PRAKTEK GALA UMONG (GADAI SAWAH ) DALAM PERSPEKTIF SYARI’AH | Safrida | OJS Center 1534 2949 1 SM

ARTICLE REVIEW
PRAKTEK GALA UMONG (GADAI SAWAH ) DALAM PERSPEKTIF
SYARI’AH STUDI KASUS DI DESA GAMPOENG DAYAH SYARIF
KECAMATAN MUTIARA KABUPATEN PIDIE PROVINSI ACEH
Penulis buku/artikel : Safrizal
Reviewer

: Meutia Safrida

Penerbit

: Jurnal Ilmiah Islam Futura

Jumlah halaman

: 20 halaman

A. Isi Buku / Artikel
Jurnal yang berjudul “ Praktek Gala Umong (Gadai sawah) Dalam Perspektif
Syari’ah ( Studi Kasus di Desa Gampong Dayah Syarif Kecamatan Mutiara Kabupaten
Pidie Provinsi Aceh ini berisi tentang hasil penelitian yang dilakukan penulis mengenai

tradisi gala umong (gadai sawah ) yang masih sering terjadi dalam masyarakat Aceh.
Penulis artikel mengangkat judul praktek gala umong dalam Perspektif Syari’ah, untuk
diteliti guna melihat apakah dalam praktek gala umong yang terjadi dalam masyarakat
Desa Gampong Dayah Syarif Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie Provinsi Aceh sudah
sesuai dengan konsep syari’ah atau ada konsep baru yang dapat dimunculkan untuk
mengakomodasi praktek tersebut agar dapat dilakukan oleh masyarakat.
Pada bab pendahuluan penulis lebih dahulu menjelasakan rumusan permasalahan
yaitu pengertian gala umong ( gadai sawah ) , sebab-sebab pemicu terjadinya praktek
gadai sawah dikalangan masyarakat, baik itu

masyarakat yang tinggal di daerah

perkampungan maupun masyarakat perkotaan, dan apa saja dampak sosial yang
ditimbulkan dari praktek gala umong tersebut bagi masyarakat, khususnya bagi pihakpihak yang terlibat langsung dalam praktek gala umong ini.
Gala umong ( gadai sawah ) adalah salah satu praktek muamalah yang sudah
lama dipraktekkan oleh masyarakat Aceh. Baik itu dilakukan oleh masyarakat yang
tinggal di

daerah perkampungan maupun masyarakat perkotaan. Penelitian yang


dilakukan oleh penulis bertujuan mengkaji lebih jauh apakah dalam praktik gala umong
yang selama ini dijalankan oleh masyarakat Aceh sudah sejalan dengan syari’at Islam

atan tidak. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktik gala umong (
gadai sawah ) yang dilakukan oleh masyarakat Desa Gampong Dayah Syarif Kecamatan
Mutiara Kabupaten Pidie Provinsi Aceh belum memenuhi rukun dan syarat-sayat dari
sebuah akad yang disebut gadai ( syarat_syarat Rahn ) . Diantara rukun yang belum
terpenuhi itu adalah pada akad gadai

belum jelas tertera batas waktu pengembalian

hutang yang harus dilakukan oleh Rahin ( penggadai ) kepada Murtahin ( penerima
hutang ) , hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman antara kedua belah pihak ( rahin
dan murtahin ) di kemudian hari yang kemudian bisa memunculkan perkelahiaan antar
masyarakat. Selain itu ada juga hal lain pada akad gala umong yang belum sejalan
dengan kaidah akad Rahn, seperti pemanfaatan hasil marhun ( barang gadai atau barang
jaminan ). Dalam hal ini berupa tanah sawah produktif yang dimanfaatkan oleh penerima
gadai( Murtahin ). Ini memberi peluang kepada orang–orang kaya untuk mencari
kesempatan memanfaatkan kekayaannya untuk mendapatkan jaminan gadai dari orang
miskin untuk investasi mereka yang terus berkembang.

