42

C. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum/ Onslag Van Rechtsvervolging... 45

BAB. III DASAR PENJATUHAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM/ ONSLAG VAN RECHTSVERVOLGING OLEH HAKIM ... 49

A. Alasan Penjatuhan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum terhadap suatu Perkara Pidana ... 49

1. Alasan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum dalam KUHAP dan RUU KUHAP ... 50

2. Alasan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum dalam KUHP dan Konsep KUHP Baru ... 53

B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan terhadap Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum ... 63

BAB. IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM/ ONSLAG VAN RECHTSVERVOLGING PADA KASUS PUTUSAN NO. 171/ Pid.B/ 2011/ PN. SMI ... 68

A. Gambaran Umum Kasus ... 68

1. Kasus Posisi ... 68

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 69

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 86

4. Pertimbangan Hakim ... 87

5. Amar Putusan ... 91

B. Analisis Kasus ... 92


(11)

xi

4. Penilaian Penulis terhadap Putusan Hakim ... 105

BAB. V PENUTUP ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 113 DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN


(12)

xii

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M. Hum** Dr. Mohammad Ekaputra, SH., M. Hum***

Skripsi ini berbicara mengenai tepat tidaknya putusan lepas dari segala tuntutan hukum/ onslag van rechtvervolging yang sudah dijatuhkan hakim pengadilan negeri Sukabumi terhadap sebuah perkara pidana dengan nomor putusan No. 171/ Pid. B/ 2011/ PN. SMI dengan terdakwa Roberth yang didakwa telah melakukan tindak pidana penggelapan. Disini diteliti mengenai alasan ataupun pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tersebut apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak.

Ada tiga permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu, apa saja jenis putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap suau perkara pidana, kapan hakim dapat menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap suatu perkara pidana, dan yang terakhir adalah bagaimana analisis terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan dalam putusan No. 171. Pid. B/ 2011/ PN. SMI.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian normatif melalui penelitian kepustakaan, yakni yang menggunakan data sekunder, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dengan mengidentifikasi norma- norma secara sistematis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun sumber data sekunder ini ada beberapa jenis yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach).

Ketentuan mengenai putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, yaitu pada pasal 192 ayat (1). Selain itu dalam beberapa pasal dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana juga disebutkan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap suatu perkara pidana.

Agar tidak ada kesan adanya ketidakadilan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara tersebut. Oleh karena itu segala putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, haruslah jelas alasan dan dasar- dasar pertimbangannya, baik itu disesuaikan hanya berdasarkan ketentuan perundang- undangan saja ataupun dengan adanya keyakinan hakim yang memeriksa perkara.

*

Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

**

Pembibimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

***

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(13)

xii

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M. Hum** Dr. Mohammad Ekaputra, SH., M. Hum***

Skripsi ini berbicara mengenai tepat tidaknya putusan lepas dari segala tuntutan hukum/ onslag van rechtvervolging yang sudah dijatuhkan hakim pengadilan negeri Sukabumi terhadap sebuah perkara pidana dengan nomor putusan No. 171/ Pid. B/ 2011/ PN. SMI dengan terdakwa Roberth yang didakwa telah melakukan tindak pidana penggelapan. Disini diteliti mengenai alasan ataupun pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tersebut apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak.

Ada tiga permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu, apa saja jenis putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap suau perkara pidana, kapan hakim dapat menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap suatu perkara pidana, dan yang terakhir adalah bagaimana analisis terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang dijatuhkan dalam putusan No. 171. Pid. B/ 2011/ PN. SMI.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian normatif melalui penelitian kepustakaan, yakni yang menggunakan data sekunder, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dengan mengidentifikasi norma- norma secara sistematis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun sumber data sekunder ini ada beberapa jenis yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach).

Ketentuan mengenai putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, yaitu pada pasal 192 ayat (1). Selain itu dalam beberapa pasal dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana juga disebutkan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap suatu perkara pidana.

Agar tidak ada kesan adanya ketidakadilan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara tersebut. Oleh karena itu segala putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, haruslah jelas alasan dan dasar- dasar pertimbangannya, baik itu disesuaikan hanya berdasarkan ketentuan perundang- undangan saja ataupun dengan adanya keyakinan hakim yang memeriksa perkara.

*

Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

**

Pembibimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

***

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia sangat dibutuhkan oleh setiap orang sesuai dengan perannya masing- masing, terutama pula sebagai aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah tonggak utama dalam proses penegakan hukum pidana di negara Indonesia yang adalah merupakan Negara Hukum,1 sebagaimana tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kesadaran ini menjadi penting karena, ketika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum ini, maka akan berdampak buruk bagi penegakan hukum itu sendiri. Sebagai negara hukum, Indonesia pada hakikatnya hukum berfungsi sebagai perlindungan agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.2

Perlindungan hukum dirasakan begitu pentingnya dewasa ini karena semakin maraknya permasalahan hukum, khususnya terjadinya tindak pidana. Tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan tata kehidupan sosial. Perkembangan tindak pidana menimbulkan dampak yang begitu besar kepada kehidupan masyarakat. Berbagai macam kualifikasi tindak pidana yang terjadi tengah- tengah masyarakat. Salah satu tindak pidana yang tidak jarang ditemukan adalah kejahatan terhadap harta benda, seperti tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam KUHP. Tindak pidana ini paling sering dilakukan seseorang dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya. Dengan perkataan lain, pelaku menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya. Hal ini juga

1

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. 2

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, (Genta Publishing: Medan, 2014), halaman 37.


(15)

merupakan salah satu bukti bahwa masih kurangnya kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu disinilah dibutuhkan pelaksanaan dan penegakan hukum secara tegas, agar dapat memberantas tindak pidana yang meresahkan masyarakat.

Pelaksanaan hukum merupakan salah satu cara untuk menciptakan tata tertib, keamanan, ketentraman, dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum ini, dapat melalui usaha penegakan, maupun usaha pemberantasan atau penindakan karena terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain melalui upaya represif maupun preventif. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.

Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum sebagaimana negara Indonesia adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu cara dalam mencapai tujuan tersebut adalah dengan menempatkan masalah hukum pada tempatnya, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Artinya, hukum dijadikan kaidah yang disepakati bersama sebagai alat untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu harus ditaati bersama oleh seluruh lapisan masyarakat, terlebih oleh aparatur penegak hukum, dengan cara menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya.

Pengadilan merupakan salah satu tempat mencari keadilan dan kebenaran dari suatu permasalahan hukum yang terjadi di negara Indonesia. Badan peradilan ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam sebuah negara hukum. Sebagaimana disebutkan pada Pedoman Pelaksanaan


(16)

KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, disebutkan bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak- tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara tepat dan jujur dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Hukum Acara Pidana juga berperan dalam mengatur dan menentukan bagaimana badan- badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan dari hukum acara pidana sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Jadi, hukum acara pidana ini memberikan pembatasan kekuasaan badan- badan pemerintah tersebut sehingga tidak terjadi kesewenangan, karena di lain pihak kekuasaan badan- badan tersebut juga merupakan jaminan bagi berlakunya hukum, sehingga hak asasi setiap warga negara terjamin.

