T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB VI

BAB VI
KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI
REKONSILIASI KONFLIK

6.1.

Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo.
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang pola relasi (interaksi)

masyarakat baik di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat, peneliti melihat
bahwa persoalan bergereja telah mempengaruhi serta mereduksi relasi-relasi sosial
masyarakat yang telah terbangun lama. Hal tersebut dapat ditemukan melalui terbangunnya
relasi sosial yang kelihatannya kaku (non-fleksibel) dilakukan, semacam ada tembok pemisah
yang terbangun diantara kelompok (jemaat).
Tentunya kondisi seperti ini penting untuk direspon melalui pola pendekatan masalah
yang tujuannya adalah untuk mencari berbagai solusi alternatif guna memulihkan
(merekonsiliasi) relasi-relasi sosial yang demikian, serta meminimalisir adanya resiko-resiko
sosial lainnya yang kemungkinannya akan bermunculan kembali. Berdasar pada hal itu, maka
peneliti mengutarakan salah satu konten pertanyaan wawancara kepada berbagai informan
kunci, yang berbunyi: “dapatkah nilai-nilai Hibua Lamo mampu dijadikan sebagai basis
dalam merekonsiliasi kondisi masyarakat pasca perpecahan jemaat? adapun sikap para pihak

(informan) dapat diulas secara berurutan, diantaranya adalah:
Respon (sikap) Bpk. S.P. Sumtaki, selaku Tokoh Adat Desa Duma, adalah:
“Saya tidak bisa mendaulati hak orang lain dalam hal bergereja, tetapi yang
saya maknai adalah kita sebagai orang bersaudara dan keluarga di Desa Duma
apakah kita harus saling berkelahi karena masalah perbedaan gereja (jemaat)?
Identitas sebagai keluarga tidak akan hilang, keluarga tetaplah keluarga. Istri
bisa dicerai, suami bisa dicerai, agama bisa ditinggalkan, tetapi siapa yang mau
dan berani tinggalkan keluarga? Mungkin selain maut (kematian). Kitorang
(kita) ini kan belajar dari orang tua-tua dulu, memang orang tua-tua dulu itu
tegas berpegang pada tradisi dan adat - walaupun saat itu belum kenal agama.
Contohnya sampai sekarang tradisi babilang itu adalah tradisi yang diwariskan
dari orang tua dulu-dulu”.
Dengan mencermati konten wawancara di atas, peneliti melihat bahwa ada
kekecewaan yang muncul dari Bpk S.P Sumtaki dalam melihat kondisi bermasyarakat di
Desa Duma yang tidak lagi harmonis seperti sebelumnya, mengingat bahwa jalinan
kekeluargan telah retak dan rusak akibat perpecahan jemaat. Adapun sikap lain yang
54

diperlihatkan oleh Bpk S.P Sumtaki, dimana identitas kekeluargaan di Desa Duma tidak akan
hilang dengan adanya perpecahan jemaat. Ungkapan dan sikap tersebut merupakan bentuk

ketegasan dari seorang tokoh adat yang sampai sekarang terus melestarikan identitas adat dan
budaya di Desa Duma. Dari sikap inilah, peneliti mengartikan bahwa nilia-nilai Hibua Lamo
masih mendapatkan tempat yang cukup baik dalam hal jika digunakan sebagai basis dalam
upaya merekonsiliasi kondisi masyarakat yang telah retak dan pecah tersebut.
Respon (sikap) Pdt. R. Tukang selaku Pimpinan Jemaat Hendrik van Dijken:
“Saya kira bisa saja, karena secara bermasyarakat yang mengikat kitorang
(kita) dalam hubungan kesatuan dan persatuan adalah Hibua Lamo. Jadi saya
kira adat itu bagus. Karena dalam hidup bermasyarakat ketika terjadi masalah,
kitorang angkat adat, karena adat dapat mempersatukan kitorang. Saya kira
apapun pengaruh dari persoalan agama dan politik tetapi kalau kitorang kuat
dengan adat, maka kitorang hidup itu akan baik. Dan tentunya, saya juga
mengharapkan supaya adat yang ada, Sibua Lamo di Galela ini merupakan
dasar hidup kitorang sebagai masyarakat, supaya apapun perkembangan dunia,
pengaruh-pengaruh modernisasi dalam bentuk apapun dan kitorang berpegang
dalam adat, kitorang akan hidup dalam keadaan aman. Dulu contohnya konflik
1999-2000 yang luar biasa, dan sampai sekarang kitorang bisa bersatu karena
adat Hibua Lamo itu. Dan jika saya kira perspektif atau nilai-nilai Hibua Lamo
itu kita taruh dalam pikiran kita didepan, maka pengaruh apapun kitorang akan
bisa menghadapinya”.
Respon Bpk. M. Bahagia, selaku Pimpinan Jemaat Nita Duma:

“Menurut saya, nilai-nilai Hibua Lamo itu bisa. Hal ini kita lihat ketika
kerusuhan yang terjadi 1999-2000 sebagai contohnya. Secara bergereja
mungkin saja butuh proses atau waktu yang panjang. Namun kalau secara
bermasyarakat kita kuat dalam hal adat, pastinya kita akan hidup dalam
keadaan baik. Jika masyarakat hidup baik, maka akan berpengaruh baik juga
terhadap persekutuan jemaat. Karena adat tidak terpengaruh dengan hal-hal
luar yang dapat merusak kita”
Mencermati sikap dari dua pimpinan jemaat tersebut, peneliti melihat bahwa nilai-nilai
Hibua Lamo mendapatkan tempat yang manis dalam hal memulihkan relasi-relasi sosial yang

ada di Desa Duma. Berdasar pada respon di atas, kedua pimpinan jemaat memiliki sikap yang
sama terkait menempatkan nilai-nilai adat (Hibua Lamo) guna membangun relasi kehidupan
masyarakat yang harmonis. Peneliti melihat hal ini baik, jika warga jemaat mampu
menempatkan perspektif berpikirnya dengan berdasar pada nilai-nilai Hibua Lamo guna
memulihkan dan membangun kembali jalinan kekeluargaan diantara mereka. Maksud peneliti
ini senada dengan penggalan kalimat dari Bpk M. Bahagia di atas, bahwa „Jika warga
55

masyarakat hidup baik, maka akan berpengaruh baik juga terhadap aktivitas persekutuan
jemaat‟.

Respon Bpk. J. Buladja, selaku Tokoh Masyarakat di Desa Duma;
“Bisa saja, Hibua Lamo dijadikan sebagai mediator untuk menyelsasikan
masalah, namun ini kan persoalan gereja dengan gereja (internal), itu yang
membuat tidak bisa. Hibua Lamo itu tidak mengenal latar belakang suku,
agama dan lain-lain, dia adalah alat pemersatu masyarakat”.
Respon Bpk. C. Jai, selaku Tokoh Masyarakat di Desa Mamuya:
“Nilai Hibua Lamo itu saya artikan sebagai bentuk rumah besar yang
maknanya adalah suatu sistem keluargaan yang besar. Walapun berbeda-beda
suku dan agama, tetapi kita semua adalah saudara dan keluarga. Begitupun
menyangkut permasalahan gereja ini, walaupun secara organisasi gereja kita
berbeda, tetapi hubungan keluarga dan keluarga itu harus tetap terjaga.
Respon Bpk. S. Dawile, selaku Kepala Desa Mamuya:
“kalau pikiran saya, persoalan konflik antara Islam-Kristen 1999-2000 dengan
persoalan internal Gereja sekarang itu bedah jauh. Persoalan gereja adalah
persoalan prinsip organisasi, masing-masing mempertahankan ego dan itu
susah, karena tidak ada titik penyelesaian sampai saat ini. Karena ada pihak
diatas (elit) yang tidak mau membuka diri untuk saling berdamai”.
Respon Bpk. Y. Sumtaki, selaku Kepala Desa Duma:
“Memang pola pendekatan penyelesaian masalah yang ada di kantor Desa
selama ini memakai pendekatan adat. Masyarakat di Desa Duma ini kan

semuanya telah diikat oleh ikatan keluarga. Sehingga misalnya kemarin, di hari
minggu itu ada perkelahian gara-gara (penyebab) masalah gereja. Dan ketika
dibawah ke kantor Desa, akhirnya dua-duanya mengambil sikap untuk saling
berdamai”.
Mencermati respon dari pihak Tokoh Masyarakat dan Pemerintah Desa di atas,
peneliti melihat beberapa informan kunci seperti Bpk. J. Buladja dan Bpk. S. Dawile
mengartikan Hibua Lamo dalam perspektif “struktural organisatoris”, dimana penekanannya
pada struktur kelembagaan adat Hibua Lamo serta tidak cocok digunakan sebagai alat
pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan internal gereja (Sinodal) yang ada. Adapun
perspektif yang terbangun dari kedua orang ini, diantaranya adalah memposisikan peran
Hibua Lamo untuk menjawab penyelesaian masalah ditingkatan organisatoris (Sinode)

56

GMIH. Hal tersebut tidak dimaksudkan oleh peneliti sebagaimana maksud dari konten
pertanyaan yang diutarakan oleh peneliti sebelumnya.
Peneliti tidak memposisikan peran Hibua Lamo yang secara solutif menyelesaikan
konflik internal GMIH secara organisatoris (Sinode), dimana gereja (Sinode) harus menjadi
utuh (satu) kembali. Tidak pada tataran itu. Namun peneliti melandaskan Hibua Lamo dalam
perspektif institusi nilai adat, dimana terdapat muatan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat

yang mengatur kebaikan hidup bersama secara sosial. Berdasar pada perspektif itulah, Hibua
Lamo ditempatkan dan diandaikan oleh peneliti mampu dijadikan sebagai obat (basis) dalam

