PONDOK PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDI

PONDOK PESANTREN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN UMAT ISLAM DI INDONESIA PADA ZAMAN DULU PENDAHULUAN

Cikal-bakal sekolah-sekolah sekuler sekarang adalah sekolah-sekolah yang dibuka pemerintah kolonial Belanda. Sekolah-sekolah yang dimaksud memiliki sejumlah karakter tertentu. Di antaranya, tempat belajar berada di dalam bangunan yang dibagi dalam kelas-kelas. Di setiap kelas, disediakan bangku-bangku tempat murid-murid duduk, papan tulis, dan meja-kursi untuk pengajar. Kemudian, waktu belajar setiap hari dibatasi hanya selama enam jam, dimulai pada pagi hari dan berakhir pada siang hari.

Pada waktu belajar, murid-murid mempelajari sejumlah pelajaran yang telah diatur secara efisien dalam sebuah rencana pelajaran. Lama belajar mereka ditentukan selama beberapa tahun sesuai jenis sekolah dan dibagi-bagi dengan kenaikan tingkat di tiap-tiap tahun. Bagi mereka yang telah menyelesaikan tahun akhir, akan diberikan ijazah yang berguna untuk meneruskan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi lagi atau untuk mencari kerja di kantor-kantor pemerintah.

Di sekolah-sekolah itu, pelajaran agama tidak diberikan. Murid-murid hanya diajari berhitung, membaca, dan menulis. Pengetahuan yang diberikan adalah ilmu pengetahuan umum yang bersifat Belanda sentris. Sementara itu, semangat pengajaran dalam sekolah-sekolah itu tidak berhubungan dengan lingkungan kebudayaan tempat murid-murid berasal.

Tidak jarang ditanamkan sikap anti-nasionalisme. Dalam pelajaran sejarah, misalnya, ditanamkan sebuah kesadaran bahwa tokoh-tokoh pribumi yang berjuang melawan Belanda di daerah-daerah adalah orang-orang yang berusaha merongrong kekuasaan Raja Belanda di tanah Hindia Belanda. Sebaliknya, murid-murid dikenalkan dengan profil tokoh-tokoh Belanda, baik yang ada di Eropa ataupun yang ada di tanah kolonial Belanda, tanpa peduli dosa kemanusiaan apa yang telah diperbuat masing-masing tokoh itu.

Yang juga menjadi karakter sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa pengantar dalam belajar-mengajar. Untuk Sekolah Desa, sekolah pemerintah di tingkat desa, digunakan bahasa daerah masing-masing. Adapun HIS (Holland Inlandsche School, sekolah Belanda setingkat SD) dan sekolah-sekolah di atasnya (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO yang setingkat SMP sekarang, Algemeene Middelbare School atau AMS yang setingkat SMA sekarang, dan sekolah-sekolah tinggi), digunakan bahasa Belanda yang wajib dikuasai sebagai sebuah syarat belajar. Kendati sama-sama menggunakan bahasa Belanda, hubungan yang terjalin antara guru dan murid hanya terbatas pada waktu-waktu belajar di kelas. Di luar itu, tidak ada hubungan akrab di antara guru dan murid. Karenanya, hubungan yang demikian sangat-sangat bersifat formal dan serba terbatas.

Dengan karakter-karakter seperti yang disebut, tidak mengherankan, jika sekolah-sekolah itu memunculkan segelintir orang yang sekuler dan cenderung eksklusif di tengah masyarakat kolonial Belanda. Yang menjadi poin di sini, dari segelintir orang yang terdidik secara Barat itu, lahir golongan baru yang disebut Robert van Niel dalam buku The Emergence of Indonesian Elite sebagai kelompok elit modern pribumi. Mereka cenderung memiliki pandangan negatif terhadap Islam dan merasa asing dengan lingkungan atau kebudayaan mereka sendiri.

Sebaliknya, kemunculan sekolah-sekolah pemerintah itu melahirkan sikap antipati yang mendasar di kalangan muslim yang taat di Hindia Belanda. Mereka menjaga jarak dengan pemerintah kolonial dan “produk-produk” kolonial. Mereka cenderung tidak mau kerjasama dengan pemerintah kolonial dan, parahnya, mereka juga mengecam orang-orang yang mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial seperti orang-orang yang mau menjadi pegawai pemerintahan kolonial.

Achmad Djajadiningrat—yang ayahnya menjadi salah seorang pegawai pemerintah kolonial waktu itu—pernah menulis suka-dukanya menyantri di pesantren dalam buku Kenang-Kenangan yang terbit pada 1936.

Karena menjadi putra seorang ambtenaar,1 saya sering dianiaya oleh lurah2, yang dibenci bersama Gubernurmen.3 Jika, misalnya, saya melakukan sebuah kesalahan kecil dalam mengucapkan satu kata bahasa Arab, saya akan dicemooh dengan kata-kata yang menyakiti perasaan saya, seperti misalnya: ‘Kamu tidak akan dapat memahami pelajaran ini, karena perutmu terlalu banyak makan nasi yang dibeli dengan uang haram!”. Dalam pandangan lurah tersebut, gaji yang diterima ayah saya dari Pemerintah Belanda adalah haram.”

Dari sudut pandang budaya, kalangan muslim yang taat itu menolak semua kebudayaan Barat, seperti peta dan kompas, dan menyebutnya sebagai buatan orang-orang kafir. Kalangan kyai dan santri-santri pesantren, misalnya, menolak berpakaian ala Barat, menggunakan meja-kursi untuk kegiatan belajar-mengajar, dan enggan menggunakan abjad Latin dalam kegiatan tulis-menulis.

Yang seperti itu, ternyata, menemukan habitatnya yang pas di pondok-pondok pesantren. Para kyai dan santri pesantren, misalnya, banyak yang menolak memakai sepatu dan alas kaki model orang-orang Barat lainnya. Mereka lebih memilih bertelanjang kaki ketika pergi ke luar rumah atau—bagi mereka yang santri—asrama tempat mereka tinggal sehari-hari.

Bahwa kalangan pesantren dulu pernah menolak bentuk-bentuk pendidikan modern adalah tanda yang sangat jelas kalau mereka waktu itu sudah memiliki sistem dan “gaya” sendiri dalam kegiatan belajar-mengajar. Mereka, bahkan, meyakini bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang terbaik bagi umat Islam di Indonesia.

Tulisan ini dibuat tidak untuk membela anggapan kalangan pesantren waktu itu. Tulisan ini juga bukan sebagai bentuk pembelaan bahwa pesantren adalah sesuatu yang mesti bagi umat Islam di Indonesia. Tulisan ini hanya akan bicara tentang pesantren di zaman dulu, di masa ketika Indonesia masih berupa negeri jajahan Belanda dan ketika umat Islam di negeri kita ini masih belum memiliki alternatif yang banyak dalam mencari ilmu agama.

