Sang Juara Titik Keberangkatan Para Penu

Sang Juara, Titik Keberangkatan Para Penulis Muda1

I Made Sujaya2

Buku itu anak-anak peradaban. Dalam sebuah buku, bukan hanya tercatat
jejak ilmu pengetahuan di suatu waktu, tetapi juga membuka jalan bagi
berkembangnya pemikiran di masa depan. Ilmu dan pengetahuan merupakan nafas
peradaban. Itu sebabnya, terbitnya sebuah buku patut disyukuri, siapa pun penulis dan
penerbitnya. Lantaran, terbitnya sebuah buku berarti pula peradaban sedang
bertumbuh.
Karena itu, terbitnya buku Sang Juara yang menghimpun tulisan para siswa,
alumni dan guru SMA 1 Kuta Selatan pantas diapresiasi dengan rasa bangga dan
bahagia. Terbitnya Sang Juara sebaiknya tidak semata dipandang sebagai sebuah
dokumentasi, tetapi juga dilihat sebagai sebentuk upaya merawat tradisi berpikir.
Dalam membangun peradaban, budaya olah pikir merupakan fondasi penting.
Tepat sekali catatan yang diberikan Kepala SMA 1 Kuta Selatan, I Nyoman
Tingkat dalam pengantar buku ini, menulis (buku) merupakan upaya membangun
candi pustaka yang setara nilainya dengan membangun gedung berlantai. Tulisan
adalah sebuah monumen yang membuat penulisnya akan abadi. Seperti kerap
didengungkan penulis novel terbaik Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, menulis
merupakan jalan terbaik agar tidak hilang dari pusaran sejarah, pusaran peradaban.

1

Disampaikan dalam Bedah Buku Sang Juara di SMA 1 Kuta Selatan, 21 Oktober 2014
Dosen tetap FPBS IKIP PGRI Bali. Komunikasi dengan penulis bisa dilakukan melalui pos
elektronik ke alamat imadesujaya@yahoo.co.id atau madesujaya@gmail.com

2

1

Hal yang lebih membanggakan dari terbitnya Sang Juara karena penulis buku
ini adalah anak-anak muda, ada yang masih berstatus siswa, sebagian sudah berstatus
alumni. Meskipun sejumlah guru juga berkontribusi tulisan, Sang Juara tetap
merepresentasikan suara kalangan muda. Apalagi, beberapa guru yang menyumbang
tulisan dalam buku ini juga berasal dari kelompok muda. Dalam sejarah, suara anak
muda selalu membiakkan optimisme karena mereka pemilik masa depan.
Secara umum, buku Sang Juara memuat dua kelompok tulisan: fiksi dan
nonfiksi. Karya fiksi meliputi lima cerpen berbahasa Bali dan satu cerpen berbahasa
Indonesia. Tulisan nonfiksi meliputi tujuh esai/artikel dan sebuah laporan penelitian.
Seperti lazimnya bunga rampai, tema buku ini pun menjadi sangat beragam.

Tulisan fiksi berbahasa Bali maupun berbahasa Indonesia dalam buku ini memang
mengangkat tema yang biasa-biasa saja. Cerita yang disajikan pun tak jauh dari dunia
remaja: cinta dan persahabatan. Namun, yang menarik dicermati, pemanfaatan idiomidiom dari dunia perkembangan teknologi informasi paling mutakhir, seperti jejaring
social friendster, facebook, twitter hingga blackberry messenger (BBM). Kosa kata
dalam pergaulan anak baru gede (ABG) pun menyelusup, seperti kata katrok dan
fried chicken. Hal ini memang tidak bisa dihindari dari karya yang ditulis anak-anak
muda yang hidup dalam kepungan berbagai kultur asing, termasuk dalam hal bahasa.
Para pemerhati bahasa dan sastra Bali sebaiknya tidak buru-buru memvonis hal ini
sebagai merusak bahasa Bali, tetapi justru dipandang sebagai ujian bagi bahasa Bali
dalam menghadapi perkembangan modernitas yang semakin tanpa sekat, tanpa jarak.
Dari segi kematangan memanfaatkan bahasa serta teknik bercerita, cerpencerpen penulis muda ini memang masih membutuhkan sentuhan bimbingan. Mereka
2

harus lebih banyak diajak menyelami cerpen-cerpen terbaik dari para pengarang
terbaik. Kendati begitu, para pengarang muda ini memiliki potensi besar untuk
menjadi pengarang hebat dengan cerita yang unik, teknik yang kuat dan bahasa yang
rapih.
Tulisan nonfiksi dalam buku ini mengambil tema begitu bervariasi, seperti
filsafat dan spiritualitas, bahasa dan sastra, pendidikan karakter, pendidikan
antikorupsi hingga kewirausahaan. Keragaman tema ini menjadikan buku Sang Juara