memulihkan kembali (rekonsiliasi) kondisi (relasi-relasi) masyarakat yang sudah terlanjur
retak bahkan rusak tersebut. Pada sisi lainnya, Hibua Lamo juga mampu dijadikan sebagai
instrumen yang cukup mumpuni dalam meng-counter berbagai persoalan-persoalan sosial
yang kemungkinannya akan meledak dalam masyarakat.
Maksud dari peneliti tersebut telah digambarkan dengan jelas oleh sebagian besar
informan kunci, misalnya oleh Bpk. Y. Sumtaki, selaku Pemerintah Desa yang menggunakan
pendekatan secara adat (kekeluargaan) dalam hal mengurusi masalah-masalah sosial yang
muncul akibat dari dinamika bergereja di Desa Duma. Hal itulah yang dipakai sebagai basis
pendekatan dalam penyelesaian masalah. Adapun oleh Bapak Kornelius Jai yang lebih
memperjelas dengan mengartikan bahwa “walaupun secara organisatoris (Sinode) kita
berbeda, tetapi hubungan kekeluargaan kita haruslah tetap terjaga”, serta lebih diperjelas lagi
oleh Bapak Pdt R. Tukang yang pada kalimat akhirnya mengatakan bahwa “jika nilai-nilai
adat ini kita posisikan atau tempatkan dipikiran kita, maka pengaruh apapun itu kita akan bisa
menghadapinya”. Berdasar pada deskripsi inilah, maka Hibua Lamo dikonstruksikan dan
diandaikan mampu digunakan sebagai basis dalam upaya memulihkan (rekonsiliasi) kondisi
masyarakat pasca perpecahan jemaat.
6.2.


Upaya Membangun Kesadaran Bersama Melalui Basis Kekeluargaan.
Adanya keretakan dan kerusakan relasi-relasi sosial warga jemaat di Desa Duma dan

Desa Mamuya dengan disebabkan oleh dinamika kehidupan bergereja (berjemaat) yang tak
kunjung menemukan titik temunya, menstimulus semua pihak untuk terus bergumul dan
bergiat guna berupaya mencari cara guna memulihkan kembali situasi sosial warga
jemaatnya.

57

Sejalan dengan hal tersebut, peneliti menjumpai pola relasi antara sesama warga
masyarakat khususnya di Desa Duma yang kelihatannya mulai membaik kembali. Hal ini
dapat ditemui melalui moment ulang tahun Desa Duma yang ke-139 tahun, dimana dalam
moment tersebut terlaksana suatu bentuk kegiatan bersama yang melibatkan seluruh warga
masyarakat Desa Duma di lapangan Yubelium - Desa Duma tepatnya pada tanggal 7 Mei
2017. Kegiatan ini di inisiatif oleh Pemerintah Desa Duma.
Adapun bentuk kegiatan berupa lomba yang melibatkan banyak orang, diantaranya:
lomba “tarik tambang dan lomba suami gendong istri”. Kegiatan ini sangat direspon baik oleh
masyarakat Desa Duma melalui partisipasi dalam setiap mata lomba yang dilaksanakan, serta

banyaknya masyarakat yang berdatangan untuk menonton di lokasi kegiatan tersebut. Hal ini
lebih jelasnya, diungkapkan oleh Bapak Y. Sumtaki,1 bahwa:
“Untuk menghilangkan gab-gab yang ada di masyarakat, saya coba
menginisiasi dalam suatu bentuk kegiatan yang partisipasinya dari semua pihak
atau kedua jemaat. Kebetulan saya terinspirasi dari acara ulang tahun di Goa,
Makasar, dengan bentuk lomba gendong istri. Dari hal itulah, saya berpikir
sudah dekat moment hari ulang tahun Desa Duma dan selama ini kan tidak
pernah kita rayakan. Kebetulan kami (Perangkat Desa dan BPD) menerima
gajian dan kami bersepakat untuk secara suka rela baku pot (patungan) dengan
jumlah Rp. 50.000,00 per-orang, yang dikhususkan bagi hadiah pemenang
lomba. Hal ini sudah bagus, karena melihat partisipasi dari masyarakat dalam
semua lomba, bahkan pimpinan jemaat pun ikut terlibat. Pimpinan jemaat
Hendrik van Dijken terlibat dalam lomba tarik tambang; sedangkan pimpinan
jemaat Nita Duma karena sakit jadi hanya datang menonton saja. Kami
memakai forum-forum jemaat untuk menyampaikan agenda kegiatan ini, baik
itu disaat ibadah lingkungan maupun di ibadah minggu”.
Peneliti mencermati bahwa Pemerintah Desa Duma sangatlah kreatif dalam
mengkonstruksi suatu kegiatan bersama dengan melibatkan semua masyarakat (kedua
jemaat). Hal ini menunjukan bahwa ada upaya nyata dari pihak Pemerintah Desa untuk
bersikap netral ditengah-tengah problematika internal gereja yang terjadi di Desa Duma.