Upaya penegakan hukum ini, harus didukung dengan adanya kerjasama antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sesuai dengan tugasnya masing- masing sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang- undang. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memiliki kredibilitas dan moralitas yang tinggi dalam mewujudkan cita- cita hukum yang sebenarnya, supaya kiranya keadilan dapat terwujud. Dalam mengahadapi tugasnya, aparat penegak hukum diharapkan mampu melaksanakan tugas sebaik- baiknya. Tingkah laku penegak hukum dianggap menjadi panutan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aparat penegak hukum berbuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan


(17)

kerugian warga masyarakat, akan menurunkan citra dan wibawa penegak hukum itu sendiri.

Hakim memegang peranan penting dalam memutus suatu perkara, karena kewajibannya menegakkan hukum di tengah- tengah masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Hakim harus selalu berpegang pada prinsip keadilan yang bebas dan tidak memihak seperti yang dituangkan dalam pasal 1 Undang- undang Nomor 4 tahun 2004,

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Hakim harus memperhatikan keadilan berdasarkan Pancasila, yang tidak hanya didasarkan pada kodifikasi hukum saja, melainkan juga harus mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Pembuktian juga turut mempengaruhi dan menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam membuat putusannya. Unsur pembuktian menjadi unsur vital yang dijadikan bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan, apakah itu putusan bebas, pemidanaan, atau bahkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van rechtsvervolging). Oleh karena itu pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana.3

Hakim berdasar pada surat dakwaan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, artinya pemeriksaan dan putusan Hakim haruslah sesuai dengan batasan surat dakwaan tersebut. Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan isi surat dakwaan itulah Hakim akan memeriksa perkara.

3

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), halaman 249.


(18)

Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebutkan dalam surat dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik yang tidak disebutkan dalam surat dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana. Dengan kata lain, atas landasan surat dakwaan inilah ketua sidang memimpin dan mengarahkan jalannya seluruh pemeriksaan baik yang menyangkut pemeriksaan alat bukti maupun yang berkenaan dengan barang bukti.

Hakim dengan demikian dalam menjatuhkan putusan berdasarkan berbagai macam pertimbangan. Namun sering kali putusan Hakim menjadi kontroversi dan ditentang oleh berbagai pihak, seperti halnya dalam penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging). Dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum, biasanya Penuntut Umum akan melakukan upaya hukum kepada Pengadilan yang tingkatannya lebih tinggi. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini adalah apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum hendaknya benar-benar mencerminkan keadilan, dimana harus didukung dengan bukti-bukti yang ada, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan dengan keyakinan hakim bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah bukan merupakan suatu tindak pidana atau dengan adanya keadaan-keadaan istimewa sehingga hal tersebut menajdi pertimbangan bagi Hakim untuk memutuskan terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum. Jadi ketika seseorang melakukan tindak pidana yang meresahkan masyarakat seperti halnya tindak pidana penggelapan dan kemudian diputus dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging), padahal berdasarkan


(19)

fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bahwa pasal yang didakwakan padanya telah terbukti, maka tentunya masyarakat sudah sepatutnya mempertanyakan apa yang melandasi hal tersebut. Oleh karena itu sangat penting untuk meneliti segala sesuatu hal yang mendasari dijatuhkannya putusan tersebut termasuk pertimbangan hakim, agar rasa keadilan masyarakat tidak terlukai.

Pertimbangan Hakim memegang peranan penting dalam memutuskan terdakwa dalam suatu perkara pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Namun, apakah selamanya pertimbangan Hakim tersebut sudah bisa diterima oleh terdakwa, Penuntut Umum, bahkan masyarakat? Hal ini perlu dicermati pula. Kemudian, setelah putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini ditetapkan oleh Hakim, masih ada hal yang perlu diteliti, yaitu sesuai tidaknya putusan tersebut dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, karena kemungkinan itu selalu ada. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul, “PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM/ ONSLAG VAN RECHTSVERVOLGING TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 171/ Pid.B/ 2011/ PN. SMI)”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan pedoman untuk penelitian dan penulisan suatu masalah yang akan diteliti, memudahkan penulis dalam membahas permsalahan, serta memandu penulis agar mencapai sasaran sesuai dengan harapan, tidak terlalu luas, dan yang lebih utamanya adalah terarah. Untuk itu, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka berikut ini


(20)

akan dikemukakan masalah- masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :

1. Apa saja Jenis Putusan yang dapat Dijatuhkan Pengadilan terhadap suatu Perkara Pidana?

2. Kapan Hakim dapat Menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum/ Onslag Van Rechtsvervolging?

3. Bagaimana Analisis Hukum atas Penjatuhan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum/ Onslag Van Rechtsvervolging terhadap Kasus No. 171/ Pid.B/ 2011/ PN. SMI?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui jenis- jenis putusan yang dapat dijatuhkan pengadilan terhadap suatu perkara pidana;

2. Untuk mengetahui kapan Hakim dapat menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum/ onslag van rechtsvervolging;

3. Untuk mengetahui penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap kasus No. 171/ Pid.B/ 2011/ PN. SMI dan kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku.

Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat memberi manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis, bukan hanya untuk penulis, melainkan juga untuk semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


(21)

1. Manfaat teoritis;

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang memberikan sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum acara pidana;

b) Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum serta memberikan suatu pemikiran di bidang hukum pada umumnya yang didapat atau diperoleh dari perkuliahan dengan praktek di lapangan dalam bidang Hukum Acara Pidana khususnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging);

2. Manfaat praktis;

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta kajian pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan bermiat pada hal yang sama, baik itu kalangan akademisi dan penegak hukum, untuk menambah wawasan di bidang hukum khususnya yang berkaitan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dengan segala akibat hukumnya yang merupakan hasil dari suatu proses peradilan.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Putusan Hakim dan Ruang Lingkupnya

Dalam membicarakan pembangunan hukum itu jelas bahwa di dalamnya termasuklah penegakan hukum. Sebagaimana dicanangkan di atas bahwa penegakan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban. Dengan cara memantapkan peranan dan kedudukan penegak hukum, maka diharapkan terwujudnya peningkatan


(22)

kemampuan dan kewibawaannya. Dalam hal ini, penegak hukum harus dapat bekerja dengan penuh teliti dan menghindarkan segala kekeliruan sewaktu menjalankan tugasnya. Terkhususnya disini adalah seorang Hakim, yang memeriksa dan mengadili perkara, dan pada akhir persidangan akan mengeluarkan putusan. Untuk itu dalam menjalankan tugasnya di persidangan, terutama dalam membuat putusan, Hakim harus benar- benar teliti, supaya tidak terjadi kekeliruan.

