Kajian Pemodelan Balok T dalam Pendesainan Balok pada Bangunan Bertingkat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Umum
Dalam perencanaan suatu struktur bangunan, tahapan pertama yang dilakukan
adalah memilih jenis bahan yang akan digunakan.beton bertulang adalah salah satu
bahan konstruksi yang paling banyak digunakan. Beton bertulang adalah suatu
kombinasi antara beton dan baja dimana tulangan baja berfungsi menyediakan kuat
tarik yang tidak dimiliki beton. Beton bertulang digunakan dalam berbagai bentuk
hampir semua struktur bangunan baik besar maupun kecil.

2.1.1. Kelebihan dan kekurangan Beton Bertulangan
Beton bertulang

digunakan sebagai bahan bangunan dengan beberapa

keunggulan sebagai berikut:
1. Beton memiliki kuat tekan yang relatif lebih tinggi dibandingkan kebanyakan
bahan lain.
2. Beton bertulang mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap api dan air, bahkan
merupakan bahan struktur terbaik untuk bangunan yang banyak bersentuhan

dengan air. Pada peristiwa kebakaran dengan intensitas rata-rata, batang-batang
struktur dengan ketebalan penutup beton yang memadai sebagai pelindung
tulangan hanya mengalami kerusakan pada permukaannya saja tanpa mengalami
keruntuhan.
3. Struktur beton bertulang sangat kokoh.
4. bertulang tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi.

6

7

5. Dibandingkan dengan bahan lain, beton memiliki usia layan yang sangat panjang.
Dalam kondisi-kondisi normal, struktur beton bertulang dapat digunakan sampai
kapan pun tanpa kehilangan kemampuannya untuk menahan beban. Ini dapat
dijelaskan dari kenyataannya bahwa kekuatan beton tidak berkurang dengan
berjalannya waktu bahkan semakin lama semakin bertambah dalam hitungan
tahun, karena lamanya proses pemadatan pasta semen
6. Beton biasanya merupakan satu-satunya bahan yang ekonomis untuk pondasi
tapak, dinding basement, tiang tumpuan jembatan, dan bangunan-bangunan
semacam itu.

7. Salah satu ciri khas beton adalah kemampuannya untuk dicetak menjadi bentuk
yang sangat beragam, mulai dari pelat, balok, dan kolom yang sederhana sampai
atap kubah dan cangkang besar.
8. Di sebagian besar daerah, beton terbuat dari bahan-bahan lokal yang murah (pasir,
kerikil, dan air) dan relatif hanya membutuhkan sedikit semen dan tulangan baja,
yang mungkin saja harus didatangkan dari daerah lain.
9. Keahlian buruh yang dibutuhkan untuk membangun konstruksi beton bertulang
lebih rendah bila dibandingkan dengan bahan lain seperti struktur baja.

2.1.2. Sifat-sifat beton
Di samping keunggulan, beton bertulang juga memiliki kelemahan yang perlu
diketahui guna pengoptimalan dalam penggunaananya. Kelemahan-kelemahan
tersebut antara lain:
1. Beton mempunyai kuat tarik yang sangat rendah, sehingga memerlukan
penggunaan tulangan tarik

8

2. Beton bertulang memerlukan bekisting untuk menahan beton tetap di tempatnya
sampai beton tersebut mengeras. Selain itu, penopang atau penyangga sementara

