Antropologi Budaya BAB 4 6 Sedikit Ringk

BAB 4:
INTEGRASI KEBUDAYAAN
Soal: bagaimana isi kebudayaan tersusun menjadi suatu sistem integral. Inilah integrasi
kebudayaan.
Integrasi kebudayaan (cultural integration) itu terjadi atas dua cara, yaitu oleh `fungsi' dan oleh
`konfigurasi'. 'Fungsi' berhubungan langsung - dengan integrasi susunannya , (structural
integration), sedangkan 'konfigurasi' dengan integrasi psikologisnya (psychological integration).
Yang disebut pertama merupakan sistem sosial atau kompleks aktivitas - `intermediate level of
culture', sedangkan yang kedua merupakan kompleks ide-ide -`the third level of culture'.'
Sementara 'lapisan luar' (kebudayaan fisik, benda-benda) yang kelihatan dalam tiga lapisan
lingkaran konsentris kita sebut `the surface level of culture'.` Sedangkan lapisan terdalam dikenal
sebagai `sistem gagasan ideologis' atau 'nilai-nilai budaya' (cultural values).

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Unsur-unsur pokok kebudayaan universal

sistem pengetahuan
sistem religi
Kesenian
bahasa
sistem peralatan hidup dan teknologi 6.sistem ekonomi
organisasi sosial

4.1. INTEGRASI STRUKTURAL
Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain sebagai suatu organisme hidup.
Mereka tersusun menurut fungsi, mulai dari tingkatan-tingkatan yang terkecil dan sederhana
sampai yang paling kompleks.
Menurut R. Linton, kesatuan suatu kebudayaan terdiri atas empat `tahap' (pranata) struktural.
Setiap kebudayaan terbagi atas lembaga (institutions, cultural activities), yang sifatnya umum
(universal). Tiap lembaga terbagi atas kompleks (complexes). Tiap kompleks terdiri atas traits dan
traits terdiri atas bagian-bagian (items). Semakin kecil unsur kebudayaan itu, semakin khusus dan
lokal sifatnya.
Complex budaya: kumpulan beberapa traits, yang saling berkaitan berdasarkan fungsi yang sama.
Institution terdiri dari beberapa complex budaya yang bertalian sedemikian rupa sehingga bersama
memenuhi suatu kebutuhan dasar manusia.
Item: bagian-bagian lebih kecil dari trait, yang setidaknya ada arti budayanya di luar trait-nya

sebagai suatu barang yang mempunyai fungsi budaya sendiri.
Trait: unsur terkecil dari cara hidup, yang teratur secara fungsional dan digarap sebagai sesuatu
yang independen. Maka sifat esensialnya: bagian terkecil yang teratur secara fungsional terhadap
bagian-bagian yang lain, yang berdiri sendiri (mempunyai arti sendiri), meskipun ia hanyalah
sebagian dari suatu kesatuan yang lebih besar.
1

R Linton (1940) menganjurkan pembedaan antara rupa (form), makna (meaning), faedah (use),
dan fungsi (function) dalam arti sempit yang menyangkut unsur-unsur budaya itu.
1. Rupa (form) ialah bentuk, besarnya, cara membuatnya atau memakainya. Pendek kata
yang membuat unsur ini menjadi nyata atau kelihatan. Misalnya: bahan, bentuk, dan
ukuran parang; irama lagu; cara memukul gong; gerak-gerik tarian.
2. Makna (meaning) ialah keseluruhan asosiasi subjektif yang tergabung dengan bentuk
(form). Masing-masing benda atau unsur memiliki makna dan nilai khusus dalam
kebudayaan tertentu. Jadi, 'makna' dapat dikatakan sebagai sesuatu yang tak kelihatan.
3. Faedah (use) adalah tujuan atau maksud khusus dalam pemakaian barang budaya.
Misalnya, api, air, parang, kerbau, tarian, dll.
4. Fungsi (function dalam arti sempit) menyatakan hubungan yang jauh lebih luas antara
masing¬-masing 'rupa' kebudayaan daripada nyata dari faedahnya saja. Oleh sebab itu,
fungsi memperlihatkan hubungan struktural secara jauh lebih luas dan lengkap - status

quo!

Fungsionalisme
'Fungsionalisme' adalah aliran metodologis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang timbul pada
tahun 1920-an. Latar belakang timbulnya ialah popularitas Gestalt psychologie, yang bertujuan
untuk mendapatkan pandangan universal dan struktural tentang manusia.
Integrasi fungsional antara berbagai upacara agama dan mitologi mempunyai efek pada struktur
hubungan antar warga dalam komunitas setempat - lebih bersifat struktural. Untuk menyatakan
efek dari suatu keyakinan, adat atau 'pranata' kepada solidaritas sosial dalam masyarakat,
Radcliffe-Brown memakai istilah `fungsi sosial' - "the social function of the ceremonial customs
of the Andaman Islanders is to transmit from one generation to another the emotional dispositions
on which the society (as it is constituted) depends for its existence". Koentjaraningrat
menguraikan hal-hal berikut:
1) agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa
para warganya yang -merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
2) tiap unsur dalam sistem sosia: dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian
mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, m enjadi pokok orientasi dari sentimen
tersebut;
3) sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat

pengaruh hidup masyarakatnya;
4) adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-ser_timen itu dapat
diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saat-saat tertentu;
5) ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas sentimen itu dalam jiwa warga
masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi
berikutnya.
6) Mengamati penjelasan di atas, kita melihat adanva persamaan dan sedikit perbedaan
antara Radcliffe-Brown dengan Malinowski dalam memahami `fungsi'. Keduanya
melihat `fungsi' sebagai melayani suatu 'tujuan'. Perbedaannya:
2

Fungsi
menurut
Malinowski:
the part which
is played by
any factor of
a
culture
within

the
general
scheme.
Fungsi menurut Radcliffe-Brown: [the function of any recurrent activity ...] is the part it
plays in the social life as a whole and therefore the contribution it makes to the maintenance of the
structural continuity.
Menurut Malinowski, berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat gunanya
untuk memuaskan sejumlah hasrat naluri manusia. Karena itu unsur "kesenian", misalnya,
berfungsi untuk memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur "sistem pengetahuan"
untuk memuaskan hasrat untuk tahu.