Sehingga sikap netral dari Pemerintah Desa Duma diwujudkan melalui suatu kegiatan
bersama, yakni “perayaan hari ulang tahun Desa Duma”. Bagi peneliti, hal tersebut
merupakan bentuk “rekayasa sosial” yang sengaja diciptakan oleh Pemerintah Desa Duma
guna menstimulus “imajinasi kolektif” seluruh warga masyarakat di Desa Duma. Hal ini
tentunya sangat berpengaruh pada relasi sosial diantara warga jemaat yang semakin menguat.
Beliau adalah Kepala Desa Duma – di wawancarai pada 22 Juni 2017.

1

58

Bagi peneliti, kegiatan ini memiliki peran penting dalam upaya memulihkan kembali
relasi masyarakat yang sebelumnya retak dan tersekat akibat dari egoistik kelembagaan
gereja diantara mereka. Konstruksi kegiatan yang di inisiasi oleh pihak Pemerintah Desa
Duma ini dengan sendirinya menghancurkan tembok pemisah yang terbangun akibat adanya
perbedaan jemaat (gereja). Dilihat dari basis sosio-historis, bahwa warga masyarakat Desa
Duma adalah satu kesatuan yang diikat oleh sistem kekerabatan „marga, sehingga dalam
hemat peneliti, kegiatan ini merupakan „tamparan keras‟ kepada setiap orang di Desa Duma
untuk merefleksikan kembali arti perjalanan hidup mereka sebagai saudara-bersaudara yang
terbangun diatas basis kekeluargaan.

Gambar 6.2.
Perayaan Hari Ulang Tahun Desa Duma Yang Ke-139 Tahun
‘Lomba Tarik Tambang dan Gendong Istri’

Dokumentasi kegiatan oleh Narvatilova Mailoa –
Peneliti mengaksesnya melalui akun FaceBook-nya.

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Desa Mamuya, upaya keras yang dilakukan
oleh Pemerintah Desa Mamuya dalam rangka membangun kesadaran untuk hidup bersama
melalui basis kekeluargaan merupakan hal yang cukup sulit, mengingat sebagian warga
masyarakat yang tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya telah mengambil sikap
untuk keluar dari Desa Mamuya dan berdomisili di wilayah lain.
Namun, pasca dari eksodus tersebut, ditemukan2 bahwa pola relasi mulai terbangun
kembali diantara kedua pihak (jemaat) melalui tradisi Mabari (kerja sama). Tradisi mabari
dipraktekan melalui kerja sama dalam hal „panen buah kelapa‟ (kopra)3. Kebun kelapa ini
Hasil wawancara bersama Kepala Desa Mamuya – diwawancarai pada tanggal 4 Mey 2017.
Kerja Sama „panen buah kelapa‟ membutuhkan banyak orang melalui beberapa tahapan-tahapan kerja yang
begitu kompleks (sulit) untuk mengerjakannya sampai selesai - (Jelasnya: Lihat pada sub bab 5.1.4).

2

3

59

adalah milik satu keluarga yang adalah warga jemaat Imanuel Baru Mamuya, yang telah
berdomisili di Desa Wari. Namun, kebun dari keluarga tersebut berada di wilayah Desa
Mamuya, sehingga pihak keluarga meminta bantu kepada keluarganya di Desa Mamuya yang
merupakan jemaat Imanuel Mamuya untuk bersama-sama bekerja memanen buah kelapa
(kopra) tersebut.
Praktek tradisi mabari yang secara langsung mempertemukan kedua pihak (jemaat)
tersebut merupakan suatu bentuk kesadaran akan suatu pekerjaan yang sifatnya berat jika
dilakukan sendiri, sehingga membutuhkan orang lain guna meringankan beban yang begitu
besar. Peneliti memaknai bahwa kesadaran untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi
tersebut tentunya dilandasi dengan semangat berbasis kekeluargaan (tradisi). Tradisi mabari
merupakan wujud implementasi dari nilai O’Hayangi yang berarti „saling sayang atau saling
peduli‟. Dalam konteks kerja panen buah kelapa (kopra) inilah, nilai O’Hayangi
mendapatkan tempatnya sebagai bentuk ungkapan rasa sayang dan kepedulian diantara
keluarga. Dari pola relasi yang terbangun melalui kerja sama (mabari) ini menyadarkan
mereka (kedua kelompok) bahwa mereka bukanlah orang lain, melainkan adalah keluarga,
mengingat ada sistem kekerabatan (marga) yang mengikat mereka serta dipersatukan dalam
bangunan nilai „rumah bersama‟.
Hal lainnya yang berkaitan dengan upaya membangun kesadaran melalui basis
kekeluargaan nampak dalam praktek tradisi babilang. Berdasarkan hasil observasi dilapangan
serta sebagaimana hasil wawancara terhadap beberapa informan kunci di Desa Duma dan
Desa Mamuya, ditemukan bahwa tradisi “Babilang” ini masih sering dipraktekan oleh warga
jemaat pasca perpecahan jemaat, mengingat bahwa latar belakang kesukuan masyarakat dari
warga jemaat yang hidup pada dua lokasi (desa) adalah suku Galela.
Tradisi babilang memiliki korelasi erat dengan nilai-nilai Hibua Lamo, yakni O
Hayangi (Sayang), O Baliara (Pelihara), dan O, Dora (Kasih). Tradisi ini merupakan bentuk

dari sikap kepedulian, saling menopang atau menunjang, serta saling melayani dengan tujuan
untuk meringankan beban bagi keluarga yang menimpa peristiwa kematian (duka cita)
maupun keluarga yang merayakan acara pernikahan (suka cita).