Secara konseptual praktik gala umong hampir menyerupai konsep Rahn yang ada
didalam fiqih mu’amalah , Rahn adalah menahan sesuatu disebabkan adanya hak yang
memungkin hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut.
Rahn jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah gadai. Konsep gadai
menurut Imam Sudiat adalah penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah
uang secara tunai , dengan ketentuan : sipenjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya
dengan jalan menebusnya kembali.
Rahn pada dasarnya sebuah akad yang tujuan utamanya adalah untuk membantu
dan menolong kesulitan orang lain. Namun yang terjadi adalah ada oknum-oknum yang
sengaja memanfaatkan praktek gadai ini untuk kepentingan profit mereka. Inilah yang
terjadi di Desa Gampong Dayah Syarif Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie Provinsi
Aceh, praktek gadai yang terjadi di desa ini adalah praktek gadai sawah yang barang
jaminan nya (marhun )dimanfaatkan oleh penerima gadai secara mutlak. Biasanya, sawah
yang dijadikan barang jaminan gadai (marhun) lansung dikelola oleh penerima gadai dan
hasilnya pun sepenuhnya dimanfaatkan oleh penerima gadai . pada dasarnya , pemilik
barang dapat mengambil manfaat dari barang yang digadaikan , kendati dalam beberapa

hal pemilik barang boleh memanfaatkan hasilnya, akan tetapi dalam beberapa hal dia
tidak boleh menjual, mewakafkan, atau menyewakan barang jaminan tersebut , sebelum
ada persetujuan dari penerima gadai.

Salah satu pemicu terjadinya praktek gala umong di masyarakat Aceh pada
umumnya dan pada masyarakat Gampong Dayah Syarif Kecamatan Mutiara Kabupaten
Pidie Provinsi Aceh adalah karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak,
sehingga mayoritas orang yang melakukan gadai tanah atau sawah didesa tersebut adalah
orang-orang yang ekonominya rendah ( tergolong miskin) sementara yang menerima
gadai adalah rata-rata dari orang kaya. Yang terjadi didalam praktek ini adalah orang
kaya mengambil keuntungan diatas keterdesakan orang miskin, sehingga orang mskin
bisa saja karena terpaksa akan merelakan akan merelakan terhadap barang jaminannya
berupa sawah untuk dikelola oleh orang kaya yang menerima gadai tersebut. Tentunya ini
sangat merugikan orang miskin ,hal ini sangat jauh melenceng dari tujuan utama akad
rahn yaitu untuk saling tolong menolong dan bukan akad untuk mencari keuntungan
Pada bab pembahasan penulis juga menjelaskan secara rinci pengertian gala
umong (gadai sawah) secara istilah bahasa ataupun menurut definisi beberapa Ulama.
Gadai dalam istilah bahasa Arab disebut Rahn. Rahn artinya ats- Tsubut dan Ad_
Dawaam (tetap), ataupun dapat diartikan juga al Habsu (menahan ) sedangkan menurut
definisi beberapa ulama mempunyai makna yang berbeda-beda denagn kandungan makna
yang sama. Rahn yaitu menjadikan barang yang boleh dijulasebagai kepercayaan hutang
yang digunakan untuk membayar hutang jika terpaksa tidak bisa melunasi hutang
tersebut. Selain itu ada juga definisi gadai menurut KHU perdata. .
.


Dalam konteks memanfaatkan marhun (barang jaminan ) oleh rahin atau

Murtahin, terdapat beberapa ketentuan :
1. Pemanfaatan marhun oleh rahin : ada dua pendapat ulama : yang pertama jumhur
ulama berpendapat tidak boleh bagi rahin memanfaatkan marhun. Pendapat kedua
yaitu Syafi’iyyah yang mengatakan bahwa boleh bagi rahin memanfaatkan
marhun selama itu tidak merugikan pihak murtahin.

2. Pemanfaatan marhun oleh murtahin : Jumhur selain ulama an bilah berpendapat
bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun.
Dalam melakukan penelitian praktek gala umong yang terjadi

di masyarakat

AGampong Dayah Syarif Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie Provinsi Aceh,
Penulis melakukan wawancara yang melibatkan narasumber dari pihak rahin maupun
Murtahin . dari hasil wawancara penulis dengan murtahin dan rahin tersebut, bisa
disimpulkan bahwa praktik gala umong yang umum terjadi dalam masyarakat disana
adalah gala umong dalam meuh ( gadai sawah dilakukan dalam bentuk emas ) dimana