4.2. INTEGRASI PSIKOLOGIS
Kebudayaan adalah semacam organisme hidup yang mempunyai bukan hanya alat-alat
yang berfungsi, melainkan juga `jiwa' yang mengarahkan dan mengendalikan fungsifuagsi itu. Para ahli antropologi menyebut `jiwa' atau 'pikiran kolektif ini sebagai
'konfigurasi' yaitu sistem gagasan, norma, aturan, pedoman dll. yang membentuk cara
berpikir dan menentukan tata-kelakuan individu-individu, adat istiadat. Menurut Ruth
Benedict, konfigurasi adalah satu 'ide pokok' saja; menurut M.E. Opler, `konfigurasi'
adalah suatu 'susunan tema-tema’.
4.2.1. Pengertian konfigurasi
Dari semua kemungkinan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan serta untuk

memenuhi kebutuhan dasarnya, setiap masyarakat memilih cara atau jalan pikiran, sikap
dan cara bereaksi tertentu dengan sekaligus membuang cara atau jalan lain. Pilihan ini
selaras dengan ‘jiwa’ kebudayaannya.
Konfigurasi adalah pendapat atau anggapan dasar nilai-¬nilai pokok serta tujuan-tujuan
utama yang menyerap pelbagai segi kebudayaan dan yang dengan itu memersatukannya.
Arah psikologis yang mempersatukan ini disebut oleh ahli-ahli dengan Weltanschaung
atau worldview. Yang jelas, pilihan serta pemakaian suatu istilah pada umumnya
bergantung pada segi pandangan yang mau diutarakan atau sifat/ciri kebudayaan yang
mau ditekankan.
3






Jika 'arah utama' ini dipandang sebagai sikap emosional, maka orang lalu membicarakan
tentang `values, value-attitudes, attitudes, interests'. Nilai-nilai pokok (values) adalah
dorongan emosional yang dasar.
Jika 'arah utama' ini dipandang sebagai pangkal cara berpikir, maka dibicarakanlah tentang

`premises, postulates, assumptions, themes, hypotheses, inner logic'.
Jika 'arah utama' ini dipandang sebagai motif kegiatan atau gerakan, maka dibicarakanlah
tentang `goals, ideals, sanctions, purposes'. Goals atau motif-motif utama perbuatan.

4.2.2. Teori-teori tentang konfigurasi
Pola pola kebudayaan - Ruth Benedict
Menurutnya kebudayaan memiliki suatu karakter distingtif yang sangat besar, seperti individuindividu; ada kebudayaan introvert, paranoid, megalomania. Kebudayaan juga berisi bentuk
gagasan dan tindakan.
Pola-pola yang padat ini diterangkannya sebagai keharusan atau hasil mutlak yang berasal dari
dorongan atau desakan (drives) yang khas bagi kebudayaan itu. Akhirnya, ia mengakui adanya
tingkatan-tingkatan integrasi.
Terminologi yang dipakai Benedict diambilnya dari psikologi. Istilah 'apollonian' dan 'dionysian' yang dipinjam dari Nietzsche - sebagai ide-ide utama, yang saling berlawanan, yang menyerap
seluruh kebudayaan.
 Apollonian berarti kebudayaan yang bercorak kesadaran tinggi akan hubungan dengan
golongannya (group-conscious), konformistik, ritualistik, yang tahu menahan diri dan
berkurban (restrained), cinta damai demi komunitas.
 Dionysian sebaliknya, introvert, individualistik, self-centred, non-konformistik, agresif.

Teori tema-tema - Morris E. Opler
Menurutnya, kebudayaan mempunyai bukan hanya satu tema saja, tetapi beberapa tema yang erat

hubungannya satu sama lain.
Atas hubungan yang erat ini mereka mengarahkan dan mempersatukan segala unsur kebudayaan
menjadi satu keseluruhan.
Kebudayaan tidak mempunyai 'jiwa' yang menyerap semuanya, tetapi ada aturan atau kumpulan
yang teratur antara premises, values, and goals (anggapan-anggapan, nilai-nilai, dan tujuan atau
cita-cita) yang paling bertalian dengan anggapa.: dasar filsafat yang kurang lebih tetap. Premises,
values, dan goals pada umumnya tersembunyi, tidak nyata, oleh sebab itu harus dikupas, dipelajari
dan dibandingkan ' terus-menerus.

4.3. KEBUDAYAAN FISIK DAN SISTEM GAGASAN IDEOLOGIS
Artifacts atau 'kebudayaan fisik' meliputi semua benda hasil karya manusia. Contoh: bangunan,
benda-benda bergerak - semua hasil karya manusia yang bisa diindrai langsung.
Cultural values atau 'sistem gagasan ideologis' (lapisan terdalam dalam lingkaran konsentris)
merupakan gagasan-gagasan yang telah dipelajari manusia sejak usia dini - dan karena itu suka
diubah.

4.4. TINGKAT-TINGKAT INTEGRASI
4

Derajat kesempurnaan atau integrasi suatu kebudayaan bisa berbeda-beda. Ada kebudayaan yang lebih solid

dalam kesatuannya daripada yang lain; artinya, ada tingkat-tingkat 'padu' atau `longgarnya kesatuan itu.

4.4.1. Patokan untuk memastikan tingkat integrasi
Tidak satu kebudayaan pun yang terintegrasi secara sempurna. Di lain pihak, ada pula kebudayaan
yang mengalami disintegrasi dan disorganisasi.
Suatu kebudayaan disebut terintegrasi pada tingkat tertentu dilihat dari sudut isi, fungsi, dan tematemanya yang berkaitan erat dan seimbang.

1) Perkaitan unsur-unsurnya (relatedness)
Relatedness berarti pertalian semua traits, complexes, dan institutions kebudayaan
menurut fungsi dan logikanya yang khas. Ini berarti unsur-unsurnya saling bergantung
satu sama lain.
2) Keteguhan (consistency)
Perkaitan bagian-bagian serta hubungan fungsional saja belum menjelaskan bahwa
semuanya bekerja dengan baik dan mudah. Fungsi-fungsi dan tema-tema harus
tersambung teguh dan harmonis, artinya, semakin besar suatu kebudayaan terintegrasi,
semakin baik keselarasan unsur-unsurnya.
3) Ketimbal-balikan (reciprocity)
Dalam suatu kebudayaan yang terintegrasi dengan baik unsur-unsurnya bukan saja
berkaitan dengan teguh tetapi juga saling menyokong secara timbal balik. Ini semacam
simbiose, yaitu hidup bersama dengan saling menyokong.

4.4.2. Sintese atau terintegrasi
Teori tentang kebutuhan membantu melukiskan dengan lebih terang tentang integrasi
kebudayaan.
Ada tiga macam kebutuhan manusia:
1) Kebutuhan primer (biological imperatives)
Kebutuhan ini dimiliki baik oleh manusia maupun oleh hewan. Kebutuhan ini disebut
juga `dorongan/desakan/perintah biologis' (biological imperatives) yang menyangkut halhal seperti:
kebutuhan akan makan,
kebutuhan fisiologis,
kebutuhan melawan iklim,
kebutuhan seksual,
pembiakan,
kesehatan, dll.
2) Kebutuhan sekunder (derived needs)
5

Ini langsung berkaitan dengan sifat sosial manusia. Pada dasarnya manusia dapat hidup
hanya dalam kelompok atau masyarakat. Cara hidup kolektif ini menyebabkan adanya
regangan kekelompokan yang dipuaskan oleh pendidikan, bahasa, perekonomian,
kepemimpiran, kerjasama, undang-undang dan politik. Misalnya: kebutuhan

berorganisasi atau kegiatan bersama, berkomunikasi, kepuasan material, pengawasan
sosial (kolektif), sistem pendidikan, dll.
3) Kebutuhan integratif
Disebut demikian karena kebutuhan ini tidak mutlak harus terpenuhi menurut kodrat
sosio-biologis manusia, tetapi terpancar dari kodratnya sebagai makhluk bermoral dan
berakal budi. Nyata dalam pola-pola magis-religius dan estetik, ilmu pengetahuan dan
filsafat, hiburan akan aneka upacara.
Y Kebutuhan akan penilaian yang benar dan yang salah
Y Kebutuhan menyatakan perasaan kolektif dan rasa kepercayaan
Y Kebutuhan akan hiburan don manyatakan perasaan estetik

BAB 5:
DINAMIKA KEBUDAYAAN
Kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu,
kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah.