60

6.3.

Jalan Ketiga: Menghidupkan Kembali Jemaat Nita Duma.
Sebelum membahas secara mendalam terkait sub bab ini, awalnya peneliti akan

menggambarkan sedikit tentang alur perpecahan jemaat di Desa Duma. Alur perpecahan
jemaat di Desa Duma dapat dilihat melalui bagan berikut ini:
Bagan 6.3.
Perpecahan Jemaat Nita Duma dan Kemungkinan Adanya Rekonsiliasi
Jemaat Hendrik van Dijken
GMIH Lama

2
1
JEMAAT
NITA DUMA

Alur Perpecahan
Jemaat

Jemaat Nita Duma
GMIH Lama

3
2
Jemaat Nita Duma
GMIH Pembaharuan

Bagan diatas merupakan gambaran dari alur perpecahan jemaat di Desa Duma.
Sebelum perpecahan jemaat terjadi di Desa Duma, semua warga jemaat terorganisir dalam
satu jemaat, yaitu jemaat „Nita Duma‟. Perpecahan jemaat di Desa Duma pada tahun 2014
silam melahirkan dua jemaat, yaitu jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan), dan
jemaat Hendrik van Dijken (pro BPHS GMIH Lama). Pada bulan Mei 2017, saat peneliti
melakukan penelitian dilapangan, sebagian warga jemaat yang sebelumnya tergabung dalam
jemaat Nita Duma – pro GMIH Pembaharuan mengorganisir diri dan membentuk satu jemaat
baru (jemaat ketiga), dengan nama jemaat yang sama, yakni jemaat Nita Duma (pro terhadap
BPHS GMIH Lama).
Dalam konteks penelitian ini, peneliti tidak memposisikan diri mengambil sikap
bahwa BPHS GMIH Lama benar dan BPHS GMIH Pembaharuan salah, atau pun sebaliknya.
Tidak demikian, namun peneliti menempatkan diri untuk tidak berpihak (netral), dengan
berdasar pada alasan-alasan munculnya jemaat ketiga serta berupaya untuk mengggali dan
menganalisis data sesuai hasil temuan dilapangan.

61

Munculnya jemaat ketiga ini tentunya memiliki alasan-alasan yang mendasari sikap
mereka. Adapun alasan yang diungkapkan oleh Bapak S. Buladja dan N. Tumada4, adalah:
“Awal munculnya SSI (GMIH Pembaharuan) kami sangat mendukung, dan
dukungan itu kurang lebih 3 tahun. Setelah kondisi (konflik) ini berjalan dan
diproses melalui jalur hukum, GMIH Pembaharuan kalah menurut putusan
dalam ranah hukum! Oleh karena itu kitorang (kami)harus cari tahu; kita
yang merasa diri benar tetapi kenapa kalah? Mulai kami gali dan cari buktibukti dan kitorangdapat bukti itu, yakni: Terkait Surat Penjelasan Pendirian
Yayasan GMIH Pembaharuan oleh Kementrian Agama melalui Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen (Ditjen Bimas) Kristen. Ketika
kitorang mendapatkan Surat Penjelasan5 tersebut, ternyata ada 4 poin yang
dituliskan tersebut. Dua poin utama yang menjadi alasan utama kami,
diantaranya adalah; pada poin ke-2 berbunyi, “bahwa pengesahan akta
pendirian Yayasan GMIH oleh Kementrian Hukum dan HAM adalah
pengesahan sebagai Yayasan, bukan sebagai Gereja Masehi Injili di
Halmahera (GMIH). Oleh karena itu Gereja dan Yayasan adalah dua lembaga
yang berbeda, tidak perlu saling intervensi”; dan bunyi poin ke-4, adalah
“Ditjen Bimas Kristen - Kementrian Agama tidak melayani pendaftaran induk
organisasi Gereja baru/Sinode baru karena arah pembinaan gereja diarahkan
bukan untuk peningkatan kwantitas organisasi gereja melainkan kwalitas
yang bertanggung jawab, peningkatan kerukunan/keesaan gereja.
Nah...anehnya, surat penjelasan ini tidak dibacakan (transparansi) dalam
gereja-gereja di GMIH Pembaharuan. Kami merasa dibohongi dengan
ditutupinya bukti-bukti ini”.
Hasil wawancara ini merupakan alasan-alasan yang dipakai oleh kelompok tersebut
untuk menyatakan sikap dengan membentuk suatu jemaat baru (jemaat ketiga). Bagi peneliti,
alasan-alasan tersebut cukup kuat dan rasional bagi kelompok ini dalam upaya mencari solusi
ditengah-tengah dualisme kepemimpinan Badan Pengurus Harian Sinode (BPHS) GMIH
yang sampai sekarang ini belum menemukan titik damainya. Sikap ini tidak serta-merta
muncul tanpa alasan atau bukti, namun didasarkan pada temuan bukti yang menurut mereka
pihak BPHS GMIH Pembaharuan melalui jemaat Nita Duma tidak pernah mensosialisasikan
Surat Keputusan (SK) tentang Penjelasan Pendirian Yayasan GMIH oleh Kementrian Agama
Republik Indonesia – Melalui Direktorat Jendral (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas)
Kristen kepada seluruh warga jemaat Nita Duma.