Karena itulah, tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Setiap bagian berusaha mengurai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan utama, seperti:

  1. Apa yang dimaksud dengan pesantren?

  2. Apa saja unsur-unsur yang ada dalam pesantren?

  3. Kapan pesantren muncul dalam sejarah kita?

  4. Apa saja yang dipelajari di dalam pesantren?

  5. Bagaimana kualitas pengajar pesantren dalam hidup sehari-hari?

PENGERTIAN TENTANG PESANTREN

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang sangat khas Indonesia. Kata pesantren berasal dari kata santri. Awalan pe dan akhiran an pada pesantren menunjukkan makna tempat santri berada. Bisa juga dibahasakan sebagai tempat santri tinggal atau hidup.

Kata santri itu sendiri berasal dari bahasa Tamil yang bermakna guru mengaji. Akan tetapi, ada juga pendapat yang meyakini bahwa kata santri berasal dari istilah shastri, sebuah istilah dalam bahasa India yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Adapun buku-buku suci atau buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan yang menjadi objeknya, disebut dengan shastra.

Dalam sebuah makalah yang berjudul “Pola Pergaulan dalam Pesantren,” Nurcholish Madjid pernah membawakan dua pengertian tentang santri yang pernah dikenal di tengah masyarakat Indonesia. Pertama, santri berasal dari kata shastri yang berarti melek huruf atau orang yang melek huruf. Menurut Madjid, dulu kaum santri adalah semacam kelas literary atau orang-orang yang bisa membaca kitab-kitab di tengah masyarakat Jawa.

Kedua, kata santri berasal dari kata cantrik, sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana pun guru itu pergi menetap. Jika dipikirkan, pola tersebut ternyata sangat mirip dengan pola magang yang kita dewasa ini.

Sebagai catatan, pola guru-cantrik sudah berlaku pada masa pra-Islam yang waktu itu lembaga tempat mereka berada disebut sebagai kecantrikan. Pada masa Islam, ternyata, pola seperti itu berlanjut menjadi pola kyai-santri. Karena seorang guru atau kyai itu biasanya seorang yang telah menunaikan ibadah haji dan digelari juga dengan haji, maka proses belajar kepada seorang kyai tersebut diistilahkan dengan menghaji, mengaji, atau ngaji.

Meski demikian, mesti pula diingat bahwa di sana ada yang membawakan pendapat bahwa kata ngaji itu sebenarnya berasal dari kata aji. Ngaji yang berupa kata kerja bentuk aktif itu menunjukkan makna mencari dan menjadi sesuatu yang terhormat, mahal dan berharga atau tidak salah juga dimaknai dengan menjadikan diri sendiri aji, sakti, terhormat dan berharga.

Kemiripan pesantren dengan kecantrikan bukan sekedar isapan jempol. Pada masanya, kecantrikan—atau kadang juga disebut mandala, pertapaan, keresian atau bahkan dharma dan terkadang asyrama—selalu berada di luar keramaian dunia, seperti di pinggir desa atau daerah-daerah yang jauh dari ibukota kerajaan.

Kemudian, seperti yang telah lewat, hubungan yang terjalin antara guru-cantrik sangat kental di tengah kecantrikan. Seorang cantrik atau murid sering terikat secara emosional dan batin dengan orang yang menjadi resi atau gurunya.

Selain itu, di tengah mereka hidup kebiasaan untuk berkelana dari satu kecantrikan menuju kecantrikan yang lain. Akibatnya, kontak antar kecantrikan selalu terpelihara dengan baik yang pada akhirnya membentuk sebuah jaringan yang menyebar di berbagai tempat.

Pola seperti itu ternyata diambil alih oleh pesantren. Setiap pesantren yang berdiri selalu (a) mengambil lokasi di pinggiran desa yang terbilang jauh dari ibukota atau bahkan kota, (b) menjaga hubungan antara kyai-santri, dan (c) memelihara kontak antara pesantren-pesantren yang ada.

UNSUR-UNSUR UTAMA YANG ADA DI PESANTREN

Yang juga hendak diperikan adalah fakta bahwa pesantren di Kepulauan Nusantara selalu terdiri dari empat unsur. Kyai, masjid, santri dan asrama, masing-masing unsur pesantren ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Masjid adalah pusat segala kegiatan pesantren. Ketika membangun pesantren, yang dibangun pertama kali selalu masjid. Sering kali pula, sebelum berdiri pondok atau asrama tempat santri-santri tidur, masjid menjadi semacam tempat tinggal sementara bagi santri-santri itu, sebuah pola yang meniru ashab ash-shuffah (orang-orang yang tinggal di beranda masjid nabawi) pada zaman nabi dulu.

Pemimpin pesantren dulunya diistilahkan dengan kyai, bukan ustadz seperti sekarang ini. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti ketika seorang kyai juga memiliki ijazah tarekat tertentu atau ijazah untuk mengajarkan kitab tertentu, kyai yang menjadi pemimpin pesantren itu akan disebut sebagai syekh. K.H. Hasyim Asy’ari yang dituakan oleh banyak kyai pada masanya dipanggil santri-santri pesantrennya lewat sebutan hadratus syekh.

Pada dasarnya, siapa pun waktu itu baru dapat dikatakan kyai jika (1) telah mendalami agama pada guru-guru yang ada di tanah suci. Dengan kata lain, ia harus belajar di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji di sana dan itu berarti memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Waktu, tenaga, dan biaya (serta nyawa) yang digunakan untuk semua itu adalah sebuah jaminan baginya untuk mendapatkan semacam prestise di tengah masyarakatnya.

Akan tetapi, sebutan kyai tidak begitu saja melekat pada seseorang yang telah berhasil menunaikan ibadah haji dan mendalami Islam di tanah suci. Sebutan kyai baru disematkan masyarakat kepadanya ketika (2) orang yang dimaksud telah memiliki murid-murid yang belajar kepadanya dan sebuah pesantren tempat mereka belajar. Karena itu, jika dikatakan bahwa kyai dan santri tidak dapat dipisahkan, maka tidaklah salah.

Harus juga diingat, sejak pertama kali pesantren berdiri di Nusantara, sebutan santri diklasifikasikan menjadi dua jenis. Kedua jenis santri ini masih ada sampai sekarang.

Pertama adalah santri mukim. Mereka adalah santri-santri yang datang dari daerah jauh dan menetap di lingkungan pesantren. Kemunculan mereka ini didorong oleh hasrat belajar yang tidak didukung oleh keberadaan guru-guru di kampung halaman masing-masing, sehingga mereka pun berkelana untuk mencari ilmu agama.

Jenis kedua adalah santri kalong. Santri-santri jenis ini biasanya berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Mereka tinggal di rumah orangtua masing-masing. Mereka baru datang belajar ke pesantren ketika kyai mereka dijadwalkan mengajar.

Karena ada santri mukim, maka berdirilah bangunan-bangunan asrama. Biasanya, bangunan-bangunan itu mengambil tempat di dekat masjid pesantren. Pada awal mula, bangunan-bangunan itu didirikan atas dana pribadi mereka sendiri. Terkadang, kyai pesantren yang menyediakan dana pembangunan, tetapi tidak jarang juga bangunan-bangunan itu didirikan atas dana yang dikumpulkan masyarakat di sekitar pesantren.

