Makna Simbolik Umpasa (Pantun) dalam Pemberian Ulos Adat Perkawinan Batak Toba Di Kecamatan Dolok Sanggul

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Menurut Kanus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 4820) konsep ialah
gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa,
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Oleh karena itu,
penelitian ini mengenai :
2.1.1 Makna
Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger
dalam Aminuddin, 1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya
mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa
dapat saling mengerti.
Menurut Hornby (dalam Sudaryat, 2009 : 13), secara linguistik makna
dipahami sebagai apa-apa yang diartikan atau yang dimaksud oleh kita. Makna
berhubungan dengan nama atau bentuk bahasa (Ullman dalam Sudaryat, 2009 :
13).

2.1.2 Umpasa
Umpasa merupakan salah satu ragam sastra lisan yang dimiliki masyarakat

Batak Toba. Umpasa biasanya dituturkan di upacara adat Batak Toba dan
dituturkan oleh penatua adat atau orang yang mengerti tentang adat. Umpasa yang
dituturkan berisi tentang kebaikan, seperti doa restu, nasihat, dan permohonan
6
Universitas Sumatera Utara

yang disampaikan kepada tuhan. Umpasa yang dituturkan tersebut diharapkan
dapat menjadi berkat bagi orang yang menerimanya. Tradisi marumpasa
„berpantun‟ masih berkembang di masyarakat Batak Toba. Hal ini disebabkan
keyakinan masyarakat tentang isi dari umpasa tersebut. Selain itu, umpasa masih
tetap digunakan di setiap upacara adat masyarakat Batak Toba.
Upacara adat lebih bermakna apabila umpasa dituturkan karena umpasa
tersebut adalah sebagai berkat bagi orang yang menerimanya. Tradisi bertutur
umpasa (pantun) juga terdapat di daerah suku Batak lainnya, seperti Batak
Simalumgun, Batak Karo, Batak Pak-Pak, dan Batak Mandailing. Di masyarakat
Batak Simalungun, umpasa tetap disebut umpasa, sedangkan di masyarakat Batak
Karo, umpasa (pantun) disebut ndung-dungen. Kalau di daerah Batak Pakpak,
umpasa (pantun) tetap disebut umpasa atau uppasa, sedangkan di daerah Batak
Mandailing, umpasa disebut juga pantun. Perbedaan umpasa yang terdapat di
masyarakat Batak (Toba, Simalungun,Karo, dan Mandailinng) terletak pada

bahasa yang digunakan.

2.1.3 Simbol
Pada dasarnya, kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan
bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi.
Simbol sebenarnya merupakan salah satu bentuk model dari teori bahasa bagi
kajian penelitian sosial budaya (Kleden-Probonegoro, dalam Sobur, 2004 : 45).
Simbol pada umumnya mempunyai makna yang bersifat ganda. Simbol
dalam arti ganda ini diperoleh dengan menganalogikan arti pertama dengan arti
kedua. Pendekatan simbolik dalam arti di atas memang banyak digunakan dalam

7
Universitas Sumatera Utara

penelitian antropologi. Model simbolik juga salah satu bentuk kajian yang
diperoleh dari teori bahasa. Hubungan antara simbol dengan sesuatu yang
ditandakan dengan adanya sifat yang konvensional. Berdasarkan konvensi itu juga
masyarakat pemakaiannya menafsirkan ciri dan hubungan antar simbol dengan
objek yang diacu dan maknanya.


2.1.4 Ulos
Ulos adalah tenun khas suku Batak. Tak hanya sebatas hasil kerajinan seni
budaya, ulos juga memiliki makna. Sebagian besar masyarakat Batak
menganggap ulos merupakan simbol ikatan kasih sayang, simbol kedudukan, dan
simbol komunikasi. Ulos juga memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam
segala aspek kehidupan masyarakat Batak Toba.
Mangulosi adalah salah satu hal yang penting dalam adat Batak Toba.
Mangulosi artinya memberi ulos. Mangulosi bukan sekedar pemberian hadiah
biasa, namun mangulosi dapat melambangkan pemberian restu, curahan kasih
sayang, harapan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dalam pemberian ulos juga
memiliki aturan, orang yang mangulosi haruslah orang yang sudah dituakan, yang
berarti orang tersebut memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding si penerima
ulos tersebut.

2.1.5 Upacara Adat Perkawinan
Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
pasal 1 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

8

Universitas Sumatera Utara

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Nalom (1982 : 50) mendefinisikan pesta perkawinan dari sepasang
pengantin merupakan jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang
tua pengantin pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang
tua pengantin wanita, begitu pula sebaliknya. Upacara perkawinan adalah upacara
adat yang penting bagi masyarakat Batak Toba, karena hanya orang yang sudah
kawin yang berhak mengadakan upacara adat apapun yang ada dalam suku Batak
Toba. Proses perkawinan dalam adat Batak Toba menganut hukum eksogami
(perkawinan diluar kelompok tertentu). Ini terlihat dari kenyataannya bahwa tidak
ada laki-laki yang mengambil perempuan yang memiliki marga yang sama
dengannya untuk dijadikan istri.