5.1. PENGERTIAN DINAMIKA KEBUDAYAAN
Kebudayaan: kesatuan unsur-unsur dalam suatu organisme hidup. Sebagai organisme hidup,
kebudayaan memiliki dua kecenderungan atau kemungkinan:

 untuk tinggal tetap sama (statis, a tendency to persist)
 untuk berubah (dinamis, a tendency to change).
5.1.1. Tempat nerubahan budava
Jika suatu kebudayaan berubah, bukan unsur lahiriah pertama-¬tama yang berubah, melainkan ide
atau gagasannya. Ide itu bertempat di dalam akal budi. Itu berarti bahwa perubahan kebudavaan
pertama-tama adalah perubahan mental. Target perubahan itu pertama¬tama adalah inside the
mind.
Artinya perubahan budaya terjadi menurut aturan dan dasar--dasar psikologis. Hal ini penting
disadari, justru karena kebudayaan itu membentuk tingkah laku masyarakat.
Kebudayaan itu bukan hanya sesuatu yang berhubungan dengan pikiran saja. Ada interaksi antara
kebudayaan dan masyarakat, antara the code for behaviour dengan actual behaviour. Kebudayaan=
kekuatan sentral yang sangat besar mempengaruhi perilaku (bahaviour) seseorang, yang pada
gilirannya mempengaruhi aturan (code).

5.1.2. Konstanta dan perubahan
6

Kebudayaan di satu pihak cenderung untuk tinggal tetap sama (resisten, stagnan, konstan), di
pihak lain cenderung berubah. Dengan memakai istilah psikologi, setiap individu dalam
masyarakat condong untuk memegang teguh beberapa ide, membuang yang lain dan
menggantikannya dengan yang baru.
Konstanta atau ketetapan dan perubahan adalah dua pengertian yang bukan hanya berlawanan
tetapi juga saling berhubungan dan bergantungan.

Untuk memajukan program atau kebijakan pembangunan, ahli-ahli antropologi biasanya
bekerja menurut beberapa tahap:
1.
2.
3.
4.

meneliti, mencari dan menentukan kebutuhan masyarakat,
memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi
masyarakat tersebut,
merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah
ditetapkan,
menilai hasil kerja proyek melalui riset evaluasi.

5.1.3. Variasi perubahan
Sebuah pola kebudayaan selalu berupa lapangan. yang penuh dengan kemungkinan-kernungkinan
dan variasi-variasi.

5.1.4. Macam-macam perubahan
(1) Luasnya perubahan (the extent of change)
Konservatisme umum (general persistence) terjadi kalau suatu masyarakat melawan
perubahan dalam segala bidang. Artinya, kebudayaan tersebut tidak mau menerima apa
pun yang baru dan tinggal tetap dalam keadaan tertentu (sejak dahulu kala). Coba
peihatikan kebijaksn¬kebijakan sekolah, pengertian tentang hygiene, pola-niode pakaian,
dsb.
Konservatisme seksional (sectional persistence) hanya mengenai beberapa aspek
kebudayaan, yakni unsur-unsur yang kuat dan amat sulit berubah. Umpamanya, agama
(kepercayaan) termasuk unsur yang sangat kuat resistensinya dalam setiap kebudayaan.
Konservatisme parsial (partial persistence) ialah suatu bagian khusus dari sectional
persistence mengenai suatu kebiasaan yang jarang berlaku. Artinya, dipakai hanya dalam
situasi tertentu, misalnva tari-tarian sakral atau tari-tarian kraton yang memiliki fungsi
dan tujuannya tertentu.
Peninggalan (survivals) ialah traits atau complexes yang fungsinya berubah dalam waktu
lampau, dan sekarang tinggal sebagai suatu kebiasaan saja yang kurang lebih kosong;
suatu formalitas atau konvensi saja.
(2) Derajat perubahan (the rate of change)
Revolusi ialah perubahan mendadak yang dipercepat oleh kekerasan dan menyangkut seluruh
kebudayaan; semua ide lama dibuang dan diganti dengan ide-ide haru.
7

Mode ialah perubahan sesaat atau sesewaktu yang singkat waktunya dan terjadi pada satu atau
beberapa aspek kehidupan. Contoh: pakaian, rambut, mobil, dll.
Tren jangka panjang (long-term trend) adalah perebahan sesewaktu atau remeh dalam suatu unsur
kebudayaan dan berlangsung dalam jangka waktu yang agak lama.
Arus budaya (cultural drift) ialah suatu proses yang secara evolutif mengubah sifat dan cara hidup,
tetapi dengan tidak memutuskan hubungan dengan masa lanpau atau cara lama. Tetap ada
kontinuitas dalam perubahan itu.
Peristiwa bersejarah (historical accidents) yang bersifat kebetulan adalah perubahan yang
mendadak yang berasal dari dalam atau dari luar kebudayaan.

(3) Objek perubahan (the object of change)
Perubanan dapat terjadi pada salah satu atau ketiga tingkat kebudayaan: dalam 'bentuk', dalam
fungsi, maupun dalam asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai dan drives. Perubahan ini bisa
mempengaruhi trait, complex, institution atau bahkan jangkauan yang lebih luas dalam sikap.
Misalnya, perubahan bentuk bangunan gereja. Perubahan model/bentuk menunjukkan adanya
perubahan gagasan maupun nilai.

(4) Cara perubahan (the manner of change)
Penggantian (substitution) terjadi, kalau satu unsur tradisional dihalau oleh unsur baru.
Penggantian juga bisa sempurna (complete) atau tidak sempurna (partial) tergantung pada
penghapusan sama sekali atau tidak dari suatu unsur lama.
Penghilangan (loss with no replacement) terjadi kalau satu unsur lenyaa tanpa penggantinya.
Seringkali peng.hilanQan adalah akibat suatu reaksi berantai. Penghilangan sering tergabung
dengan 'penghapusan' suatu kepercayaan atau tabu-tabu. Termasuk di sini segala mitos dan
kepercayaan sia-sia. Bdk. misalnya sikap Gereja pra-Konsili terhadap kebudayaan-kebudayaan
daerah!
Penambahan (incrementation with no displacement) terjadi kalau unsur baru diterima dan unsur
lama tetap tinggal.
Fusi (fusion) adalah percampuran unsur baru dengan yang lama atau tradisional yang kurang lebih
sama isi dan bentuknya. Misalnya masuknya kata-kata asing tanpa meniadakan logat asli.

