Ruh Pancasila dan Sikap Terhadap Radikal

Ruh Pancasila dan Sikap terhadap Radikalisme Agama1
Oleh Mohammad Sahlan2

Radikalisme Agama di Indonesia
Pasca lengsernya Presiden Soeharto yang ditandai dengan berawalnya era reformasi Indonesia,
rakyat Indonesia menghirup angin segar atas kebebasan berpendapat. Kabar baik ini
dilegitimasikan oleh DPR dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sekaligus menunjukkan komitmen
negara sebagai penganut sistem demokrasi (Pancasila). Selain sebagai kabar baik, UU tersebut
juga menjadi sebuah kabar buruk—ibarat dua belah mata pisau yang tajam ke depan dan
belakang—bagi bangsa Indonesia, yakni terancam masuk dan berkembangnya ideologi non
Pancasila dalam masyarakat. Perkembangan ideologi non-pancasila dalam konteks ini dianggap
mengancam negara apabila dipahami secara radikal oleh penganutnya dan bertentangan dengan
Pancasila sebagai dasar negara.
Ancaman fundamentalisme agama tidak hanya sekedar ancaman “penyakit nalar” seseorang
dalam melihat sesuatu, akan tetapi lebih jauh dari itu. Di Jakarta pada tahun 1998 misalnya
didirikan organisasi Laskar Pembela Islam (FPI) yang dipimpin oleh Muhammad Rizieq Shihab
dan aktivitas utamanya adalah melakukan serangan secara fisik ke “tempat-tempat maksiat”
menurut kacamata ideologi mereka. Tindakan main hakim sendiri ini dapat dinilai bahwa mereka
telah melakukan kekerasan tanpa dasar hukum negara atas penegakan syariat Islam 3. Terjadi
peristiwa mengenaskan juga, beberapa bom bunuh diri yang didalangi oleh kelompok JI (Jamaah

Islamiyah)—yang merupakan organisasi fundamentalisme Islam—pada malam Natal tahun 2000
di Bali dan 2002 di hotel Marriot Jakarta memakan korban yang semuanya adalah non muslim 4.
Kasus Bom bunuh diri ini juga terjadi lagi di tahun berikutnya: Bom Bali II 2005, Bom Tentena
2005, Bom Solo 2011 dan 2012, dan Bom Sarinah 2016 silam.
Di tahun 1982 bersamaan masih jayanya orde baru dibentuklah organisasi cabang Hizbut Tahrir
Indonesia—yang merupakan organisasi pengusung sebuah negara dan masyarakat Islam global
atau kekhalifahan universal, di tingkat internasional bernama Hizbut Tahrir Internasional—
namun karena menolak demokrasi, organisasi ini baru dapat beroperasi lebih leluasa pasca
jatuhnya rezim Soeharto5. Di tahun berikutnya (1998) didirikan juga oleh aktivis gerakan
tarbiyah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin Mesir sebuah partai politik baru yang
1 Makalah ini dipresentasikan dalam FGD “Indeks Ketahanan Ideologi Pancasila” yang diselenggarakan oleh Pusat
Studi Pancasila UGM pada 10 Mei 2017.
2 Pengurus aktif Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Sleman.
3 M.C. Ricklef, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang,
hal. 667. Dalam kasus FPI bagaimana penyimpanganya, lihat penjelasan Damayanti, dkk. Radikalisme Agama
sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam. Jurnal Kriminologi Indonesia
Vol. 3, No. 1, Juni 2003. Pdf.
4 Ibid, hlm. 652.
5 Ibid, hlm. 679.


bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan bertujuan untuk memperjuangkan Syariah Islam
dengan jalur demokrasi. Kemudian di beberapa tahun terakhir (2004) partai ini bersifat lebih
sedikit pragmatis agar memperoleh suara dalam pemilu, namun tidak meninggalkan unsur
“Syariat Islam”nya6.
Data terkini terkait ideologi negara yang diinginkan mahasiswa pernah dihasilkan dari penelitian
aktivis Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI) tahun 2006 yang dimuat dalam
Koran Kompas 4 Maret 2008 halaman 2. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa 4,5%
mahasiswa tetap sepakat bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dilanjutkan 80% mahasiswa
berikutnya lebih menyetujui Syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, dan
15,5 % sisanya memilih Sosialisme sebagai acuan hidup. Responden penelitian diambil dari 11
kampus besar di Indonesia, UI, UGM, ITB, IPB, Unair, Unibraw, Unpad, Unhas, Unand, Unsri,
dan Unsyiah7.
Di tahun 2016 kemarin, Saidi dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) juga merilis
hasil survey terhadap mahasiswa di kampus umum. Beberapa temuanya, 25% siswa dan 21%
guru menyatakan Pancasila tidak relevan, sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru menyatakan
setuju dengan penerapan Syariat Islam. Sementara di tahun sebelumnya 4% penduduk Indonesia
menyetujui Negara ISIS, dan 5% diantaranya adalah mahasiswa. Beberapa organisasi yang
disebut menyebarkan ideologi ini adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia), Salafi, dan HTI, dimana mereka juga disebut sebagai penguasa perpolitikan
mahasiswa saat ini.8