Hakim merupakan faktor pembentukan hukum, sebagaimana dijelaskan pada pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia, keputusan Hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal.4

Hakim sebagai pengambil keputusan pada peradilan dihadapkan pada resiko, kesalahan pengambilan keputusan akan memberikan dampak Jadi, menurut peraturan perundang- undangan telah diakui bahwa pekerjaan Hakim merupakan faktor pembentukan hukum. oleh karena itu, seorang Hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan perundang- undangan tidak menyebutkan suatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Hakim harus menyesuaikan Undang- undang dengan hal- hal yang konkrit, oleh karena peraturan- peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam membuat suatu keputusan, Hakim mempunyai beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan, supaya keputusan yang dikeluarkannya dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak.

4

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Balai Pustaka: Jakarta, 2002), halaman 65.


(23)

yang besar pada manusia. Terdakwa yang tidak bersalah dapat menjalani hukuman atau terdakwa yang bersalah dapat dibebaskan, jika terjadi kesalahan pengambilan keputusan pada hakim.5

Tidak dapat dipungkiri bahwa ‘misi suci’ lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, “The supreme court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa, dan negara, bahkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib, dan damai.

Hal ini penting karena peradilan pada akhirnya akan menghasilkan suatu keputusan melalui hakim, yang dapat mewujudkan keadilan.

6

Dalam membuat putusan mengenai suatu perkara pidana tertentu, tentunya Hakim memiliki pertimbangan- pertimbangan tertentu, yang mendukung putusan yang akan dibuat, yaitu hal- hal mengenai pemikiran dan pendapat Hakim tentang perkara yang bersangkutan didukung dengan fakta yang terungkap di persidangan, meliputi aspek- aspek yang bersifat Untuk menjalankan ‘misi suci’ tersebut, maka Hakim diberikan kekuasaan yang bebas dan mandiri agar putusan- putusannya tidak mudah diintervensi oleh kekuatan extra judicial, seperti penguasa dan kekuatan lainnya dalam masyarakat.

5

Yusti Prabowo Rahayu, Di balik Putusan Hakim, (Citramedia: Surabaya, 2005), halaman 37.

6

Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, (PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2007), halaman 1.


(24)

yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan Hakim, dengan berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan masyarakat.7

Serangkaian pertimbangan- pertimbangan Hakim mencerminkan kebebasan seorang Hakim dalam memutuskan sebuat keputusan dengan melibatkan unsur manusiawi di dalamnya.

Pertimbangan Hakim ini menjadi pokok pikiran, dan menjadi alasan atau melatar belakangi suatu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim.

8

Pertimbangan Hakim yang dimaksud adalah meliputi pertimbangan- pertimbangan dari beberapa aspek sebagai berikut : aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Aspek yuridis merupakan aspek pertimbangan Hakim yang pertama dan utama dan berpatokan kepada Undang- undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator Undang- undang harus memahami Undang- undang dengan mencari Undang- Undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah Undang- undang tersebut adil, kemanfaatannya, atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan. Mengenai aspek filosofis,

Dengan adanya kebebasan tersebut, seorang Hakim dalam membuat putusan atas perkara yang ditangani, harus bersumber pada kemampuannya untuk berpikir dan berkehendak secara bebas, namun dalam pembatasan tanggung jawab, demikian pula halnya dalam mengeluarkan pertimbangan- pertimbangannya.

7

Ahmad Rivai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Sinar Grafika: Jakarta, 2011), halaman 126.

8


(25)

merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.Pertimbangan filosofis dan sosiologis sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai- nilai dalam masyarakat yang terabaikan.9

Pencantuman ketiga unsur pertimbangan tersebut adalah tidak lain bertujuan agar putusan dianggap adil dan dapat diterima oleh masyarakat. Karena pada hakikatnya, pengambilan keputusan oleh Hakim adalah suatu pendekatan sistematis terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta- fakta dan data penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi, dan mengambil tindakan yang paling tepat.

10

a) Pengertian Putusan Hakim

Pengambilan tindakan yang paling tepat yang dimaksud ini adalah yang adil dan dapat diterima oleh masyarakat sebagaiman yang telah disebutkan sebelumnya. Berikut ini akan diuraikan mengenai putusan hakim tersebut.

Dalam KUHAP telah diatur tentang defenisi putusan, yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 11. Ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut :

“Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang- undang ini”.

Putusan Hakim adalah suatu kesimpulan dari peninjauan dan pertimbangan teliti serta seksama pada kenyataan- kenyataan yang

9

Ahmad rivai, Loc. Cit. 10


(26)

timbul dalam pemeriksaan pada sidang. Peninjauan dan pertimbangan mengenai soal- soal :

(a) Kenyataan- kenyataan (feiten) manakah yang telah terbukti? (b) Apakah terbukti tertuduh bersalah pada kenyataan- kenyataan

itu?

(c) Kejahatan apakah diakibatkan oleh kenyataan- kenyataan itu? (d) Hukuman apakah yang harus dijatuhkan?

Yang harus terbukti adalah, kenyataan- kenyataan yang dituduhkan dalam surat tuduhan (acte van verwijzing). Kenyataan- kenyataan yang dituduhkan itu merupakan unsur- unsur dari tindak pidana yang dituduhkan.11

Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak- masaknya yang dapat dibentuk tertulis maupun lisan.12

b) Syarat Sah dan Isi Putusan

Putusan yang dijatuhkan Hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Untuk memutus suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu Hakim harus memeriksa perkaranya.

Yang menjadi syarat sahnya suatu putusan dapat kita lihat pada pasal 195 KUHAP yang menyatakan bahwa,

“Semua Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.

11

S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Pradnya Paramitha: Jakarta 1981), halaman 105.

12


(27)

Sedangkan mengenai isi putusan, tercantum pada pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan Hakim dan menurut ayat (2) pasal tersebut, kecuali yang disebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. ketentuan tersebut adalah :

(a) Kepala putusan berbunyi : DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;

Kepala putusan ini adalah sesuai dengan pasal 29 ayat (1) Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan dari kepala putusan yang demikian dimaksudkan agar Hakim dalam memutus perkara tidak main- main, harus jujur, dan adil karena putusan yang dibuat mengatasnamakan Tuhan mengandung tanggung jawab yang berat13

(b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;

Pencantuman identitas terdakwa ini dicantumkan dengan maksud untuk mengetahui siapa terdakwa yang sebenarnya, dan juga berkaitan dengan proses pembuktian di persidangan. (c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

13

Gatot Supramoto, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim yang Batal demi Hukum,


(28)

Pencantuman dakwaan dalam putusan adalah untuk menguraikan permasalahannya, kemudian dijadikan dasar untuk dibuktikan dan dijawab dalam amar putusan.

(d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

(e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; Tuntutan pidana hanya yang pokok saja yang dicantumkan, yaitu tentang penuntutannya, tidak dikutip seluruhnya. Pencantuman tuntutan tersebut untuk mengetahui pendapat penuntut umum dari hasil pembuktiannya, dan dapat dipakai sebagai bahan masukan dan perbandingan pendapat Hakim dalam amar putusan.

(f) Pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;

Yang dimaksud disini adalah pertimbangan hukum putusan dimana unsur- unsur pasal yang didakwakan dibuktikan.