5.2. PROSES PERUBAHAN BUDAYA
Perubahan budaya dapat ditinjau dari tiga aspek, sebagai suatu proses konsekutif
1) Aspek primer atau inovatif: proses-proses yang membangkitkan perubahan atau yang
memberikan dorongan untuk perubahan; originasi, difusi, akulturasi.
2) Aspek sekunder atau integratif proses-proses dalam mana pembaharuan yang dibangkitkan
dalam tahap permulaan diintegrasikan ke dalam keseluruhan kebudayaan; reinterpretasi,
ramifikasi
3) Aspek akibat atau tujuan proses perubanan: keseluruhan arah perubahan budaya dalam korelasi
antara perkembangan dan kemunduran, antara perluasan dan penyederhanaan, antara
pertumbuhan dan penyusutan, antara keseimbangan dan kegoncangan. Korelasi merupakan
dinamika kultural suatu masyarakat untuk mencapai integrasi dan ekuilibrium.
8

5.2.1. Inovasi: Aspek Primer perubahan budava Penciptaan ('origination')
Disebut 'penciptaan' jika perubahan itu muncul dari dalam kebudayaan itu sendiri; karena
kebetulan atau kesengajaan. Proses ini biasa juga disebut 'inovasi'. Inilah yang esensial dalam
penciptaan, yakni timbulnya `dari dalam' masyarakat yang bersangkutan dan bukan sebagai
pinjaman’ dari luar.
Penemuan baru menjadi invention (membuat sesuatu yang baru) bila masyarakat mengakui,
menerima, dan menerapkan penemuan baru itu.
Penciptaan yang baru (invention) selalu terjadi di atas pengalaman sebelumnya, yang menjadi
latarbelakang bagi seluruh kebudayaan.
Dibedakan antara penciptaan dasar dan penciptaan sekunder. Penciptaan dasar (basic
developmental revolutionary): penciptaan yang menjadi dasar atau batu loncatan untuk
penciptaan-penciptaan berikutnya. Peaciptaan sekunder atau modifikatif: aplikasi dan modifikasi
dengan menggunakan sesuatu yang sudah ada.

Difusi (`diffusion')
Lawan 'penciptaan' adalah 'difusi', yakni perubahan yang terjadi oleh pengaruh dari luar
masyarakat. De facto kebanyakan perubahan kebudayaan disebabkan oleh peminjaman dari
kebudayaan lain. Isolasi dan pembatasan diri pada penciptaan sendiri semata-mata menyebabkan
stagnasi. Dari sejarah terbukti bahwa perkembangan kebudayaan sejajar dengan keterbukaan dan
sa1ing mempengaruhi. Isolasi mematikan perkembangan. Maka kebudayaan-kebudayaan, yang
letaknya memungkinkan banyak kontak, berkembang lebih cepat.
Dalam difusi atau penyebaran unsur-unsur kebudayaan, kontak langsung antara kebudayaan yang
menerima dan yang memberi, tidak mutlak perlu.
Ada beberapa jenis difusi:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

stimulus diffusion: terjadi kalau ide (stimulus) dipinjam dan selanjutnya dikerjakan oleh
masyarakat yang meminjam. Pure diffusion: pinjaman langsung hasil produksinya, bukan ide.
Difusi bertahap dan difusi mendadak dibedakan berdasarkan cepat lambatnya penerimaan.
Difusi objektif dan difusi tekhnik. Pada yang pertama, obyek (barangnya) yang dipinjam; pada
yang kedua, `know-how'nya yang dipinjam.
Difusi strategik: pinjaman itu memerlukan persiapan yang agak luas dan mendalam (industrialisasi,
urbanisasi).
Difusi aktif dan pasif: tergantung dari masyarakat yang meminjarrt, aktif atau pasif dalam
penerimaannya.
Difusi dapat mengenai bentuk (rupa), makna, faedah, maupun fungsi. Yang dipinjam dapat berupa
trait saja, atau complex, atau bahkan seluruh institution .

Cara khusus difusi adalah akulturasi atau kontak dan adaptasi budaya. Akulturasi pada dasarnya
merupakan rangkaian kontak antar budaya yang menjadi proses dinamis timbal balik.

Akulturasi
Akulturasi terjadi bila kelompok-¬kelompok individu yang memiliki (berasal dari) kebudayaan
yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif, dengan timbulnya kemudian
perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang
bersangkutan. Di antara variabel-¬variabelnya yang banyak itu termasuk tingkat perbedaan
9

kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi, dan semangat persaudaraan dalam hubungannya; siapa
yang dominan, dan siapa yang tunduk; dan apakah datangnya pengaruh itu timbal balik atau tidak.
Akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil, jika kelompok-kelompok manusia yang
mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan
terus-menerus, yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari
salah satu kelompok atau pada kedua-duanya.
.
Untuk menguraikan apa yang terjadi dalam akulturasi para ahli antropologi menggunakan istilahistilah berikut:
1) Substitusi. di mana unsur atau kompleks unsur-unsur kebudayaan yang ada sebelumnya
diganti oleh yang memenuhi fungsinya, yang melibatkan perubahan struktural yang hanya
kecil sekali.
2) Sinkretisme, di mana unsur-unsur lama bercampur dengan yang baru dan membentuk sebuah
sistem baru, kemungkinan besar dengan perubahan kebudayaan yang berarti. Bandingkan
dengan asimilasi, yaitu dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi
satu kebudayaan baru.
3) Adisi (addition), di mana unsur atau kompleks unsur¬-unsur baru ditambahkan pada yang
lama. Di sini dapat terjadi atau tidak terjadi perubahan struktural. Bandingkan dengan
inkorporasi, yakni sebuah kebudayaan kehilangan otonominya, tetapi tetap mempunyai
identitas sebagai subkultur, seperti kasta, kelas, atau kelompok etnis.
4) Dekulturasi, di mana bagian substansial sebuah kebudayaan mungkin hilang. Bandingkan
dengan kepunahan (ekstinksi), di mana sebuah kebudayaan kehilangan orang-orang yang
menjadi anggotanya (karena mati atau bergabung dengan kebudayaan lain), sehingga
kebudayaan itu tidak berfungsi lagi.
5) Orijinasi (origination), unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang
timbul karena perubahan situasi.
6) Penolakan, di mana perubahan mungkin terjadi begitu cepat, sehingga sejumlah besar orang
tidak dapat menerimanya. Ini menimbulkan pPnolakan sama sekali, pemberontakan, atau
gerakan kebangkitan.