2.1.6 Masyarakat Batak Toba
Batak Toba tinggal di beberapa wilayah Sumatera Utara, seperti
Kabupaten Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan. Suku
Batak Toba adalah salah satu dari banyak suku di Indonesia. Bentuk kekerabatan
dalam suku Batak Toba ada dua, yakni kekerabatan berdasarkan garis keturunan

(genealogi) dan kekerabatan berdasarkan sosiologis.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan dapat dilihat dari marga
yang dimulai oleh si Raja Batak, semua orang Batak pasti memiliki marga.
Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis ialah terjadi karena perjanjian
(padanantara marga tertentu) atau pernikahan, misalnya marga Nainggolan dan
Siregar adalah marpadan berarti antara keturunan dari Nainggolan dan keturunan
9
Universitas Sumatera Utara

Siregar tidak boleh menikahi satu sama lain. Lebih jelasnya, padan adalah ikrar
janji yang telah diikat oleh leluhur orang Batak terdahulu (nenek moyang) yang
mengharamkan pernikahan diantara kedua belah pihak dengan maksud menjaga
hubungan baik diantara keduanya.
Masyarakat Batak Toba sangat erat hubungannya antara satu dengan yang
lainnya, dimana masyarakat tersebut saling menghormati yang diikat oleh Dalihan
Na Tolu yang merupakan tiga tiang tunggu. Yang termasuk Dalihan Na Tolu
antara lain : hula-hula, dongan tubu, dan boru. Oleh sebab itu, di manapun dua
orang Batak bertemu meski belum saling kenal, namun bila mereka memiliki
marga yang sama pastilah mereka seolah-olah saudara dekat.


2.2 Landasan Teori
2.2.1 Antropolinguistik
Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar
membicarakan dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut
bahasa dan (2) mempelajari bahasa dalam konteks kebudayaan. Antropolinguistik
juga mempelajari unsur-unsur budaya yang terkandung dalam pola-pola bahasa
yang dimiliki oleh penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan
budaya penuturnya secara menyeluruh. Bahasa dan budaya memiliki hubungan
yang sangat erat, saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan
berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan
adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat
dipelajari melalui bahasa (Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik

10
Universitas Sumatera Utara

mempelajari kebudayaan dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya
mempelajari bahasa yang dikaitkan dengan budaya.
Harafiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap
bahwa faktor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa

merupakan fakta yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam
kehidupan manusia. Inti masalah dalam kajian antropolinguistik adalah sistem
kepercayaan, nilai, moral, tingkah laku, dan pandangan atau unsur-unsur yang
mencorakkan budaya suatu kumpulan masyarakat.

2.2.2 Makna
Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger
dalam Aminuddin, 1981:108). Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya
mempelajari bagaimana setiappemakai bahas dalam suatu masyarakat dapat saling
mengerti. Tanpa adanya makna

tuturan ini tidak akan berfungsi apa-apa dalam

sebuah percakapan atau komunikasi.
Harimurti (dalam Pateda, 2001: 232) mengatakan bahwa orang dituntut untuk
memahami makna setiap kata yang membentuk peribahasa, pantun dan ungkapan,
orang dituntut untuk menerka makna kiasan yang terdapat didalamnya. Makna
bukan kumpulan setiap kata, tetapi makna simpulan peribahasa, pantun, dan
ungkapan


tersebut.

Selanjutnya,

orang

dituntut

untuk

tanggap

mengasosiasikannya dengan makna tersirat, dan orang pun dituntut untuk dapat
membandingkan dengan kenyataan sebenarnya.

11
Universitas Sumatera Utara

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering tidak berkata terus terang

dalam menyampaikan maksudnya, bahkan menggunakan isyarat tertentu.Untuk
itu, orang sering menggunakan ungkapan. Pateda (2001:230) menggolongkan
makna ungkapan itu menjadi empat yaitu : (1) mengharapkan sesuatu, (2)
mengejek, (3) membandigkan, dan (4) menasehati. Keempat makna peribahsa dan
ungkapan di atas tidak diucapkan secara terus terang, melainkan dengan
menggunakan makna tersirat di dalamnya.

2.2.3 Nilai-Nilai Budaya
Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang ditanam atau disepakati oleh
masyarakat yang mengakar pada kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol dengan
karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dengan yang lain sebagai acuan
perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau yang sedang terjadi. Nilainilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, motto, dan visi misi. Nilai
budaya merupakan lapisan abstrak dan luas ruang lingkupnya, tingkat ini adalah
ide-ide yang mengkonsepkan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan
masyarakat.
Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya sebagai
konsepsi umum yang terorganisasi dan mempegaruhi perilaku yang berhubungan
dengan alam, kedudukan manusia dengan alam, hubungan orang dengan orang
lain, dengan hal-hal yang di inginkan atau tidak diinginkan yang mungkin
bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia.