setiap satu naleh sawah dihargai dengan 30 mayam emas , dengan syarat saat akad gadai
disaksikan oleh dua orang dan di tandatangani oleh Kepala Desa dan sawah menjadi hak
milik murtahin selama gala “ umong jeut hak milek tanyoe nye gala” kata seorang
narasumber di gampong Dayah tersebut.
Pada akhir tulisan , penulisan memaparkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan
yang berlaku dalam proses transaksi akad gadai sawah ini , dimana ada beberapa syaratsyarat perjanjian akad gala umong ini tidak terpenuhi, contoh tidak adanya batas waktu
yang jelas berakhirnya akad gala umong ini. Penulis menyarankan adanya pembenahan
yang didakwahkan oleh ulama di daerah tersebut agar masyarakat dapat menjalankan
praktek gala umong ( gadai sawah) dengan benar dan sesuai kaidah syari’at. Hal lain
yang tidak sesuai dengan kaidah akad rahn adalah pemanfaatan hasil dari marhun (
barang jaminan) dalam hal ini sawah produktif yang dimanfaatkan oleh penerima gadai.
(murtahin) , akibat dari kejadian ini adalah menyebabkan si miskin akan semakin miskin
dan yang kaya akan semakin kaya karena mendapatkan hasil yang berlimpah dari
pemanfaatan ini.
B. Pembahasan dan Analisis
Menurut analisa sederhana saya, topik gala umong yang diangkat oleh penulis
dalam artikel ini adalah sangat menarik. Selain topik ini luput dari perhatian masyarakat
bahkan ulama setempat, persoalan tentang hukum akad gala umomg ini menarik untuk
dikaji.


Akad gala umong (gadai sawah) pada dasarnya adalah akad transaksi utang
putang yang melibatkan dua pihak yaitu rahin dan murtahin. Dikarenakan ada nya
kebutuhan ekonomi yang mendesak, pihak rahin (penggadai ) menggadaikan sawahnya (
marhun ) kepada murtahin ( penerima gadai ) sampai rahin mampu menebusnya kembali.
Sebenarnya akad gala atau gadai ini bertujuan baik yaitu untuk saling menolong antara
sesama manusia yang saling membutuhkan. Namun dalam prakteknya, akad gala umong
ini adalah menjadijalan Karena pada hakikatnya , sudah hukum alam dan takdir manusia
sebagai makhluk sosial, didunia ini terdapat sebagian dari mereka ditakdirkan menjadi
kaya, dan sebagian yang lain hidup miskin. Sikap saling membutuhkan diantara mereka
adalah fitrah. Namun yang terjadi dalam prakteknya, akad gala umong ini keluar dari
tujuan semula yang baik, dimana pemberian piutang kepada yg membutuhkan adalah
untuk meringankan kebutuhan si rahin , yang terjadi adalah ada pihak pihak tertentu yang
menganggap ini sebagai sebuah peluang untuk mencari keuntungan.1
Walaupun ditinjau dari pengertiannya, gala dan rahn adalah sama, yaitu gadai.
Namun dalam prakteknya dilapangan , gala umong tidak sesuai dengan Rahn yang
disyari’atkan dalam agama. pada praktek gala umong ada syarat-syarat yang tidak
terpenuhi seperti halnya pada syarat sahnya Rahn. Diantaranya tidak ada nya batas waktu
( tempo) yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara pihak rahin dan murtahin ,
dan juga keuntungan yang diperoleh oleh murtahin dalam akad gala umong ini sungguh
banyak dan berlipat-lipat, keadaan rahin yang hanya bisa pasrah merelakan harta mereka

yang menjadi jaminan gadai untuk menjadi milik murtahin karena ketidak mampuan
melunasi hutang-hutang mereka adalah satu bentuk ketidak adilan.
Ada sebuah kaidah : “semua bentuk utang yang menghasilkan keuntungan adalah
riba “.Dalam praktek gala umong ini kita dapati bahwa kesengajaan sebagian pihak untuk
mencari keuntungan diatas kesulitan pihak lain adalah jelas tampak, dan ini merupakan
salah satu dari bentuk riba yang dilarang Allah. Seperti yang dipaparkan penulis
berdasarkan wawancara beliau dengan seorang narasumber didesa setempat, biasanya
dalam praktik akad gala umong sinaleh sawah dihargai 30 mayam emas, dan setelah
Muha
ad Maula a, JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN “YARIAH DI
INDONE“IA (ANALI“I“ JAMINAN PEMBIAYAAN MU“YĀRAKAH DAN MUḌĀRABAH, Jurnal Ilmiah Islam
Futura 14, no. 1 (2014): 72–93.
1

transaksi gala maka otomatis sawah akan menjadi milik si murtahin ( penerima gadai).
Jika dalam perhitungan matematika, satu petak sawah dihargai Rp 50 juta dan jumlah
utang 30 mayam emas. Harga satu mayam emas Rp 1,5 juta jadi total hutang Rp 45 juta.
Jika penerima gadai menggarap sawah dan mendapatkan hasil Rp 14 juta per tahun
dengan asumsi dua kali garap setahun, jika akad rahid baru dilunasi pada tahun kelima
maka murtahin telah mendapatkan keuntungan dari hasil garap sawah sebesar rp 14 juta