5.2.2. Integrasi: Aspek sekunder perubahan budava
Segala sesuatu yang baru dalam kebudayaan harus diintegrasikan ke dalamnya, karena hal-hal
baru selalu mengakibatkan disharmoni. Proses sekunder (integratif) ini berusaha mencapai
keseimbangan dengan menjadikan hal-hal baru itu bagian integral dari seluruh sistem hidup.
Proses integratif ini tidak selalu berhasil, yang akhirnya bisa mengakibatkan timbulnya
disorganisasi dalam sistem hidup itu.

Penafsiran kembali ('reinterpretation')
Suatu masyarakat akan menolak mengadopsi suatu ide baru yang dirasakan tidak sesuai dengan
sistem budayanya atau memang tidak dibutuhkan. Namun, bila ide baru itu tampaknya diinginkan,
masyarakat yang bersangkutan akan mulai menafsirkannya kembali sehingga ide itu cocok dengan
sistem simbolnya.
1. Reinterpretasi bentuk (pinjaman)
10

Dari ketiga level kebudayaaa, pada umumnya 'bentuk' (level pertama) yang paling sedikit
mengalami modifikasi.
2.

3.

4.

Reinterpretasi makna
Sesuatu yang masuk ke dalam suatu kebudayaan, yaitu 'bentuk' yang telah dikosongkan dari
makna dan perkaitan psikologisnya dalam kebudayaan asalnya, mendapatkan jiwa' baru
dalam ketudayaaa baru.
Reinterpretasi faedah
Ada banyak contoh, misalnya, di beberapa tempat, kertas koran memiliki guna sebagai kertas
rokok; lampu minyak tanah menjadi hiasan; kain panas atau selimut menjadi bahan pakaian
di Peru.
Reinterpretasi fungsi
Tarian hula-hula yang di Hawaii adalah tarian sakral, di Amerika berubah menjadi bagian
dari olahraga.

Percabangan ('ramification')
Unsur-unsur kebudayaan tidak terpisan-pisah tetapi saling berkaitan, maka perubahan dalam satu
unsur biasanya menyebabkan perubahan dalam unsur-unsur lain. Pengaruh yang berkaitan ini
disebut Percabangan (ramification)
Tidak semua pembaruan bercabang berjalan lancar tanpa konflik pribadi dan sosial.

5.2.3. Aspek akibat dari perubahan budava
Perubahan-perubahan budaya selalu membawa dampak yang berwajah ganda: perkembangan
(development) atau kemunduran; perluasan (elaboration) atau pcnyederhanaan; pertumbuhan
(growth) atau penyusutan dan segregasi; keseimbangan (equilibrium) atau kekacauan.

5.3. KONDISI PERUBAHAN BUDAYA
5.3.1. Faktor-faktor umum yang menguntungkan perubahan
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y

Adanya inovator-inovator yang cocok
Sikap sosial yang menguntungkan perubahan
Kebebasan penelitian serta kegiatan
Kekuatan dan efektivitas kontrol sosial
Perubahan sebagai faktor pembaruan
Keselarasan budava sebagai faktor pembaruan
Penggolongan (factionalism)
Bencana sebagai faktor perubahan budaya

5.3.2. Kondisi yang menguntungkan Origination
Motivasi yang wajar
Inventors (pencipta) dan discoverers (penemu) adalah orang-orang yang mempunyai motivasi
tinggi. Penciptaan-penciptaan baru dan penemuan-penemuan memang dapat ditelasuri ke
11

motivasi-motivasi mendalam dan kuat. Motivasi-motivasi itu beragam seperti juga inovasiinovasi.
1) Keinginan yang disadari
Kesadaran bahwa penemuan atau penciptaan baru dapat menguntungkan si pencipta,
sangat mendorongnya untuk membuat atau menemukan sesuatu yang baru; biarpun ini
bukan satu-satunya motif mereka.
2) Keinginan yang tak disadari
Banyak orang mempunyai keinginan atau kebutuhan yang tak mereka sadari, yang
tersimpan dalam bawah sadar. Inilah yang sering mendorong orang untuk menemukan
sesuatu atau secara mendadak memberikan pemecahan kepada salah satu masalah.
Kreativitas
Seniman atau ahli ilmu pengetahuan, tidak mempunyai motif lain dalam kegiatannya
kecuali untuk menciptakan sesuatu atau menemukan kebenaran.
3) Rekonsiliasi ide-ide yang bertentangan
Bisa jadi bahwa usaha untuk memufakatkan ide-ide yang bertentangan untuk menemukan
jalan keluar menjadi motif penciptaan.
4) Halangan dan kesulitan
Ada suatu keyakinan yang mendalam pada manusia bahwa halangan-halangan dan segala
kesulitan itu ada untuk diatasi. Pandangan yang agak umum ini biasanya menjadi sebab
lahirnya banyak penciptaan baru dalam dunia dewasa ini seperti obat-obatan dan berbagai
pengobatan, operasi plastik, organ-organ tubuh artifisial, transplantasi.
5) Quest for relief
Tidak sedikit penciptaan dan penemuan baru merupakan hasil usaha-usaha
untuk
membubuh kebosanan.
6) Tuntutan efisiensi dan efektivitas
Meningkatnya hasil penciptaan dan penemuan baru juga merupakan hasil dari tuntutan
efisiensi dan efektivitas.

Luasnya dan kompleksitas kebudayaan: Semua penciptaan baru dibangun di atas dasar
kebudayaan dan penemuan-penemuan yang sudah ada – bahkan suatu rangkaian penemuanpenemuan yang panjang.
Inventarisasi kultural dan individu-individu: Perubahan budaya adalah sesuatu yang pertamatama terjadi di dalam pikiran orang perseorangan; persoalan ide atau gagasan yang selalu
dikerjakan ulang dan diinterpretrasikan lagi.
Kompetisi: Persaingan, perlombaan, dan konkurensi adalah faktor yang paling kuat mendorong
penciptaan baru; entah terjadi antara partai politik atau agama, bisnis atau apa saja.
Kekurangan dan ketercabutan ('deprivation'): Kekurangan (atau kebutuhan akan sesuatu)
merupakan salah satu hal pokok yang mendorong orang atau kelompok orang untuk berusaha
mencari dan mendapatkan imbangannya.

12

Leisure and peace of mind: tekanan (stress) dapat sangat membatasi jangkauan inovasi
manusia. Sebaliknya, bila ada cukup waktu luang dan ketenangan, pikiran bebas dan relaks, maka
perhatian-perhatian pun berkembang beragam dan tidak dipaksa untuk ditujukan ke satu arah.

5.3.3. Kondisi vany menguntunakan difusi
1. jenis masyarakat yang berkontak (the type of community that is borrowing dan
lending)
Y
Y
Y
Y

2.