(g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal;

Hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis Hakim biasanya dicantumkan satu kalimat dengan hari dan tanggal


(29)

putusan, pencantumannya, setelah amar putusan. Hari dan tanggal musyawarah Hakim tidak selalu sama, sebab terserah majelis Hakim kapan diadakan musyawarah putusan dan kapan putusan diucapkan.

(h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; Ini sudah sampai pada amar putusan. Dengan terbuktinya dakwaan penuntut umum, perlu dinyatakan pada amar putusan dengan menyebutkan kualifikasi tindak pidananya dan bentuk hukuman apa yang dijatuhkan pada terdakwa.

(i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

Mengenai masalah biaya yang harus ditanggung, perlu dilihat ketentuan pasal 222 KUHAP, yang menyatakan :

(1) Siapapun yang diputus dipidana dibebankan membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, baiaya perkara dibebankan pada negara;

(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara pada negara


(30)

Kemudian mengenai barang bukti dalam pasal 194 ayat (1) ditetapkan, bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali Undang- undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

(j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

KUHAP memerintahkan keterangan kepalsuan surat hanya berlaku untuk surat otentik saja, sedangkan surat di bawah tangan atau surat- surat lainnya tidak diharuskan untuk diterangkan kepalsuannya di dalam putusan.

(k) Perintah supaya terdakwa ditahan untuk tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

Untuk status terdakwa yang menyangkut masalah penahanan adalah dalam hubungannya dengan pasal 193 ayat (2) KUHAP yang menetapkan :

a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi


(31)

ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu

b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu

(l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama Hakim yang memutus, nama panitera

Hari dan tanggal putusan disebutkan di bawah amar putusan dimaksudkan untuk mengetahui kapan putusan itu diucapkan. Sedangkan nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera dimaksudkan untuk mengetahui susunan pejabat yang berwenang.

c) Teori Pengambilan Putusan

Pengambilan keputusan (decision making) merupakan proses berpikir dan perilaku yang mengahsilkan suatu pilihan.14 Proses pengambilan keputusan memerlukan berpikir terkontrol agar dihasilkan keputusan yang tepat. Ada beberapa teori yang dipakai dalam pengambilan keputusan ini, yaitu teori pengambilan keputusan rasional dan teori pengambilan keputusan heuristic.15

Teori pengambilan keputusan rasional adalah pengambilan keputusan yang disusun berdasarkan prinsip rasional. Pengambilan

14

Yusti Probowati Rahayu, Op. Cit., halaman 50. 15


(32)

keputusan ini sering didasarkan pada teori probabilitas karena manusia sering dihadapkan pada pengambilan keputusan dalam peristiwa- peristiwa yang tidak pasti.

Dawes dan Kagen menjelaskan ada tiga prinsip rasional, yaitu pengambilan keputusan selalu didasari oleh modal yang dimiliki oleh pengambil keputusan pada saat ini, pengambilan keputusan didasari oleh pertimbangan akan konsekuensi pilihan, dan yang terakhir adalah jika konsekuensi merupakan sesuatu yang tidak jelas, segala kemungkinan dievaluasi berdasarkan prinsip- prinsip teori probabilitas.16

Teori pengambilan putusan heuristic adalah metode pemecahan masalah yang menghasilkan pemecahan efisien terhadap masalah rumit dengan cara membatasi kemungkinan pemecahan masalah. Menurut Kahneman, Slovic, dan Tversky ada tiga macam keputusan heuristic,

yaitu:

Pengambilan keputusan rasional yang didasarkan teori probabilitas ini terlalu sulit dilakukan sehingga seringkali dilakukan penyederhanaan dengan teori pengambilan putusan heuristic.

17

(a) Perwakilan/ representative, yaitu dengan menggunakan perwakilan, untuk evaluasi probabilitas. Cara ini tentu saja memiliki kesalahan yang serius, karena perwakilan tidak mempengaruhi faktor- faktor yang harus dipertimbangkan dalam teori probabilitas.

(b) Ketersediaan/ avalaibility, yaitu dengan mempertimbangkan kejadian yang ada dalam pikirannya. Cara ini seringkali menimbulkan bias.

(c) Penyesuaian dan jangkar, adjustment and anchor, yaitu dengan melakukan estimasi kuantitatif dengan memulai dari suatu nilai awal kemudian disesuaikan sehingga membawa hasil jawaban akhir.

16

Ibid., halaman 54. 17


(33)

Teori pengambilan putusan yang dipakai untuk perkara pidana sendiri menggunakan teori yang disebut teori deskriptif.18

(a) Pendekatan teori probabilitas, adalah yang didasari oleh teori probabilitas bayesian, yaitu dimensi dasar dari berpikir yang mengatakan bahwa membuat keputusan adalah probabilitas subjektif. Artinya semua informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan akan dikonsep oleh individu sebagai kekuatan keyakinan.

Hastie mengatakan bahwa model teori deskriptif ini antara lain:

(b) Pendekatan aljabar, adalah dengan menggambarkan proses mental seperti perubahan sikap, persepsi terhadap manusia, psikolinguistik, pembuatan keputusan, dan masalah yang terkait dengan psikofisik.

(c) Pendekatan model cerita, adalah dengan mengumpulkan informasi persidangan dari jaksa penuntut umum, saksi, terdakwa, maupun barang bukti untuk memutuskan perbuatan pidana. Casper mengembangkan model ini dengan menggunakan dasar teori pemrosesan informasi kognitif untuk menjelaskan proses hakim dalam menentukan perbuatan pidana. Model ini memiliki beberapa tahap, sebagai berikut:19 (i) Menyusun cerita;

(ii)Mempelajari unsur- unsur pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum;

18

Ibid., halaman 57. 19


(34)

(iii)Mengambil keputusan melalui pencocokan cerita dengan pasal undang- undang yang digunakan sebagai dasar pemidanaan.

d) Tahap Pengambilan Putusan Pidana

Moeljatno menjelaskan ada beberapa tahapan dalam pengambilan putusan pidana oleh hakim, yaitu sebagai berikut:20

(i) Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana dan tanggung jawab disini berbeda. Artinya, hakim menganalisis apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarkat yaitu perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana. (ii)Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan

pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim selanjutnya menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Disini yang dipandang primer adalah orang itu sendiri.

(iii) Jika seorang terdakwa yang terbukti melakukan perbuatan pidana dan perbuatan terdakwa tidak dapat digolongkan dalam pasal 44- 50 KUHP, hakim memutuskan terdakwa dijatuhi pemidanaan.