Dalam perkembangannya, karena faktor keterbatasan dana itulah, bangunan-bangunan asrama tampil dengan segala bentuk kebersahajaannya. Selain sering terlihat sederhana, bangunan-bangunan itu juga sering terlihat dekil, kotor, dan terkesan apa adanya.

Karena itulah, dari dulu, kehidupan santri di asrama sering dijadikan sebagai simbol kehidupan yang jorok oleh masyarakat di luar pesantren. Akibatnya, pesantren pun kadung memiliki prestise rendah di hadapan sekolah-sekolah umum, baik yang diadakan pemerintah ataupun yang diadakan oleh pihak swasta.

PESANTREN MIRIP DENGAN MADRASAH NIZHAMIYAH?

Agar diperhatikan, pesantren-pesantren yang ada di kepulauan Nusantara sejak pertama kali ada tidak dapat disamakan dengan madrasah-madrasah di Timur Tengah. Di sana, pihak penguasa, dalam hal ini khalifah dan sultanlah, yang sering mengadakan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah-madrasah itu. Penguasa sering diketahui menganggarkan dana secara khusus untuk keberlangsungan sebuah madrasah, sementara pesantren-pesantren di Nusantara didirikan dan dijalankan secara swadaya oleh pribadi-pribadi tertentu.

Para pengajar madrasah pun digaji dengan dana yang terkumpul di baitul mal kaum muslimin, semacam kas negara waktu itu. Tidak usah heran, jika pihak penguasalah yang sering berinisiatif menawarkan posisi pengajar—bahkan sering dengan sedikit memaksa—kepada orang-orang yang mumpuni dalam ilmu-ilmu keislaman.

Karir Abul Hamid Al-Ghazali sebagai pengajar, misalnya, bermula dari sebuah tawaran kepadanya untuk mengajar di Madrasah Nizhamiyah cabang Nisapur. Waktu itu, Al-Ghazali telah dikenal banyak orang sebagai salah satu pakar ilmu kalam dan filsafat.

Keberadaan Madrasah Nizhamiyah itu sendiri terkadang dijadikan pijakan untuk menyimpulkan bahwa pesantren-pesantren di Nusantara ini mengambil model lembaga pendidikan dari Timur Tengah. Hal itu, tampaknya, bukan sesuatu yang lemah.

Sejak pertama kali didirikan oleh Nizhamul Mulk pada 1065 – 1067, Madrasah Nizhamiyah telah menjadi model bagi lembaga-lembaga pendidikan di banyak negeri kaum muslimin. Madrasah ini diniatkan sebagai pusat studi mazhab fikih Syafi’i dan akidah Asy’ariyah. Selain mengkaji Al-Qur’an, mendalami fikih Syafi’i dan akidah Asy’ariyah, para pelajar di sana diharuskan juga mempelajari sastra Arab dan ilmu-ilmu pendukung.

Untuk keperluan itu semua, pihak madrasah membangun asrama-asrama tempat para pelajar tinggal dan belajar. Dalam sejarah Islam, konsep pendidikan berasrama seperti itu merupakan sesuatu yang baru, terlebih lagi ketika pihak pemerintahlah yang mengadakannya.

Meski demikian, sebagian orang percaya, sejak zaman Rasulullah model pendidikan yang seperti Madrasah Nizhamiyah itu telah ada. Hal ini terekam dalam salah satu hadits sahih dalam Shahih Al-Bukhari yang berkisah tentang sejumlah pemuda yang sengaja datang ke Madinah untuk belajar secara khusus (takhassus) kepada Rasulullah dan menginap sementara waktu di masjid nabawi.

PESANTREN DALAM LINTASAN SEJARAH KITA

Karena faktor keterikatan yang sangat pada sosok kyai masing-masing, banyak pesantren di Jawa dan Nusantara secara umum yang berumur pendek. Biasanya, ketika seorang pemimpin atau kiai yang pertama kali membuka pesantren itu meninggal dunia, pesantren pun menjadi mundur dan bahkan hilang sama sekali.

Jarang ada pesantren yang dapat bertahan hingga satu atau dua generasi setelahnya. Dengan demikian, tidak mengherankan, jika relatif sulit untuk mendapatkan keterangan yang cukup lengkap tentang pesantren-pesantren sebelum abad ke-18.

Dalam keadaan sedikit informasi seperti itu, biasanya, para peneliti sejarah Islam di Indonesia akan melirik ke sumber-sumber sejarah lokal yang banyak diragukan kebenarannya, seperti babad-babad, hikayat-hikayat, serat-serat dan dongeng-dongeng. Sumber-sumber lokal itu diketahui mengandung banyak cerita tentang pengembaraan seorang kiai atau wali dalam mendalami agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya.

Dalam Babad Meinsma, misalnya, diceritakan bahwa Sunan Kalijaga sering pergi ke pertapaan Mantingan yang tidak terlalu jauh letaknya dari Demak dan menghabiskan waktunya di sana. Di tempat itu, juga diceritakan, hidup salah satu dari delapan jin utama di pulau Jawa.

Misal yang lain adalah apa yang diceritakan di dalam Hikayat Hasanuddin, sebuah sumber lokal yang menyinggung proses islamisasi di Banten. Dalam sumber lokal ini, diceritakan bagaimana Hasanuddin, tokoh utamanya, mendakwahi penduduk Banten untuk masuk Islam.

Di Banten, demikian hikayat itu bercerita, Hasanuddin mula-mula menetap di sebuah pondok yang terletak agak jauh dari laut. Di sana, ia membuat gula Jawa dengan dibantu oleh dua pelayannya dari bangsa jin yang disuruh oleh ayah Hasanuddin, Sunan Gunung Jati.

Dua jin itulah yang kemudian disebut Hasanuddin sebagai santri-santrinya. Setelah bertahun-tahun hidup di pondok itu, Sunan Gunung Jati datang menemuinya dan hendak mengajaknya menunaikan haji ke Mekkah.

Sumber lokal lain yang sering dikutip adalah Serat Centhini yang ditulis pada abad ke-19. Di dalamnya diceritakan riwayat sebuah pesantren tua yang ada di sekitar Gunung Karang, di sebelah barat Pandeglang, Banten. Tokoh dalam cerita itu dikisahkan telah belajar ilmu atau ngelmu di pesantren tersebut selama beberapa tahun di bawah bimbingan Abdul Qadir Jaelani.

Hampir semua sumber lokal seperti itu mengisyaratkan—untuk kemudian dijadikan dasar kesimpulan tentang—adanya pesantren sedini abad ke-14 dan ke-15 Masehi. Sejumlah pesantren itu dilukiskan sebagai sebuah tempat menyepi bagi para pendirinya untuk melakukan ibadah dan sering pula dalam rangka mendapatkan kesaktian tertentu.