4

Sebelumnya kedua Beliau ini adalah warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap
untuk membentuk satu jemaat baru – diwawancarai secara bersama-sama pada Sabtu, 24 Juni 2017.
5
Salinan SK dari Direktorat tersebut di berikan kepada Peneliti saat kegiatan wawancara berlangsung

62

Adapun bukti yang memperkuat sikap mereka (warga jemaat ketiga) untuk
mengambil keputusan dengan cara keluar dan membentuk jemaat baru adalah berdasar pada
poin 4 dari SK tersebut yang berbunyi bahwa “Kementrian Agama Republik Indonesia –
Melalui Ditjen Bimas Kristen tidak melayani pendaftaran Induk gereja Sinode baru”. Dengan
berdasar pada bukti-bukti sebagaimana yang dijelaskan melalui surat penjelasan tersebut,
maka kehadiran dari jemaat ketiga ini didasarkan dengan alasan-alasan mendasar dan cukup
rasional dalam upaya mencari tahu kebenaran di tengah-tengah dualisme kepemimpinan dan
saling klaim-mengklaim kebenaran internal Sinode GMIH.
Posisi jemaat ketiga dalam konteks ini adalah keberpihakan pada Sinode GMIH Jln.
Kemakmuran – Tobelo (BPHS GMIH Lama), dimana dalam konteks surat penjelasan
tersebut, Sinode GMIH Lama diakomodir oleh Negara melalui Kementrian Agama. Pada sisi
yang lain, sikap dari jemaat ketiga untuk tidak bergabung dengan jemaat Hendrik van Dijken
dipandang keputusan proporsional dan memiliki konsekuensi logis bagi adanya ruang
rekonsiliasi pada tubuh jemaat di Desa Duma.
Menurut hemat peneliti, posisi jemaat ketiga adalah bentuk menengahi perseteruan
bagi kedua jemaat yang sebelumnya telah ada, dimana jemaat ketiga mengambil posisi netral
secara berjemaat. Keputusan ini tentunya adalah bentuk upaya-upaya untuk menawarkan
jalan lain sebagai „jalan ketiga‟ dalam pencarian solusi bagi keutuhan jemaat di Desa Duma.
Sehingga dalam hemat peneliti, adanya jemaat ketiga ini cukup membuka ruang bagi
kemungkinan adanya rekonsiliasi jemaat di Desa Duma.
Peneliti menggali lebih jauh lagi dan berupaya untuk menganalisanya. Ditemukan
bahwa ada motif atau indikasi penting lainnya menyangkut sikap dari jemaat ketiga dengan
menggunakan nama jemaat yang sama, yakni „jemaat Nita Duma‟. Bertolak dari hal tersebut,
maka peneliti mempertanyakannya dalam satu konten pertanyaan wawancara, yaitu: “Kenapa
menggunakan nama jemaat yang sama, yakni jemaat Nita Duma? Kenapa tidak bergabung
saja dengan jemaat Hendrik van Dijken yang juga merupakan jemaat dibawah pelayanan
BPHS Sinode Jln. Kemakmuran – Tobelo? Hal ini direspon oleh Bapak S. Buladja dan N.
Tumada6, adalah sebagai berikut:
“Nah...ini sebetulnya bukan jemaat baru, tetapi kitorang (kami) kembali ke
jemaat yang sebenarnya. Karena nama jemaat Nita Duma (GMIH
6

Sebelumnya kedua Beliau ini adalah warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap
untuk membentuk satu jemaat baru – diwawancarai secara bersama-sama pada Sabtu, 24 Juni 2017.