2. Tindak Pidana

a) Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa – peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari – hari dalam kehidupan masyarakat. Banyak istilah lain untuk perbuatan pidana yaitu peristiwa pidana, tindak

20


(35)

pidana, pelanggaran pidana, delik pidana dan straafbar feit. Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”. Walaupun istilah itu terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.21

Menurut R. Tresna, pertimbangan atau pengukuran terhadap perbuatan- perbuatan terlarang, yang menetapkan mana yang harus ditetapkan sebagai peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sedemikian pentingnya, dapat berubah tergantung dari keadaan, tempat dan waktu atau suasana serta berhubungan erat dengan perkembangan pikiran dan pendapat umum. Apa yang pada suatu waktu di tempat itu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dicela namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat bisa berubah dan dianggap sebagai suatu kejahatan. Sebaliknya, apa yang tadi dianggap sebagai suatu kejahatan, di waktu yang lain, karena keadaannya berubah, dianggap tidak merupakan suatu hal yang membahayakan. Undang- undang harus mencerminkan keadaan, pendapat atau anggapan umum, dan meskipun pada umumnya undang- undang selalu terbelakang dalam mengikuti perkembangan gerak hidup dalam masyarakat, akan tetapi terhadap beberapa perbuatan, ketentuan hukum tetap sesuai dengan anggapan umum. Misalnya pembunuhan, dari dulu kala sampai sekarang,

21

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Raja Grafindo: Jakarta, 2002), halaman 67.


(36)

tetap dianggap sebagai suatu perbuatan jahat, baik dilihat dari sudut agama atau moral, maupun dilihat dari sudut sopan santun, sehingga sudah semestinya terhadap perbuatan yang demikian itu diadakan ancaman hukuman pidana.22

Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat- syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat- syarat berikut ini :

(i) Harus ada suatu perbuatan manusia, maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Adapun tindakan yang dilakukan merupakas suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai suatu peristiwa;

(ii)Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum, artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat ini (hukum positif). Dan pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib dimintakan pertanggungjawaban akibat yang timbul dari apa yang telah diperbuatnya itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak bisa dimintakan

22

Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (USU Press: Medan, 2010), halaman 76.


(37)

pertanggungjawaban.Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat disalahkan ini adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sesorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya dan dalam keadaan darurat dan mereka yang tidak mempunyai kesalahan;

(iii)Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan, maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan dan memang terbukti bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum; (iv)Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum,maksudnya bahwa

perbuatan itu merupakan perbuatan yang diatur dalam suatu ketentuan hukum dan merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum.Perbuatan melawan hukum dimaksudkan jikalau tindakan atau perbuatan telah nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum;

(v) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam Undang – undang, maksudnya kalau ada suatu ketentuan yang telah mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman ini dinyatakan secara tegas maksimal hukumannya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau didalam suatu perbuatan tertentu, maka didalam


(38)

suatu perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman.

Pengertian dari istilah strafbar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang – undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Menurut Pompe pengertian strafbar feit dibedakan:23

(i) Definisi menurut teori memberikan pengertian strafbar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana mati untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

(ii)Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbar feit adalah suatu kejadian (feit yang oleh peraturan undang – undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum).

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” dan beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, tetapi “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.24

b) Unsur- unsur Tindak Pidana

Menurut doktrin, unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yakni:

(i) Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan

23

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Ghalia Indonesia: Jakarta, 1993), halaman 91.

24

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (delik), (Sinar Grafika: Jakarta,1991), halaman 3.


(39)

yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or

schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa

“kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni: (a) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

(b) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als

zekerheidsbewustzijn)

(c) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis)

(ii)Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:

(a) Perbuatan manusia, berupa:

(i) Act, yakni berupa aktif atau perbuatan positif

(ii)Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang membiarkan atau mendiamkan

(b) Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

(c) Keadaan-keadaan (circumstances), pada umunya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan


(40)

(d) Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenan dengan larangan atau perintah.

3. Penggelapan

Penggelapan diatur dalam pasal 372, pasal 373, pasal 374, dan pasal 375 KUHP. Pasal 376 KUHP mengenai penggelapan antar keluarga, diberlakukan sama dengan pasal 367 KUHP mengenai tindak pidana pencurian. Pasal 377 KUHP mengenai pidana tambahan berupa pengumuman putusan Hakim dan pencabutan hak dapat dikenakan bagi penggelapan pasal 372, 374, dan pasal 375 KUHP. Jika pencurian dilakukan secara beroep (profesi), maka hak menjalankan pekerjaan dapat dicabut.

a) Pengertian Penggelapan

Menurut Cleiren, inti delik penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan. Selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu. Batas klasik antara pencurian dan penggelapan adalah pada pencurian ‘mengambil’ barang yang belum ada padanya, sedangkan pada penggelapan barang itu sudah ada dalam kekuasaannya. Delik penggelapan adalah delik dengan berbuat atau delik komisi. Waktu dan tempat terjadinya penggelapan ialah waktu dan tempat dilaksanakannya, kehendak yang sudah nyata.25

25

Andi Hamzah, Delik- delik Tertentu di dalam KUHP, (Sinar Grafika: Jakarta, 2009), halaman 107.


(41)

Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian pasal 362. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus ‘diambilnya’ sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.26

b) Unsur- Unsur Delik Penggelapan

Delik yang tercantum dalam pasal 372 KUHP merupakan delik pokok. Artinya, semua jenis penggelapan harus memenuhi bagian inti delik pasal 372 ditambah bagian inti lain. Pada delik penggelapan ada delik berkualifikasi jika dilakukan sebagai beroep (profesi). Bagian inti yang dimaksud dalam pasal 372 adalah sebagai berikut : sengaja, melawan hukum, memiliki suatu barang, yang seluruhnya atau kepunyaan orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Bagian ini delik sengaja menjadikan delik ini delik dengan berbuat atau delik komisi.

Unsur barang di bawah kekuasaan si pelaku adalah unsur pokok dari penggelapan barang yang membedakan dari tindak- tindak pidana lain mengenai kekayaan orang.27

26

R. Soesilo, Kitab Undang- undang Hukum Pidana serta Komentar- komentarnya mi Pasal, (Politeia: Bogor, 1983), halaman 258.

Ditambahkan lagi bahwa barang harus ada di bawah kekuasaan si pelaku dengan cara lain daripada dengan melakukan kejahatan. Dengan demikian, tergambar bahwa barang itu oleh yang empunya dipercayakan atau dapat dianggap dipercayakan kepada si pelaku.

27

Wirjono Prodjodikoro, Tindak- tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Refika Aditama: Bandung, 2003), halaman 31.


(42)

Adapun pasal yang dikenakan kepada terdakwa dalam kasus yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah pasal 374, yang isinya :

“ Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung dengan pekerjaannya atau jabatanny atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama- lamanya lima tahun”.