Sebenarnya, dari catatan-catatan sejarah yang ada, salah satu pesantren yang tertua di Jawa ternyata diketahui berdiri pada 1742. Selain itu, ada beberapa catatan kolonial Belanda yang melaporkan tentang adanya lembaga-lembaga yang mirip dengan pesantren di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun dan Ponorogo yang bermunculan pada paruh kedua abad ke-18 itu.

Keterangan yang cukup berlimpah tentang pesantren-pesantren di Jawa, Madura, dan Sumatera datang pada abad ke-19. Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian dari pihak kolonial Belanda terhadap lembaga-lembaga keislaman dan perkembangan Islam secara umum di wilayah jajahan mereka.

Harus pula dicatat bahwa sebelum abad ke-20, belum terdapat lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok, meskipun sejumlah tarekat telah berkembang di sana. Transmisi pengetahuan agama masih bersifat informal.

Mereka yang hendak belajar sangat bergantung kepada seorang haji atau tokoh berilmu yang kebetulan mampir ke tempat mereka dan bersedia memberikan pelajaran di masjid-masjid seusai shalat lima waktu. Bentuk pengajaran seperti inilah yang sebenarnya sudah lazim ditemukan sejak berabad-abad sebelumnya.

Mereka yang haus dan berminat untuk mempelajari agama, biasanya, berangkat untuk belajar ke pesantren-pesantren yang ada di Jawa. Sebagian lagi, karena dimungkinkan oleh biaya yang mereka punya, mengadakan perjalanan berbulan-bulan atau bertahun-tahun ke Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji.

Mahmud Yunus pernah berusaha memberikan sebuah uraian ringkas tentang bentuk pendidikan Islam pada abad ke-18 itu. Amat disayangkan, uraian yang terdapat dalam buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia tersebut, tidak disertai penyebutan sumber-sumber tulisannya. Besar kemungkinan, uraian itu ia dapatkan turun-temurun dari tengah pesantren-pesantren yang pernah ia kunjungi.

Tentang organisasi pendidikan pesantren zaman Mataram, Mahmud menulis,

Pada suatu desa diadakan beberapa pengajian Quran. Di sana diajarkan huruf hijaiah, membaca Quran, berzanji, pokok-pokok dan dasar-dasar ilmu agama Islam, seperti cara beribadat, rukun iman, rukun Islam dan sebagainya. Cara mengajarkannya ialah dengan cara hafalan semata-mata. Jumlah tempat pengajian Quran itu adalah menurut banyak modin di desa itu. Sebab pada tiap-tiap tempat pengajian Quran itu harus ada modin sebagai gurunya. Meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar namun anak-anak, laki dan perempuan yang berumur 7 tahun, harus belajar pada tempat pengajian Quran di desanya atas kehendak orang tuanya sendiri. Sebab agama Islam telah mewajibkan atas ibu-bapa mengajar anaknya hal-hal yang perlu dalam agama, seperti sembahyang, puasa dan sebagainya. Kalau ibu-bapa tidak sanggup mengajar anaknya, haruslah ia menyerahkan anaknya itu kepada guru agama. Hal itu telah menjadi pengetahuan umum bagi seluruh ibu-bapa kaum muslimin. Anak-anak yang telah berumur 7 tahun atau lebih, bila tidak mengaji, dengan sendirinya menjadi olok-olokan oleh anak-anak teman sejawatnya. Selain daripada itu diadakan pula satu tempat pengajian kitab, bagi murid-murid yang telah khatam mengaji Quran. Gurunya, biasanya modin di desa itu sendiri yang terpandai dan ada pula orang lain dari desa itu atau dari desa lain yang memenuhi syarat-syarat kepandaiannya dan budi pekertinya. Guru-guru agama itu diberi gelaran kiyahi anom. Tempat pengajiannya disebut pesantren. Para santri (murid) harus tinggal dalam asrama yang dinamai pondok dekat pesantren itu. Tempat mengaji itu biasanya di serambi mesjid desa. Waktu belajar ialah pagi hari, tengah hari dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan ditulis dalam bahasa Arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah.”

KITAB-KITAB YANG DIAJARKAN DI PESANTREN DULU

Ketiadaan data yang menunjukkan adanya pesantren sebelum abad ke-18 tidak membuat kita berpikir bahwa karya-karya keislaman juga belum ada di tengah masyarakat. Sebaliknya, kitab-kitab berbahasa Arab sudah dikenal dan dipelajari di beberapa tempat di Nusantara ini sejak sebelum abad ke-16 Masehi. Sebagian kitab berbahasa Arab itu, bahkan, sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Jawa.

Pada 1600, sejumlah kitab berbahasa Arab, Jawa, dan Melayu dibawa ke Eropa oleh orang-orang Belanda. Di antara kitab-kitab yang dibawa itu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab fikih yang berjudul At-Taqrib fil Fiqhi yang disertai terjemahan bahasa Jawanya, kitab fikih pernikahan islami dalam bahasa Arab yang dilengkapi terjemahan baris per baris, kitab syair-syair pujian terhadap Rasulullah yang akrab dikenal sebagai Qasidah Al-Burdah karya Al-Bushiri, kitab-kitab tasawwuf dalam bahasa Arab berikut terjemahan dalam bahasa Jawa dan kitab fikih karangan Abu Syuja’ Al-Asbahani.

Nuruddin Ar-Raniri yang pernah tinggal di Aceh pada abad ke-17, misalnya, ternyata, diketahui pernah menulis sebuah kitab fikih dalam bahasa Melayu yang berjudul Ash-Shirath Al-Mustaqim. Sepeninggalnya, kitab fikih itu masih terus dibaca di beberapa daerah.

Demikian pula dengan Abdur Rauf As-Singkili. Selain menulis kitab-kitab kesufian pada abad ke-17 itu, ia juga pernah menulis sebuah kitab fikih mazhab Syafi’i yang berjudul Mir’ah Ath-Tullab fi Ashl Ma’rifah Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah li Al-Malik Al-Wahhab. Kecenderungan seperti ini, menulis kitab fikih Syafi’i, kemudian diteruskan juga oleh beberapa tokoh sufi di Sumatera.

Pada abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai mendata pesantren-pesantren yang ada. Pada 1831, pemerintah mencatat sekitar 1.853 jumlah lembaga pendidikan Islam tradisional yang terdapat di Jawa saja dengan jumlah murid sekitar 16.556 orang. Beberapa puluh tahun kemudian, sekitar 1873, pemerintah kolonial kembali mencatat sekitar 20.000 sampai 25.000 pesantren yang tersebar di berbagai pulau di Nusantara dengan jumlah murid sekitar 300.000.

Pemerintah kolonial Belanda juga berusaha mendata kitab-kitab pelajaran yang digunakan di pesantren-pesantren itu. Data yang diperoleh, ternyata, hanya memberikan keterangan tentang kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren besar di Jawa dan Madura. Meski demikian, diketahui pula bahwa kitab-kitab yang dipakai di Jawa itu ternyata dipakai dalam pengajaran-pengajaran agama yang ada di surau-surau Sumatera Barat.