Selain dalam tingkat mahasiswa, terdapat penelitian juga yang menyebutkan bahwa radikalisasi
agama telah menjangkit masyarakat sejak dari siswa. Penelitian ini dilakukan oleh Rokhmad
(2012) dengan menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, paham radikal telah merasuk ke
siswa yang memiliki pengetahuan agama minim melalui guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
yang telah berideologi Islam radikal. Kedua, Kegiatan mabit dan daurah dalam organisasi ekstra
Kerohanian Islam (rohis) di sekolah sangat rentan menjadi sasaran kegiatan ideologisasi Islam
radikal khususnya di sekolah umum. Ketiga, dalam buku paket dan LKS bermunculan berbagai
pernyataan yang mendorong siswa untuk membenci atau anti terhadap agama atau bangsa lain. 9
Data-data di atas menunjukkan bagaimana penyebaran dan ancaman radikalisme di Indonesia
saat ini.
Paham radikalisme agama di Indonesia sebenarnya sudah mulai nampak sebelum negara
Indonesia terbentuk. Kebijakan politik etis Kolonial Belanda terhadap masyarakat Hindia
Belanda (Nusantara) memberi kesempatan pada haji-haji pribumi untuk melakukan ibadah haji
ke Mekah. Dengan intensitas yang awalnya minim, kemudian mendekati awal abad 20 menjadi
6 Ibid, hlm, 682-690.
7 Lihat pernyataan Kompas berikut
http://nasional.kompas.com/read/2017/04/28/22095531/.kompas.tidak.pernah.menggelar.survei.soal.ideologi.mahas
iswa diakses pada 04.03 WIB, 08,05,2017.
8 Lihat pernyataan Anas Saidi berikut http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160218193025-12111927/radikalisme-ideologi-menguasai-kampus/ yang diakses pada 05:37 WIB, 08,05,2017.
9 Abu Rokhmad, Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal, Jurnal Walisongo Vol. 20, No.1, Mei

2012, versi Pdf, hlm. 109.

semakin bertambah, banyak orang Nusantara yang juga belajar agama di Mekah. Pada saat itu
kondisi politik di Arab juga sedang mengalami pergolakan, yakni banyak munculnya gerakan
pembaharuan Islam yang ditokohi oleh Al Afghani, Rasyid Rida, dan Muhammad Abduh.
Gerakan ini mengangkat kembali ide pemurnian Islam atau puritanisme—yang secara arti
berdekatan dengan radikalisme Islam—namun konteksnya adalah untuk melawan penjajahan
(Eropa) masa itu. Hasil dari pendidikan orang Nusantara tadi melahirkan tokoh seperti Ahmad
Dahlan (Muhamadiyah), Hamka, Tahir Tamaluddin, Surkati (Persis) dan beberapa tokoh lainya,
yang kemudian menjadi tokoh pembaharu Islam (modernisme Islam) yang berbeda dengan Islam
tradisional.10
Demikian juga konteks sejarah muncul wacana radikalisme/fundamentalisme Islam yang
kemudian dicap teroris—selain dari runtuhnya orde baru jika di Indonesia— oleh Barat adalah
paska peristiwa ditabraknya WTC pada 11 September 2001 oleh milisi Taliban. Peristiwa ini
memberikan sebuah pukulan besar bagi Amerika, karena menewaskan banyak warganya. Atas
dasar ini, mereka mencap Islam sebagai teroris. Pelabelan ini, bahkan tidak hanya ditujukan pada
kaum fundamental Islam, tetapi semua umat Islam di dunia. Ketegangan ini juga mengakibatkan
wacana dunia internasional tentang radikalisme agama (Islam) dan terorisme menjadi perhatian
utama di abad 21. Hubungan antara Amerika dengan fundamentalis Taliban awalnya terjadi
karena misi penguasaan minyak di Asia Tengah oleh Amerika. Meskipun akhirnya Taliban

membelot dan malah menyerang WTC. Peristiwa ini dapat dilihat bahwa berkembangnya paham
radikal berkaitan erat juga dengan geopolitik-ekonomi dunia.11 Sehingga tidak menutup
kemungkinan juga dengan di Indonesia, bahwa gerakan radikalisme Islam juga memiliki
keterkaitan yang sama dengan ekonomi-politik yang ada di Indonesia sendiri maupun di dunia.