semacam taman bunga warna-warni yang menawan. Hal ini seperti menegaskan
ungkapan klasik dalam kebudayaan Cina bahwa sebuah buku ibarat taman bunga
yang dibawa dalam kantong.
Namun, seperti lazimnya sebuah buku bunga rampai, tema yang bervariasi itu
kerap dipandang sebagai sebuah kelemahan. Risiko buku bunga rampai dengan tema
beragam biasanya berkutat pada masalah keutuhan dan kemendalaman tulisan.
Betapa pun tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan pemenang sejumlah lomba
penulisan esai.
Label esai yang disematkan pada beberapa tulisan juga berpotensi
mengundang tanggapan kritis, baik dari sisi substansi maupun teknik penyajian.
Menulis esai tidak mudah, memang. Menulis esai bukan sekadar tentang gagasan
segar yang dituangkan dalam tulisan, tapi yang justru lebih penting bagaimana cara
menuturkannya. Esai memiliki kedekatan gaya ungkap dengan karya sastra sehingga
teknik penulisan menjadi sangat penting. Esai bahkan bukan semata menyangkut
bagaimana bertutur secara sistematis, tetapi bagaimana menyentuh hati pembaca. Itu
sebabnya, menulis esai kerap disebut sebagai menulis dengan hati.
3

Kelemahan pertama yang segera bisa dilihat dari buku Sang Juara tiada lain
judul-judul tulisan yang formal, terkesan akademik sehingga amat terasa kaku. Judul

yang panjang dan verbal acap kali sulit memancing minat pembaca untuk menyelam
di kedalaman tulisan. Seperti halnya karya jurnalistik, judul sebuah tulisan
semestinya menyentak atau pun menggoda di awal sehingga pembaca bergairah
untuk menuntaskan menyusuri setiap tapak pemikiran sang penulis.
Kelemahan dalam aspek judul ini masih diikuti kelemahan berikutnya dalam
pengendapan dan penggarapan gagasan ke dalam wujud tulisan. Pembaca yang
mengharapkan menemukan gagasan segar, unik dan otentik dalam buku ini mungkin
akan kecewa. Apa yang disuarakan para penulis dalam buku ini sesungguhnya tidak
beranjak dari kelaziman wacana yang tengah berkembang. Memang, gagasan yang
baru dan khas tidak selalu menjadi syarat mutlak sebuah esai yang baik. Terkadang
gagasan yang lumrah bisa menjelma esai yang menarik karena didukung perspektif
yang segar. Tapi, sudut pandang yang baru, berbeda dari biasanya, juga sulit
ditemukan dalam buku ini.
Kondisi ini tentu masih amat wajar karena para penulis buku ini para pemula
yang

sedang

berjuang.


Tapi,

beberapa

penulis

memberi

harapan

yang

menggembirakan. I Wayan Widyartha Suryawan yang menulis esai berjudul “Tanah:
Ladang Garapan Sastrawan Bali” dapat dilihat sebagai contoh salah satu penulis
muda dengan bakat dan usaha yang kuat. Jika penulis muda ini mau terus berlatih dan
bergesekan dengan tulisan-tulisan terbaik dan penulis-penulis terbaik, bukan tidak
mungkin dia juga akan menjadi penulis terbaik.

4


Menjadi penulis membutuhkan bukan saja jam terbang yang panjang juga
kesediaan untuk terus belajar dan mengganggu-ganggu diri. Karena itu, para penulis
buku Sang Juara harus menjemput penerbitan buku ini dengan memupuk kembali
semangat untuk terus dan terus menulis. Penerbitan buku ini harus dipandang sebagai
titik keberangkatan, bukan titik kedatangan.
Jika kemarin para penulis muda ini baru menulis dalam rangka lomba, maka
hari ini mereka harus mulai menulis karena memang tumbuh niat di dasar hati untuk
menulis. Jika hari ini para penulis muda ini baru sebatas menulis sebuah atau
beberapa buah esai dan cerpen, maka esok seyogyanya bisa menerbitkan sebuah buku
yang utuh. Dengan begitu, pemikiran yang dituangkan tak lagi terberai tetapi benarbenar utuh dan fokus. Jika itu bisa diwujudkan, candi pustaka yang dibangun pun
akan menjadi lebih kokoh dan abadi. (*)

5