Besar-kecilnya masyarakat
Kelompok masyarakat yang terlibat dalam difusi
Mayoritas versus minoritas
Migrasi dan difusi

hubungan antara masyarakat yang berkontak (the type of contact between the two
societies)
Y Intensitas itubungan
Y Hubungan persahabatan - permusuhan
Y Lamanya kontak

3.

motivasi peminjaman (the type of motive for borrowing, motivational factors in
diffusion)
Y Kebutuhan (fell-needs)
Y Prestise (prestige)
Y Minat (interest)
Y Emosi (emotions)
4. kemungkinan untuk difusi (difusibility atau the typeof idea borrowed).
ide-ide yang simple dan yang kompleks
ide-ide yang memiliki nilai kegunaan dan daya tarik
'bentuk' lebih mudah berdifusi
hal-hal yang dipelajari pada usia dini lebih kuat bertahan daripada yang dipelajari dalam
periode berikutnya
Y nilai-nilai yang dipandang sebagai 'hidup dan mati' (basic survival) adalah paling kuat
bertahan
Y kebiasaan alternatif paling mudah berubah
Y pusar kebudayaan dan pusat minat
Y
Y
Y
Y

DINAMIKA KEBUDAYAAN DAN MISI GEREJA
(Louis J. Luzbetak, 1988:300-301)
1.
2.

If the Church is mission, it is by its very nature an agent of culture change. In anthropological and
therefore purely human terms, the work of the establishment of the Kingdom of God is culture
change (p. 300).
Too often, Church policy and strategy are based on tradition and guesswork rather than on analysis
and on the light obtained from scientific research and study. Every industry has its team of
researchers whose sole task is to discover more effective and more efficient ways of manufacturing

13

3.

4.

and marketing the product in question. The Church needs besides "salesmen" also capable
researchers who are deeply interested in applying human light to mission action; not the least
important area of needed research and study is that of culture dynamics (p. 301).
Today as Christians we cannot afford to take a leisurely pace. Radical changes are taking place all
around us, overnight. Christians must somehow keep up with this breakneck speed. Unfortunately,
little is known about revolutionary change and how to deal with it. Today, scholars and experts in
every field, especial:y at Christian universities and research centers, must look beyond their purely
secular responsibilities and help those engaged in mission better understand the meaning of
revolution and what mission in a revolutionary age really entails. Rc-volutionary approaches are
needed in revolutionary times. Willy-nilly, revolutionary apostolic methods are no longer a matter
of choice for the Church. In the mad race forced upon the Christian today, mere is no choice for the
Church, unless, of course, the Chwch does not mind being left behind ir. the dust (p. 301).
The locus of culture change is the individual mind. When culture anges, it is the set of ideas that
individuals share with one another that citanges. Because the commission given the Church is the
"make disciples" of all nations, the Church's task is that of an cducator: its task is to bi ing about a
change in the mind and heart of "disciples". It is "the mind of Christ" (1Cor 2:16) that must be
adopted. To be effective. the approach employed by church workers in bring:nk about any change.
religious or socioeconomic. must be aimed at the mind and heart of people. Human efforts in
mission arc therefore essentially psychological.

BAB VI

SISTEM RELIGI DAN KEPERCAYAAN
Ahli antropologi Hans Daeng menyatakan bahwa dalam agama Katolik Roma ada bagian-bagian yang
disebut `religi'. Kita perlu melihat agama sebagai 'lokus makna'.

6.1. RELIGI DAN KEPERCAYAAN
Teori E.B. Tylor dan J.G. Frazer mengenai asal-usul dan inti dari unsur universal seperti
religi dan kepercayaan bertolak dari jawaban atas dua pertanyaan pokok ini:
1) Mengapa manusia percaya kepada kekuatan-kekuatan yang dianggap lebih tinggi
daripada dirinya (supernatural)?
2) Mengapa manusia melakukan berbagai cara untuk mencari dan membina relasi
dengan kekuatan-kekuatan tersebut?
Howard melukiskan bahwa religiositas manusia umumnya tampak karena dia harus memberi
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti “were did we come from? Why are we as
we are? Why must we die? In response to such questions, humans often turn to religion, the
assumption that there are supernatural forces or beings that provide shape and meaning to the
universe.

C. Geertz Geertz memberikan rumusan:
14

“Agama adalah sistem simbol yang berfungsi menanamkan semangat dan motivasi yang kuat,
mendalam, dan bertahan lama pada manusia dengan menciptakan konsepsi-konsepsi yang
bersifat umum tentang eksistensi, dan membungkus konsepsi-konsepsi itu sedemikian rupa dalam
suasana faktualitas sehingga suasana dan motivasi itu kelihatan sangat realistis.”

Haviland merumuskan:
Agama: “kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani
masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan
teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan itu siang berpaling kepada
manipulasi makhluk dan kekuatan supranatural.”

Perilaku manusia yang bersifat religi itu terjadi karena hal-hal berikut (Koentjaraningrat
1998: 194-201):
1. Manusia mulai sadar akan adanya konsep roh  TEORI ROH (E.B. Tylor)
2. 2) manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak dapat dijelaskan dengan
akal  TEORI BATAS AKAL (J.G. Frazer)
3. keinginan manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa dialami
manusia dalam daur hidupnya TEORI MASA KRISIS DALAM HIDUP
INDIVIDU (M. Crawley, A. van Gennep)
4. kejadian-kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam sekelilingnya
TEORI KEKUATAN LUAR BIASA (R.R. Marett)
5. adanya getaran (emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia
sebagai warga dari masyarakatnya  TEORI ELEMENTER MENGENAI
HIDUP BERAGAMA (E. Durkheim)
6. manusia menerima suatu firman dari Tuhan TEORI FIRMAN TUHAN (A.
Lang, W. Schmidt)
6.2. UNSUR-UNSUR POKOK RELIGI
Untuk mendeskripsikan berbagai religi ke dalam suatu sistem,
ada lima unsur pokok yang diajukan oleh E. Durkheim, yaitu:
1) Emosi keagamaan (getaran jiwa) yang menyebabkan manusia didorong untuk berperilaku
keagamaan  EMOSI KEAGAMAAN
2) sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib,
hidup, maut, dsb SISTEM KEYAKINAN/KEPERCAYAAN
3) sistem ritus dan upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib
berdasarkan sistem kepercayaan tersebut (no. 2)SISTEM UPACARA KEAGAMAAN
4) kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan
religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya  UMAT AGAMA (KELOMPOK
KEAGAMAAN)
5) alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara keagamaan  PERALATAN
KEAGAMAAN.