Khusus bidang fikih, kitab-kitab yang ada dibedakan menjadi dua jenis, fikih ibadah dan fikih umum. Untuk fikih ibadah, digunakan kitab Safinah An-Najah, Sullam At-Taufiq, Masa-il As-Sittin, Mukhtashar karya Abdullah bin Abdirrahman Bafadhl, Minhajul Qawim karya Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Hawasyi Al-Madaniyah, dan Ar-Risalah karya Ahmad bin Zain Al-Habsyi. Adapun fikih umum, kitab-kitab yang digunakan adalah Fathul Qarib, Al-Iqna’ Syarh Mukhtashar, Tuhfah Al-Habib, Al-Muharrar, Minhaj Ath-Thalibin karya Imam Nawawi, Al-Mahalli Syarh Minhaj Ath-Thalibin, Fathul Wahhab, Fathul Mu’in dan Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitami.

Bahasa Arab termasuk bidang yang paling banyak menggunakan kitab pelajaran. Untuk bidang ini, kebanyakan pesantren waktu itu menggunakan kitab Muqaddimah Al-Ajurumiyyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Al-Fawakih Al-Janiyyah, Al-Imrithi, Syarh Al-Ajurumiyah milik Al-Kafrawi, Al-‘Awamil Al Mi-ah, Alfiyah, Minhaj Al-Masalik, Syarh Alfiyah Ibn Aqil, Tamrin Ath-Thullab, Al-Kafiyah karya Ibnul Hajib, Qathrun Nada, Mujib An-Nida Syarh Qathrun Nada, dan Al-Misbah.

Bagi kebanyakan santri, bahasa Arab adalah pelajaran yang sulit. Tentang sulitnya pelajaran bahasa Arab, ada keterangan menarik dari Achmad Djajadiningrat semasa menyantri di sebuah pesantren pada akhir abad ke-19 itu. Dalam bukunya yang berjudul Herinneringen, Djajadiningrat bercerita,

“Saya sudah agak maju dengan pelajaran saya, sehingga setelah dua bulan saya sudah dapat buku kedua yaitu tasrifan (dasar-dasar tata bahasa Arab). Buku ini tidak sesederhana buku pertama, karena tata bahasa Arab diuraikan dengan cara yang tidak begitu mudah, bahkan lebih sulit lagi. Oleh karena itu, orang mengatakan bahwa dengan mempelajari nahwu (tata bahasa Arab) orang dapat menjadi gila. Untuk para santri di Jawa, nahwu merupakan penghambat yang paling besar. Santri yang telah menguasai nahwu, sudah boleh disebut kyai.”

Bidang akidah hanya menggunakan beberapa kitab yang baku di antara mereka. Kitab-kitab yang dimaksud antara lain adalah Bahjatul ‘Ulum beserta dengan syarh (penjelasannya), Ummul Barahin dan Fathul Mubin Syarh Ummil Barahin, Al-‘Aqaid Ash-Shughra beserta syarh, Al-Mufid karya Ibnu Sulaiman Al-Jazuli, Kifayatul Awam, Al-Miftah fi Syarh Ma’rifah Al-Islam, Jawharah At-Tauhid, dan Iftahul Murid.

Bidang akhlak adalah pelajaran-pelajaran tasawwuf. Dalam bidang ini, digunakan kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Bidayatul Hidayah dan Minhajul ‘Abidin yang semuanya adalah karya Al-Ghazali. Kemudian, digunakan juga kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah Al-Iskandar, Syu’abul Iman karya Muhammad bin Abdillah Al-Iji, dan Hidayah Al-Azkiya’ ila Thariq Al-Awliya’.

Hanya bidang tafsir yang menggunakan satu kitab, Tafsir Jalalain. Untuk bidang hadits, tidak ditemukan sama sekali kitab yang dikaji waktu itu. Hasil pendataan yang ada seolah-olah ingin menunjukkan bahwa pelajaran-pelajaran yang diadakan di pesantren-pesantren pada abad ke-19 hanya tertuju pada permasalahan fikih dan tasawwuf.

Memasuki abad ke-20, kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren mulai beragam. Pesantren-pesantren pun telah banyak berdiri di Kalimantan dan sekitarnya. Hal ini sangat membuka peluang munculnya spekulasi bahwa keadaan seperti itu didorong oleh mulai mudahnya akses untuk mendapatkan pengetahuan agama lewat ibadah haji. Mereka yang dapat sampai ke Mekkah memanfaatkan kesempatan itu untuk sekaligus mendalami ilmu agama di halaqah-halaqah yang ada di tanah suci.

Khusus akidah, kitab-kitab yang ada merupakan pemaparan ajaran Asy’ariyah, baik itu tentang sifat-sifat Allah ataupun tentang hal-hal yang terkait dengan Rasulullah. Yang hendak diperhatikan, batas antara pelajaran akidah dan apa yang dianggap sebagai bagian tasawwuf relatif samar. Dalam kitab-kitab akidah itu, atau bahkan dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, tercampur satu pelajaran tentang tauhid dan tasawwuf.

Kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim termasuk kitab-kitab hadits pokok yang dikaji di pesantren-pesantren pada paruh pertama abad ke-20. Siapa pun kyainya dan di pesantren mana pun, dua kitab ini biasa dibaca dan dikaji.

Meski demikian, ada kyai-kyai tertentu yang betul-betul ditunggu untuk membaca dan mengkaji dua kitab hadits itu. Di antara mereka adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Biasanya, kyai yang satu ini membuka kajian Shahih Al-Bukhari setiap bulan Ramadhan di pesantrennya dan menamatkan pembacaan kitab tersebut. Karena itu, setiap Ramadhan, banyak kyai-kyai dan juga santri-santri dari pesantren-pesantren lain yang sengaja datang untuk mondok sementara waktu di pesantren K.H. Hasyim Asy’ari.

Kitab-kitab hadits yang pokok lainnya, seperti Sunan Abi Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, Sunan An-Nasai dan Sunan Ibnu Majah, termasuk kitab-kitab hadits yang kurang populer di kalangan pesantren waktu itu. Sebaliknya, kitab-kitab hadits yang cukup populer di tengah santri adalah kitab Arba’in Nawawi, Riyadhush Shalihin dan Bulughul Maram.