Penggelapan yang diatur dalam pasal ini adalah penggelapan khusus (gequalificeerde verduistering). Pasal 374 dan juga pasal 375 masing- masing merumuskan jenis penggelapan barang, dimana tergambar lebih tebal kepercayaan yang dilimpahkan kepada si pelaku. Pasal 374 ini merumuskan tiga macam hubungan antara si pelaku dan yang mempercayakan barangnya, yaitu ke- 1: hubungan buruh- majikan, ke- 2: hubungan berdasar pekerjaan si pelaku sehari- hari, ke- 3: hubungan dimana si pelaku mendapat upah untuk menyimpan barang.28

Adapun unsur dari pasal 374 ini adalah sebagai berikut : (a) Sengaja,

(b) Melawan hukum, (c) Memiliki suatu barang,

(d) Yang seluruhnya atau kepunyaan orang lain,

(e) Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,

(f) Dilakukan karena ada hubungan kerja, atau karena pencariannya, atau karena mendapat upah

Pasal ini biasa disebut dengan penggelapan dengan pemberatan sebagaimana disebut oleh R. Soesilo dalam bukunya

28


(43)

KUHP serta komentar- komentarnya. Adapun pemberatan yang dimaksud adalah :29

(a) Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking) (b) Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep) (c) Karena mendapat upah uang

Delik ini dinamakan delik berkualifikasi, artinya suatu delik yaitu delik penggelapan pasal 372 KUHP sebagai delik pokoknya, dengan ditambah bagian delik lain.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, terhadap judul “ Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum / Onslag van rechtvervolging Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan No. 171/ Pid. B/ 2011/ PN. SMI)” ini, belum pernah ada judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian, penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Adapun judul penelitian yang mendekati dan sudah pernah dilakukan sebelumnya, serta telah ada di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut ini :

1. Skripsi saudara M. Ahmad Sanusi Tarigan, dengan judul: Pelaksanaan Diskresi Kepolisian pada Tingkat Penyidikan terhadap Tindak Pidana Penggelapan di Polres Langkat; dan

2. Skripsi saudara Masber Gani T. Sagala, dengan judul:

Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Penggelapan yang

29


(44)

Dilakukan oleh Anggota TNI ( Studi Putusan Pengadilan Militer II- 10 Semarang No. PUT/ 59-K/ PM II-10/ AL/ VII/ 2010).

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.30

1. Jenis penelitian

Agar suatu penelitian dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan suatu metode penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Penelitian ini adalah penelitian normatif. Dimana penelitian ini merupakan suatu penelitian yang meneliti tentang penerapan undang-undang ke dalam putusan hakim. Dalam hal ini, putusan hakim yang telah ada dianalisis oleh peneliti dengan mengkaitkan dengan norma-norma yang ada yang berkaitan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap suatu perkara pidana. Penelitian ini dikatakan sebagai penelitian normatif karena bahan yang dipakai adalah berasal dari data sekunder.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai

penelitian doctrinal ( doctrinal research ) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku ( law as it is written

30

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2001), halaman 1.


(45)

in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan ( law is decided by the judge through judicial process).31

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena. Penelitian deskriptif sangat berguna untuk mempertegas suatu hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada atau memcoba merumuskan suatu teori yang baru.

Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data tersebut. Oleh karena itu, penelitian deskriptif mungkin saja mengambil bentuk penelitian komparatif, yaitu suatu penelitian yang membandingkan satu fenomena atau gejala dengan fenomena atau gejala lain, atau dalam bentuk studi kuantitatif dengan mengadakan klasifikasi, penilaian, menetapkan standar, dan hubungan kedudukan satu unsur dengan unsur yang lain.

Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara lengkap dan sistematis keadaan objek yang diteliti, yang dalam hal ini adalah meneliti apakah putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap kasus pada Pengadilan negeri Sukabumi ini, apakah sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.

3. Bahan Hukum

31

Amiruddin dan Zainal Abidin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Grafitti Press: Jakarta, 2006), halaman 118.


(46)

Bahan Hukum adalah tempat dimana diperoleh data sesuai dengan jenis data. Sebagaimana umumnya penelitian yuridis normatif dilakukan dengan pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder. Adapun sumber data sekunder ini ada beberapa jenis yaitu :

a) Bahan hukum primer, adalah merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas,32

b) Bahan hukum sekunder, adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil karya ilmiah para sarjana. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku- buku atau literatur yang berkaitan dengan judul yang dibahas.

bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang- undangan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah, Kitab Undang- undang Hukum Pidana, Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan lain yang relevan.

c) Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus.

4. Teknik pengumpulan data

32


(47)

Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber, melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang – undangan, buku – buku, majalah dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

5. Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian.

6. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus (case approach). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.33 Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materil. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, serta segala hal yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Dalam pendekatan kasus, putusan pengadilan merupakan bahan yang digunakan dalam penelitian.34

33

Ibid.

Selanjutnya akan dilihat ketentuan asas dan norma yang berlaku dan terkandung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van

34


(48)

rechtsvervolging) dan mengaitkannya dengan putusan yang dibuat hakim melalui proses pengadilan tentang tindak pidana tersebut yaitu Putusan Pengadilan Negeri Sukabumi Nomor : 171/ Pid. B/ 2011/ PN. SMI.

G. Sistematika Penulisan

Adapun untuk memberikan gambaran mengenai sistematika skripsi, maka berikut ini akan diuraikan sistematika penulisannya, yang terdiri dari bab- bab beserta sub- sub bab yang memudahkan pemahaman terhadap hasil penelitian :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan gambaran awal tentang penelitian, yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan kepustakaan, keaslian penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN

TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA

Bab ini berisikan pembahasan rumusan masalah pertama, yaitu untuk mengetahui apa- apa saja jenis putusan yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan terkhususnya dalam suatu perkara pidana.

BAB III. DASAR PENJATUHKAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA

TUNTUTAN HUKUM/ ONSLAG VAN RECHTSVERVOLGING Bab ini berisikan pembahasan rumusan masalah kedua yaitu mengenai kapan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat dijatuhkan oleh pengadilan terhadap suatu perkara pidana tertentu,


(49)

atau dengan kata lain apa yang menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA

TUNTUTAN HUKUM/ ONSLAG VAN RECHTSVERVOLGING PADA KASUS NO. 171/ Pid.B/ 2011/ PN. SMI

Bab ini berisikan pembahasan rumusan masalah ketiga yaitu mengenai analisis hukum terhadap kasus No. No. 171/ Pid. B/ 2011/ PN. SMI.

BAB V. PENUTUP

Bagian ini berisikan tentang kesimpulan jawaban dari rumusan masalah dan juga saran- saran mengenai masalah yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA

Bagian ini berisikan mengenai referensi yang dipakai dalam penulisan skripsi ini. LAMPIRAN


(50)

37

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk menyelesaikan tugasnya tersebut maka hakim akan memberi atau menjatuhkan suatu keputusan setelah dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Setelah pemeriksaan di muka sidang terhadap para saksi, para ahli, surat- surat dan alat bukti lain serta terdakwa seluruhnya telah dilaksanakan, maka Hakim ketua sidang segera menyatakan pemeriksaan sidang telah selesai. Selanjutnya diberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk mengajukan tuntutannya. Selanjutnya, giliran penasehat hukum untuk mengajukan pembelaannya, dan terhadap pembelaan tersebut penuntut umum dapat mengajukan replik, dan terhadap replik tersebut dapat diberikan tanggapan berupa duplik dari penasehat hukum. setelah acara sebagaimana dikemukakan di atas selesai, maka Hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan bahwa pemeriksaan itu dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan hakin ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dan atau penasehat hukum dengan memberikan alasannya, sebagaimana disebutkan pada pasal 182 ayat (2) KUHAP.