15

ad 1. Emosi keagamaan
Religious emotion (emosi keagamaan) merupakan getaran jiwa yang dapat menghinggapi
manusia, entah berlangsung beberapa detik entah dalam waktu lama yang mendorong orang untuk
berperilaku serba religius. Emosi ini bisa disebahkan oleh berbagai alasan:
 kesadara akan adanya makhluk halus atau jiwa orang meninggal yang menempati alam
 ketakutan dalam menghadapi krisis hidup
 ketidakmampuan menjelaskan berbagai gejala dengan akal
 kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam alam
 pengalaman dihinggapi kekuatan sakti yang ada dalam alam
 pengalaman menerima wahyu, dts.
Emosi keagamaan ini pada gilirannya menjadi dasar untuk memberi nilai keramat (sacred value)
kepada perilaku manusia. Artinya, perilaku keagamaan menjadi sesuatu yang sacred, demikian
juga dengan tempat, waktu, benda, dan orang-orang yang terlibat dalam wilayah keagamaan itu
menjadi sacred- meskipun sebenarnya semua itu juga profan.

ad 2. Sistem keyakinan/kepercayaan
Dunia di luar batas akal manusia:
Ada dunia di luar batas akal manusia yakni dunia supernatural atau dunia alam gaib yang dihuni
oleh makhluk dan kekuatan yang tak bisa dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Dunia
alam gaib itu pada dasarnya ditakuti oleh manusia. Mereka itu adalah:
 Dewa-dewa: ada yang baik dan yang jahat.
 Makhluk-makhluk halus: roh-roh manusia yang telah meninggal (arwah leluhur), hantu,
jiwa alam, dll.
 Kekuatan sakti yang impersonal: ada yang bermanfaat, ada pula yang dapat membawa
bencana bagi manusia, dll. R.R. Marett menyebut konsep kekuatan impersonal ini
`animatisme.' Mana itu bisa berpindah-pindah dari orang yang satu ke lain orang atau ke
benda; ia juga bisa berkurang, sehingga biasanya orang yang memilikinya selalu waspada
untuk menjaganya.

Kepercayaan kepada kehidupan dan kematian:
Kepercayaan ini bersifat universal, berhubungan dengan paham akan adanya jiwa. Berkaitan
dengan jiwa', agama-agama suku di Indonesia juga mengakui adanya `roh'.

Kesusastraan suci:
Ada banyak mitologi etnis yang memuat ajaran atau pengetahuan dan aturan keagamaan serta
hukum-hukum keagamaan yang dianggap suci. Banyak yang tidak tertulis di samping yang
tertulis.

ad 3. Sistem upacara keagamaan
Sistem upacara keagamaan adalah segala ritus yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan
dunia gaib berdasarkan 'sistem keyakinan' di atas. Upacara keagamaan, [Durkheim (1912) &
Radcliffe-Brown (1922)] dapat berfungsi mempertebal perasaan kolektif dan integrasi sosial serta
mengurangi ketegangan.
16

ad 4. Umat beragama dan religi
Kelompok keagamaan ini biasa disebut 'umat' yakni kesatuan-kesatuan sosial yang
mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi dalam sistem keyakinan.
Kelompok-kelompoK religius itu bisa terwujud dalam beberapa model ikatan sosial seperti:
 keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatgan kecil
 kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar keluarga luas, keluarga unilineal (clan,
suku, rnarga, `dadia' )
 kesatuan komunitas seperti desa, gabungan beberapa desa
 organisasi-organisasi religius seperti organisasi penyiaran agama, dll.

ad 5. Peralatan keagamaan - kedelapan wujud dari agama dan religi
Peralatan keagamaan adalah alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara keagamaan.
Peralatan dalam liturgi Gereja Katolik: sakramental, sakramentali dan devosionalia lainnya - juga
gedung atau bangunan kudus, instrumen yang mengiringi upacara, dsb.
Ada delapan wujud keagamaan, yakni:
1) Fetishisme: bentuk religi yang didasari pada kepercayaan akan adanya jiwa dan benda-benda
tertentu, yang dianggap mengandung kekuatan supranatural dan terdiri atas berbagai kegiatan
keagamaan yang dilakukan untuk memuja benda-benda 'berjiwa'.
2) Animisme: bentuk religi yang didasarkan pada kepercayaan bahwa alam sekeliling tempat
tinggal manusia dihuni oleh berbagai macam roh, dan terdiri dari berbagai kegiatan
keagamaan guna memuja roh-roh itu.
3) Animatisme: sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa,
dapat 'berpikir' seperti manusia. Kekuatan supranatural itu, meskipun tidak dapat diindrai,
dipercayai hadir di mana-mana.
4) Pre-animisme (dinamisme): bentuk religi berdasarkan kepercayaan pada kekuatan sakti yang
ada dalam segala hal yang luar biasa, dan terdiri dari kegiatan-kegiatan keagamaan yang
berpedoman pada kepercayaan tersebut.
5) Totemisme: bentuk religi dari masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan
unilineal. Bentuk religi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa kelompok-kelompok
unilineal ini masing-masing berasal dari para dewa dan leluhur yang masih terikat tali
kekerabatan, dan terdiri dari kegiatan-kegiatan keagamaan untuk memuja mereka.
6) Politeisme: bentuk religi yang didasarkan kepercayaan akan adanya suatu hirarki dewa-dewa,
dan terdiri dari upacara-upacara untuk memuja para dewa.
7) Monoteisme: bentuk religi yang didasarkan kepercayaan pada satu dewa. yaitu Tuhan, dan
kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk memuja Tuhan.
8) Mistik: bentuk religi yang didasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap
menguasai seluruh alam semesta, dan terdiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai
kesatuan dengan Tuhan. Dalam setiap agama manusia berupaya untuk dapat mendekatkan
dirinya kepada Tuhan (panteisme). Tetapi ada konsep bahwa manusia menjadi satu dengan
Tuhan, berdasarkan nalar bahwa segala hal di dunia (manusia dan lingkungannya) adalah
bagian dari Tuhan (monisme).
17

6.3. SISTEM PENGETAHUAN, ILMU PENGETAHUAN, DAN ILMU GAIB
Sistem/Ilmu pengetahuan
Lapangan-lapangan pengetahuan yang secara universal dapat menjadi objek sistem pengetahuan
dari kebudayaan-kebudayaan di dunia adalah pengetahuan mengenai
1) alam semesta
2) alam flora
3) alam fauna
4) zat-zat dan benda-benda yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya.
5) tubuh manusia
6) sifat dan perilaku sesama manusia
7) ruang dan waktu.

Dasar-dasar ilmu gaib
Banyak masyarakat mengenal ritual magi, baik untuk tujuan positif maupun tujuan negatif dengan
cara memanipulasi kekuatan-kekuatan supernatural atau daya-daya tak kelihatan yang menguasai
dunia. Tujuan-tujuan positif, misalnya, usaha untuk menjamin panen yang baik, mendapatkan
binatang buruan, menjamin kesuburan binatang piaraan, menghindarkan penyakit, menyembuhkan
orang dari penyakit. Tujuan-tujuan negatif, misalnya, usaha-usaha untuk mencelakakan orang lain
atau bahkan membunuhnya.
Dasar dari ilmu gaib adalah
1) kepercayaan pada kekuatan sakti, dan
2) hubungan antara sebab dan akibat, berdasarkan asosiasi
H. Webster membedakan antara public magic [misalnya upacara untuk mendatangkan hujan,
menolak bencana, mengusir hama, dll.] & private magic, meliputi berbagai ilmu perdukunan
sekitar guna-guna, sihir dan berbagai ilmu gaib jahat.