63

Pembaharuan) itu so tarada (telah dihapus) dari register Sinode GMIH Jalan
Kemakmuran. Karena itu kitorang kembali dalam kelompok kecil dan
menamakan jemaat Nita Duma dengan tujuan untuk mengembalikan nama
jemaat Nita Duma ke register GMIH tersebut”.
Hasil wawancara ini merupakan alasan yang menarik dan menggelitik bagi peneliti
untuk mengidentifikasi motif dibalik sikap dari jemaat ketiga ini. Apa makna dibalik
penamaan jemaat Nita Duma ini? Sehingga nama ini dipakai dan diangap penting oleh warga
jemaat yang tersebut.
Secara etimologi, kata „Nita‟ berasal dari bahasa Galela, yang artinya „Terang‟,
sedangkan „Duma‟ adalah nama kampung (Desa). Jika diterjemahkan secara bebas, maka
Nita Duma berarti „Terang dari Duma‟. Terang dalam konteks ini dimaknai sebagai: “Injil
yang terpancar dari Duma hingga menyebar keseluruh belahan bumi Halmahera (Maluku
Utara)”. Seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa jemaat Nita Duma adalah
„jemaat mula-mula‟ yang menerima agama Kristen pada tahun 1866 di Halmahera melalui
seorang Misionaris berkebangsaan Belanda yang bernama Hendrik van Dijken7. Makna dari
pemberian nama jemaat Nita Duma tersebut memiliki keterkaitan erat dengan basis
historisitas (sejarah) kehidupan perjalanan Kekristenan di Halmahera.
Dalam sejarah perjalanan Gereja di Halmahera, Duma merupakan tempat awal benih
Injil itu ditanamkan, dimana tepatnya pada tahun 1949 terbentuklah suatu organisasi gereja
(Sinode) yang sekarang ini dikenal dengan nama Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH).
Sehingga bisa dikatakan bahwa Duma adalah peletak dasar (foundation) keberadaan dan
eksistensi GMIH hingga sekarang ini. Hal inilah yang mempengaruhi sikap dari jemaat ketiga
untuk tetap menggunakan nama jemaat Nita Duma dalam upaya mengembalikan nama
jemaat ke register GMIH. Menurut hemat peneliti, terbentuknya jemaat ketiga yang
tujuannya adalah mengupayakan kembali nama Nita Duma adalah sama dengan
menghidupkan kembali nilai dan makna sejarah bergeraja sebagai jumaat mula-mula yang
berpengaruh besar terhadap sejarah perjalanan GMIH hingga sekarang ini.
Terlepas dari basis historis kehidupan ber-GMIH, peneliti menemukan bahwa sikap
jemaat ketiga tersebut merupakan upaya menyadarkan kembali warga jemaat di Desa Duma
dari perspektif sosial-budaya. Secara sosial-budaya setiap orang yang tinggal, hidup, menetap
serta menjalani aktivitas hidup sehari-hari merupakan satu kesatuan yang diikat dan
Wawancara bersama Bpk. J. Buladja melalui via Hand Phone – pada jumat, 21 Juli 2017.

7

64

dipersatukan dalam sistem kekeluargaan. Sebagaimana telah disinggung juga dalam bab-bab
sebelumnya, bahwa masyarakat yang ada di Desa Duma merupakan keluarga besar yang
dipersatukan melalui sistem marga, dimana kepelbagaian marga yang berbeda-beda tersebut
telah diikat oleh bentuk pernikahan silang antara marga. Hal ini telah dilakukan dari orang
tua-tua (nenek moyang) sebelumnya, sehingga melalui sistem kekerabatan inilah yang
menyatukan semua orang yang tinggal di wilayah tersebut.
Sistem kekeluargaan tersebut tidak terlepas juga dari nilai-nilai Hibua Lamo atau
Sibua Lamo yang telah lama terlembaga dalam pola relasi dan interaksi antara warga

masyarakat. Adapun sederetan nilai yang terkandung dalam „rumah besar‟ tersebut
diantaranya adalah O’Dora, O’Hayangi, O’Baliara, O’Adili, dan O’Diai. Dengan berdasar
pada basis nilai dan makna inilah, peneliti akan menganalisisnya secara satu persatu dalam
kaitannya dengan sikap jemaat ketiga di Desa Duma.
Potret

perpecahan

bahkan

konflik

tersebut

meretakan

hubungan-hubungan

kekeluargaan serta berdampak pada menurunnya sikap saling mengasihi (O’Dora) diantara
keluarga. Terbentuknya jemaat ketiga adalah upaya untuk mengembalikan perasaan saling
mengasihi, yang dilakukan dengan cara untuk keluar dari jemaaat sebelumnya (Nita Duma)
dan tidak mau bergabung dengan jemaat lainnya (Hendirk van Dijken). Hal ini
mengindikasikan makna bahwa jemaat ketiga bersikap untuk tidak mau berlama-lama tergiur
dengan perseteruan dua kubu tersebut. Sehingga upaya penyadaran dan pemulihan harus
dilakukan, dan semuanya itu bisa terjadi jika dilandasi dengan rasa saling mengasihi. Rasa
saling mangasihi inilah unsur yang mengikat semua anggota masyarakat kedalam relasi yang
rukun dan damai.
Nilai O’Hayangi (sayang) mengandung makna saling menjaga perasaan, tidak saling
menyakiti, apalagi saling membunuh. Hal ini merupakan angin segar bagi kedua kelompok
jemaat yang sedang sibuk berkelahi dengan versi kebenarannya masing-masing. Sikap jemaat
ketiga merupakan tawaran jalan lain bagi kedua jemaat sebagai jalan tengah yang diambil.
Pada posisi inilah, nilai O’Hayangi itu hidup, dimana dalam hemat peneliti, jika mereka
(jemaat ketiga) memutuskan untuk masuk dan bergabung bersama jemaat Hendrik van
Dijken, pastinya lebih menyakiti hati jemaat Nita Duma – pro Pembaharuan. Keputusan
untuk keluar dan membentuk jemaat baru tetap saja meresahkan hati jemaat Nita Duma
(Pembaharuan), namun sikap itu merupakan konsekuensi yang harus diambil, dari pada
bersikap untuk tetap bertahan pada jemaat sebelumnya atapun bergabung dengan jemaat
65