Bahaya Radikalisme Agama terhadap Ketahanan Pancasila
Sebelum lebih jauh membahas radikalisasi tentunya penting diterangkan istilah radikalisasi
secara singkat terlebih dahulu. Menurut Afif Muhammad, radikal berasal dari kata radic yang
berarti akar, dan radikal sendiri adalah sesuatu yang mendasar atau hingga sampai ke akarakarnya. Penyusunan predikat “radikal” dapat dikenakan pada pemikiran, yang kemudian ada
istilah “pemikiran radikal”, dapat juga pada gerakan, yang kemudian disebut “gerakan radikal”. 12
Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai (a) fundamental, mendasar, primer,
esensial, kardinal, vital, drastis; (b) ekstrim, fanatik, keras, militant, revolusioner; (c) liberal,
maju, progresif, reformis, terbuka; (d) (kaum, orang) ekstrimis, reaksioner, revolusioner. 13
Dengan demikian radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau aliran keras yang ingin
melakukan sebuah perubahan sosial atau politik dengan cara cepat, drastis, keras, dan ekstrem.
10 Untuk melihat konteks sejarah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia lihat Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern, hlm. 225-260.
11 Tentang bagaimana Amerika sebagai dalang dalam pembentukan diskursus Terorisme lihat Ahmad Baso, Islam
Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, 2016, hlm. 15-25.
12 Damayanti, dkk. Radikalisme Agama sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front

Pembela Islam. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3, No. 1, Juni 2003, hlm. 45-46.
13 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, 2006, hlm. 501.

Dalam konteks radikalisme Islam, adalah upaya orang atau sekelompok orang Islam tertentu
yang ingin menerapkan ideologi (Syariat Islam) dengan cara cepat, keras, dan ekstrem tanpa
melihat atau menerima ide-ide lain dengan berdalih agama. Hal ini bisa menjadi bencana besar
bagi ketentraman manusia, jika ditilik kembali tentang definisi kebenaran menurut kelompok
radikal. Pemahaman kebenaran dalam agama adalah berasal dari Tuhan. Sedangkan firman
Tuhan ada dalam kitab suci. Kemudian, apabila kitab suci mempunyai beberapa tafsir yang
berbeda, maka bagi radikalisme agama, paham kelompoknya-lah yang dianggap paling benar.
Dengan demikian, jikalau terdapat beberapa kelompok orang yang berpaham agama secara
radikal, kemungkinan berikutnya adalah terjadi sebuah clash atau benturan fisik yang
mengakibatkan kekerasan dan perang saudara. Hal ini akan mengakibatkan zaman jahiliah
terulang kembali oleh peperangan dan pembunuhan.
Dari pemaparan fakta-fakta radikalisme di Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana bangsa
Indonesia telah mengalami ancaman besar dari sisi pemuda, yang digadang-gadang sebagai
“tulang punggung bangsa”. Merebaknya fenomena radikalisasi Islam di kalangan pemuda
terutama terjadi di kampus-kampus besar merupakan sebuah kecolongan besar bagi masa depan
bangsa, di mana mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan. Jika hal ini terus terjadi
kemungkinan besar Pancasila sebagai Philosophische Grondslag atau Dasar Negara akan segera

tergantikan oleh Syariat Islam atau Khilafah melalui pemimpin-pemimpin yang berpaham
fundamental. Dan kemungkinan buruk selanjutnya sesuai premis awal tentang radikalisme,
Indonesia akan mengalami beberapa peperangan, benturan fisik, dan pembunuhan antar agama
yang ada. Hal ini bisa terjadi karena kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, banyak agama
juga aliranya.