Dibanding pelajaran-pelajaran yang lain, pelajaran tentang sejarah hidup Nabi Muhammad dan tarikh Islam adalah pelajaran yang paling mudah diikuti oleh santri-santri pesantren. Banyak di antara mereka yang dapat menyelesaikan kitab-kitab pelajaran itu dengan hasil yang memuaskan. K.H. Saifuddin Zuhri, yang belajar di pesantren pada paruh pertama abad ke-20, mengakui bahwa,

aku sejak dulu memang paling terbelakang dalam bidang nahwu, sekadar yang pokok-pokok saja cukuplah sudah buatku, tak usah ndakik-ndakik—terlampau mendalami. Jika kebetulan datang pelajaran nahwu ini, mau rasanya lompat jendela saja. Kecuali menjemukan, otak ini rasanya jadi seperti buntu. Misalnya tentang nama ‘Zaid’, menurut ilmu nahwu bisa dibaca 3 macam. Zaidun, Zaidan, dan Zaidin. Perubahan dari ‘dun’ menjadi ‘dan’ dan ‘din’ ini berhubung dengan posisinya dalam rangkaian kalimat. […] Bagaimana tidak kopyor otakku kalau harus menghafal Imrithi, pelajaran nahwu berbentuk syair dan pantun dalam bahasa Arab, lebih lagi Alfiyah Ibnu Malik? Yang juga berbentuk pantun setebal seribu bait tentang segala serba-serbi nahwu-sharaf dalam bahasa Arab, yang dibaca sambil berdendang menurut irama tertentu. Sedang menghafal bait-baitnya saja sudah setengah mati, apalagi arti dan maknanya. […] Sebab itu, sejak dulu aku sudah menyerah kalah saja mengaji nahwu-sharaf. Tetapi, kalau pelajaran Aqaid aku senang dan merasa otakku mudah terbuka. Apalagi pelajaran Tarikh Islam (sejarah Islam) aku bisa memperoleh angka 9!”

Sepertinya, kitab yang paling populer setelah Al-Qur’an di kalangan pesantren adalah kitab Barzanji karya Ja’far bin Hasan bin Abdil Karim Al-Barzinji (1690 – 1764) yang digolongkan ke dalam kitab-kitab sejarah hidup Nabi Muhammad dan tarikh Islam. Kitab Barzanji adalah sebuah buku prosa dalam sastra Arab yang memuat kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di Nusantara, perjanjen atau ritual membaca kitab Barzanji beramai-ramai telah menjadi bagian integral dari ritual tarekat Qadiriyah. Dewasa ini, kitab Barzanji telah muncul dalam banyak edisi yang berbeda-beda berikut kitab-kitab syarh yang menjelaskannya dalam bahasa Jawa dan Indonesia.

Pada abad ke-20, sejumlah pesantren diketahui memiliki semacam “badan sensor kitab”. Badan ini berfungsi menyeleksi bahan-bahan bacaan yang layak baca bagi santri-santri pesantren. Sejumlah suratkabar yang terbit waktu itu, misalnya, ada yang dilarang untuk dibaca para santri. Biasanya, kiai sendiri atau santri-santri senior yang mendaftar dan “mengeksekusi” langsung bacaan-bacaan itu.

Menariknya, di antara bacaan-bacaan yang dilarang adalah kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah. Dalam daftar bacaan yang dilarang dibaca, kitab-kitab Ibnu Taimiyah menempati urutan teratas. Hal ini sedikit-banyaknya disebabkan oleh penjelasan-penjelasan Ibnu Taimiyah yang sangat bertentangan dengan akidah Asy’ariyah.

Akan tetapi, bukan berarti kitab-kitab Ibnu Taimiyah tidak didapatkan di pesantren-pesantren waktu itu. Banyak kiai, sebenarnya, yang memiliki kitab-kitab Ibnu Taimiyah, terutama kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah. Kitab-kitab tersebut disimpan agar tidak dibaca kecuali oleh kiai dan santri-santri tertentu. Pada waktu itu, kitab-kitab Ibnu Taimiyah sudah menjadi “pegangan” kelompok Islam reformis yang menjadi lawan kelompok Islam tradisional.

Sebelum abad ke-19, kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren itu tidak lebih dari tulisan-tulisan tangan. Para santri menyalinnya satu per satu untuk keperluan belajar. Baru pada abad ke-19, kitab-kitab yang dicetak di Timur Tengah datang ke Nusantara dalam jumlah yang cukup besar. Keadaan ini terjadi akibat bertambahnya kemudahan fasilitas untuk naik haji waktu itu.

Di Mekkah, bahkan, berdiri sebuah penerbitan yang mencetak kitab-kitab dalam bahasa Melayu pada 1884. Usaha seperti ini kemudian diikuti oleh para penerbit yang ada di Istanbul dan Mesir. Dari situ, gelombang percetakan mulai melanda Nusantara.

Pada 1881, kitab pertama dicetak di Batavia oleh salah seorang Arab yang bernama Sayyid Utsman. Dari segi percetakan, langkah yang dilakukannya itu, sebenarnya, terbilang terlambat, sebab pada 1854 di Palembang telah dicetak Al-Qur’an pertama hasil tulis kaligrafi Kemas Haji Muhammad Azhari dan diperjualbelikan secara bebas. Mesin cetak yang digunakan untuk mencetak Al-Qur’an itu ia beli di Singapura beberapa tahun sebelumnya.

Usaha percetakan kitab-kitab pelajaran yang betul-betul maju ada di Sumatera Barat pada awal abad ke-20. Kitab-kitab tersebut dicetak dalam bahasa Melayu dan Arab untuk memenuhi keperluan belajar di madrasah-madrasah yang mulai menjamur waktu itu. Kebanyakan yang dicetak adalah kitab-kitab akidah, tata bahasa Arab dan fikih.

Ironisnya, di Jawa kemudian menyusul di daerah-daerah lain di Nusantara, usaha-usaha percetakan kitab-kitab pelajaran menurun drastis seiring berkembangnya penerbitan suratkabar-suratkabar sejak akhir abad ke-19. Ketimbang mencetak kitab-kitab yang dipelajari di pesantren-pesantren, banyak percetakan yang memilih menerima pesanan penerbitan suratkabar, jurnal, dan majalah berbahasa Melayu, terlebih lagi ketika angka buta huruf Latin mulai terkikis oleh pendidikan-pendidikan umum yang diadakan pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20.

PENDIDIKAN ISLAM DI MINANGKABAU DULU

Untuk mengimbangi gambaran pesantren seperti itu yang banyak ditemui di Jawa dan Madura dulu, ada baiknya, jika sistem pendidikan Islam di Minangkabau diketengahkan di sini. Seperti yang umum diketahui, pendidikan Islam di Minangkabau dulu, biasanya, berlangsung di surau-surau. Memerhatikan pola yang ada, banyak peneliti sejarah—dari dalam dan luar negeri—yang menyimpulkan bahwa pola pendidikan di surau-surau di Minangkabau hampir sama dengan pola pendidikan yang ada di pesantren-pesantren di Jawa dan karena itu dapat mewakili gambaran kita tentang sistem pendidikan Islam zaman dulu.

Barangkali, gambaran paling baik tentang suasana pendidikan di surau-surau Minangkabau waktu itu muncul dalam buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia karya Mahmud Yunus (1899—1982). Dikenal sebagai salah seorang pengamat sekaligus kritikus pendidikan tradisional Islam di Indonesia, Yunus sayangnya hanya kita kenal lewat Kamus Arab-Indonesia karyanya. Padahal, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia dalam beberapa bagiannya merupakan kesaksian tangan pertama tentang sistem pendidikan Islam di Minangkabau awal abad ke-20.