Hendrik van Dijken. Pada titik inilah jalan ketiga membawa tawaran solusi yang baru, atau
dengan kata lain, berupaya untuk keluar dan kembali pada nilai O’Hayangi itu sendiri.
Perpecahan jemaat serta adanya bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang terjadi di
Desa Duma dipandang mereduksi makna dari nilai O’Baliara (Pelihara/Peduli). Adanya
perilaku saling memfitnah, saling membicarakan (gosip) secara negatif, ungkapan kata kotor
(makian) merupakan perbuatan-perbuatan yang secara langsung mengganggu keharmonisan
sosial diantara mereka. Sikap dari jemaat ketiga adalah upaya untuk keluar dari nuansa
konflik diantara dua kubu (jemaat) tersebut. Pada posisi inilah mereka (jemaat ketiga)
berupaya untuk menghindari tindakan-tindakan negatif yang nota benenya bertolak belakang
dengan nilai O’Baliara itu. Memang tidak dapat dipungkiri pula, bahwa jemaat ketiga juga
pernah terlibat dalam melakukan hal-hal yang demikian, namun keputusan untuk mencari
jalan lainnya merupakan sikap yang cukup strategis dalam upaya memulihkan kehidupan
bergereja maupun bermasyarakat dengan didasarkan pada nilai O’Hayangi itu sendiri.
Perpecahan jemaat membuat situasi sosial tidak lagi berada dalam keadaan seimbang
(adil). Melemahnya sikap hormat-menghormati serta sikap saling menghargai diantara orang
tua dan anak merupakan tindakan yang mereduksi makna dari nilai O’Adili itu sendiri. Secara
normatif, tentunya tindakan kekerasan secara langsung telah melanggar aturan-aturan adat
yang disepakati bersama. Dalam kondisi yang demikian, adil dan tidaknya tergantung dari
masing-masing kubu (jemaat). Jemaat ketiga berupaya untuk keluar dari kungkungan dua
kubu tersebut, guna berupaya untuk membenahi sikap mereka yang sebelumnya tidak baik
(tidak adil) adanya. Dalam asumsi peneliti, sikap dari jemaat ketiga adalah upaya untuk
mencari jalan keadilan lain (atau jalan ketiga), dimana “dua jalan sebelumnya” tidak
menemukan titik keadilan bagi warga jemaat di Desa Duma.
Melihat realitas konflik dan perpecahan tersebut, pola relasi masyarakat sangatlah
bertolak belakang dengan harapan ideal dari nilai O’Diai. Kebenaran milik masing-masing
pihak. Kebenaran dalam konteks ini terkesan merupakan hasil pengklaiman masing-masing
jemaat. Keputusan untuk keluar dari satu kubu dan tidak mau bergabung dengan kubu yang
lain adalah bentuk sikap bijak yang disikapi oleh warga jemaat ketiga untuk melepaskan diri
dari pengklaiman kebenaran yang demikian. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa sikap
dari jemaat ketiga juga merupakan upaya untuk mencari kebenaran yang ada. Namun,
keputusan dari warga jemaat ketiga adalah upaya untuk menawarkan jalan kebenaran ketiga
bagi dua kubu (jemaat) yang terus-menerus contras mencari-cari kebenaran tanpa titik
temunya.
66

Sikap jemaat ketiga dalam kaitannya dengan nilai-nilai Hibua Lamo merupakan upaya
untuk mengembalikan tatanan nilai yang telah ada sebelumnya. Untuk mengupayakan
kembalinya nilai-nilai tersebut, maka cara yang diambil oleh mereka adalah dengan
mengambil sikap untuk keluar dari jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan) dan
tidak mau bergabung dengan jemaat Hendrik van Dijken (pro BPHS GMIH Lama),
melainkan membentuk satu jemaat lagi. Bagi peneliti, upaya dari jemaat ketiga ini dipandang
sebagai jalan ketiga yang menawarkan alternatif solusi guna memulihkan kembali
(rekonsiliasi) kondisi sosial masyarakat yang telah tersekat akibat egoistik kelembagaan
bergeraja oleh dua kelompok (jemaat) tersebut.
Dalam hemat peneliti, adanya jalan ketiga ini merupakan „tamparan keras‟ terhadap
kedua pihak yang terus menerus berada dalam lingkaran masalah yang tak kunjung
menemukan titik temunya. Pada sisi lainnya, sikap dari jemaat ketiga ini juga merupakan
bentuk resistensi terhadap pihak elit Sinode yang dilanda oleh dualisme kepemimpinan yang
sampai sekarang tidak mampu menemukan titik temunya untuk saling berdamai, melainkan
sibuk berkonflik dan terus menerus mempertahankan keegoisannya masing-masing.

67

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24