mungkin diperlukan untuk menjaga agar bekisting tetap berada pada tempatnya,
misalnya pada atap, dinding, dan struktur-struktur sejenis, sampai bagian-bagian
beton ini cukup kuat untuk menahan beratnya sendiri.
3. Rendahnya kekuatan per satuan berat dari beton mengakibatkan beton bertulang
menjadi berat. Ini akan sangat berpengaruh pada struktur-struktur bentangpanjang dimana berat beban mati beton yang besar akan sangat mempengaruhi
momen lentur.
4. Sifat-sifat beton sangat bervariasi karena bervariasinya proporsi-campuran dan
pengadukannya. Selain itu, penuangan dan perawatan beton tidak bisa ditangani
seteliti seperti yang dilakukan pada proses produksi material lain seperti struktur
baja dan kayu.
Sebagai bahan dalam perencanaan bangunan, beton bertulang memiliki
beberapa sifat sebagai berikut:
1. Kuat beton terhadap gaya tekan
Karena sifat bahan beton yang hanya mempunyai nilai kuat terik relatif
rendah, maka pada umumnya hanya diperhitungkan bekerja dengan baik di daerah
tekan pada penampangnya, dan hubungan regangan-tegangan yang timbul karena
pengaruh gaya tekan tersebut digunakan sebagai dasar pertimbangan. (Istimawan
Dipohusodo, 1996: 7-9)

2. Modulus elastisitas statis


9

Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti. Nilainya bervariasi
tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan, dan karakteristik
dan perbandingan semen dan agregat. Sebagai tambahan, ada beberapa defenisi
mengenai modulus elastisitas: (Istimawan Dipohusodo, 1996)
a. Modulus awal adalah kemiringan diagram tegangan-regangan pada titik asal
dari kurva.
b. Modulus tangen adalah kemiringan dari salah satu tangent (garis singgung)
pada kurva tersebut di titik tertentu di sepanjang kurva, misalnya pada 50%
dari kekuatan maksimum beton.
c. Kemiringan dari suatu garis yang ditarik dari titik asal kurva ke suatu titik
pada kurva tersebut di suatu tempat di antara 25% sampai 50% dari kekuatan
tekan maksimumnya disebut Modulus sekan.
d. Modulus yang lain, disebut modulus semu (apparent modulus) atau modulus
jangka panjang, ditentukan dengan menggunakan tegangan dan regangan
yang diperoleh setelah beban diberikan selama beberapa waktu.
Peraturan ACI menyebutkan bahwa rumus untuk menghitung modulus
elastisitas beton yang memiliki berat beton (wc) berkisar dari 1500-2500 kg/m3.

Ec = wc1,5(0,043)√fc’
Dimana :
wc : berat beton (kg/m3)
fc’ : mutu beton (Mpa)
Ec : modulus elastisitas (Mpa)
Dan untuk beton dengan berat normal beton yang berkisar 2320 kg/m3
Ec = 4700 √fc’

10

Beton dengan kekuatan diatas 40 Mpa disebut sebagai beton mutu-tinggi.
Pengujian telah menunjukkan bahwa bila persamaan ACI yang biasa digunakan
untuk menghitung Ec dipakai untuk beton mutu tinggi , nilai yang didapat terlalu
besar. (Istimawan Dipohusodo, 1996)
3. Kuat beton terhadap gaya tarik
Nilai kuat tekan dan tarik bahan beton tidak berbanding lurus, setiap usaha
perbaikan mutu kekuatan tekan hanya disertai peningkatan kecil nilai kuat tarinya.
Suatu perkiraan kasar dapat dipakai, bahwa nilai kuat tarik bahan beton normal
hanya berkisar antara 9%-15% dari kuat tekannya. Kuat tarik bahan beton yang
tepat sulit untuk diukur. Suatu nilai pendekatan yang umum dilakukan dengan

menggunakan modulus of rupture, ialah tegangan tarik lentur beton yang timbul
pada pengujian hancur balok beton polos (tanpa tulangan), sebagai pengukur kuat
tarik sesuai teori elastisitas. Kuat tarik bahan beton juga ditentukan melalui
pengujian split cilinder yang umumnya memberikan hasil yang lebih baik dan
lebih mencerminkan kuat tarik yang sebenarnya. Nilai pendekatan yang diperoleh
dari hasil pengujian berulang kali mencapai kekuatan 0,50-0,60 kali √fc’, sehingga
untuk beton normal digunakan nilai 0,57√fc’. (Istimawan Dipohusodo, 1996:7-10)
4. Kuat Geser
Melakukan pengujian untuk memperoleh keruntuhan geser yang betul-betul
murni tanpa dipengaruhi oleh tegangan-tegangan lain sangatlah sulit. Akibatnya,
pengujian kuat geser beton selama bertahun-tahun selalu menghasilkan nilai-nilai
leleh yang terletak di antara 1/3 sampai 4/5 dari kuat tekan maksimumnya.
5. Sifat rangkak dan susut