Ketika membicarakan tentang sistem pendidikan kaum muslimin di Indonesia “tempo doeloe”, Yunus membagi pendidikan yang ditempuh oleh seorang anak menjadi dua, pengajian Al-Qur’an dan pengajian kitab. Masing-masing memiliki kekurangan yang dipaparkan secara lugas olehnya.

Membuka uraian tentang Pengajian Al-Qur’an, Yunus menulis beberapa paragraf hasil pengalaman sekaligus pengamatannya pribadi waktu itu. Untuk mengaji Al-Qur’an, tulisnya,

Anak-anak belajar dengan duduk bersila dan belum memakai bangku dan meja. Guru pun duduk pula. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang. Pelajaran yang mula-mula ialah belajar huruf Al-Qur’an atau huruf Hijaiah. Setelah pandai membaca huruf Hijaiah itu, baru belajar membaca Al-Qur’an. Dalam pada itu diajarkan pula cara mengerjakan ibadat seperti berwudluk, sembahyang dan sebagainya. Lain daripada itu diajarkan juga pelajaran keimanan yang dinamai mengaji: sipat dua puluh serta hukum akal yang tiga seperti wajib, mustahil dan jaiz. Adapun akhlak, diajarkan dengan ceritera-ceritera, seperti ceritera Nabi-Nabi dan orang-orang salih, serta contoh dan tiru teladan yang diperlihatkan oleh guru agama tiap-tiap hari kepada murid-muridnya.”

Lalu, berapa lama semua itu harus dijalani oleh seorang anak? Dalam pengamatan Yunus,

“Lama pelajaran pada Pengajian Qur’an itu tidak ditentukan, ada yang 2, 3, 4, atau 5 tahun lamanya, menurut kecerdasan dan kerajinan anak-anak. Ada anak-anak yang dapat menamatkan Al-Qur’an dalam masa 2 atau 3 tahun, kemudian diulang kembali untuk memperbaiki bacaannya (ucapannya) sampai tamat, sehingga ada anak-anak yang menamatkan Al-Qur’an 2 atau 3 kali, baru ia berhenti atau keluar dari Pengajian Al-Qur’an. Dalam pengajian Qur’an itu dipentingkan pula latihan mengerjakan sembahyang. Sembahyang Magrib, ‘Isya dan Shubuh harus berjama’ah (berkaum-kaum) dengan guru. Oleh sebab itu besar sekali pengaruh Pengajian Qur’an itu dalam jiwa anak-anak, sehingga tak dapat hilang selama hidupnya.”

Bandingkan dengan hasil pengamatan Hurgronje yang dimuat dalam Verspreide Geschriften IV. Di situ, ia menulis,

“Pengajian Al-Qur’an ini diberikan secara individual kepada para murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu langgar atau di serambi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu persatu di bawah bimbingannya selama ¼ atau ½ jam. Ketika salah seorang murid menghadap guru, murid lainnya dengan suara keras mengulang kaji kemarin atau lanjutan pelajaran yang telah diperbaiki gurunya. Jadi dalam langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang bercampur aduk menjadi satu. Tetapi karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu suara murid yang lain.”

Yunus juga tidak lupa memberikan kritik terhadap sistem Pengajian Al-Qur’an itu. Menurutnya,

“Suatu kekurangan besar dalam Pengajian Qur’an itu, ialah tidak diajarkan menulis huruf Qur’an (huruf Arab), hanya semata-mata membaca saja. Pada hal, menurut metode baru belajar menulis bersama-sama dengan belajar membaca, artinya sesudah belajar membaca harus diadakan pelajaran menulis. Dengan demikian anak-anak dapat mengenal huruf dengan baik dan mudah.”

Kemudian, dalam mengajarkan huruf-huruf Hijaiyyah,

(a) sistim pelajaran kurang baik, (b) guru sangat keras, serta memakai rotan dan memukul anak, bila tersalah membaca Al-Qur’an. Padahal seharusnya, kalau anak salah membaca, diterangkan kesalahannya bukan dipukul. Tetapi sesudah tahun 1900, kekerasan guru Quran dan memukul anak-anak itu, telah berkurang dengan berangsur-angsur, sehingga sekarang boleh dikatakan tidak kejadian lagi, kecuali sedikit sekali.”

Apa yang dipaparkan itu dikategorikan Yunus ke dalam Pengajian Al-Qur’an Tingkatan Rendah. Seorang anak yang telah mampu melewatinya dapat melanjutkan ke Tingkatan Atas. Selain membaca Al-Qur’an, anak itu juga akan diberikan pelajaran tambahan berupa “lagu Al-Qur’an, lagu kasidah, barzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.” Akan tetapi, tingkatan ini, tulis Yunus,

“hanya ada pada suatu negeri yang di sana ada seorang guru Al-Qur’an yang termasyhur, dinamai Qari. Di surau beliau itu beratus-ratus murid-murid belajar Al-Qur’an dengan tajwid dan lagunya, serta mata pelajaran yang lain, terutama kitab Perukunan. Bukan anak-anak yang berasal dari negeri itu saja, melainkan banyak juga anak-anak yang datang dari negeri yang lain. Umumnya murid-murid belajar siang dan malam. Pada mula-mulanya bacaan (ucapan) huruf Al-Qur’an itu tidak betul dan tidak tepat pada mukhrijnya, terutama huruf-huruf seperti; dlad, shad, syin, tsa, zha, dzal dsb. Umumnya mereka membunyikan huruf dlad dan zha, seperti huruf lam, sehingga ketiga huruf itu, sama saja bunyinya.”

Sekarang, bagaimana dengan Pengajian Kitab waktu itu? “Setelah anak-anak tammat Mengaji Quran,” tulis Yunus,

maka sebagian besar di antara mereka ke luar ke tengah-tengah masyarakat dan sebagiannya lagi meneruskan pelajaran ke tingkat yang di atasnya yang dinamai: Pengajian Kitab. Pada setengah negeri (desa) ada seorang tuan Syekh yang alim (kyai) yang mengajarkan ilmu-ilmu Agama Islam dengan mendalam. Beratus-ratus pelajar menuntut ilmu Agama dan bahasa Arab pada tuang Syekh itu. Bukan saja pelajar itu berasal dari negeri itu sendiri, bahkan banyak juga yang datang dari negeri-negeri yang lain. Mereka itu belajar siang dan malam, (pagi-pagi, sudah sembahyang lohor, malam sudah sembahyang Magrib).”

Dalam Pengajian Kitab, seseorang harus mengambil sejumlah mata pelajaran yang terdiri dari (a) ilmu sharaf dan ilmu nahwu, (b) ilmu fikih, dan (c) ilmu tafsir. Setelah itu, ia dapat mempelajari pelajaran-pelajaran yang lain, seperti ilmu hadits, ilmu waris, ilmu falak.

Yang pertama kali harus dipelajari dalam Pengajian Kitab adalah ilmu sharaf. “Pelajaran yang mula-mula diajarkan ialah ilmu sharaf,” tulis Yunus. “Dimulai dengan menghafal kata-kata Arab serta artinya dalam bahasa Melayu (daerah).”