Pentingnya Semangat Pancasila sebagai Kontinuitas Pembangunan Bangsa
Seorang ahli sosial Indonesia, Ignas Kleden menyatakan bahwa kebudayaan adalah dialektika
antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan
disintegrasi, antara tradisi dan reformasi, yang dengan kata lain kedua hal tersebut akan selalu
diperlukan. Misalkan jika tanpa tradisi atau integrasi, suatu kebudayaan akan menjadi tanpa
identitas, sedangkan tanpa suatu reformasi atau disintegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan
kemungkinan berkembang dalam merespon jaman dan paksaan perubahan sosial.14
Sebuah negara tidak akan menjadi lebih baik, lebih matang, dan lebih kuat dalam hal kebudayaan
apabila setiap hasil kebudayaan yang ada atau kebudayaan masa lalu selalu diganti dengan
sebuah kebudayaan baru dengan terus menerus. Kondisi ini telah dan masih terjadi di Indonesia
seperti yang diungkapkan oleh Kleden, mengapa sejarah kebudayaan Indonesia modern pada
hakikatnya adalah sejarah tanpa kontinuitas. Penyebabnya adalah setiap generasi selalu berusaha
membangun sebuah tradisi baru dari nol (awal) dan bukan melakukan dilektika terhadap tradisi
sebelumnya.15 Sikap (1) penolakan terhadap tradisi kebudayaan yang ada atau masa lalu atas

dasar semangat modern dapat dilihat dari beberapa kasus misalnya, sering dikutipkanya
14 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, hlm. 214.
15 Ibid, hlm. 245.

pemikiran tokoh ekonom Barat daripada Hatta, sering dikutipnya pemikiran nasionalisme ahli
Barat daripada Soekarno, sering dikutipnya pemikiran Islam trans nasional daripada kiai-kiai
yang ada di Indonesia, sering dikutipnya pemikiran kebudayaan Barat daripada (misalnya)
pemikiran Ignas Kleden ini, dan masih banyak kasus-kasus penolakan tradisi lainya.
Sikap (2) konservatif alias selalu mempertahankan tradisi kebudayaan masa lalu, dapat dilihat
dalam masyarakat yang tidak mau menerima semangat modern: materialis, rasional, dan
individual yang memang perlu diserap di era saat ini. Konservatif terhadap tradisi akan berakibat
juga dalam tersingkirnya masyarakat tertentu dari pertarungan global. Yang menjadi sebuah
catatan dan poin penting adalah sikap masyarakat Indonesia seharusnya bisa berada dalam posisi
moderat, dengan melanjutkan tradisi yang sudah ada, melakukan kritik terhadapnya, juga
berinovasi.
Ditarik dalam konteks tema ini, Pancasila adalah sebuah hasil pemikiran tokoh pendiri Indonesia
dalam merumuskan dasar negara dan pandangan hidup yang juga bisa disebut hasil kebudayaan
bangsa Indonesia. Lebih dari itu Pancasila diciptakan sebagai dasar negara yang dimaksud
sebagai fondasi negara yang kuat (ideologi), agar rumah kebangsaan yang bernama negara
Indonesia dapat kokoh dan abadi, serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia. Kemudian dalam membangun negara dan peradaban tanpa didasari
dengan semangat transendental (ketuhanan) dan prinsip-prinsip ruhiah yang kuat adalah ibarat
membangun bangunan istana yang rapuh.16 Sehingga Pancasila merupakan sesuatu yang jelas
pokok dan sakral, tidak bisa diubah dalam kondisi apapun. Oleh sebab itu upaya mengganti
sebuah dasar negara dengan dasar yang lain sama saja menghancurkan negara Indonesia.
Dari sisi sejarah, pembentukan Pancasila melalui perdebatan cukup menegangkan. Perumusan
Pancasila mengalami beberapa ketegangan antara tokoh dari umat muslim dan non muslim
dalam menetapkan sila pertama Piagam Jakarta (cikal bakal Pancasila), yakni “ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Akhirnya dengan usaha keras
persuasi Soekarno terhadap perwakilan tokoh Islam di detik-detik awal kemerdekaan Indonesia,
tujuh kata di belakang ketuhanan dihapus demi persatuan dan kesatuan mengingat Indonesia baru
merdeka.17 Usaha ini juga jelas menggarisbawahi bahwa Indonesia bukan hanya terdiri dari
warga muslim—meskipun Islam adalah mayoritas—bahwa ada penganut agama-agama lain yang
hidup di Indonesia. Mereka semua sebagai warga negara harus memiliki hak yang sama. Upaya
untuk mengganti Pancasila dengan Khilafah misalnya, adalah upaya untuk mendiskreditkan
pemeluk agama lain atau kelompok lain dalam negara baru yang dicita-citakan oleh kelompok
tertentu.
Kembali lagi pada gagasan yang diangkat oleh Kleden tentang kontinuitas tradisi, dengan
melakukan kritik terhadap tradisi yang sudah ada, kemudian melakukan reformasi tradisi agar
lebih baru dan maju merupakan sebuah upaya positif dalam urun pembangunan. Konsep ini