11

Pada beton yang sedang menahan beban akan terbentuk suatu hubungan
tegangan-regangan yang merupakan fungsi dari waktu pembebanan. Beton
menunjukkan sifat elastisitas murni hanya pada waktu menahan beban singkat.
Sedangkan pada beban tidak singkat, sementara beton mengalami tegangan dan

regangan akibat beban terjadi pula peningkatan regangan sesuai dengan jangka
waktu pembebanan, dan disebut sebagai deformasi rangkak (creep). Rangkak
adalah sifat dimana beton mengalami perubahan bentuk (deformasi) permanen
akibat beban tetap yang bekerja padanya. Pada umumnya beton dengan mutu
tinggi mempunyai tingkat nilai rangkak lebih kecil dibandingkan dengan mutu
beton lebih rendah. (Istimawan Dipohusodo, 1996:11)
Pada umumnya proses creep (rangkak) selalu dihubungkan dengan susut
karena keduanya terjadi bersamaan dan sering kali memberikan pengaruh sama,
ialah deformasi yang bertama sesuai berjalannya waktu. (Istimawan Dipohusodo,
1996)
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya rangkak adalah:
1. Sifat bahan dasar
2. Rasio air terhadap jumlah semen
3. Suhu pada waktu proses pengerasan
4. Kelembapan nisbi selama tegangan
5. Umur beton saat beban bekerja
6. Lama pembebanan
7. Nilai tegangan
8. Nilai banding luas permukaan dan volume komponen struktur
9. Nilai slump.


12

Sedangkan proses susut secara umum didefinisikan sebagai perubahan
volume yang tidak berhubungan dengan beban. Pada umumnya faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya rangkak juga mempengaruhi susut, khususnya faktorfaktor yang berhubungan dengan hilangnya kelembaban. Proses susut pada beton
apabila dihalangi secara tidak merata (oleh penulangan misalnya), akan
menimbulkaan deformasi yang umumnya bersifat menambah terhadap deformasi
rangkak. Maka dari itu, agar dapat dicapai tingkat kelayanan baik diperlukan
pengendalian dan perhitungan dalam hal proses susut tersebut. (Istimawan
Dipohusodo, 1996)

2.2.1. Baja Tulangan
Beton tidak dapat menahan gaya tarik melebihi nilai tertentu tanpa
mengalami retak-retak. Untuk itu, agar beton dapat bekerja dengan baik dalam suatu
sistem struktur, perlu dibantu dengan memberinya kekuatan penulangan yang
terutama akan mengemban tugas menahan gaya tarik yang bakal timbul dalam
sistem. Untuk keperluan penulangan tersebut, digunakan bahan baja yang memiliki
sifat teknis yang menguntungkan.
Agar dapat berlangsung lekatan erat antara baja tulangan dengan

beton,menurut SNI 03-2847-2002 selain batang polos berpenampang bulat (BJTP)
juga digunakan batang deformasian (BJTD), yaitu batang tulangan baja yang
permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip teratur dengan pola tertentu,
atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya. Pola permukaan yang
dikasarkan atau pola sirip sangan beragam tergantung pada mesin giling atau cetak
yang dimiliki oleh produsen, asal masih dalam batas-batas spesifikasi teknik yang

13

diperkenankan oleh standard. Baja tulangan polos (BJTP) hanya digunakan untuk
tulangan pengikat sengkang atau spiral, umumnya diberi kait pada ujungnya.