dikali 5 tahun sama dengan Rp 70 juta.harga tersebut telah melewati harga sawah (
marhun ) dan jumlah utang (marhun bih) itu sendiri.
Hal ini sudah termasuk memakan riba “seperti firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 130 “ hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu memakan harta riba secara
berlipat ganda dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kamu menang “ ( QS Ali
Imran ayat 130)
Mengambil keuntungan yang berlipat ganda disini termasuk hal yang sangat
dilarang dalam syari’at islam, apalagi yang menjadi korban disini adalah orang-orang
miskin yang tidak mempunyai penghasilan atau solusi lain untuk keluar dari kemelut
masalah ekonomi yang sedang mereka hadapi selain dari menggadaikan harta yang
mereka punya.2
Disamping itu hutang yang dipraktikkan dalam masyarakat Gampong Dayah
Syarif adalah berupa utang emas, ada hal yang dikhawatirkan disini, jika penebusan
hutang dilakukan dengan uang tetapi harus sesuai dengan kurs emas. maka hal ini akan
sungguh memberatkan pihak rahin (penggadai ), karena nilai dan harga emas akan
berubah seiring bertambahnya tahun. Dan Rahin akan semakin kesulitan untuk menebus
sawah mereka. Ini sudah termsuk riba fadl, yaitu berlebih salah satu dari dua pertukaran .
Dalam Alqur’an Allah berfirman “ maka yang bagimu adalah sebanyak pokokmu yang
semula, kamu tak boleh menganiaya dan dianiaya “(Qs al Baqarah :279) ini adalah dalil
tegas yang mengaharamkan mengambil riba dalam bentuk transaksi apapun termasuk

dalam persoalan utang piutang atau akad gadai.

M. Hasbi A iruddi , PEMIKIRAN I“LAM KONTEMPORER DALAM BENTURAN BUDAYA, Jurnal
Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 201–12.
2

Maka dapat dilihat bahwa dalam akad gala umong yang terjadi di Gampong
Dayah Syarif tersebut belum sesuai dengan kaidah akad gadai berdasarkan syaria’at
Islam.

C. Simpulan
Kelebihan dari artikel ini :
1. Topik permasalahan yang diangkat oleh penulis artikel ini sungguh menarik,
tulisan ini bisa menginspirasi para penulis lain agar bisa mengangkat
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, bukan hanya pada permasalahan
umum seperti hukum jual beli atau tentang bunga bank yang artikel atau buku –
buku yang mengupas hal tersebut sudah cukup banyak dijumpai.
2. Penulisan bahasa aceh yang disalin sebagai hasil wawancara dengan narasumber
dalam artikel ini sangat baik dan ditulis dengan sangat teliti. Ini menggambarkan
bahwa penulis adalah seorang putra Aceh yang sangat fasih berbahasa Aceh .

3. Artikel ini menginformasikan bahwa masih banyak masyarakat dikampungkampung maupun masyarakat perkotaan di daerah Aceh ini yang masih sangat
kurang pemahaman mereka tentang ilmu agama serta bagaimana pelaksanaan
akad dan muamalah muamalah yang sesuai dengan kaidah syari’at Islam.
4. Kesan saya setelah membaca artikel ini sangat bermanfaat, isi tulisan ini sangat
informatif, sangat baik dibaca oleh semua kalangan, terlebih bagi tokoh-tokoh
kampung dan ulama ulama di Aceh.
Kekurangan
1. Sayangnya penulis hanya sedikit saja memberi masukan bagaimana sebaiknya
praktek akad gala umong yang sering terjadi di Gampong Dayah Syarif ini
disikapi.

2. Penulis juga kurang menginformasikan kepada pembaca, apa pernah terjadi kasus
dimana pihak rahin tidak sanggup lagi melunasi sawah mereka,dana apa yang
kemudian terjadi?
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. Hasbi. “PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DALAM BENTURAN
BUDAYA.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 201–12.
Al Fauzan, Saleh.2005.Fiqih sehari-hari( judul asli : Al- Mulakhkhasul Fiqhi, Saudi
Arabia, Daar Ibnu Jauzi ). Jakarta: Gema Insani.
Hasan, M. Ali.2003.Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maulana, Muhammad. “JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA (ANALISIS JAMINAN PEMBIAYAAN
MUSYĀRAKAH DAN MUḌĀRABAH.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 14, no. 1
(2014): 72–93.
Suhendi, Hendi.2002. Fiqih Muamalah. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.