Ada 4 model ilmu gaib:
1) ilmu gaib produktif (productive magic) untuk mendatangkan hasil dan keuntungan
2) ilmu gaib penolak/proteksi (protective magic); menghindarkan dan menolak bencana
3) ilmu gaib agresif/destruktif (destructive magic) untuk menyerang, merugikan,
menyakiti bahkan membunuh
4) ilmu gaib meramal untuk memprediksi kejadian yang akan datang.
6.4. AGAMA, OBJEK STUDI ANTROPOLOGI
6.4.1 Pendekatan antropologis terhadap agama
Agama merupakan bagian setiap kebudayaan dan bagian dari kehidupan manusia. Agama
terdiri atas pola-pola kepercayaan dan perilaku, yang oleh manusia digunakan untuk
mengendalikan bagian alam semesta, yang kalau tidak demikian, lepas dari pengendalian
18

mereka. Dalam bangsa-bangsa pemburu dan peramu, agama merupakan bagian pokok
kehidupan sehari-hari.
6.4.2 Praktek keagamaan
Karakteristik agama adalah kepercayaan pada makhluk (being) dan kekuatan (force,
power) supernatural.
Animisme adalah kepercayaan kepada makhluk-makhluk spiritual yang bukan arwah
leluhur, yang dianggap menjiwai alam semesta. Animisme termasuk ciri khas orangorang yang melihat dirinya sendiri sebagai bagian alam, dan tidak di atas alam.
Kepercayaan kepada arwah leluhur didasarkan atas anggapan bahwa makhluk manusia
terdiri atas badan dan jiwa. Pada waktu meninggal, jiwa terbebas dari badan dan tetap
berpartisipasi dalam urusan manusia. Kepercayaan kepada arwah leluhur adalah
karakteristik bagi kelompok-kelompok sosial yang didasarkan atas keturunan (etnis).
Kepercayaan kepada makhluk dan kekuatan supernatural, pertama, terpelihara oleh apa
yang diterangkan sebagai manifestasi kekuatan. Kedua, kepercayaan itu tetap lestari,
karena makhluk supernatural memiliki sifat-sifat yang terkenal bagi rakyat. Akhirnya,
mitos berfungsi untuk memberi rasio kepada kepercayaan dan praktek keagamaan.
Upacara keagamaan memperkuat ikatan sosial. Waktu krisis dalam kehidupan adalah
waktu untuk mengadakan upacara. Arnold van Gennep membagi upacara peralihan atau
inisiasi (rites of passage) ke dalam upacara pengasingan atau separasi, upacara transisi,
dan upacara inkorporasi. Upacara dapat berupa sesajian, yang tujuannya untuk
mengambil hati makhluk-makhluk supernatural. Upacara kebalikan (rites of reversal)
adalah upacara di mana terjadi pemutarbalikan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang
normal. Ini dapat berfungsi sebagai katup pengalaman sosial.
Upacara intensifikasi (tires of intensification) adalah upacara untuk menandai keadaan
krisis dalam kehidupan kelompok dan bukan kehidupan individual.
6.4.3 Magi dan sihir
Praktek upacara kaum tani dan bangsa-bangsa non-Barat sering merupakan ungkapan
kepercayaan bahwa kekuatan supernatural dapat digerakkan dengan cara tertentu dengan
menggunakan rumus-rumus tertentu pula. Ini adalah pengertian antropologi yang klasik
tentang magi - manipulasi kekuatan supernatural untuk tujuan baik maupun jahat. Sir
James Frazer melihat magi sebagai ilmu-semu (pseudoscience) dan menyebut dua prinsip
dalam magi - imitative and contagious magic. Keduanya disebut symphatelic magic,
meskipun tidak selamanya bersifat simpatik, karena ada kata-kata dan tindakan magis
seperti mantra yang tidak simpatik.
Fungsi sihir banyak persamaannya dengan fungsi ilmu pengetahuan karena menerangkan
peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki. Santet adalah praktek sihir untuk berbuat
jahat.
19

6.4.4 Fungsi agama
 Fungsi sakralisasi: melegitimasi norma-norma dan nilai-nilai. Agama
memberikan contoh-contoh untuk perbuatan-perbuatan yang direstui, pengertian
tentang yang baik dan
 jahat; memberi sanksi untuk perilaku yang negatif.
 Fungsi psikologis: memberikan dukungan dan hiburan-peneguhan dalam
menghadapi ketidakpastian dan masa depan yang tidak bersahabat, dan menjamin
rekonsiliasi.
 Fungsi transendental: memberi jaminan kepastian dan arah; agama memegang
peran penting dalam pemeliharaan sosial - pendidikan adat istiadat, pelestarian
warisan etnis, dsb.
 Fungsi profetis: memberikan kritikan terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang
berlaku yang tidak merendahkan martabat manusia.
 Fungsi identifikasi: memberikan pencerahan tentang `siapa manusia itu'
sebenarnya dalam relasi dengan masa lampau dan masa depan, dalam memaknai
relasinya dengan makhluk dan alam ciptaan lainnya.
 Fungsi maturisasi (pendewasaan): menunjukkan kepada setiap individu dan
masyarakat tahap-tahap kehidupan dan merayakan kehidupan sebagai sesuatu
yang suci lewat ritus-ritus kesalehan.
6.4.5 Agama dan perubahan budaya
Dominasi oleh masyarakat Barat menjadi sebab munculnya berbagai gejala keagamaan
tertentu dalam masyarakat-masyarakat non-Barat. Ia yakin bahwa semua agama berasal
dari gerakan kebangkitan. Clifford Geertz melihat agama sebagai sistem kultural yang
memberi makna kepada eksistensi manusia.
Pertanyaan-pertanyaan reflektif:
1) Buatlah daftar segala ritus dan perayaan-perayaan sakramental dalam Gereja. Tunjukkanlah mana yang
termasuk 'sistem religi' dan mana 'sistem kepercayaan!
2) Implikasi-implikasi apa yang dimiliki teori-teori antropologi di atas untuk misi Gereja? Atau, apakah
manfaat teoretis dan praktis studi ini (sistem religi dan kepercayaan) untuk para petugas Gereja?
Mengapa?
3) Apakah ada yang disebut 'budaya Kristiani'? Apakah ada Kekristenan terpisah dari budaya?
4) Bagaimanakah relasi antara agama dan kebudayaan?
5) Apakah yang kamu ketahui mengenai “benturan antar agama” dalam studi budaya-budaya?

20

21