Gambar 2.1. Hubungan Regangan dan Tegangan pada Baja Tulangan
Sifat fisik batang tulangan baja yang paling penting untuk digunakan dalam
perhitungan perencanaan beton bertulang ialah tegangan luluh (fy) dan modulus
elastisitas (Es). Suatu diagram hubungan tegangan-regangan tipikal untuk batang baja
tulangan dapat dilihat di gambar. Tegangan luluh (titik luluh) baja ditentukan melalui
prosedur pengujian standard sesuai SII 0136-84 dengan ketentuan bahwa tegangan
luluh adalah tegangan baja pada saat mana meningkatnya tegangan tidak disertai lagi
denangan peningkatan regangannya. Di dalam perencanaan atau analisis beton

bertulang umumnya nilai tegangan luluh baja tulangan diketahui atau ditentukan
pada awal perhitungan. Menurut Pasal 10.5.2 SNI 03-2847-2002, modulus elastisitas
baja tulangan non pratekan Es dapat diambil sebesar 200000 Mpa. (Istimawan
Dipohusodo, 1996)

14

2.2. Persyaratan /Ketentuan Struktur Bangunan Beton Tahan Gempa
Dalam perencanaan struktur bangunan beton yang berada pada zona gempa
harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah dibuat dalam Tata Cara Perhitungan
Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SNI 03-2847-2002. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk perencanaan pelaksanaan komponen struktur bangunan beton
termasuk sambungan dalam struktur dengan gaya yang bekerja dihasilkan dari beban
gempa yang telah ditentukan dengan memperhatikan disipasi energi di dalam daerah
respon nonlinier struktur bangunan tersebut.
Secara umum, suatu struktur atau komponen struktur dikatakan aman bila
persamaan berikut dapat terpenuhi.
Ru ≤ φ Rn
Dimana:




Rn

= kuat nominal struktur

Ru

= pengaruh aksi terfaktor yaitu momen atau gaya yang

= faktor reduksi beban

diakibatkan oleh suatu kombinasi pembebanan atau pengaruh aksi
perlu yaitu momen atau gaya yang diisyaratkan untuk struktur tahan
gempa.

Gaya geser dasar rencana total (V) pada suatu arah ditetapkan:
=
Dimana,

��


V



= gaya geser dasar rencana total, N

R

= faktor modifikasi respon

Wt

= berat total struktur

I

= faktor kepentingan struktur

15

C

= koefisien percepatan gempa

Struktur harus direncanakan kekuatannya terhadap beban berikut:
1.

Beban Mati (Dead Load)
Beban mati adalah berat dari semua bagian bangunan yang bersifat tetap,

termasuk segala unsur tambahan, pekerjaan pelengkap (finishing), serta alat atau
mesin yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangka bangunannya. (PPI, 1983)
Beban mati merupakan berat sendiri bangunan yang senantiasa bekerja
sepanjang waktu selama bangunan tersebut ada atau sepanjang umur bangunan. Pada
perhitungan berat sendiri ini, seorang analisis struktur tidak mungkin dapat
menghitung secara tepat seluruh elemen yang ada dalam konstruksi, seperti berat
plafond, pipa-pipa ducting, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam menghitung berat
sendiri konstruksi ini dapat meleset sekitar 15 % - 20 %. (Soetoyo, 2000)
2.

Beban hidup (Live Load)
Beban

hidup yang diperhitungkan adalah beban hidup selama masa layan.

Beban hidup selama masa konstruksi tidak diperhitungkan karena lebih kecil dari
pada beban hidup pada masa layan. Beban hidup yang direncanakan mengacu pada
standard pedoman pembebanan, yakni beban hidup pada lantai gedung sebesar 250
kg/m3 dan beban hidup pada atap gedung sebesar 100kg/m3.
3.