Proses tersebut dilalui dan diselesaikan, kemudian majelis hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan. Musyawarah majelis hakim tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam musyawarah untuk


(51)

menjatuhkan putusan yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan pada persidangan, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua. Setelah masing- masing anggota majelis hakim dari anggota yang termuda sampai yang tertua menyampaikan pendapatnya disertai dengan pertimbangan dan dasarnya, kemudian pendapat terakhir diberikan oleh hakim ketua majelis. Jika setelah musyawarah tidak dihasilkan pemufakatan bulat, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :35

a. Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak;

b. Jika keputusan suara terbanyak tidak berhasil dicapai, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa; c. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan

pertimbangan atau pendapat secara tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dicapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan tersebut, dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Ada kalanya apa yang didakwakan dalam surat dakwaan terbukti, ada kalanya pula apa yang didakwakan memang terbukti namun bukan merupakan tindak pidana, tetapi masuk dalam ruang lingkup perkara perdata atau masuk dalam lingkup tindak pidana aduan, atau bahkan tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali.

35

HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (UMM Press: Malang, 2008), halaman 350.


(52)

Putusan pengadilan adalah titik puncak atau akhir atau kulminasi dari seluruh rangkaian hukum acara.36

Bertitik tolak dari kemungkinan hasil penilaian majelis hakim, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara dapat bermacam- macam. Apabila berdasarkan hasil musyawarah majelis hakim sebagaimana diatur dalam pasal 182 ayat (6) KUHAP, pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas, jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas, sedangkan apabila perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, maka terdakwa akan dijatuhi pidana. Berikut ini akan diuraikan mengenai masing- masing bentuk putusan tersebut.

Betapa banyak waktu, energi, dan biaya telah dihabiskan sejak dari penyelidikan, pemeriksaan penyidikan, perumusan surat dakwaan, rangkaian persidangan yang lama, meletihkan, dan sungguh menguras tenaga, semuanya itu akan berakhir pada tahap pembacaan putusan pengadilan.

A. Putusan Bebas/ Vrijspraak

Salah satu bentuk putusan pengadilan pidana adalah putusan bebas atau

vrijspraak. Menurut Wirjono Projodikoro, vrijspraak diterjemahkan dengan

pembebasan terdakwa dan ada pula yang menerjemahkan dengan pembebasan murni.37

36

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, (Ghalia Indonesia: Bogor, 2009), halaman 223.

Putusan bebas ini merupakan salah satu dari beberapa macam putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan

37

Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, (Ghalia Indonesia: Jakarta, 1985), halaman 270.


(53)

meyakinkan. Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa ‘tidak dipidana’.

Putusan bebas ini dijatuhkan jika Hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak- tidaknya bukan terdakwa yang melakukannya. Dengan putusan bebas (vijspraak) ini, selesailah perkara, dan tertuduh dapat segera dilepaskan dari tahanan, kecuali bila ia harus berhadapan dengan tuduhan lain. Dalam putusan bebas yang dimaksudkan dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim berdasarkan pembuktian yang ada di persidangan.

Dasar hukum dari bentuk putusan bebas ini adalah pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi,

“ Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa apabila peristiwa- peristiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan seluruhnya atau sebagian dianggap tidak terbukti oleh hakim, maka terdakwa harus dibebaskan. Jadi menurut ketentuan pasal 191 ayat (1) ini, putusan bebas dijatuhkan kepada terdakwa apabila:38

a) Dari hasil pemeriksaan “di sidang” pengadilan;

b) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan.

38

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Sinar Grafika: Jakarta, 2000), halaman 347.


(54)

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia, pemakaian kata ‘kesalahan’ disini kurang tepat karena jika kesalahan tidak terbukti, maka putusan mestinya lepas dari segala tuntutan hukum. jika perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi terdakwa tidak bersalah karena tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf. Jadi lebih tepat dipakai kata ‘perbuatan’ disitu, sehingga berbunyi : “perbuatan yang didakwakan tidak terbukti ...” .

Putusan bebas adalah ketika kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa diputus bebas. Itu berarti bahwa perbuatan itu benar ada, tetapi yang menjadi masalah adalah alat- alat bukti perkara tidak memenuhi syarat yang sah dan meyakinkan. Letak soal itu bisa dipahami ada di dalam rangkaian proses penyelidikan, penyidikan, dakwaan, dan penuntutan yang tidak berhasil menemukan dan menyampaikan alat- alat bukti yang sempurna.39

Pengadilan menyimpulkan tidak terdapat bukti- bukti yang sah dan meyakinkan, bahwa terdakwalah yang melakukan perbuatan yang didakwakan itu, seperti apa yang tercantum pada pasal 183 KUHAP, sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Secara yuridis, seorang terdakwa diputus bebas apabila majelis hakim yang bersangkutan, menilai:40

1. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang- undang secara negatif; 2. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.

39

Nikolas Simanjuntak, Op.Cit., halaman 224. 40


(55)

Maksud dari poin pertama adalah bahwa berdasarkan pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti tersebut tidak diyakini oleh hakim. Sedangkan menurut poin kedua, kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedangkan menurut ketentuan pasal 183 KUHAP sebagaimana telah disebutkan di atas, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah. Jadi jika dihubungkan dengan pasal 191 ayat (1) tersebut, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim.41

1. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke persdiangan tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat buktiyang diajukan, tidak cukup atau tidak memdai membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap terdakwa;

2. Secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas minimum pembuktian;

3. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian yang demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut pasal 183 tersebut, yang mengajarkan pembuktian menurut undang- undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian yang seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan, membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.

B. Putusan Pemidanaan/ Veroordeling

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Van Bemmelen merumuskan sebagai berikut :

41


(56)

“Een veroordeling zal de rechter uitspreken, als hij de overtuiging heeft verkregen, dat de verdachte het the laste gelegde feit heeft begaan en hij

feit en verdachte ook strafbaar acht” (Putusan pemidanaan dijatuhkan

oleh Hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana).42

Bentuk putusan pemidanaan diatur pada pasal 193 KUHAP. Pemidanaan disini memberi arti bahwa terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Pasal 193 ayat (1) KUHAP ini berbunyi :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah cukup terbukti seperti apa yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Berdasarkan pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut di atas bahwa jika kesalahan terdakwa cukup terbukti seperti apa yang didakwakan jaksa di dalam surat dakwaan dan perbuatan terdakwa tersebut terbukti, maka dalam hal ini hakim harus menjatuhkan hukuman/ pidana terhadap diri terdakwa.

Sesuai dengan pasal 193 ayat (1), penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan pada pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang- kurangnya

42


(57)

dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.43

Putusan pemidanaan ini, memerintahkan untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana pada pasal yang didakwakan, karena titik tolak hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan adalah berdasarkan ancaman pidana tersebut. Putusan pemidanaan ini meliputi macam- macam hukuman seperti yang tercantum dalam pasal 10 KUHP, sebagai berikut :

a) Hukuman pokok 1) Hukuman mati; 2) Hukuman penjara; 3) Hukuman kurungan; 4) Hukuman denda b) Hukuman tambahan

1) Pencabutan hak tertentu; 2) Perampasan barang tertentu; 3) Pengumuman keputusan hakim

Status terdakwa juga tentu akan berubah setelah putusan diucapkan, hal ini diatur pada pasal 193 ayat (2) KUHAP, yang pada dasarnya mengatakan bahwa seandainya saat putusan pemidanaan dijatuhkan, terdakwa berada dalam status tidak ditahan, berarti selama atau setelah berjalan beberapa lama persidangan, terdakwa berada dalam status tidak ditahan,sejak penyidikan sampai pemeriksaan persidangan, pengadilan dapat memilih alternatif status yang akan diberikan kepada terdakwa, yaitu memerintahkan terdakwa untuk tetap berada dalam status

43


(1)

pertama, kecuali putusan bebas, dengan perkataan lain, putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat diajukan upaya hukum banding.

3. Penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van

rechtsvervolging) oleh hakim dalam putusan No. 171/ Pid. B/ 2011/ PN.

SMI sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam KUHAP. Keputusan yang demikian itu kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, padahal perbuatannya sudah demikian jelas memenuhi unsur- unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan padanya secara meyakinkan. Hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dengan alasan bahwa perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan lingkungan hukum pidana, namun lingkungan hukum administrasi, karena didasarkan pada keterangan salah seorang saksi dalam persidangan. Padahal apa yang dimaksudkan saksi tersebut adalah bukan menyangkut perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, melainkan mengenai pelanggaran yang dilakukan terdakwa terhadap peraturan PT. Arta Boga Cemerlang yaitu ‘tidak bisa bekerja dalam dua tempat’.

B. Saran

Melalui penulisan skripsi ini, saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut ini :

1. Hendaknya dalam menjatuhkan keputusan terhadap suatu perkara, hakim selalu berpegangan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar penjatuhan putusan dengan disandingkan dengan keyakinan dan hati nuraninya, karena hakim diberikan kedudukan dan kekuasaan yang


(2)

mandiri, terlepas dari campur tangan pemerintah. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena semua orang mengaharapkan dapat ditetapkannya hukum secara tepat, sebagaimana ungkapan fiat justitia et

pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Oleh

karena pentingnya penegakan hukum ini, Hakim sebagai pembuat keputusan diberi kewenangan untuk menemukan hukum/ rechtsvinding ketika undang- undang tidak lengkap atau tidak jelas. Selain itu dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara. Dan hakim juga harus mementingkan fakta atau peristiwa yang terjadi, dibandingkan hukumnya. 2. Hendaknya mengenai alasan- alasan dijatuhkannya putusan lepas dari

segala tuntutan hukum sebagaimana disebutkan dalam KUHAP dan KUHP lebih dipertegas lagi apa- apa saja kualifikasinya. Terutama mengenai kategori perbuatan- perbuatan yang terbukti sesuai dengan pasal yang didakwakan, tetapi ternyata dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana. Hal ini sudah dimuat dalam RUU KUHAP dan Konsep KUHP baru, hanya saja sampai saat ini belum diberlakukan. Oleh karena itu alangkah lebih baik apabila RUU KUHAP dan Konsep KUHP baru sebagai perbaharuan dari KUHAP dan KUHP segera dirampungkan dan diundangkan.

3. Hendaknya dalam memutus perkara dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) hakim benar- benar mempertimbangkan semua fakta- fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan sehingga putusan yang dihasilkan mampu memenuhi rasa


(3)

keadilan bagi semua pihak khususnya masyarakat. Karena seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa yang paling utama bagi hakim dalam mengadili suatu perkara adalah fakta atau peristiwanya, dan bukan hukumnya, karena peraturan hukum hanyalah alat sedangkan yang menjadi penentu adalah persitiwanya. Kemudian dalam menjatuhkan keputusannya hakim harus meyakinkan pihak lain dengan alasan dan petimbangan bahwa putusan tersebut tepat, termasuk masyarakat. Hakim harus mempertanggungjawabkan keputusannya kepada masyarakat dengan melengkapi alasan- alasan. Putusan hakim haruslah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perasaan keadilan dalam masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amin, S. M. 2008. Hukum Acara Pengadilan Negeri.Sinar Grafika: Jakarta. Amiruddin, Zainal Abidin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Kencana:

Jakarta.

Anwar, Yesmil., Adang. 2008. Pembaruaan Hukum Pidana, Reformasi Hukum

Pidana. Grasindo: Jakarta.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Raja Grafindo: Jakarta.

Ediwarman. 2014. Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi. Genta Publishing: Medan.

Ekaputra, Mohammad. 2013. Dasar- dasar Hukum Pidana. USU Press: Medan. Hamdan, H. M.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta. ____________. 2009. Delik- delik Tertentu di dalam KUHP. Sinar Grafika:

Jakarta.

Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika: Jakarta.

Hiariej, Eddy O.S. 2009. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum

Pidana. Erlangga: Jakarta.

Huda, Chairul.

Kamil, Ahmad. 2012. Filsafat Kebebasan Hakim. Kencana: Jakarta.

Kansil, C. S. T. 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

Kejaksaan Republik Indonesia. 1985. Peristilahan Hukum dalam Praktek. Jakarta. Kuffal, H. M. A. 2008. Penerapan KKUHAP dalam Praktek Hukum. UMN Press:

Malang.

Marpaung, Leden. 2008. Asas Teori Praktek Hukum Pidana. Sinar Grafika: Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Grafitti Press: Jakarta.


(5)

Muis, Abdul. 1990. Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum. FH USU: Medan.

Prakoso, Djoko. 1985. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1970. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur: Bandung.

___________________. 2003. Asas- asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama: Bandung.

___________________. 2003. Tindak- tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama: Bandung.

Rahayu, Yusti Probowati. 2005. Di balik Putusan Hakim. Citramedia: Surabaya. Rivai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif. Sinar Grafika: Jakarta.

Sasangka, Hari. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Mandar Maju: Bandung.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1975. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka

Pembangunan di Indonesia. Universitas Indonesia: Jakarta.

_______________, Sri Mahmuji. 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu

Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Supramono, Gatot. 1991. Surat Dakwaan dn Putusan Hakim yang Batal Demi

Hukum. Djambatan: Jakarta.

B. Peraturan perundang- undangan

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.


(6)

Surat Edaran Jaksa Agung No. SE- 013/ A/ JA/ 12/ 2011 Tentang Pedoman Penuntutan Pidana Umum.

Rancangan Undang- Undang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Konsep Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Baru.

D. Website


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

8 132 131

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

1 55 94

Analisis Kriminologi Dan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Mobil Rental (Analisis 4 Putusan Hakim Pengadilan Negeri)

13 165 94

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Analisis terhadap Penerapan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Pengadilan...

0 48 5

Analisis Yuridis Normatif Terhadap Putusan Hakim Nomor: 582/Pid.B/2013/PN.Mlg Dalam Perkara Tindak Pidana Perjudian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 582/Pid.B/2013/PN.Mlg)

1 8 31

BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA - Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

0 0 36

Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag Van Rechtsvervolging) Terhadap Tindak Pidana Penggelapan (Studi Kasus Putusan Nomor: 171/ Pid. B/ 2011/ Pn. Smi)

0 0 12