Pendapat lain yang menyangkut manusia itu sendiri sebagai subjek
dikemukakan oleh perry (dalam Djayasudarma, 1997:12) yang menyatakan bahwa

12
Universitas Sumatera Utara

nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Pandangan
ini menegaskan bahwa manusia itu sendirilah menentukan nilai dan manusia
sebagai pelaku (penilai) dari kebudayaan yang berlaku pada zamannya. Nilai
budaya dalam penilitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada berbagai
hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil budaya),
antara lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas,
kewajiban,beragama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keenggangan, daya tarik, dan
hal lain yang berhubungan dengan perasaan (Papper dalam Djayasudarma,
19997:10)
Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam
pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat,2004:25). Nilai nilai budaya
merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat,
lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaa,

kepercayaan (believe), simbo;-simbol, dan karakteristik tertentu yang dapat
dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapatas apa yang akan
terjadi atau sedang terjadi.
Robert Sibarani mengklasifikasikan nilai-nilai budaya antara lain : (1)
kesejahteraan; (2) kerja keras;(3) disiplin; (4) pendidikan (5) kesehatan; (6)
gotong-royong;(7) pengelolaan gender; (8) pelestarian dan kreativitas budaya; (9)
peduli lingkungan;(10) kedamaian; (11) kesopansantunan; (12) kejujuran; (13)
kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan penyelesaian konflik; (15) komitmen;
(16) pikiran positif (17) rasa syukur.

13
Universitas Sumatera Utara

2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber
yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini, Adapun sumber tersebut adalah:
Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang berjudul “Tuturan pada upacara
adat pernikahan masyarakat Batak Toba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat
pada upacara adat pernikahan masyarakat Batak Toba dan tuturan yang paling
dominan digunakan dalam upacara tersebut. Nurcahaya menggunakan metode
simak simak dengan teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan
dilanjutkan dengan teknik rekam dalam mengumpulkan data penelitiannya.
Selanjutnya, data yanng diperoleh dari penutur jati bahasa Batak Toba dan dari
beberapa buku Batak Toba yang dianalisi dengan meode padan dengan penentu
mitra wicara. Teori yang digunkan adalah teori tindak tutur Searle.
Sibarani (2008) dalam tesisnya “Tindak Tuutur dalam Upacara
Pernikahan Masyarakat Batak Toba” mengkaji tindak tutur yang digunakan
hulahula „pemberi istri‟. Dongan sabutuha „kerabat semarga‟, dan boru „penerima
istri‟, tindak tutur apa yang dominan, bagaimana cara tindak tutur dilakukan, serta
jenis dan fungsi tindak tutur dalam pernikahan masyarakat Batak Toba. Metode
deskriptif digunakan Sibarani untuk mendeskripsikan data penelitian secara
sistematis dan akurat, yaknni menggambarkan dengan jelas objek yang diteliti
secara alamiah. Teori yang digunakan Sibrani untuk menjawab permasalahan
dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur Kempson (1984), Wijana (1996), dan
Searle.

14
Universitas Sumatera Utara

Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara
Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak
Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir membahas mengenai makna
simbolik pemberian ulos tersebut dan membahas tentang tahapan pemberian ulos.
Metode penelitian yang dilakukan ialah metode kualitatif dan deskriptif dan
dengan teknik pengumpulan data studi pustaka dan observasi.
Basaria (2009) dalam Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi
11 yang berjudul “Ungkapan Metafora pada Etnis Batak Toba” membahas nlai
nilai budaya yang tercermin dari ungkapan indirecness metafora dalam bahas
Batak Toba. Sebagian dari nilai budaya yang dimaksud adalah motivasi berusaha,
rasa solidaritas, gambaran sikap perilaku, etika, dan moral yang hidup pada
masyarakat Batak Toba. Selanjutnya Basaria (2012) dalam Hipotesis Sapir –
Whorf Pada Umpasa Batak Toba, budaya dan perilaku orang Batak dapat dilihat
pada ungkapan dan bahasanya. Bahasa dalm ungkapan biasnya dipergunkan
dalam situasi komunikasi yang dipandang sakral dan sangat resmi dalam
pertemuan-pertemuan orang Batak yang diturun-temurunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Jadi ungkapan tersbut mengekspresikan perilaku dan nilainilai yang telah lama ada pada orang Batak dan smpai saat ini masih terus hidup.
Orang Batak sangat menghargai nilai-nilai budaya/adat yang terdapat dalam
berbagai ungkapan yang diturunkan oleh orang tuanya (yang dipandanbgnya
sebagai orannng yang pantun dlam masyarakatnya. Jadi kajian ini membuktikan
kebenaran HSW dalam bahasa Batak Toba.
Tampubolon (2010 dalam tesisnya “Umpasa Masyrakat Batak Toba
DALAM Rapat adat “suatu kajian pragmatik” membahas tiga masalah penelitian,
15
Universitas Sumatera Utara

yakni komponen tindak tutur, jenis tindak tutur, dan fungsi tindak tutur.
Tampubolon menggunakanmetode deskrptif dengan membuat deskripsi yang
sistematis dan akurat mengenai data yang teliti. Dalam menyelesaikan ketiga
masalah tersebut Tambubolon menggunakan teori tindak tutur kempson (1984),
Wijana (1996), dan Searle.

16
Universitas Sumatera Utara