Beban gempa (Earthquqke Load)
Beban gempa adalah beban yang timbul akibat percepatan getaaran tanah pada

saat gempa terjadi. Untuk merencanakan struktur bangunan tahan gempa perlu
dikertahui percepatan yang terjadi pada batuan dasar.

16

Berdasarkan SNI 1726-2002 Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah gempa seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2.2 Dimana wilayah gempa 1 adalah wilayah dengan
kegempaan yang paling rendah dan wilayah gempa 6 adalah wilayah dengan
kegempaan paling tinggi. Pembagian wilayah gempa ini, didasarkan atas percepatan
puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode ulang 500
tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap wilayah gempa ditetapkan dalam tabel
berikut.

Gambar2.2 Wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar
dengan perioda ulang 500 tahun.

Tabel2.1 Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk
masing-masing wilayah gempa Indonesia
Wilayah

Percepatan Puncak

Gempa

Batuan Dasar (g)

1

0,003

17

2

0,10

3

0,15

4

0,20

5

0,25

6

0,30

Untuk menentukan pengaruh gempa rencana pada struktur gedung, yaitu
berupa beban geser dasar nominal statik ekivalen pada struktur gedung beraturan
atau gaya geser dasar nominal sebagai respon dinamik ragam pertama pada struktur
gedung tidak beraturan, untuk masing-masing wilayah gempa ditetapkan respon
spektra gempa rencana.
Respon spektra adalah suatu diagram yang memberi hubungan antara
percepatan respon maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat
suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman (dumping) dan
waktu getar alami sistem SDK tersebut (T).
Bentuk respon spektra yang sesungguhnya menunjukkan suatu fungsi acak
yang untuk waktu getar alami (T) meningkat menunjukkan nilai yang mula-mula
meningkat dulu sampai suatu nilai maksimum, kemudian turun lagi secara asimtotik
mendekati

sumbu-T.

Didalam

peraturan

respon

spektra

tersebut

distandarkan(diidealisasikan) sebagai berikut: untuk 0 ≤ T ≤ 0.2 detik, C meningkat
secara linier dari percepatan puncak muka tanah (A0) sampai Am; untuk 0.2 detik ≤
T ≤ Tc, C bernilai tetap C=Am; untuk T > Tc, C mengikuti fungsi hiperbola C =
AT/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Berbagai hasil penelitian

18

menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2A0 dan 3A0, sehingga Am = 2,5 A0
merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan. Contoh gambar
respon spektra untuk wilayah gempa 3 dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Respon Spektra Wilayah Gempa 3
Mengingat pada kisaran waktu getar alami pendek 0 ≤ T ≤ 0.2 detik terdapat
ketidak-pastian, baik dalam karakteristik gerakan tanah maupun dalam tingkat
daktilitas strukturnya, faktor respon gempa (C) dalam kisaran waktu getar alami
pendek tersebut nilainya tidak diambil kurang dari nilai maksimumnya untuk jenis
tanah yang bersangkutan.
Dengan mengacu pada kombinsai pembebanan SNI-03-2847-2002, maka
terdapat 6 standard kombinasi yakni sebagai berikut:
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5(La atau H)
3. 1,2D + 1,6 (La atau H) + (γL L atau 0,8w)

19

4. 1,2D + 1,3W + γL L + 0,5(LA + H)
5. 1,2D ± 1,0E + γL L
6. 0,9D ± (1,3W atau 1,0E)
Keterangan:
D

= adalah beban mati yang diakibatkan berat konstruksi permanen, termasuk

dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, dan layanan tetap
L

= adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termassuk

kejut tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain
L

= adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh

pekerja, peralatan dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang atau benda
bergerak
H

= adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangn air

W

= adalah beban angin

E

= adalah beban gempa

Dengan,
γL = 0,5L < 5kPa, dan γL = 1 bila L ≥ 5 kPa

2.4. Balok T
Analisa dan perencanaan balok yang dicetak menjadi satu kesatuan monolit
dengan plat lantai atau atap didasarkan pada anggapan bahwa antara plat dengan
balok terjadi interaksi saat menahan momen lentur positif yang bekerja pada balok.
Interaksi antara plat dan balok-balok yang terjadi satu kesatuan pada penampangnya
membentuk huruf T tipikal, daan oleh karena itulah dinamakan sebagai balok T.
Seperti tampak pada gambar, plat akan berlaku sebagai lapis sayap (flens) tekan dan

20

balok-balok sebagai badan. Dalam hal ini, plat yang berfungsi sebagai flens pada
balok T juga harus direncana dan diperhitungkan tersendiri terhadap lenturan pada
arah melintang terhadap balok-balok pendukungnnya. Dengan demikian plat yang
berfungsi sebagai flens tersebut akan berperilaku sebagai komponen struktur yang
bekerja pada dua arah lenturan yang saling tegak lurus. Pada perpotongan antar balok
T, struktur akan mendukung momen momen lentur negatif di mana tepi atas plat
berada dalam keadaan tertarik sedangkan badan balok berada di bagian bawah dalam
keadaan terdesak. (Istimawan Dipohusodo, 1996: 66-67)

Gambar 2.4. Sistem balok T dan balok L

Pada sistem balok T, bagian dekat badan penampang akan mengalami
tegangan yang lebih besar dibandingkandengan daerah yang jauh daribagian badan.
Maka untuk keperluan perencanaan analitis, serta penyederhanaan perilaku plat
terlentur pada dua arah yang rumit, maka SNI-03-2847-2002 menetapkan kriteria
lebar efektif tertentu untuk plat ( flens ) yang diperhitungkan bekerja sama dengan
balok untuk memikul momen lentur yang bekerja pada balok. Lebar efektif ( beff)
adalah lebar yang mengalami tegangan secara merata yang akan memberikan gaya
tekan yang sama dengan yang sebenarnya terjadi di zona tekan dengan lebar
b(actual).

21

Gambar 2.5. Lebar flens efektif

Gambar 2.6. Balok T dan balok L
SNI-03-2847-2002 (pasal 10.10) memberikan pembatasan lebar balok efektif
balok T sebagai berikut:


Plat balok T:

beff



4

≤ 16hf + bw

22

≤ lebar aktual ( jarak dari pusat ke pusat antar balok )


Untuk balok yang mempunyai flens hanya pada satu sisi ( balok L terbalik ),
pembatasan lebar efektif adalah sebagai berikut:
Plat balok L:

beff



12

+ bw

≤ 16hf + bw
1

≤ (jarak bersih antara balok) + bw
2



Untuk balok T yang terisolasi ( tunggal ), SNI-03-2847-2002 (pasal 10.10)
memberikan batasan lebar efektif sebagai berikut:
Tebal sayap

≥ ½ bw

Lebar efektif sayap

≤ 4bw

Persyaratan daktilitas (liat) balok T sama dengan yang diisyaratkan bagi
balok persegi di mana rasio penulangan minimum tidak boleh lebih besar dari 0,75
ρb. Tetapi nilai tersebut tidaklah sama dengan nilai-nilai yang tercantum dalam tabel
untuk balok persegi, karena bentuk balok T memberikan daerah tekan khusus yang
cenderung lebih luas. Untuk digunakan sebagai alat bantu dalam perencanaan dan
analisa diberikan variasi pendekatan nilai 0,75 ρb sebagaimana balok persegi.
Sedangkan nilai rasio penulangan minimum ditetapkan, yaitu:




=

1,4


Pada balok T tunggal, dimana bentuk T-nya diperlukan untuk menambah luas
daerah tekan, harus mempunyai ketebalan sayap tidak kurang dari setengah lebar
badan balok, dan lebar efektif sayap tidak lebih dari empat kali lebar badan balok.
(Istimawan Dipohusodo, 1996:68)