memiliki kesamaan dengan usul fiqih yang menjadi doktrin organisasi kegamaan Islam
Nahdlatuh Ulama (NU), al-mukhafadhatu ala-alqadimisshalih wa-alakhdu bil jadidi alaslah yang artinya memelihara yang lama yang baik dan mengadopsi yang baru dan baik.
16 Anas dkk, Pancasila dalam Diskursus: Sejarah, Jalan Tengah, dan Filosofi Bangsa, 2017, hlm. 39.
17 Ibid, hlm. 26.

Konsep “menjaga yang baik” di sini bisa disamakan dengan tetap bertradisi dengan mengkritik
tradisi yang tidak kontekstual tentunya bentuk atau kemasanya saja, dan “mengambil yang lebih
baik” di sini bisa disamakan dengan melakukan upaya perubahan mencari dan menemukan
inovasi baru agar tetap eksis dalam perubahan zaman.
Pemahaman seperti Kleden dan NU tentang kebudayaan di atas dapat menjadi semangat positif
dalam melanjutkan tradisi yang sudah ada (Pancasila). Mestinya dengan melakukan kritik dan
tafsir ulang untuk disesuaikan dengan permasalahan yang ada. Bentuk konkrit sikap ini, misalnya
adalah melanjutkan pemikiran-pemikiran yang telah digagas, semisal Ekonomi Kerakyatan oleh
Hatta, Dawam Raharjo, Mobyarto, dsb; Kebudayaan oleh STA, Kleden, Pram, Rendra,
Ronggowarsito (Jawa) dsb; Pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara, Dr Soetomo, dsb; Filsafat oleh
Suryomentaram (Jawa) dsb; Islam oleh Hasyim Asyari, A. Dahlan, Mustofa Bisri, dsb; dan
bidang-bidang sosial lainya di mana sesuai dengan konteks sosial budaya Indonesia itu sendiri.
Oleh sebab itu, semangat Pancasila menjadi penting sebagai usaha warga negara dalam
memajukan bangsa dan menolak gerakan radikalisme agama. Gerakan radikalisme dalam
beberapa kasus juga ingin menyuarakan permasalahan sosial bangsa yang sudah sangat pelik.

Lalu, mereka memberi solusi dengan ikut bergabung dalam gerakanya. Dan puncaknya adalah
penerapan khilafah atau syariat Islam di dalam negara sebagai solusi atas tidak becusnya sistem
demokrasi dan ideologi Pancasila. Namun, apakah sistem baru yang ditawarkan sudah teruji atau
diterapkan dengan hasil sebuah kemakmuran bangsa? Tentunya, biaya “peperangan antar suku,
agama, aliran” belum juga kegagalan yang diakibatkan, kepentingan global yang mendompleng
dibaliknya, lebih baik dialihkan pada usaha kongkrit dalam mengembangkan tradisi yang sudah
ada. Terakhir, sebagai negara yang sudah berusia 72 tahun, Indonesia haruslah sudah mandiri di
segala bidang. Untuk itu, berusaha berdikari dengan Pancasila adalah suatu keharusan.

“Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri musti merumuskan keadaan” (Rendra, Sajak Sebatang Lisong).

Referensi:
Buku.
Anas, dkk. 2017. Pancasila dalam Diskursus: Sejarah, Jalan Tengah, dan Filosofi Bangsa.
Yogyakarta: Ifada Publishing.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Ricklefs, M.C. 2013. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari
1930 sampai Sekarang. Jakarta: Serambi.
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Baso, Ahmad. 2016. Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan
Liberalisme. Tangerang: Pustaka Afid.

Ricklefs, MC. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jurnal.
Abu Rokhmad, Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal, Jurnal Walisongo
Vol. 20, No.1, Mei 2012, versi Pdf
Damayanti, dkk. Radikalisme Agama sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi
Kasus Front Pembela Islam. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 3, No. 1, Juni 2003. Pdf.

Internet.
http://nasional.kompas.com/read/2017/04/28/22095531/.kompas.tidak.pernah.menggelar.survei.
soal.ideologi.mahasiswa diakses pada 04.03 WIB, 08,05,2017.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160218193025-12-111927/radikalisme-ideologimenguasai-kampus/ diakses pada 05.47 WIB,08,05,2017.