Biasanya, kitab sharaf yang dipakai adalah Kitab Dhammun yang, menurut Yunus, masih berupa “tulisan tangan dan tidak diketahui siapa pengarangnya dan tahun berapa dikarang.” Setelah itu,

barulah diajarkan ilmu Nahu dengan memakai kitab yang bernama Al-‘Awamil, yaitu suatu kitab yang ditulis dengan tangan dan tidak dikenal siapa pengarangnya dan tahun berapa dikarang. […]. Sesudah tamat kitab Al-‘Awamil itu, maka diajarkan kitab Al-Kalamu, yaitu kitab Ajrumiah, yang sampai sekarang masih dipakai juga di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah di dunia Islam. Hanya kitab itu dahulu ditulis dengan tangan, tetapi sekarang sudah dicetak. Di sini patut kita tegaskan, bahwa pelajaran ilmu-ilmu itu, dilakukan satu demi satu, yakni dimulai dengan ilmu Sharaf, setelah tamat ilmu Sharaf itu, baru dimulai ilmu Nahu. Dengan perkataan lain, bahwa tiap-tiap murid, hanya mempelajari satu macam ilmu saja dan tidak boleh dicampurkan dengan ilmu yang lain.”

Tentu saja, banyak yang gagal pada jenjang ini. Yunus, bahkan, secara berlebihan mengatakan bahwa dari 100 anak yang belajar waktu itu, barangkali, hanya satu orang yang berhasil dan kemudian menjadi seorang ‘alim. Achmad Djajadiningrat yang telah dikutip sebelum ini pernah pula menulis tentang kesulitan dalam mempelajari nahwu.

“Saya sudah agak maju dengan pelajaran saya, sehingga setelah dua bulan saya sudah dapat buku kedua yaitu tasrifan (dasar-dasar tata bahasa Arab). Buku ini tidak sesederhana buku pertama, karena tata bahasa Arab diuraikan dengan cara yang tidak begitu mudah, bahkan lebih sulit lagi. Oleh karena itu, orang mengatakan bahwa dengan mempelajari nahwu (tata bahasa Arab) orang dapat menjadi gila. Untuk para santri di Jawa, nahwu merupakan penghambat yang paling besar. Santri yang telah menguasai nahwu, sudah boleh disebut kyai.”

Bagi mereka yang telah menamatkan pelajaran ilmu Sharaf atau Nahwu,

meneruskan pelajarannya dengan mengaji ilmu Fiqhi, yaitu dengan mempelajari kitab Al-Minhaj, karangan Imam Nawawi. Kitab itu ditulis dengan tangan juga dan belum ada yang dicetak. Sebab itu sangat mahal harganya. Kitab Al-Minhaj itu masih dipelajari juga di pesantren dan madrasah-madrasah di seluruh dunia Islam yang menganut mazhab Syafi’i. Murid-murid yang telah menamatkan ilmu Fiqhi atau kitab Al-Minhaj, maka meneruskan pelajarannya dengan mengaji ilmu Tafsir, yaitu dengan mempelajari kitab Tafsir Al-Jalalain. Pada tingkat atas Pengajian Kitab diadakan pelajaran bersama dengan mengadakan halaqah, yaitu duduk berlingkaran bersama-sama menghadapi guru besar (Syekh-kiyai). Yang menjadi mahasiswanya ialah guru-guru tua di surau itu. Maka guru besar (Syekh) hanya mengajar di halaqah itu menghadapi guru-guru tua.”

Istilah guru-guru tua, sebenarnya, bukan istilah yang tepat, menurut Yunus. Istilah itu digunakan untuk mereka yang telah senior dan mumpuni di pengajian itu.

Oleh karena murid-murid itu banyak, sedang pelajaran dilakukan seorang demi seorang, maka diadakan guru-guru bantu yang dinamai guru tua (sebenarnya guru muda). Maka guru-guru tua itulah meladeni murid-murid yang banyak itu seorang demi seorang. Sedangkan yang belajar pada tuan Syekh (kiyai besar), ialah guru-guru tua saja dan murid-murid yang lain hanya belajar pada guru tua itu.”

Karena itu, syekh atau kyai yang dimaksud hanya mengajar di halaqah yang diperuntukkan bagi murid-murid senior. Tidak mengajar murid-murid di tingkat dasar. Pelajaran-pelajaran yang diberikan di halaqah ini pun adalah pelajaran-pelajaran tingkat tinggi, seperti tasawwuf. Meski demikian, sering juga dikaji kitab-kitab tafsir atau fikih sebagai bentuk pendalaman materi lebih jauh.

Dengan bentuk yang seperti itu, lama belajar pada setiap orang tidak sama dan bahkan tidak ditentukan sama sekali. Lama atau tidaknya, menurut Yunus,

“[H]anya bergantung kepada kecerdasan dan kerajinan murid-murid. Murid-murid yang cerdas dan rajin, cepat majunya dan lekas tamat pelajarannya. Tetapi murid-murid yang malas atau bodoh, tinggal di surau itu bertahun-tahun lamanya. Kadang-kadang ke luar dengan tiada menghasilkan apa-apa.”

Tidak sembarang orang dapat menjadi syekh atau kyai. Agar tidak terjadi salah pengertian, Yunus menyatakan,

“Pelajar-pelajar yang telah menamatkan ilmu Fiqhi dan Tafsir, belumlah diberi titel (derajat) ‘alim atau Syekh (kiyai). Tetapi ia harus lebih dahulu menjadi guru bantu (guru tua) di surau itu beberapa tahun lamanya. Apabila guru bantu itu sanggup menyelesaikan soal-soal yang sulit dalam kitab-kitab yang diajarkannya dan pandai memberi keterangan dan mengajar murid-murid, ia dengan sendirinya dipanggilkan engku muda (‘alim muda), lebai, guru tua dan sebagainya. Waktu itu diakuilah kealimannya oleh murid-murid yang belajar padanya dan diakui pula oleh tuan Syekh, guru besarnya. Kemudian ia pulang ke kampungnya membuka surau yang baru dan mengajar seperti tuan Syekh gurunya tadi. Setelah bertahun-tahun lamanya ia mengajar dan umurnya telah lebih 40 tahun lamanya dan telah mulai tua, barulah ia diberi orang gelar: Syekh (kiyai) atau guru besar.”

Menutup paparan tentang pendidikan Islam “sistem lama” itu, Yunus memberikan sebuah penegasan, “bahwa pendidikan Islam menurut sistem lama, hanya terdiri dari dua tingkat saja: Pengajian Quran dan Pengajian Kitab. Hampir seluruh pendidikan Islam di Indonesia seperti demikian keadaannya.”

POTRET KUALITAS PENGAJAR-PENGAJAR PESANTREN

Kutipan panjang berikut ini, kiranya, dapat mewakili lukisan tentang kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah. Dicuplik dari Guruku Orang-Orang dari Pesantren, penulisnya, K.H. Saifuddin Zuhri, adalah salah seorang santri yang merasakan langsung pendidikan sebuah madrasah pada masa yang dimaksud.