23

Bila tulangan lentur utama pelat, yang merupakan bagian dari sayap balok T
(terkecuali untuk konstruksi pelat rusuk), dipasang sejajar dengan balok, maka harus
disediakan penulangan disis atas pelat yang dipasang tegak lurus terhadap balok
berdasarkan ketentuan berikut:
1. Tulangan transversal tersebut harus direncanakan untuk memikul beban terfaktor
selenar efektie pelat yang dianggap berperilaku sebagai kantilever. Untuk balok T
tunggal, seluruh lebar dari sayap yang membentnag harrus diperhitungkan. Untuk
balok T lainnya, hanya bagian dari pelat selebar efektifnya saja yang perlu
diperhitungkan.
2.

Tulangan transversal harus dipasang dengan spasi tidak melebihi lima kali tebal
pelat dan juga tidak melebihi 500mm. (SNI-03-2847-2002: 56-57)

2.5. Pemodelan balok T
Pada pemodelan secara analitis, akan digunakan rumus sebagai berikut:
� �

Penentuan tinggi balok tekan (a):

�=


∅fy . 0,875 d

� . �
′ .

a = 0,85

Dalam menentukan tinggi balok tekan (a) pada balok T, SNI-03-2847-2002
menentukan kriteria sebagai berikut:

24

Kasus 1 : a≤tf

Gambar 2.7. Daerah tekan pada balok T
Maka penyelesaiannya sama dengan balok persegi, yaitu:
Asumsi εs ≥ εy → fs = fy (tulangan baja leleh)
1. Hitung:

jd = d – (a/2)

2. Hitung:

rasio tulangan (ρ) =





Rasio tulangan kondisi balance (ρb) =
ρmaks ≤ 0,75 ρb
3. Hitung Mn:

0,85 ′ � 1


600
600+ �

Mn = As . fy . jd

Kasus 2 : a ≥ tf
Maka yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Seluruh bagian sayap akan mengalami tegangan tekan yang resultannya
adalah:
Cf = 0,85f’c . (be – bw) . tf

25

Gambar 2.8. Daerah tekan pada bagian sayap
Gaya tekan Cf akan diimbangi oleh gaya tarik yang diambil dari sebagian dari
tulangan yang ada, sehingga luas tulangan yang mengimbangi gaya tekan ini
adalah sebesar :
Asf = Cf / fy
Kuat lentur dari gaya ini adalah:
Mnf = Asf . fy . (d – 0,5tp)
2. Luas tulangan selebihnya digunakan untuk menahan gaya tekan pada bagian
badan (web) yang tinggi balok tekannya (a) lebih besar dari tebal pelat tp.


Asw = As - Asf



a = 0,85� ′



Kuat lenturnya adalah:



. �
. �

≥ tp

Mnw = Asw . fy . ( d – 0,5a )

26

Gambar 2.9. Daerah tekan pada bagian badan

3. Kuat lentur total adalah:
∅ Mn = ∅ (Mnf + Mnw )
∅ Mn ≥ Mu

Persyaratan daktilitas balok T sama dengan yang diisyaratkan bagi balok
persegi , dimana rasio penulangan maksimum tidak boleh lebih besar dari 0,75 ρb.
Maka batas atas ( tulangan maksimum ) adalah:
ρmaks ≤ 0,75 ρb
dimana

ρb =

� (

)



Untuk nilai nilai rasio penulangan minimum ditetapkan bahwa:
ρmin =

1,4


Batas penulangan minimum menurut SNI 03-2847-2002 (Pasal 12.5.1) pada
plat sayap tertekan ditentukan:
As min =


4 �

.

�.



1,4


.

�.

27

Batas penulangan minimum (pasal 12.5.2) pada plat sayap tertarik
sebagaimana pada balok kantilever, tidak boleh kurang dari nilai terkecil di antara
rumus yang ditentukan:
As min =


2 �

.

�.

.

.

Dan
As min =


4 